Revitalisasi Bangunan Bersejarah Kota Lama

0
1958
Kawasan Kota Lama Tanjungpinang (f.tanjungpinangpos).

Isu pelestarian kawasan bersejarah terutama kota-kota tua atau kota lama sudah menjadi tren belakangan ini. Tak hanya diluar negeri, kota-kota di Indonesia sudah melirik potensi ini. Sebut saja Jakarta dengan “Kota Tuanya”, demikian juga kota lain, seperti Surabaya,Semarang, Samarinda, Pontianak, Surakarta, Padang, Donggala, Tanjungpura termasuk Sawahlunto. Semuanya menjual potensi masa lampau daerahnya. Menjual bangunan bersejarah di daerahnya. Betapa menarik kisah Sawahlunto. Kota bekas kota tambang batu bara peninggalan kolonial Belanda yang kini menjadi kawasan wisata sedang mempersiapkan diri menjadi situs warisan dunia. Modal Sawahlunto adalah ada puluhan bangunan bersejarah peninggalan Kolonial Belanda di kota ini yang kondisinya terawat baik.

Salah satu kekhasan yang dimiliki oleh suatu kota adalah kawasan kota lama. Tanjungpinang juga memiliki Kota Lama. Menarik gagasan Walikota Tanjungpinang, Lis Darmansyah tentang pusat pertumbuhan perekonomian rakyat di Tepi Laut, Jalan Merdeka, Jalan Tengku Umar, Jalan Gambir dan Jalan Pos yang dikenal sebagai Kota Lama ditetapkan sebagai kawasan pariwisata terpadu. Menjadikan kawasan Kota Lama pusat bisnis, pusat informasi, wisata keluarga, hingga kegiatan budaya. Pemko Tanjungpinang menjadikan Kota Lama sebagai pusat magnet baru, selain Pulau Penyengat yang sudah mendunia.

Data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Tanjungpinang, wisatawan asing yang masuk ke Tanjungpinang selama beberapa tahun terakhir masih didominasi oleh wisatawan asal Singapura dan Malaysia. Sekitar 52 persen kunjungan ke Tanjungpinang dilatarbelakangi oleh keinginan untuk berlibur, sekitar 22 persen untuk mengunjungi teman/keluarga, sekitar 15 persen untuk kunjungan bisnis, dan selebihnya untuk kunjungan maksud tertentu. Hal-hal istimewa yang menjadi daya tarik pariwisata Tanjungpinang bagi wisatawan asing asal Singapura dan Malaysia adalah bangunan bersejarah, dengan persentase sekitar 54 persen. Ketertarikan terhadap budaya Melayu sebesar 27 persen. Dapat dipastikan selama ini wisatawan itu fokus kunjungannya ke Pulau Penyengat dengan potensi kesejarahannya, dengan peninggalan bangunan bersejarah yang banyak yang masih terawat baik.

Pendataan Bangunan

Dalam UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya disebutkan kriteria bangunan cagar budaya. Benda, bangunan, atau struktur Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau
Struktur Cagar Budaya kalau usianya sudah 50 tahun, mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun, memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan, serta memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

Bangunan cagar budaya merupakan warisan yang penting dan nilainya sebagai sumber sejarah maupun bagi inspirasi kehidupan bangsa di masa kini dan masa yang akan datang sehingga diperlukan upaya-upaya pelestarian terhadap benda cagar budaya. Tanjungpinang bisa mengikuti jejak daerah lain yang punya potensi sama. Menerapkan pelestarian kawasan-kawasan bersejarah maupun bangunan-bangunan bersejarah yang dianggap sebagai cagar budaya arsitektur. Bangunan bersejarah yang ada di Indonesia, termasuk Tanjungpinang bukan saja bangunan-bangunan yang ditinggalkan oleh Belanda, tetapi ada pula yang peninggalan kerajaan, seperti istana, rumah ibadah, termasuk bangunan yang bercirikan etnis tertentu, seperti Tianghoa dan Arab.

Kondisi yang terjadi disejumlah kota termasuk Tanjungpinang adalah keberadaan bangunan bersejarah yang sebagian besar telah beralih fungsi dan mengalami perubahan. Bangunan-bangunan lama dihancurkan diganti dengan bangunan baru/ruko, menjamurnya papan-papan reklame, hilangnya ruang terbuka hijau (RTH), berubahnya fungsi lahan menjadi pusat perdagangan, dan akhirnya membuat konsep tata ruang bergeser. Berlomba-lomba membangun bangunan baru untuk land mark daerah dengan alasan jadi ikon baru daerah untuk menggaet wisatawan.

Menghidupkan gairah Kota Lama untuk aset wisata dapat bernilai lebih dengan revitalisasi bangunan bersejarah. Pemko Tanjungpinang tahap awal bisa melakukan pendataan bangunan bersejarah di Kota Lama. Dari pendataan dapat diketahui, jumlah bangunan bersejarah yang kondisi terawat, dan bangunan yang telah berubah fungsi namun masih ada sisa-sisa peninggalan. Hasil pendataan juga menunjukkan bangunan itu kini menjadi milik pribadi, perusahaan atau aset pemerintah. Dalam pendataan Pemko Tanjungpinang bisa mengandeng Balai Pelestarian Cagar Budaya Batusangkar, Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri, asosiasi arsitektur atau pun pihak universitas

Kota Tanjungpinang memiliki 64 cagar budaya, baik yang berupa benda, situs, bangunan dan kawasan cagar budaya yang tersebar di seluruh wilayah Kota Tanjungpinang, di kecamatan Bukit bestari terdapat 1 cagar budaya, di kecamatan Tanjungpinang Kota terdapat 53 cagar budaya, di kecamatan Tanjungpinang Timur terdapat 7 cagar budaya, di kecamatan Tanjungpinang Barat 3 cagar budaya. Dari pendataan, dapat diketahui jumlah bangunan bersejarah yang masuk cagar budaya yang berada di Kota Lama.

Sebagai contoh bangunan bersejarah yang kondisinya terawat baik adalah Gedung Daerah, Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) Bethel atau, yang oleh masyarakat Tanjungpinang acap disebut gereja ayam, Vihara Bahtra Sasana di Jalan Merdeka. Ada juga yang sudah berubah bentuk seperti Masjid Al-Hikmah yang kini jadi masjid agung berlokasi di Jalan Masjid No 1. Masih banyak bangunan bersejarah lain di Kota Lama.

Dalam UU Cagar Budaya juga ada panduan untuk revitalisasi bangunan bersejarah itu. Dalam pasal 80 disebutkan, revitalisasi potensi Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya memperhatikan tata ruang,tata letak, fungsi sosial, dan/atau lanskap budaya asli berdasarkan kajian. Revitalisasi dilakukan dengan menata kembali fungsi ruang,
nilai budaya, dan penguatan informasi tentang Cagar Budaya. Revitalisasi Cagar Budaya harus memberi manfaat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan
mempertahankan ciri budaya lokal.

Hasil revitalisasi dapat digunakan oleh pemerintah daerah. Pasal 85 memuat aturan itu. Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan setiap orang dapat memanfaatkan Cagar Budaya untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata. Pemerintah dan Pemerintah Daerah juga dapat memfasilitasi
pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya yang dilakukan oleh setiap orang. Promosi dilakukan untuk memperkuat identitas budaya serta meningkatkan kualitas hidup dan pendapatan masyarakat. Pemanfaatan yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan wajib didahului dengan kajian, penelitian, dan/atau analisis mengenai dampak lingkungan. (Terbit di Harian Tanjungpinang Pos, 20 Oktober 2016)**