SULAIMAN Sang Mecenas*

0
1784

 Oleh NASRUL HAMDANI, S.S

 

The Malays in this quarter are passionately fond of music. Their most admired tunes are Lagudua, Siam, Chanti Manis Gunong, Mas Mua, Amboyé Sayang, Aya Pasang, Hati Rajah Gunong, Sumbawa China, Teimang Teibang, Samsam, Beraniout, Kuda Langkong, Rajah Beradu, Anak Semang, Timang Kalantan, Minto,Palembang, Malaka, Jawa, Anak Mambang, Dadong, Siack and Batta

(Anderson 1971:291-292)

Sulaiman, kelak menjadi Sultan Sulaiman Shariful Alamshah dari Serdang lahir delapan bulan sebelum ekspedisi militer Belanda menghancurkan Tanjung Balai ibukota Asahan kemudian Rantau Panjang ibukota Serdang. Cerita tentang serangan Belanda tahun 1865 berikut kehancuran ibukota Serdang lama itu tertanam kuat dalam benak Sultan Serdang ke-5 ini, hingga baginya tiada kata damai dengan Belanda.

Pengalaman itu membuat hubungan Sultan Sulaiman dengan para pejabat kolonial termasuk para planters Belanda yang gencar membuka perkebunan tembakau tidak begitu baik. Sultan Melayu di Sumatera Timur yang paling panjang masa pemerintahannya ini tercatat sering ribut dengan pejabat Binnenlandsbestuur (BB) di wilayahnya terutama kalau ada hal yang tidak berkenan dengan hati maupun kebijakannya.

Ketidaksenangan pada Belanda ditunjukkan secara terbuka sejak ditabalkan menjadi Sultan Serdang pada usia belasan. Sepanjang 1881-1883, Sulaiman yang masih dalam perwalian sang paman, Tengku Raja Muda Mustafa berulang kali menempatkan laskar di Denai, Percut dan Sei Tuan sebagai protes atas pencaplokan wilayahnya itu. Penetapan tapal batas antara Serdang dengan Deli pun berulang kali diributkannya.

Keributan demi keributan yang disulut Sultan Sulaiman sepanjang  pemerintahannya memaksa Batavia turun tangan juga. Satu Brigade Koninklijk Nederlands Indië Leger (KNIL) disiagakan di Perbaungan selama 1931-1936 menggantikan tugas-tugas unit Gendarme di kota itu. Kedekatan sang sultan dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional merupakan satu alasan menekan mertua Tuanku Mahmud, anggota Volksraad asal Aceh ini.

Menjelang invasi Jepang, Brigade KNIL ini kembali lagi untuk melancarkan simulasi tempur di Istana Darul Arif setelah Sultan Sulaiman menolak turut serta dalam Spitfire Fonds (1939). Komite Spitfire Fonds berusaha menghimpun dana dari para kepala pemerintahan swapraja untuk membeli pesawat tempur canggih buatan Inggris, Supermarine Spitfire sebagai persiapan Belanda menghadapi Jerman di front Eropa.

Sekelumit cerita dari rentetan masalah dengan pejabat kolonial telah menunjukkan siapa Sultan Sulaiman. Tidak ada yang mampu menghentikan polah zelfbesturder ini yang enteng saja berkata ‘saya lupa!’ atau ‘bila pula saya mengatakannya?’ kepada para pejabat kolonial yang menagih janjinya atau ingin mendengar pernyataannya. Putra Mahkota Serdang yang keras itupun tidak. ‘Tidak mudah mengajuk hatinya  tulis Hamka dalam bukunya ‘Kenang-kenangan Hidup’ ketika membesuk Sultan Sulaiman yang gering tahun 1937 di Perbaungan.

Kesan ‘keras’ atau ‘aneh’ yang dilekatkan pejabat kolonial pada Sultan Sulaiman pasti luntur jika orang-orang mengetahui bakat dan kegemarannya. Minat sang sultan pada musik, mendengar nyanyian ditambah perhatiannya pada perkembangan tarian dan stamboel telah menjadi sesi tersendiri yang menunjukkan wajah lain dengan nuansa kelembutan pada sosok raja yang masih dikenang kawulanya hingga kini.

Bakat dan minat Sultan Sulaiman pada musik dan nyanyian itu tidak muncul begitu saja. Bakat dan minat yang mengantarkannya menjadi pemain biola itu terikat kuat dengan lingkungan kesejarahan Serdang. Suasana di Kampung Besar dan Rantau Panjang, dua ibukota Serdang sebelum Perbaungan dicatat sebagai millieu ideal bagi tumbuh kembangnya beragam seni pertunjukan Melayu kontemporer pada masa sesudahnya.

John Anderson, setiausaha Gubernur Prince of Wales II di Pulau Pinang mengabadikan suasana di Kampung Besar Serdang dalam catatan harian yang kemudian diterbitkan menjadi buku rujukan utama bagi pengkaji Melayu di Pantai Timur Sumatera terutama sebelum Inggris dan Belanda membagi ‘Dunia Melayu’. Buku Anderson itu diterbitkan dengan tajuk Mission to the East Coast of Sumatra in MDCCCXXIII.

Catatan yang menjadi dasar rekomendasi Anderson kepada atasannya itu tidak saja berisi keterangan rinci mengenai keadaan politik, sosial dan ekonomi di Langkat, Deli, Serdang dan Asahan sebelum penjajahan. Anderson menyuguhkan suatu panorama ekologi, keadaan demografi dan etnografi tentang orang Melayu, Kataran (Hataran, mungkin Simalungun) serta Karau-karau (Karo) berikut ciri, karakter dan kegemaran mereka.

Dari dokumentasi itu terkuaklah ragam dan perkembangan kesenian Melayu di Pantai Timur Sumatera yang dianggap Belanda belum penting. Dalam kalimat pembuka di atas, Anderson yang fasih berbahasa Melayu itu mencatat lebih dari 20 judul lagu Melayu populer yang dinyanyikan masyarakat Melayu di kawasan itu termasuk Serdang.

Sejumlah lagu Melayu yang diabadikan Anderson itu menjadi lagu Melayu sepanjang masa. Lagu itu terus didendangkan masyarakat, digubah dan dijadikan lagu pengiring ronggeng serta tari Melayu populer yang geraknya dibakukan setelah Indonesia merdeka. Kegemaran dan hasrat orang Melayu pada musik inilah yang memberi kesan tersendiri pada setiausaha dari Pulau Pinang itu.

Selain itu, kawula Serdang berbeda dengan yang lain. ‘I Observed no one smoking opium at Sirdang and I believe the inhabitants are quiet, abstemious, inoffensive people, entirely engaged in agriculture and commerce’, tulis Anderson. Ketika seseorang di Serdang jatuh sakit. ‘I was much impressed by this amiable traits in the character of the Sirdang people and by their lively sensibility’ lanjut Anderson.

Kesinambungan kesenian Melayu mengalami transisi penting ketika Belanda resmi menjadi ‘tuan’ atas kerajaan-kerajaan Melayu di Pantai Timur Sumatera, menggantikan peran Siak dan Aceh yang kian lemah. Pertuanan yang berarti penjajahan itu berarti berlangsungnya penetrasi budaya dan penataan. Penataan ini secara langsung ataupun tidak langsung turut mendorong pelembagaan kebudayaan Melayu.

Dalam masa penataan yang berlangsung hingga Perang Dunia II itu ragam kesenian yang berkembang di masyarakat ‘dibawa’ dan dijadikan bagian dari istana Serdang. Lagu-lagu Melayu yang umum didendangkan digubah dan dikukuhkan sebagai kesenian Melayu. Demikian pula dengan seni tradisi Melayu lainnya. Geri yang dilenggangkan sebagai ronggeng, tari atau gerakan ritmis lain pun mendapatkan tempatnya.

Sultan Sulaiman, pemain sekaligus salah satu pemilik biola legendaris buatan Antonio Stradivari menjadi sosok utama dalam pelembagaan kesenian Melayu di Serdang itu. Bakat dan minat beliau pada kesenian serta jabatannya menjadi nilai tambah dalam proses yang memperkuat kedudukan Serdang serta adat resam Melayu di Sumatera Timur dalam konstelasi politik kebudayaan kolonial.

Dalam proses inilah, istana Serdang menjadi ‘jambangan’ bagi kebudayaan Melayu Sumatera Timur. Setelah Istana Darul Arif rampung tahun 1896, Sultan Sulaiman mewajibkan putra-putrinya serta anak-anak kawulanya yang mengabdi di istana belajar musik, nyanyian dan tarian selain belajar formal. Istana yang dibumihanguskan ketika Agresi I inilah soko guru perkembangan kesenian Melayu di Sumatera Timur hingga tahun 1950-an.

Anak lelaki pertama Sultan Sulaiman, Tengku Rajih Anwar (1900-1960), yang kemudian didaulat sebagai Putra Mahkota Serdang, dikenal oleh khalayak sebagai penari, peronggeng, pesilat dan pesepakbola. Seperti sang ayah, Anwar yang salah satu istrinya adalah peronggeng terkemuka di Serdang pun mewajibkan adik, putra-putri serta kemenakannya berkecimpung dalam bidang yang digelutinya itu.

Paruh pertama tahun 1950-an salah seorang anak Anwar, Tengku Nazly mendirikan Nazly Group di Medan. Kelompok inilah yang menampilkan Tari Serampang XII untuk pertama kali di panggung Eropa dan Asia Timur bersama melanglang buana dengan kelompok kesenian dari provinsi lain di Indonesia dalam Misi Kebudayaan Indonesia yang gencar mengenalkan Indonesia sampai tahun 1962.

Dua band bergaya Hawaiian, Sircombo dan Tropicana merupakan bagian kreatif dari perkembangan kesenian yang berintikan keluarga bangsawan Serdang. Adiknya, Tengku Lukman menjadi penggebuk drum sedangkan anaknya yang lain Tengku Sita menjadi penyanyi utama kelompok band itu. Tropicana Band sempat merilis album dalam keping piringan hitam yang direkam di studio Lokananta, Solo.

Kesinambungan kiprah orang-orang dari Serdang dalam kesenian masih berlangsung sampai kini. Bangsawan maupun kawulanya identik dengan kegiatan kebudayaan itu, sebagai penari, penyanyi atau pemain musik. Seperti Sauti, penggubah Tari Serampang XII. Seperti dituturkan seorang anaknya, bakat bermusik, mencipta lagu serta keahlian Sauti dalam menari tumbuh dan berkembang di istana Serdang, tempat ibunya, Semah bekerja.

Sebelum Sauti, masyarakat sudah mengenal Seri Indera Ratu, kelompok sandiwara keliling dari Serdang yang dikenal dengan sebutan bangsawan atau stamboel. Teater yang didirikan Sultan Sulaiman pada peralihan abad lebih populer di Semenanjung Malaya, Batavia dan Surabaia. Selain menjadi wahana ekspresi seni pemiliknya, Seri Indera Ratu pun menjadi wahana ekspresi politik Sultan Sulaiman, sosok yang dicap eigenardig person oleh pejabat kolonial.

Saat stamboel ini ‘pulang kampung’ saat itulah Serdang menjadi panggung tunggal bagi Seri Indera Ratu. Dari panggung di tengah tanah lapang istana titah, pesan dan kritik Sultan Sulaiman pada pemerintah kolonial diselipkan dalam cerita. Kekesalan Sultan Sulaiman seolah tumpah dalam panggung stamboel. Kerja rodi, soal belasting atau konsesi dikemas apik menjadi cerita yang membuat penonton tertegun atau terkekeh-kekeh.

Ketika stamboel memasuki senjakala Sultan Sulaiman membentuk Brass Band Sultan Serdang. Kelompok musik yang dicirikan alat musik berbahan kuningan bertahan hingga Jepang datang. ketika Indonesia merdeka, sebagian besar personil kelompok musik ini menduduki jabatan penting dalam Korps Musik Tentara Republik Indonesia (TRI), Radio Republik Indonesia (RRI) dan lembaga kebudayaan (kesenian) yang dikelola pemerintah.

Seni tradisi mendapat perhatian sendiri. Tidak terhitung berapa Gulden dihabiskan sang sultan untuk beragam festival dan kelompok ronggeng Melayu yang dibedakan jelas dengan ronggeng di perkebunan yang bernuansa erotik. Teater tradisi Makyong dan Mendu dari Kedah dan Siam, Calti dari India Selatan pun berkembang sebagai bagian dari khasanah kesenian Serdang. Pemukim Jawa dan Banjar pun didukung untuk mengembangkan kesenian masing-masing.

Sultan Sulaiman tidak pernah mendengar kiprah seniman Serdang setelah Indonesia merdeka. Namun memilih berdiri bersama Republik ketika gering menggerogoti tubuhnya, sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan keinginannya pada kebebasan dan kemerdekaan. Sultan Sulaiman mangkat 13 Oktober 1946. Atas jasanya selama masa kolonial, TRI memakamkan jenasahnya secara militer di kompleks Mesjid Raya Sulaimaniyah Perbaungan.

Dalam peringatan Hari Pahlawan 2011, Sultan Sulaiman Shariful Alamshah dianugerahi Bintang Mahaputera Adipradana oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara. Bintang penghargaan tertinggi untuk sipil ini diterima oleh salah satu cucunya, Prof. Dr. T. Silvana Sinar, seorang seniman tari sekaligus akademisi yang merupakan mata rantai kesinambungan tradisi kesenian Serdang.

 

* Mecenas (Spanyol) disebut juga patron of arts yang merujuk pada seseorang yang secara berkesinambungan memberikan dukungan, semangat, perlakuan istimewa sekaligus dukungan finansial kepada seniman atau kelompok seniman untuk mengembangkan kegiatannya.