GUS DUR DAN DUNIA PENDIDIKAN

Gus Dur dan Dunia Pendidikan

Bogor (20/5) Presiden Indonesia keempat, Abdurrahman Wahid atau sering dipanggil dengan Gus Dur, merupakan tokoh yang mampu melihat Indonesia dengan keindonesiaannya termasuk dalam penanaman nilai-nilai di bidang pendidikan. Setidaknya Gus Dur bersentuhan dengan tiga bentuk pendidikan semasa hidupnya, lahir dalam keluarga pendiri pesantren Gus Dur tidak lepas dari nuansa pendidikan Islam, Gus Dur juga pernah mengenyam pendidikan di sekolah umum ketika keluarganya harus pindah ke Jakarta karena ayahnya ditunjuk menjadi Menteri Agama, dan ditambah dengan pengalaman Gus Dur ketika menuntut ilmu di luar negeri yang menjadikan beliau bersentuhan dengan banyak budaya yang kemudian mempengaruhi cara pandangnya dalam banyak hal.

Selama mengenyam Pendidikan formal, penafsiran dan pemahaman Gus Dur terhadap buku-buku bacaan sangat mendalam. Ketekunan dan kemampuannya memahami isi buku melebihi pelajar-pelajar lain seusianya. Materi-materi ini kemudian menjadi cikal bakal dari pemikiran Gus Dur yang memberikan penghormatan kepada nilai-nilai kemanusiaan. Gus Dur belajar wawasan dan semangat kebangsaan yang mendalam dari dunia pesantren. Menurut pendapatnya, keislaman dan kebangsaan bukan hal yang bertentangan satu sama lain, melainkan saling mengisi dan memperkokoh.

Di luar Pendidikan formal, Gus Dur banyak bersentuhan dengan karya-karya dari penulis dunia seperti novel karya Andre (Gide La Potre Etroite), Ernest Hemingway (The Old Man and The Sea), dan Turganev (Captain’s Daughter). Selain itu, Gus Dur juga berkanalan dengan pemikiran dari filosof dan penulis besar dunia seperti Socrates, Plato, Karl Marx, Pushkin, Tolstoy, Dostoyevsky, Gogol, dan Sholokov. Perpaduan elemen tradisional yang dirasakan Gus Dur selama mengenyam pendidikan di pesantren dibarengi dengan sentuhan elemen modern dan Barat dari materi buku bacaan telah membentuk watak dan kepribadian Gus Dur yang selalu memadukan nilai-nilai keislaman, nasionalisme, dan kemanusiaan.

Perjalanan intelektualitas Gus Dur tidak hanya terjadi di tanah air, tetapi juga berlanjut di salah satu universitas Islam tertua dunia, Al Azhar, Mesir. Selama menjadi mahasiswa Gus Dur banyak menyelami dunia buku secara intens di samping dengan materi perkuliahan di ruang-ruang kelas. Semangat belajar Gus Dur terus berlanjut. Gus Dur kembali mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi mengenai Sastra dan Ilmu Humaniora di Universitas Baghdad, Irak. Baghdad adalah kota yang terbuka dalam pencarian dan elaborasi gagasan lantaran telah mengadopsi sistem pendidikan Barat. Di tempat yang sama pula telah lahir dan berkembang tradisi sufisme yang melahirkan sufi-sufi besar dunia. Setelah menamatkan studi dari Universitas Baghdad, Gus Dur melanjutkan perjalanannya ke negeri Belanda. Di negeri kincir angin, Gus Dur melakukan ziarah pemikiran  dengan menyerap ilmu-ilmu sosial Barat yang kritis di luar kelas-kelas formal.

Gus Dur melihat bahwa manusia adalah mahluk terbaik dan bertugas membawa visi terbaik yaitu sebagai pemimpin di bumi. Sehingga hal yang paling mendasar dalam upaya perwujudannya adalah dengan penanaman pendidikan karakter. Pendidikan yang dimaksud tidak hanya ada di sekolah-sekolah formal, namun juga berada di tengah keluarga, di organisasi berbasis kader, dan di kehidupan masyarakat sehari-hari atau sering disebut dengan sekolah nonformal.

Pembinaan karakter yang komprehensif tidak hanya dibebankan kepada sekolah tetapi juga mengikutsertakan setiap elemen yang ada di masyarakat sebagai wadah pembinaan karakter setiap individu. Sehingga diperlukan otonomi dan pembagian tugas yang luas dan lengkap dalam dunia pendidikan untuk mengoptimalisasi penguatan kurikulum yang sudah dibuat.

Berbagai proyeksi dalam dunia pendidikan Indonesia dibuat untuk menjawab setiap tantangan Indonesia di masa depan. Mengantisipasi hal tersebut, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres No. 87 tahun 2017 mengenai Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Hal tersebut menggambarkan betapa perlunya mencetak generasi dengan karakter yang bersumber pada nilai-nilai luhur bangsa karena pelajar dan siswa yang saat ini sedang menuntut ilmu di ruang-ruang kelas kelak akan memegang sendi-sendi penting dalam berbagai sektor pembangunan Negara. Setidaknya terdapat 18 poin karakter yang diharapkan akan dimiliki oleh generasi muda Indonesia, yaitu religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab. Berbagai karakter yang diharapkan ada di setiap pribadi masyarakat Indonesia yang bersumber pada nilai-nilai luhur bangsa.

Pendidikan karakter yang berlandaskan dengan kearifan dan kebudayaan lokal untuk membentuk insan yang unggul bukanlah satu-satunya langkah untuk menjamin kelangsungan Indonesia di masa depan, masih diperlukan langkah-langkah substansial lainnya untuk saling menopang satu sama lain. Namun, ketika penghayatan terhadap nilai-nilai pendidikan karakter yang tercermin dengan meningkatnya kualitas sumber daya manusia maka cita-cita menuju Indonesia Emas tahun 2045 akan lebih mudah terwujud.