Mengungkap Struktur Bata Pada Lemah Duwur Lanang Situs Cibuaya

Latar Belakang

Situs Cibuaya berada di Dusun Pejaten, Desa Cibuaya, Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat yang berjarak kurang lebih 6 km dari garis pantai. Keletakan situs ini berada di tengah-tengah kawasan pertanian sawah irigasi yang diolah sepanjang tahun.

Perhatian arkeologis terhadap Situs Cibuaya dimulai ketika penemuan dua buah arca Wisnu tahun 1951 dan 1957, yang oleh Boisselier kemudian diteliti tahun 1959. Kemudian perhatian lanjutan mengenai kedua arca tersebut dilanjutkan oleh Sutjipto Wirjosuparto dan Edi Sedyawaty tahun 1963. Penelitian arkeologis baru dilakukan tahun 1977 oleh Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (sekarang Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) yang hasilnya menemukan tiga buah runtuhan bangunan di Lemah Duwur Lanang, Lemah Duwur Wadon, dan suatu tempat dengan nama Sektor 3 di Lemah Duwur Lanang. Kemudian dilanjutkan oleh Jurusan Arkeologi FSUI (1984) dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (1992) berhasil menampakkan denah bangunan di situs Cibuaya.

Lokasi Situs

Situs Cibuaya secara administratif berada di Desa Cibuaya, Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat.Secara astronomis terletak pada garis koordinat 107°21’25” Bujur Timur dan 6°5’56” Lintang Selatan.Daerah Cibuaya merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 3 meter dia atas permukaan laut dan berjarak sekitar 6 kilometer dari garis pantai utara Pulau Jawa.

Kondisi geografis Desa Cibuaya yang seluas 438.50 Ha secara administratif berbatasan dengan Desa Jayamulya di utara, Desa Kertarahayu di selatan, Desa Gebangjaya di sebelah timur dan Desa Sukasari di sebelah barat.  Jumlah penduduk Desa Cibuaya sebanyak 1.641 Kepala Keluarga, jumlah penduduk laki-laki sebanyak 2.595 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 2.614 jiwa.

Sebagian besar dataran Cibuaya dimanfaatkan oleh penduduk sebagai lahan sawah basah.Pengairan sawah didapatkan dari saluran irigasi yang membelah kecamatan ini berasal dari Waduk Jatiluhur. Sebagian lagi dimanfaatkan sebagai lahan pemukiman penduduk, termasuk sarana sosial, ekonomi dan budaya seperti pasar, tempat penggilingan padi, kantor KUD, bangunan sekolah-sekolah, masjid, Kantor Kelurahan dan Balai Desa, KUA, dan Kantor Dinas Depdikbud Kecamatan Cibuaya.

Riwayat Penelitian

Situs Cibuaya pertama kali disebut dalam Daftar Inventaris Temuan Purbakala di Jawa Barat pada tahun 1914 oleh NJ Krom (Krom, 1975). Selanjutnya perhatian arkeologis dilakukan oleh Boisselier pada tahun 1959 yang meneliti dua buah arca Wisnu Cibuaya (Boisselier, 1959) yang dilanjutkan oleh Sutjipto Wirjosuparto dan Edy Sedyawati tahun 1963 (Wirjosuparto, 1963).

Penelitian arkeologi secara sistematis baru dilakukan oleh Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (kini menjadi Puslitarkenas) tahun 1977 di Sektor Lemah Duwur Wadon, sekitar 600 meter ke arah barat laut dari Sektor Lemah Duwur Lanang, dan Sektor 1 sekitar 200 meter ke arah barat dari Sektor Lemah Duwur Wadon yang menemukan tiga buah runtuhan bangunan, yaitu Sektor 1, Sektor 2 (Lemah Duwur Wadon), dan Sektor 3 (Lemah Duwur Lanang).

Pada tahun 1984, Fakultas Sastra Universitas Indonesia bekerja sama dengan Puslitarkenas melakukan kegiatan penelitian arkeologi di Situs Cibuaya. Ekskavasi yang dilakukan di Sektor 2 (Lemah Duwur Wadon) dan Sektor 3 (Lemah Duwur Lanang) menghasilkan pengupasan dan penampakkan struktur bata di kedua sektor tersebut. Pengupasan dan penampakkan struktur bata di Sektor 2 berdenah bujur sangkar dengan ukuran 3,5 x 3,5 meter. Berdasarkan runtuhan bata pada sisi timur, dapat diduga bahwa bangunan pada sektor 2 menghadap arah timur. Bangunan Sektor 3 berukuran 9 x 9,6 meter dengan arah hadap ke utara.

Selanjutnya, pada tahun 1992 kembali diadakan penelitian arkeologi oleh Puslitarkenas yang menghasilkan empat buah runtuhan bangunan di Sektor 4, Sektor 5, dan Sektor 6. Kemudian pada tahun 1994, penelitian yang sama dilakukan di Sektor 5 menghasilkan runtuhan bangunan yang berlepa. Lepa tersebut terdapat di dinding runtuhan bangunan terbuat dari campuran kerang laut yang ditumbuk berwarna putih.

Penelitian terakhir pada era tahun ’90 dilakukan oleh Anwar Falah dari Balai Arkeologi Bandung yang berjudul Penelitian (Awal) Kronologi Budaya Situs Cibuaya Karawang – Jawa Barat.Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa diduga kuat wilayah Situs Cibuaya dihuni oleh manusia sejak masa akhir prasejarah (pra-Hindu) (Falah, 1996).

Obyek Cagar Budaya Pada Situs Cibuaya

Berdasarkan hasil penelitian dari tahun 1957, 1977, 1984, 1992 hingga tahun 1994 berhasil diinventarisasi 6 (enam) buah runtuhan bangunan bata di Sektor 1, Lemah Duwur Wadon, Lemah Duwur Wadon, Sektor 4, Sektor 5, dan Sektor 6. Adapun pemerian dari tinggalan budaya tersebut akan dijabarkan hasil dari rangkuman Penelitian (Awal) Kronologi Budaya Situs Cibuaya Karawang – Jawa Barat oleh Anwar Falah (1996) sebagai berikut.

  • Bangunan Sektor 1

Sektor 1 terletak di sebelah barat daya runtuhan bangunan Sektor 2 (Lemah Duwur Wadon) berada di koordinat 107°20’57” Bujur Timur dan 06°02’42” Lintang Selatan. Petunjuk yang ditemukan pada penelitian tahun 1977 yaitu runtuhan dan susunan bata yang masih intak. Akan tetapi, karena aktifitas pertanian dan warga sekitar, bentuk dan denah dari runtuhan bangunan ini sudah tidak dapat dikenali lagi, bahkan kini sudah hilang.

  • Bangunan Sektor 2

Sektor 2 atau Lemah Duwur Wadon terletak di sebelah barat laut Lemah Duwur Lanang dengan jarak sekitar 1500 meter, berada di koordinat 107°21’02” Bujur Timur dan 06°02’58” Lintang Selatan. Penelitian pada tahun 1977 berhasil menampakkan struktur bangunan bata berukuran 3,5 x 3,5 meter dan penelitian tahun 1984 berhasil menemukan sebaran sejumlah batu kali yang terletak di bawah sebaran bata. Selain itu, ditemukan juga lapisan tanah yang terdapat di sekitar sebaran batu kali sedikit berbeda dengan lapisan tanah yang ada di sebaran bata.

  • Bangunan Sektor 3

Sektor 3 atau Lemah Duwur Lanang berada pada koordinat 06°03’27” Lintang Selatan dan 107°21’34” Bujur Timur.Situs ini berupa bangunan bata berbentuk persegi berada di atas unur atau gundukan tanah. Penelitian tahun 1984 berhasil mengupas sisi bangunan dan mendapatkan denah bangunan berukuran 9 x 9,06 meter. Di atas bangunan bata ini tertancap sebuah batu berbentuk silinder yang diyakini sebagai batu lingga.

  • Bangunan Sektor 4

Sektor 4 berjarak kurang lebih 50 meter ke arah tenggara dari Sektor 2, berada pada koordinat 107°21’24” Bujur Timur dan 06°02’54” Lintang Selatan. Keadaan permukaan tanah datar, tapi dulunya merupakan gundukan tanah seperti Lemah Duwur Lanang dan Wadon.Dikarenakan aktifitas pertanian oleh warga sekitar, gundukan tanah itu kini telah rata dengan permukaan tanah sekitarnya. Penelitian yang dilakukan pada tahun 1992 menampakkan sebaran bata, namun bentuk dan denah dari sektor ini tidak dapat diketahui.

  • Bangunan Sektor 5

Sektor 5 berjarak kurang lebih 400 meter ke arah tenggara dari Sektor 2 (Lemah Duwur Wadon) berada di koordinat 107°21’16” Bujur Timur dan 06°02’42” Lintang Selatan. Di situs ini terdapat dua buah bangunan bata, yang pertama ditemukan pada penelitian tahun 1992 berhasil menemukan dinding bangunan berdenah segi empat berukuran 4,35 x 4,45 meter. Dinding utara, timur dan selatan dapat ditampakkan dengan baik sejumlah 13 lapis bata sedangkan di barat sudah rusak.Selain itu nampak juga bekas lepa yang masih menempel pada dinding tersebut. Bekas-bekas lepa tersebut berwarna putih terbuat dari hancuran kerang dan tebalnya 0,5 cm. Tanahnya juga mengandung hancuran lepa, sehingga tanah galian berwarna hitam bercampur putih dengan tekstur kasar.

Bangunan kedua ditemukan pada penelitian tahun 1994, letaknya berada 5,5 meter arah barat laut dari bangunan pertama. Sisa bangunan yang ditemukan berdenah bujur sangkar dengan ukuran 4,4 x 4,8 meter membujur arah utara-selatan. Selain itu ditemukan juga fragmen kepala arca, lepa bermotif dan sebuah manik.

  • Bangunan Sektor 6

Sektor 6 terletak 400 meter arah tenggara dari Sektor 2 (Lemah Duwur Wadon) berada pada koordinat 107°21’08” Bujur Timur dan 06°02’47” Lintang Selatan. Sektor ini berupa sebidang tanah yang lebih tinggi 0,4 meter dari permukaan tanah sekitarnya dan berukuran 4 x 8 meter membujur arah barat-timur. Keadaan sektor ini sudah rusak dikarenakan aktifitas pertanian oleh warga sekitar sehingga ukuran dan denah situs tidak bisa dipastikan.Bata-bata dari sektor ini banyak dimanfaatkan warga sekitar untuk pembangunan pemukiman dan pematang sawah.Berdasarkan hasil pengukuran, bangunan ini membujur arah tenggara-barat laut dengan kemiringan 15°.

  • Batu Pipisan

Batu pipisan berjumlah 8 (delapan) buah ditemukan warga sekitar Desa Pejaten di dekat terusan irigasi pada tahun 1947/1948.Selanjutnya batu pipisan kembali ditemukan di satu tempat berjumlah 14 buah.Bentuk dari batu pipisan tersebut memiliki bidang rata pada permukaannya dan kaki pada bawahnya serta terbuat dari batu andesit.

  • Lumpang Batu dan Batu Bergores

Lumpang batu ditemukan pada tahun 1984 pada saat survey di Desa Krajan Cibuaya pada rumah serang penduduk. Kemudian survey selanjutnya tahun 1996 kembali ditemukan lumpang batu di halaman rumah seorang warga dekat Pasar Cibuaya.Selanjutnya, tidak jauh dari lokasi ditemukannya lumpang batu tahun 1996, ditemukan batu andesit bergores berukuran 60 x 80 x 20 cm dengan posisi mendatar insitu. Batu bergores tersebut memiliki banyak sekali goresan yang memenuhi seluruh permukaan batu.

  • Arca Wisnu Cibuaya I

Arca Wisnu Cibuaya I ditemukan oleh Alm.Bapak Warsinah ketika dilakukan penggalian sumur di wilayah Kecamatan Pedes pada tahun 1951.Arca tersebut berukuran tinggi 63 cm dalam sikap berdiri (samapada-sthanaka) dan bertangan empat. Dari hasil penelitian ikonografi terhadap atribut yang terdapat pada keempat tangan yaitu sangkha pada tangan kiri belakang, benda bulat pada tangan kiri depan, gada pada tangan kanan depan dan cakra pada tangan kanan belakang. Seni hias arca ini menunjukkan ciri seperti arca-arca dari gaya Pallawa (Mamallapuram) dari abad ke 7 atau 8 Masehi dan diperkirakan Arca Wisnu Cibuaya I berasal dari abad 8 atau 9 Masehi. Saat ini arca tersebut berada di Museum Nasional Jakarta (Ferdinandus. 1996).

  • Arca Wisnu Cibuaya II

Arca Wisnu Cibuaya II diserahkan oleh Bapak Saryu kepada Dinas Purbakala RI pada tahun 1957.Arca tersebut berukuran tinggi 48 cm dengan sikap berdiri dan bertangan empat.Dari hasil penelitian ikonografi terhadap atribut yang terdapat pada keempat tangan yaitu tangan kanan depan memegang benda bulat, kanan belakang memegang cakra, tangan kiri depan memgang gada dan kiri belakang memegang cakra. Bahan arca yang berupa batu hitam dipoles menunjukkan ciri-ciri Pala di Bihar dan Bengal (India Utara), diperkirakan arca ini berasal dari abad ke 9 Masehi.Saat ini arca tersebut berada di Museum Nasional Jakarta (Ferdinandus, 1996).

Ekskavasi Situs Cibuaya

Lokasi pada kegiatan ekskavasi berada pada situs Lemah Duwur Lanang (Lemah: Tanah, Duwur: Tinggi, Lanang: Laki-laki) atau Unur Lanang Situs Cibuaya yang secara astronomis berada di titik koordinat 06°03’27” Lintang Selatan dan 107°21’34” Bujur Timur. Luas situs 3.273 meter persegi dengan ketinggian kurang lebih 3 meter dari permukaan laut. Di situs ini terdiri dari gundukan tanah (unur), struktur susunan bata, batu tegak yang diindikasikan sebagai batu lingga yang menancap di atas struktur susunan bata, dan sebuah kolam bekas rawa yang oleh masyarakat sekitar disebut Kobak Duwur Lanang.

Situs Lemah Duwur Lanang berada di tengah-tengah area persawahan. Di situs ini terdapat 3 buah pohon kepuh dan sebuah pohon kosambi. Kemudian di selatan struktur susunan bata terdapat pemakaman yang umurnya lebih muda dibandingkan usia bangunannya (FSUI, 1984). Hampir keseluruhan dari kuburan-kuburan tersebut menggunakan nisan yang terbuat dari bata yang berasal dari struktur susunan situs.

Struktur susunan bata Situs Lemah Duwur Lanang memiliki denah berbentuk persegi panjang berukuran 9 x 9.6 meter dengan tinggi kurang lebih 2 meter dari permukaan tanah sekitarnya. Di bagian puncaknya terpancang sebuah batu andesit berbentuk silinder dengan tinggi 1,11 meter dan bergaris tengah 0,4 meter. Menurut Anwar Falah, peneliti dari Balai Arkeologi Bandung dalam penelitiannya berjudul Penelitian (Awal) Kronologi Budaya Situs Cibuaya Karawang (1996), batu andesit berbentuk silinder tersebut merupakan batu lingga yang tidak sempurna bentuknya, karena hanya terdiri dari dua bagian saja, yaitu bagian berbentuk segi empat (Wisnubhaga) dan bagian berbentuk bulat (Rudrabhaga).

Lingkungan sekitar situs berupa area persawahan yang luas dan pemukiman penduduk. Tidak ditemukan indikasi adanya dataran tinggi sejauh mata memandang dari situs ini. Di sebelah utara terdapat saluran irigasi dan Situs Lemah Duwur Wadon, di sebelah barat terdapat saluran irigasi dan Sungai Cibuaya yang kini tidak berfungsi lagi. Sebelah selatan terdapat Sungai Cigalumpang dan di sebelah timur area persawahan sejauh mata memandang.

Penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1984 telah memberikan data tentang pengupasan di pinggir struktur susunan bata dan hipotesis berupa struktur susunan ini merupakan bangunan suci agama Hindu. Hal ini dapat diketahui karena batu yang disebut batu lingga itu merupakan objek pemujaan agama Hindu (FSUI, 1984). Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional tahun 1992 memberikan data tentang pola persebaran situs-situs di Cibuaya.

Saat ini di Unur Lanang Situs Cibuaya ditanami tanaman palawija seperti singkong, cabai, tomat, dan lainnya. Pemanfaatan lahan yang dilakukan di dekat struktur susunan bata ini tidak mengancam kelestarian situs, namun dalam melakukan penggarapan lahan sangat riskan karena terjadi proses pengadukan tanah. Maka dari itu, penataan situs harus segera dilakukan.

Lemah Duwur Lanang
Lemah Duwur Lanang

 

Ekskavasi adalah salah satu metode pengumpulan data melalui pengupasan tanah secara sistematis untuk menemukan suatu atau himpunan tinggalan arkeologi dalam keadaan insitu. Data yang diperoleh melalui kegiatan ekskavasi sangat penting karena data di bawah permukaan tanah pada umumnya dalam kondisi preservasi yang baik dan tidak terlalu teraduk dibandingkan dengan data di permukaan tanah. Melalui ekskavasi ini para arkeolog berusaha membuka kembali “rekaman” kehidupan manusia masa lalu lewat sisa-sisa aktivitasnya masih terawetkan sampai sekarang. Dengan memperhatikan aspek-aspek perubahan data atau proses transformasi yang pernah dialami oleh data tersebut sejak terdeposisi sampai ditemukan kembali melalui kegiatan ekskavasi.

Tujuan utama ekskavasi adalah untuk memperoleh dan mengumpulkan data arkeologi yang semula terpendam di dalam lapisan tanah dengan memperhatikan minimal tiga dimensi pokok yang dimiliki, baik oleh masing-masing bentuk data maupun himpunan data. Ketiga dimensi yang harus diperhatikan dalam ekskavasi meliputi dimensi bentuk (form), ruang (spasial) dan waktu (time) (Spaulding, 1971).

Kegiatan ekskavasi pada kali ini membuka 5 kotak, antara lain di sisi utara satu buah kotak, timur satu buah kotak, selatan satu buah kotak, dan barat daya dua buah kotak.

Selama kegiatan ekskavasi temuan arkeologis hanya pada kotak sisi selatan (kotak S3B3) dan sisi barat daya dari temuan struktur bata yang berada di Lemah Duwur Lanang. Pada kotak sisi selatan terdapat temuan adanya lapisan tanah yang bercampur dengan pecahan bata yang memiliki orientasi utara – selatan. Lapisan tanah bercampur bata ditemukan pada kedalaman ± 100 cm dari permukaan tanah. Lapisan tersebut memiliki dimensi panjang ± 25 cm, lebar ± 18 cm, dan tinggi ± 10 cm. Pada dua buah kotak yang berada di sisi barat daya (kotak S1B4 dan S2B4) terdapat adanya temuan struktur bata.

Pada kotak S1B4 hingga kedalaman ± 70 cm dari permukaan tanah ditemukan lapisan bata yang berjumlah tujuh buah lapis bata dari struktur susunan bata yang berada di permukaan tanah. Kondisi susunan bata tersebut cukup baik namun kebanyakan sudah lapuk dan rusak, posisinya melesak sehingga terlihat keluar dari barisan. Selain itu, banyak akar-akar dari tanaman yang tumbuh di sela-sela susunan bata. Pengupasan yang telah dilakukan Tim Penelitian Situs Cibuaya Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1984 nampaknya tidak sampai ke titik kotak ekskavasi ini karena tanah tidak teraduk. Selain itu pada bagian bawah susunan bata tujuh lapis tersebut terdapat lapisan tanah lempung bercampur hancuran bata (nampak seperti kerikil bata) yang padat, tebalnya antara ± 10 – 15 cm.

temuan struktur bata pada kotak S1B4

temuan struktur bata pada kotak S1B4

Sedangkan pada kotak S2B4 hingga kedalaman ± 40 cm dari permukaan tanah ditemukan sudut struktur susunan bata setebal empat buah lapis bata. Kondisinya sama seperti yang terdapat di kotak S1B4, sudah banyak bagian dari bata tersebut yang rusak dan terlepas dari susunannya dan di bawah susunan bata tersebut terdapat lapisan tanah lempung bercampur pecahan bata yang padat sama seperti yang terdapat pada kotak S1B4 dengan tebal lapisan antara ± 10 – 15 cm

temuan struktur bata pada kotak S2B4
temuan struktur bata pada kotak S2B4

Analisis Ekskavasi

Berdasarkan hasil ekskavasi tersebut, sebaran dan lanjutan struktur serta runtuhan bata tidak jauh dari objek situs. Hal ini mengindikasikan bahwa struktur bata yang ada di Situs Lemah Duwur Lanang dulunya bukanlah sebuah bangunan atau struktur yang besar. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh FSUI pada tahun 1984 yang menyatakan bahwa susunan bata tersebut adalah sebuah bangunan suci agama Hindu, yang didasarkan kepada sebuah batu andesit silinder yang tertancap di tengahnya dianggap sebagai lingga.

Sedangkan batu andesit silinder yang menancap di tengah objek situs juga dapat dipertanyakan kembali keberadaannya. Menurut penuturan beberapa warga sekitar yang usianya telah lanjut, bahwa batu berbentuk silinder tersebut ditemukan di aliran Sungai Cibuaya yang kini telah mati dan beberapa orang memindahkannya di situs ini. Setelah memindahkan, kemudian batu itu ditancapkan di atas objek struktur bata. Penancapan batu tersebut tidak simetris berada di tengah struktur bata, tapi letaknya agak ke selatan dari tengah. Jadi, bisa dikatakan bahwa “lingga” yang menancap di struktur bata bukan bagian asli dari objek situs, dan struktur bata di Situs Lemah Duwur Lanang belum dapat dipastikan sebagai tempat suci agama Hindu.

Kesimpulan

Dengan dilakukannya kegiatan ekskavasi pada Situs Lemah Duwur Lanang Cibuaya, Kabupaten Karawang, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.

  • Struktur bata situs ini diperkirakan/diduga bukan merupakan tinggalan sebuah bangunan. Hal ini didasarkan atas sebaran runtuhan bata yang tidak jauh dan tidak ditemukannya fondasi dari struktur bata tersebut. Lapisan bata yang tertutup lapisan tanah permukaan hanya sejumlah 7 (tujuh) lapis, dan diperkirakan bukan sebuah fondasi.
  • Struktur bata belum dapat dikatakan sebagai bekas bangunan pemujaan agama Hindu. Batu andesit silinder yang diduga sebagai lingga sebagai penanda struktur ini adalah candi keberadaannya dapat dikoreksi karena batu tersebut ditemukan di aliran Sungai Cibuaya dan dibawa ke situs.
  • Belum dapat dipastikan struktur bata di situs ini memiliki asosiasi dengan suatu agama atau kepercayaan tertentu, namun dapat dipastikan struktur bata ini merupakan tempat yang disucikan pada masanya karena tempatnya yang lebih tinggi dari sekitarnya.