Sumatera Barat sebagai salah satu wilayah kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat memiliki potensi sumberdaya cagar budaya tak bergerak yang cukup signifikan. Secara administratif, Cagar Budaya di Provinsi Sumatera Barat, terletak di dua kawasan yang berbeda, yaitu kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. Jika dihitung berdasar jumlah situs pada masing-masing kawasan. Jika dilihat dari konsentrasinya, situs di perkotaan mempunyai konsentrasi lebih padat, yaitu dua kali lipat dibanding konsentrasi situs di perdesaan. Tingginya konsentrasi situs-situs di perkotaan terutama di dominasi oleh bangunan-bangunan kolonial, baik berupa benteng, kantor, rumah tinggal, rumah sakit, asrama militer, gudang maupun bangunan peribadahan, yang menunjukkan dengan jelas jejak-jejak budaya atau aktivitas kolonialisme di wilayah tersebut.

Upaya pelestarian yang telah dilakukan dahulu dan sekarang pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu pelestarian demi kepentingan penggalian nilai-nilai budaya dan proses-proses yang pernah terjadi pada masa lalu dan perkembangannya hingga kini serta pelestarian benda cagar budaya karena nilainya terhadap suatu peristiwa sejarah yang pernah terjadi pada masa lalu. Namun seiring dengan usaha pembangunan yang terus berlangsung di negara kita, maka memberi tantangan tersendiri terhadap upaya pelestarian. Pembangunan sering kali berdampak negatif terhadap kelestarian benda cagar budaya. Problem semacam ini muncul dimana-mana terutama di daerah perkotaan. Kegiatan pembangunan tanpa menghiraukan keberadaan benda cagar budaya hingga saat ini masih terus berlangsung. Hal ini tampak dari semakin menurunnya kualitas dan kuantitas benda cagar budaya.

Pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang besar untuk mengatur daerahnya, telah juga ikut serta dalam hal pelestarian benda cagar budaya yang dahulunya dominan dilakukan oleh pemerintah pusat. Di satu sisi ada baiknya bahwa daerah otonom  terlibat dalam pelestarian cagar budaya, karena tidak sedikit biaya yang diperlukan dan tidak cukup ditangani oleh pemerintah pusat. Namun di sisi lain pelestarian cagar budaya oleh pemda selain mementingkan nilai ekonominya juga harus memperhatikan nilai pelestariannya, karena keduanya bisa berjalan secara beriringan.

Nilai intrinsik Cagar Budaya selain mengandung potensi dan nilai akademik maupun edukatif, juga mengandung potensi serta nilai estetika dan eksotika yang dapat dikembangkan untuk mendukung Cagar Budaya sebagai objek wisata. Kandungan inilah yang dapat dijadikan sebagai “ruh” dalam pemanfaatan Cagar Budaya berkaitan dengan kepariwisataan. Keunikan, kelangkaan, kemegahan, keindahan, dan kerumitan karya adiluhung adalah sebagian dari nilai estetik dan eksotik visual Cagar Budaya. Di sisi lain, kandungan makna luhur serta nilai romantika masa lalu menjadi bumbu estetika dan eksotika yang dapat digali sebagai bagian dari substansi publikasi Cagar Budaya untuk pariwisata. Pemanfaatan Cagar Budaya sebagai objek wisata sebenarnya memiliki hubungan yang resiprokal. Artinya, “eskploitasi” Cagar Budaya dan situs seharusnya dapat mendukung aspek pelestarian objek, antara lain dengan menumbuhkan apresiasi pengunjung atas warisan leluhur beserta makna kultural yang dikandungnya.

Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 2010 Pasal 85 ayat menyebutkan (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan setiap orang dapat memanfaatkan Cagar Budaya untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya yang dilakukan oleh setiap orang.

Dalam upaya pengembangan kegiatan pariwisata di lokasi-lokasi Cagar Budaya diperlukan strategi tertentu. Ada beberapa aspek yang harus menjadi perhatian dalam menentukan langkah ke depan dalam pengembangan kegiatan ini. Mulai dari perencanaan, pengambilan kebijakan di tingkat pemerintah daerah, peran serta masyarakat secara langsung dengan memanfaatkan sumber daya dan nilai-nilai kearifan yang dimiliki. Dan konsep penataan lingkungan Cagar Budaya untuk kegiatan pariwisata tanpa menghilangkan aspek pelestarian dan perlindungan.

Pihak yang paling bertanggung-jawab sebagai jembatan yang harus mampu menghubungkan seluruh aspek-aspek dan sumber daya pendukung terintegrasi dalam kegiatan pariwisata adalah pemerintah daerah. Pemerintah daerah harus jeli dalam memahami, memetakan kekuatan dan kelemahan dari sumber daya pariwisata yang mereka miliki. Landasan ini menjadi sebuah kepatutan bagi pemerintah daerah dalam bersikap sebelum mengeluarkan sebuah kebijakan yang menjadi pedoman dalam terlaksananya kegiatan pariwisata. (Dhea Wardani Fitri, Mahasiswa Magang Jurusan Pariwisata Syariah, IAIN Batusangkar di BPCB Sumbar)