Jakarta punya banyak cerita, kemarin, hari ini, dan esok cerita itupun akan terus berlanjut. Hampir tidak ada satupun indera mayoritas anak bangsa yang dapat teralihkan dari cerita “Jakarta Hari Ini”. Sepasang mata dan sepasang telinga telah termantera oleh cerita Jakarta. Ia ibarat lampu suar yang akan selalu menghipnotis setiap serangga yang melihat kepadanya. Dialah jantung dari Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta.

Secara nasional Jakarta telah mendapatkan panggung tersendiri. Sepatutnya panggung ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk menunjukkan wajah asli bangsa ini dari berbagai sisi. Berharap mendapatkan pertunjukan sekelas teater dunia yang biasa dipertunjukkan di Broadway atau Esplanade, malah yang didapat adalah pertunjukan musik pinggiran sekelas “Keyboard Mak Lampir” dari Perbaungan.

Kisruh politik, senyuman manis para koruptor yang saban hari menyapa kita, cerita toleransi yang sudah tak dapat kita bedakan lagi dengan telorasin, cerita si fulan yang bercerai dengan si fulanah, dan berbagai cerita lainnya yang membuat perut mual, memuakkan sebagaimana pertunjukan “Keyboar Mak Lampir”.

Sebegitu kejamnya media kapitalis yang menyogok paksa kita untuk mengkonsumsi sesuatu yang sebenarnya tidak ingin kita konsumsi. Kita terpaksa mengkonsumsi semua sisi yang tak penting dari ibu kota Jakarta hingga kita menjadi bangsa yang sakit.

Sebenarnya banyak sisi lain dari ibu kota yang dapat kita beritakan kepada khalayak. Ribuan bahkan bisa ratusan ribu sisi yang bermanfaat yang bisa kita beritakan. Memberitakan cerita dan kabar yang dapat membuka dan menambah wawasan kita. Bahkan bisa menambah rasa kebanggaan sebagai sebuah bangsa.

Sobat budaya, pada artikel kali ini kita mencoba bercerita tentang satu sisi dari ibu kota Jakarta, Museum Kebangkitan Nasional. Kita tidak akan membahas tentang  museumnya ataupun koleksi apa saja yang terpapar di museum ini. Fokusnya lebih kepada sekelumit cerita sejarah yang membalut (melatari) gedung yang terletak di Jl. Abdul Rahman Saleh No. 26 ini.

Gedung museum ini merupakan bekas gedung STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) atau Sekolah Dokter Bumiputra pertama yang merupakan penyempurnaan pendidikan kedokteran Sekolah Dokter Jawa yang berdiri pada tahun 1851 di Rumah Sakit Militer/Weltevreden. Lokasinya tepat berada di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto saat ini, masih bersebelahan dengan gedung STOVIA. Baru pada 1 Maret 1902 STOVIA resmi dipindah ke bangunan gedung baru yang saat ini telah menjadi Museum Kebangkitan Nasional.

Sebelum diresmikan menjadi Museum Kebangkitan Nasional dan dikelola langsung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, gedung STOVIA ini merupakan museum yang dikelola oleh Pemprov. DKI. Jakarta. Di dalamnya terdapat empat museum sekaligus yakni Museum Pers, Museum Wanita, Museum Kesehatan, dan Museum Boedi Oetomo. Kebijakan yang tepat jika pengelolaannya diambil alih oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan diubah menjadi Museum Kebangkitan Nasional.

Di sekolah STOVIA inilah pertama kalinya lahir gerakan kebangsaan yang dipelopori oleh sembilan orang berusia sekitar belasan tahun, bahkan ada yang saat itu masih berusia empat belas tahun. Walau usia mereka masih terbilang belasan akan tetapi pada diri mereka telah tumbuh kepedulian terhadap nasib bangsanya. Kesembilan tokoh tersebut adalah R. Soetomo, Mas Soeleiman, Mas Gondo Soewarno, Mas Mohammad Saleh, Mas Soeradji, R. M. Goembrek, R. Angka Prodjosoedirdjo, Mas Goenawan, dan Mas Soewarno.

Bagaimana dengan kita sobat, kira-kira bagaimana jika seumpama kita membandingkan kondisi mereka dengan kondisi kita pada saat masih berusia belasan tahun. Pastilah kita masih disibukkan dengan urusan bermain, seperti bermain kelereng dan sejenisnya. Tentu seting zaman jugalah yang mempengaruhi kepedulian dan rasa kebangsaan tersebut, akan tetapi jika rasa itu terus dipupuk dan diwariskan sejak usia dini tentu sedikit banyak akan berpengaruh kepada rasa kebangsaan kita sobat.

Sobat budaya, ada satu peristiwa menarik diawal-awal berdirinya pergerakan Boedi Oetomo di STOVIA. Didorong rasa kekhawatiran pemerintah kolonial Hindia Belanda atas gerakan yang diprakarsai oleh R. Soetomo ini, memaksa dewan guru STOVIA pada masa itu melaksanakan rapat untuk mengeluarkan R. Soetomo dari STOVIA. Dengan didorong oleh rasa senasib dan sepenanggungan, mendengar hal ini, seluruh peserta didik di STOVIA melakukan aksi protes di depan ruang dewan guru. Mereka mengancam jika R. Soetomo dikeluarkan dari STOVIA maka mereka juga akan ikut keluar.

Rekonstruksi sidang para guru STOVIA. Kira-kira beginilah gambaran suasana perdebatan para guru STOVIA saat akan memberhentikan R. Soetomo karena aktivitasnya yang menjadi kekhawatiran tersendiri bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sedangkan suasana di luar pada saat itu para siswa STOVIA lainnya sedang melakukan aksi protes. Mereka mengancam jika sampai R. Soetomo diberhentikan mereka semua juga akan berhenti dari STOVIA. Akhirnya aksi ini berhasil menekan dewan guru dan akhirnya R. Soetomo tidak jadi diberhentikan.

Tekanan yang diberikan para siswa STOVIA inipun ternyata berhasil mempengaruhi keputusan dewan guru. Kesimpulan akhir, R. Soetomo tidak akan dikeluarkan dari sekolah STOVIA dan tetap akan mendapatkan hak-haknya sebagai siswa STOVIA hingga beliau menyelesaikan pendidikan dokternya.

Masuk akal jika dewan guru merasakan tekanan tersebut karena para dokter pribumi inilah yang nantinya akan dijadikan sebagai ujung tombak untuk “memerangi” wabah penyakit kelamin yang terjadi saat itu dan telah menimpa kebanyakan kaum pribumi. Dari kabar yang ada kebanyakan pasiennya adalah kaum wanita. Ini akibat merebaknya kegiatan bisnis prostitusi di Batavia saat itu.

Ruangan ini merupakan ruang dewan guru STOVIA yang asli di masa lalu. Jika dilihat dari pola lantainya ruang dewan guru STOVIA ini memang berbeda dengan ruang lainnya yang terdapat di gedung STOVIA. Lantai di ruang dewan guru ini menggunakan lantai bermotif sedangkan ruang yang lainnya hanya memakai lantai polos berwarna abu-abu tanpa motif. Kondisi seperti ini tetap bertahan sejak gedung ini didirikan hinga sampai saat ini. Sekarang ruangan ini dimanfaatkan sebagai ruang untuk menjamu tamu khusus yang berkunjung ke Museum Kebangkitan Nasional. Sebenarnya alangkah lebih baik jika pihak museum menggunakan ruangan ini sebagaimana pada foto sebelumnya yang menunjukkan suasana rapat dewan guru STOVIA.

Selama berada di lingkungan STOVIA, para siswa tersebut akan menempuh pendidikan sekaligus praktek kedokteran selama sembilan tahun hingga dinyatakan lulus. Pada tahun pertama hingga kedelapan mereka diasramakan dalam satu gedung yang suasananya bak barak tentara. Setelah tahun kesembilan barulah mereka memiliki dan menempati kamar pribadi masing-masing.

Salah satu pojok dari Museum Kebangkitan Nasional yang tetap coba dipertahankan oleh pihak museum, asrama para siswa STOVIA doeloe kala. Kalau menurut saya lebih persis seperti barak tentara. Di ruang inilah R. Soetomo beserta kedelapan orang teman seperjuangannya mendirikan organisasi pergerakan Boedi Oetomo. Organisasi pergerakan kebangsaan pertama yang dibentuk oleh para siswa kedokteran pribumi (STOVIA) yang saat itu masih berusia belasan tahun, bahkan ada yang masih berusia 14 tahun. Bagaimana dengan para sarjana lulusan ilmu sosial dan politik hari ini??? Kapan kita perjuangkan bangsa ini di atas track yang lurus???

Ternyata para siswa kedokteran (STOVIA) inilah yang memprakasai gerakan kebangsaan pertama kalinya. Bukan para mahasiswa atau lulusan ilmu sosial dan politik, karena memang pada masa itu sekolah-sekolah dibidang ilmu tersebut memang belumlah ada. Akan tetapi satu hal yang menarik bagi kita sobat budaya, sudah semestinya di masa ini, masa di mana telah banyak universitas-universitas yang telah menghasilkan para sarjana dibidang ilmu sosial dan politik, kondisi bangsa kita harusnya lebih baik lagi. Akan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, mereka yang merupakan lulusan dari fakultas ilmu sosial dan ilmu politik itulah yang justru saban hari menyapa kita dengan senyuman itu, senyuman yang selalu menghiasi headline news media-media para kapitalis yang membuat perut saya dan mungkin juga perut sobat budaya sekalian menjadi mual.

🙂