STUDI KELAYAKAN ARKEOLOGI BEKAS PELABUHAN BULELENG KELURAHAN KAMPUNG BUGIS, KECAMATAN BULELENG, KABUPATEN BULELENG, PROVINSI BALI

0
3067

PL 3Latar

Bali merupakan salah satu wilayah kepulauan Indonesia  yang kaya akan berbagai sumberdaya arkeologi yang terdapat hampir di seluruh pelosok wilayahnya. Tinggalan arkeologi merupakan sumber informasi yang mengandung pesan dan kesan yang merupakan produk warisan nenek moyang dilandasi oleh pengetahuan, teknologi, tradisi dan kehidupan spiritual masa lampau yang penting dalam kepribadian suatu bangsa, karena tinggalan arkeologi khususnya yang berupa tinggalan material atau benda-benda budaya memegang peranan penting dalam proses kehidupan manusia. Dalam tinggalan material   terkandung nilai-nilai luhur yang berhubungan dengan ideologi, teknologi, sosiologi dan lain-lain. Nilai–nilai luhur tersebut  harus dijaga kelestariannya demi kepentingan  generasi penerus  karena nilai-nilai luhur yang diwariskan nenek moyang, sangat penting sebagai cermin kehidupan masa kini yang dapat menjaga ketahanan nasional bangsa  yakni  persatuan dan kesatuan bangsa serta memiliki arti penting bagi sejarah,   ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

Arkeologi dewasa ini mencoba melirik budaya hidup  yang berlanjut dari masa lalu untuk dijadikan suatu data perbandingan dalam menarik berbagai eksplanasi mengenai masa lalu manusia. Indonesia dengan kemajemukan latar belakang, etnis, kepercayaan dan agama, lintas sejarah serta budaya sangat memungkinkan untuk dijadikan acuan dalam mencari benang merah penghubung kebudayaan masa lalu, sebab sebagian dari masyarakat kita masih memiliki pola hidup sederhana yang merupakan kelanjutan pola hidup masa lalu (Hakim, 1997).

Satu dari budaya hidup yang berupa tinggalan arkeologi di Bali yang sampai saat ini masih dimanfaatkan untuk menigkatkan kesejahteraan masyarakat adalah kawasan Pelabuhan Buleleng. Pelabuhan Buleleng merupakan kawasan yang berada dalam kekuasaan Kerajaan Buleleng. Dalam tata ruang tradisional Bali, kawasan pelabuhan yang berada di daerah pantai utara Buleleng dianggap sebagai kawasan nista (kotor). Keberadaan pemukiman di kawasan Pelabuhan Buleleng dimulai pada abad ke-17, ketika pelaut Bugis dari Makasar datang ke tempat ini. Hubungan yang baik dengan pihak Kerajaan Buleleng dan penduduk pribumi membuat orang-orang Bugis tersebut diberikan lahan bermukim di daerah pantai utara Buleleng yang pada perjalanannya  berkembang menjadi Pelabuhan Buleleng. Selain menjadi nelayan, keberadaan orang-orang Bugis di wilayah ini juga dimanfaatkan oleh Raja Buleleng sebagai armada laut karena keahlian mereka melaut.

Perkembangan selanjutnya pada saat pemerintah Hindia Belanda menguasai Pulau Bali pada tahun 1846 dan menjadikan Kota Singaraja sebagai pusat pemerintahan di Bali, maka dibangunlah berbagai fasilitas kota, termasuk diantaranya adalah Pelabuhan Buleleng. Selain membuat pelabuhan Pemerintah Hindia Belanda juga membuat jalan utama baru menuju pelabuhan. Keberadaan jalan ini telah mempengaruhi tata ruang tradisional Buleleng, yaitu mengubah akses kota yang berpusat pada catus pata (perempatan agung) menjadi kantor Pemerintah Hindia Belanda. Keberadaan tata kota yang baru ini memudahkan Pemerintah Hindia Belanda untuk dapat memantau aktivitas di pelabuhan.

Pelabuhan Buleleng pada masa Pemerintahan Hindia Belanda merupakan pintu gerbang utama Pulau Bali. Berbagai fasilitas pelabuhan dibangun, seperti : dermaga, gedung, terminal, kantor pabean, jembatan yang menyeberangi Sungai Buleleng dibangun di kawasan ini. Pesatnya pertumbuhan kawasan pelabuhan membuat perkampungan nelayan Bugis bergeser dari kawasan ini, kawasan pelabuhan diutamakan sebagai kawasan pergudangan untuk distribusi barang. Aktiftas yang ramai di Pelabuhan Buleleng memberi pengaruh pada kawasan di sekitar pelabuhan yang mulai menjadi kawasan perdagangan. Deretan pertokoan mulai bermunculan di kawasan ini, sebagai sarana jual beli barang distribusi pelabuhan. Pertokoan ini sebagian besar dimiki oleh kaum dari etnis China, yang memang terkenal sebagai bangsa pedagang.

Semua distribusi barang dari dan keluar Bali melalui pelabuhan ini, sebagian besar hasil ternak dan hasil bumi dari Bali diekspor ke Malaka dan Hongkong melalui Pelabuhan Buleleng. Banyak kapal-kapal besar berlabuh di dekat  Pelabuhan Buleleng sebagai penghubung kota-kota pelabuhan di nusantara, seperti Semarang dan Makasar, serta kota-kota di Sunda Kecil, seperti Ampenan dan Kupang. Kondisi kedalaman laut di daerah ini yang tidak terlalu dalam sehingga walaupun telah dibuatkan dermaga kapal-kapal besar tidak dapat merapat langsung ke daratan. Kegiatan bongkar muat kapal besar dilakukan dengan bersandar di tengah laut, kemudian dengan menggunakan kapal yang lebih kecil untuk mencapai dermaga.

Pembabakan selanjutnya mengenai keberadaan Pelabuhan Buleleng ini adalah saat masuk dalam sejarah perjuangan kemerdekaan, dimana kawasan ini merupakan tempat peperangan antara pasukan Belanda dan tentara nasional. Pentingnya pelabuhan ini bagi pihak Belanda membuat kawasan ini dipertahankan mati-matian oleh Belanda. Pertempuran besar pun terjadi pada tanggal 27 Agustus 1945.

Pada masa kemerdekaan Kota Singaraja sempat menjadi Ibukota Kepulauan Sunda Kecil dan Ibukota Provinsi Bali sampai tahun 1958. Pada masa ini Pelabuhan Buleleng menjadi pusat distribusi barang dari Bali ke NTB dan NTT dan begitu sebaliknya. Kemudian Ibukota Provinsi Bali dipindahkan ke Denpasar dan diikuti dengan perpindahan pelabuhan utama ke daerah Benoa di Denpasar. Perpindahan Ibukota dan pelabuhan utama Provinsi Bali ini merupakan awal dari menurunnya fungsi dari Pelabuhan Buleleng. Kegiatan bongkar muat pelabuhan tidak lagi berlangsung di kawasan ini, dan membuat Pelabuhan Buleleng ini menjadi tidak berfungsi.

Keterpurukan kawasan Pelabuhan Buleleng ini pada puncaknya terjadi pada tahun 1970-an, selain kawasan ini sudah tidak berfungsi, adanya abrasi dan kurang pedulinya masyarakat akan kebersihan lingkungan pelabuhan membuatnya dijuluki pelabuhan sampah. Lingkungan Pelabuhan Buleleng yang dekat muara  Sungai Buleleng, dimana masyarakat pada saat itu sering membuang sampah ke aliran sungai yang pada akhirnya akan mengendap di daerah pelabuhan. Baru pada tahun 1980-an Bupati Buleleng mencanangkan program revitalisasi kawasan Pelabuhan Buleleng. Sejak saat itu Pelabuhan Buleleng mulai mendapatkan perhatian serius dan diencanakan menjadi destinasi wisata. Program ini cukup lama terlaksananya, dan pada akhirnya tahun 2002 terlaksana beberapa program, yang antara lain : perbaikan tepian (pembuatan talud) pantai agar lebih kuat terhadap abasi dan pembuatan restourant apung yang memanfaatkan dermaga pelabuhan. Pengembangan terbaru Pelabuhan Buleleng dilaksanakan pada tahun 2010, namun disayangkan pengembangan dan pemanfaatannya  berujung pada pembongkaran bangunan gudang yang merupakan bangunan tua bersejarah di kawasan ini. Sampai saat ini bangunan yang tersisa adalah satu bangunan yang dulunya dimanfaatkan sebagai kantor pabean Pemerintah Hindia Belanda. Saat ini bangunan kantor pabean ini dimanfaatkan menjadi kantor Kelurahan Kampung Bugis. Melihat perkembangan kawasan bekas Pelabuhan Buleleng sampai saat ini, perlu kiranya juga diperhatikan kelestariannya sebagai satu-satunya pelabuhan kolonial yang ada di Bali.

Studi kelayakan di Bekas Kantor Pelabuhan Buleleng  bertujuan untuk mengumpulkan dan mengolah  data bangunan atau struktur cagar budaya dalam rangka menetapkan kelayakannya untuk mendapatkan upaya pelestarian dalam bentuk pemugaran,  melalui penilaian atas data arkeologis, sejarah, keterwatan  dan teknis.

Kegiatan studi kelayakan di Bekas Kantor Pelabuhan Buleleng dilaksanakan selama   5 hari, dimulai dari tanggal 3 sampai dengan 7  April  2014. Dengan susunan tim sebagai berikut :

1. I Made Susun : Ketua Tim dan Pengumpul Data Teknis
2. A. A. Gde Warmadewa, S.S : Pengumpul Sejarah dan Arkeologi
3. Budi Suartama : Pengumpul Data Lingkungan/Keterawatan
4. A.A. Gede Raka : Juru Gambar
5. I Wayan Sugita : Juru Gambar
6. I Made Buda : Pembantu Juru Gambar
7. Dewa Ketut Raka : Pembantu Juru Gambar
8. Dewa Made Budiyasa : Pembantu Juru Gambar

 

Letak dan Lingkungan

Secara administratif bekas Pelabuhan Buleleng terletak di wilayah Kelurahan Kampung Bugis, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng. Kelurahan Kampung Bugis merupakan daerah dataran, relatif dekat dengan laut, sehingga memiliki kontur wilayah yang datar. Bekas kantor pabean Pelabuhan Buleleng dapat dicapai dengan sangat mudah baik dengan sepeda motor maupun dengan kendaraan beroda empat, karena lokasi yang sangat dekat Ibukota Kabupaten Buleleng, dengan jarak kira-kira 1 km. Kelurahan Kampung Bugis  berada pada daerah dataran  dengan kemiringan lereng rata-rata 5%. Pola aliran sungai yang berkembang di wilayah ini, seperti halnya hampir sebagian besar wilayah Pulau Bali adalah subpararel, dengan wilayah sungai yang sangat curam. Tanah di wilayah ini memiliki tekstur halus-sedang dengan warna coklat tua. Batuan dasar di wilayah ini merupakan hasil aktivitas gunung api, dengan komposisi breksi gunungapi, lava dan tuff yang terbentuk pada kala Holosen. Proses geomorfologi yang terjadi di wilayah ini sebagian besar merupakan proses erosi, trasnportasi dan sedikit pengendapan. Penggunaan lahan yang nampak di wilayah ini adalah sebagai perswahan, tegalan, dan permukiman. Iklim di wilayah ini tidak jauh berbeda dengan  wilayah lainnya di Buleleng,  yaitu memiliki 2 musim : musim kemarau dan musim hujan, dengan suhu rata-rata 24˚ sampai dengan 29˚ Celcius. Curah Hujan berkisar 243 mm, dengan jumlah bulan hujan 4 bulan.

Struktur Ruang Bekas Kantor Pelabuhan Buleleng

Pelabuhan Buleleng pada saat Pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia merupakan pintu gerbang  utama bagi mereka untuk masuk ke Pulau Bali. Di kawasan ini didirikan berbagai fasilitas untuk menunjang  kebutuhan perekonomian (perdagangan) Pemerintahan Hindia Belanda, yang antara lain adalah dermaga, gudang,  terminal, kantor pabean dan jembatan yang menyeberangi Sungai Buleleng. Salah satu bangunan di bekas Pelabuhan Buleleng yang sampai saat ini masih berdiri adalah kantor pabean, yang sekarang ini merupakan satu bangunan cagar budaya di wilayah Kabupaten Buleleng. Bangunan bekas kantor Pelabuhan Buleleng ini adalah bangunan berarsitektur kolonial, khas bangunan-bangunan Eropa, dengan bentuk pintu serta jendela yang berukuran besar dan memiliki dua buah ruangan.  Lebih jelas mengenai struktur ruang bangunan bekas kantor Pelabuhan Buleleng ini akan diuraikan sebagai berikut :

  • Ruang Depan

PL 1Ruangan depan bekas Kantor Pelabuhan Buleleng memiliki denah berbentuk persegi empat panjang, dengan pintu masuk bejumlah tiga buah berukuran cukup besar. Begitu pula jendela-jendela (ventilasi) juga memiliki ukuran yang besar dan berjumlah cukup banyak. Ruangan ini dulunya merupakan ruangan yang difungsikan sebagai ruangan perkantoran oleh Pemerintah Hindia Belanda, untuk mengurusi kepentingan perdagangan.

  • Ruang Belakang

PL 2Sama halnya dengan ruang depan, ruang belakang bekas kantor Pelabuhan Buleleng ini juga memilki bentuk denah persegi panjang dengan pintu masuk berukuran besar. Jendela-jendela (ventilasi) berada di bagian belakang. Ruangan ini adalah ruangan pejabat-pejabat Pemerintah Hindia Belanda yang mengurusi Pelabuhan Buleleng.

 

 

 

 

Data Sejarah

Sejarah perkembangan kawasan Pelabuhan Buleleng dapat dibagi menjadi tiga tahap periodisasi, yakni : jaman kerajaan, jaman kolonial dan jaman kemerdekaan. Pada jaman kerajaan kawasan Pelabuhan Buleleng merupakan kawasan yang berada dalam kekuasaan Kerajaan Buleleng. Dalam tata ruang tradisional Bali, kawasan pelabuhan yang berada di daerah pantai utara Buleleng dianggap sebagai kawasan nista (kotor). Keberadaan pemukiman di kawasan Pelabuhan Buleleng dimulai pada abad ke-17, ketika pelaut Bugis dari Makasar datang ke tempat ini. Hubungan yang baik dengan pihak Kerajaan Buleleng dan penduduk pribumi membuat orang-orang Bugis tersebut diberikan lahan bermukim di daerah pantai utara Buleleng yang pada perjalanannya  berkembang menjadi Pelabuhan Buleleng. Selain menjadi nelayan, keberadaan orang-orang Bugis di wilayah ini juga dimanfaatkan oleh Raja Buleleng sebagai armada laut karena keahlian mereka melaut.

Perkembangan selanjutnya pada saat pemerintah Hindia Belanda menguasai Pulau Bali pada tahun 1846 dan menjadikan Kota Singaraja sebagai pusat pemerintahan di Bali, maka dibangunlah berbagai fasilitas kota, termasuk diantaranya adalah Pelabuhan Buleleng. Selain membuat pelabuhan Pemerintah Hindia Belanda juga membuat jalan utama baru menuju pelabuhan. Keberadaan jalan ini telah mempengaruhi tata ruang tradisional Buleleng, yaitu mengubah akses kota yang berpusat pada catus pata (perempatan agung) menjadi kantor Pemerintah Hindia Belanda. Keberadaan tata kota yang baru ini memudahkan Pemerintah Hindia Belanda untuk dapat memantau aktivitas di pelabuhan.

Pelabuhan Buleleng pada masa Pemerintahan Hindia Belanda merupakan pintu gerbang utama Pulau Bali. Berbagai fasilitas pelabuhan dibangun, seperti : dermaga, gedung, terminal, kantor pabean, jembatan yang menyeberangi Sungai Buleleng dibangun di kawasan ini. Pesatnya pertumbuhan kawasan pelabuhan membuat perkampungan nelayan Bugis bergeser dari kawasan ini, kawasan pelabuhan diutamakan sebagai kawasan pergudangan untuk distribusi barang. Aktiftas yang ramai di Pelabuhan Buleleng memberi pengaruh pada kawasan di sekitar pelabuhan yang mulai menjadi kawasan perdagangan. Deretan pertokoan mulai bermunculan di kawasan ini, sebagai sarana jual beli barang distribusi pelabuhan. Pertokoan ini sebagian besar dimiki oleh kaum dari etnis China, yang memang terkenal sebagai bangsa pedagang.

Semua distribusi barang dari dan keluar Bali melalui pelabuhan ini, sebagian besar hasil ternak dan hasil bumi dari Bali diekspor ke Malaka dan Hongkong melalui Pelabuhan Buleleng. Banyak kapal-kapal besar berlabuh di dekat  Pelabuhan Buleleng sebagai penghubung kota-kota pelabuhan di nusantara, seperti Semarang dan Makasar, serta kota-kota di Sunda Kecil, seperti Ampenan dan Kupang. Kondisi kedalaman laut di daerah ini yang tidak terlalu dalam sehingga walaupun telah dibuatkan dermaga kapal-kapal besar tidak dapat merapat langsung ke daratan. Kegiatan bongkar muat kapal besar dilakukan dengan bersandar di tengah laut, kemudian dengan menggunakan kapal yang lebih kecil untuk mencapai dermaga.

Pembabakan selanjutnya mengenai keberadaan Pelabuhan Buleleng ini adalah saat masuk dalam sejarah perjuangan kemerdekaan, dimana kawasan ini merupakan tempat peperangan antara pasukan Belanda dan tentara nasional. Pentingnya pelabuhan ini bagi pihak Belanda membuat kawasan ini dipertahankan mati-matian oleh Belanda. Pertempuran besar pun terjadi pada tanggal 27 Agustus 1945.

Pada masa kemerdekaan Kota Singaraja sempat menjadi Ibukota Kepulauan Sunda Kecil dan Ibukota Provinsi Bali sampai tahun 1958. Pada masa ini Pelabuhan Buleleng menjadi pusat distribusi barang dari Bali ke NTB dan NTT dan begitu sebaliknya. Kemudian Ibukota Provinsi Bali dipindahkan ke Denpasar dan diikuti dengan perpindahan pelabuhan utama ke daerah Benoa di Denpasar. Perpindahan Ibukota dan pelabuhan utama Provinsi Bali ini merupakan awal dari menurunnya fungsi dari Pelabuhan Buleleng. Kegiatan bongkar muat pelabuhan tidak lagi berlangsung di kawasan ini, dan membuat Pelabuhan Buleleng ini menjadi tidak berfungsi.

Keterpurukan kawasan Pelabuhan Buleleng ini pada puncaknya terjadi pada tahun 1970-an, selain kawasan ini sudah tidak berfungsi, adanya abrasi dan kurang pedulinya masyarakat akan kebersihan lingkungan pelabuhan membuatnya dijuluki pelabuhan sampah. Lingkungan Pelabuhan Buleleng yang dekat muara  Sungai Buleleng, dimana masyarakat pada saat itu sering membuang sampah ke aliran sungai yang pada akhirnya akan mengendap di daerah pelabuhan. Baru pada tahun 1980-an Bupati Buleleng mencanangkan program revitalisasi kawasan Pelabuhan Buleleng. Sejak saat itu Pelabuhan Buleleng mulai mendapatkan perhatian serius dan diencanakan menjadi destinasi wisata. Program ini cukup lama terlaksananya, dan pada akhirnya tahun 2002 terlaksana beberapa program, yang antara lain : perbaikan tepian (pembuatan talud) pantai agar lebih kuat terhadap abasi dan pembuatan restourant apung yang memanfaatkan dermaga pelabuhan. Pengembangan terbaru Pelabuhan Buleleng dilaksanakan pada tahun 2010, namun disayangkan pengembangan dan pemanfaatannya  berujung pada pembongkaran bangunan gudang yang merupakan bangunan tua bersejarah di kawasan ini. Sampai saat ini bangunan yang tersisa adalah satu bangunan yang dulunya dimanfaatkan sebagai kantor pabean Pemerintah Hindia Belanda. Saat ini bangunan kantor pabean ini dimanfaatkan menjadi kantor Kelurahan Kampung Bugis. Melihat perkembangan kawasan bekas Pelabuhan Buleleng sampai saat ini, perlu kiranya juga diperhatikan kelestariannya sebagai satu-satunya pelabuhan kolonial yang ada di Bali.

Data Arkeologi

PL 3Data arkeologis adalah data yang menjelaskan tentang nilai cagar budaya (bangunan dan struktur) yang ditinjau dari keaslian bentuk, bahan, pengerjaan dan tata letak secara kontekstual. Data ini diperlukan sebagai acuan untuk menetapkan seberapa jauh bangunan atau struktur cagar budaya dapat dipugar berdasarkan data yang tersedia. Berdasarkan pengertian tersebut, maka data arkeologi yang dapat dikemukan dalam kegiatan studi kelayakan bekas kantor Pelabuhan Buleleng ini adalah sebuah bangunan kolonial yang dulunya merupakan bangunan kantor pabean pelabuhan Pemerintah Hindia Belanda. Bangunan bekas kantor pabean Pelabuhan Buleleng ini dilihat dari keasliannya, baik itu keaslian bentuk, bahan, pengerjaan dan tata letaknya masih asli. Kalaupun ada sedikit perubahan yang terjadi dikarenakan adanya renovasi-renovasi kecil yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Buleleng. Renovasi ini dilakukan mengingat telah terjadi kerusakan-kerusakan pada beberapa bagian bangunan ini karena telah dimakan usia. Perbaikan yang sangat mencolok terlihat adalah pada konstruksi bagian atap dan genteng yang telah mengalami perubahan. Perbaikan dilakukan merupakan bagian dari upaya untuk melestaikan keberadaan bangunan bekas kantor pabean Pelabuhan Buleleng agar tetap lestari keberadaannya sebagai satu-satunya bagian dari pelabuhan kolonial yang ada di Bali.

Data Teknis

Data teknis adalah data yang menjelaskan kondisi cagar budaya (bangunan dan struktur) dengan segala permasalahan kerusakan yang dapat menimbulkan kerugian atau kemusnahan bagi nilai manfaat dan keutuhan cagar budaya (bangunan dan struktur). Data teknis diperlukan untuk acuan langkah-langkah penanganan bagunan atau struktur cagar budaya dan penataan lingkungannya. Lebih jelasnya mengenai data teknis bangunan kantor pabean bekas Pelabuhan Buleleng akan diuraikan sebagai berikut :

  • Struktur Kaki

PL 4Struktur bangunan pabean bekas Pelabuhan Buleleng memeiliki bentuk persegi empat panjang, dengan ukuran panjang 17,13 m, lebar 14,21 m dan tinggi dari permukaan tanah 45 cm dan dilengkapi anak tangga dengan tiga buah takikan. Lantai bangunan terbuat dari tegel berwarna putih. Kondisi terkini dari struktur kaki bangunan kantor pabean bekas Pelabuhan Buleleng ini telah mengalami gejala kerusakan dan pelaupukan. Gejala kerusakan dan pelapukan yang terjadi antara lain adalah kerusakan mekanis, pelapukan chemis serta pelapukan fisis dengan  prosentase yang  sangat kecil dari keseluruhan permukaan bidangnya. Visualisasi gejala kerusakan dan pelapukan ini antara lain : pecah dan retak mikro pada tegel dan pengelupasan pada bagian bawah struktur kaki yang kemungkinan disebabkan oleh garam-garam terlarut air laut yang sampai pada permukaan bidang struktur kaki serta juga kemungkinan disebabkan oleh fluktuasi suhu, karena bangunan ini lokasinya sangat dekat dengan laut.

  • Struktur Badan

PL 5Tiang-tiang besar berbentuk bulat dengan ukuran diameter 70 cm merupakan struktur utama dari struktur badan bangunan kantor pabean bekas Pelabuhan Buleleng ini. Tiang-tiang ini terbuat dari bahan bata dengan campuran pasir dan kapur. Tembok bangunan juga terbuat dari bahan yang sama dengan bahan tiang seperti telah disebutkan di atas. Tembok bangunan kantor pabean bekas Pelabuhan Buleleng ini sebagaimana layaknya bangunan kolonial secara umum, memiliki ketebalan dan tinggi yang melebihi bangunan pada umumnya. Adapun ukuran ketebalan tembok ini adalah 20 cm dengan tinggi 5,42 m. Secara umum kondisi struktur badan bangunan kantor pabean bekas Pelabuhan Buleleng ini masih sangat stabil, walaupun Pulau Balai telah beberapa kali mengalami gempa bumi yang cukup besar. Ini menunjukkan secara struktur bangunan ini memiliki daya tahan terhadap guncangan yang cukup baik. Bagian lain yang juga merupakan struktur badan bangunan ini adalah jendela dan pintu. Jendela dan pintu bangunan kantor pabean bekas.

Kondisi struktur badan bangunan kantor pabean bekas Pelabuhan Buleleng secara umum masih sangat bagus dan stabil, kalaupun ada gejala kerusakan dan pelapukan prosentasenya sangat kecil. Adapun gejala kerusakan dan pelapukan yang nampak pada bagian struktur badan bangunan kantor pabean bekas Pelabuhan Buleleng ini antara lain adalah kerusakan mekanis, pelapukan chemis dan fisis. Dimana visualisasi dari gejala kerusakan dan pelapukan ini berupa retakan-retakan mikro, pengelupasan dan adanya korosi pada bagian-bagian besi pintu dan jendela. Kemungkinan gejala kerusakan dan pelapukan ini disebabkan oleh garam-garam terlarut air laut yang sampai pada permukaan bidang struktur badan serta juga disebabkan oleh fluktuasi suhu, karena bangunan ini lokasinya sangat dekat dengan lautPelabuhan Buleleng ini juga menunjukkan ciri yang kental bangunan kolonial, dengan ukuran yang besar dan jumlah cukup banyak. Adapun ukuran pintu bangunan ini berukuran rata-rata tinggi 481 cm dan   lebar 390 cm, sedangkan ukuran jendela adalah tinggi 350 cm  dan lebar 315 cm.

  • Bagian Atap

PL 6Strukur atap bangunan kantor pabean bekas Pelabuhan Buleleng secara keseluruhan tebuat dari kayu dengan atap genteng berbentuk atap bertingkat segi lima (limas).  Struktur atap ini telah mendapatkan upaya perbaikan dari pemerintah Kabupaten Buleleng beberapa tahun yang lalu. Perbaikan ini dilakukan mengingat kondisi struktur atap yang sudah rusak dan hal ini juga merupakan bagian dari upaya menjaga kelestarian bangunan kantor pabean bekas Pelabuhan Buleleng.

Data Keterawatan

Data keterawatan adalah data yang menjelaskan tentang kondisi bahan bangunan atau struktur cagar budaya ditinjau dari permasalahan kerusakan atau pelapukan bahan, seperti pengelupasan, aus dan rapuh, dengan memperhatikan faktor penyebab dan mekanisme proses pelapukannya. Data ini diperlukan untuk menetapkan langkah pembersihan dan pengawetan bahan bangunan atau struktur cagar budaya. Berkenaan dengan definisi tersebut, berikut ini akan diuraikan mengenai data keterawatan bangunan kantor pabean bekas Pelabuhan Buleleng :

Hasil pengamatan di lapangan, dapat diketahui bahwa bangunan kantor pabean bekas Pelabuhan Buleleng ini telah mengalami gejala kerusakan dan pelapukan yang disebabkan oleh faktor internal dan external, antara lain disebabkan oleh faktor umur yang sudah tua, garam-garam telarut yang sampai pada permukaan bidangnya dan fluktuasi suhu yang ekstream, getaran gempa dan debu.

  • Kondisi Fisik

Kerusakan Struktural:

PL 7Suatu kondisi yang tidak utuh , tidak sempurna yang terjadi pada unsur-unsur struktural suatu bangunan cagar budaya. Unsur-unsur yang berkaitan dengan aspek struktural suatu bangunan seperti : stabilitas tanah dasar/pondasi, sistem sambungan yang digunakan, jenis atap yang digunakan, kuat tekan, kuat geser dan lain-lain. Pengertian kerusakan struktural bangunan cagar budaya ini berlaku untuk semua jenis bangunan, baik bangunan cagar budaya yang berbahan batu, kayu maupun bata.   Data-data kerusakan struktural sangat berguna untuk menentukan metode dan penyelesaian yang berkaitan dengan perbaikan terhadap kerusakan yang terjadi dengan memperhatikan faktor penyebab dan proses terjadinya kerusakan tersebut. Berdasarkan pengertian kerusakan struktural dan juga berdasarkan pengamatan di lapangan, dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan bangunan kantor pabean bekas Pelabuhan Buleleng telah mengalami sedikit gejala kerusakan secara struktural, dimana kondisi real dari kerusakan struktural ini adalah berupa adanya retakan-retakan mikro pada beberapa bagian bangunan.

Kerusakan Arsitektural:

PL 8Suatu kondisi yang tidak utuh, tidak sempurna yang terjadi pada  unsur-unsur arsitektural suatu bangunan cagar budaya. Unsur-unsur yang berkaitan dengan aspek arsitektural suatu bangunan adalah meliputi unsur-unsur dekoratif, relief, umpak dan lain-lain. Data-data kerusakan arsitektural ditinjau dari kelengkapan unsur atau komponen bangunan yang masih asli, yang telah diganti/diubah, dan bagian dari bangunan yang hilang berdasarkan pendekatan keaslian bentuk arsitekturnya. Data identifikasi kerusakan arsitektural digunakan untuk menentukan langkah-langkah pemulihan aspek arsitektur suatu bangunan atau struktur berdasar pada prinsip-prinsip dan kaidah pemugaran cagar budaya. Secara umum gejala kerusakan arsitektural yang terjadi pada bangunan kantor pabean bekas Pelabuhan Buleleng adalah berupa adanya komponen-komponen yang telah diganti.

  • Data Kerusakan

Berdasarkan sifat-sifatnya, faktor yang memicu proses degradasi bahan pada cagar budaya dapat dibedakan menjadi dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi faktor perencanaan (teknologi pembuatan) dan faktor menurunnya rasio kwalitas bahan. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor lingkungan seperti iklim, air, biologis (mikroorganisme), bencana alam dan vandalisme (manusia).

Dari segi bentuknya, bentuk degradasi yang terjadi pada bangunan dan struktur  cagar budaya dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu kerusakan dan pelapukan. Kerusakan dan pelapukan mempunyai pengertian yang hampir sama, tetapi secara teknis istilah tersebut dapat dibedakan. Dimana yang dimaksud dengan kerusakan adalah perubahan yang terjadi pada bangunan dan struktur  cagar budaya yang tidak disertai dengan perubahan sifat-sifat fisik dan kimiawi, sedangkan pelapukan adalah perubahan yang terjadi pada bangunan dan struktur  cagar budaya yang disertai dengan adanya perubahan sifat-sifat fisik dan kimiawinya.

Pengamatan/observasi yang dilakukan terhadap bangunan kantor pabean bekas Pelabuhan Buleleng,  maka teridentifikasi proses kerusakan dan pelapukan yang terjadi adalah sebagai berikut :

Kerusakan Mekanis:

PL 9Merupakan kerusakan yang dapat dilihat secara visual berupa retak, pecah, melesak, amblas pada dasar dan patah. Kerusakan ini juga terkait dengan kondisi lingkungan bangunan cagar budaya terutama fluktuasi suhu udara, disamping tidak terlepas  dari gaya statis maupun gaya dinamis yang diterima oleh sebuah bangunan. Yang dimaksud dengan gaya statis adalah adanya tekanan beban dari atas terhadap lapisan batu di bawahnya, sedangkan yang dimaksud dengan gaya dinamis adalah suatu gaya yang dipengaruhi oleh faktor luar  (eksternal), seperti getaran gempa bumi    (faktor alam). Kerusakan mekanis pada bangunan kantor pabean bekas Pelabuhan Buleleng visualisasinya berupa adanya retakan-retakan mikro pada beberapa bagian bangunan.

Kerusakan Chemis:

PL 10Pelapukan yang terjadi pada bangunan atau struktur cagar budaya sebagai akibat dari proses atau reaksi kimiawi. Dalam proses ini faktor yang berperan adalah air, penguapan dan suhu. Air hujan dapat melapukan benda melalui proses oksidasi, karbonatisasi, sulfatasi dan hidrolisa. Gejala-gejala yang nampak pada pelapukan ini adalah berupa penggaraman dan pengelupasan. Prosentase gejala pelapukan chemis yang terjadi pada bangunan kantor pabean bekas Pelabuhan Buleleng prosentasenya relative kecil  dari keseluruhan permukaan bidangnya.

Pelapukan Fisis:

PL 11Merupakan pelapukan yang disebabkan oleh iklim dimana bangunan cagar budaya itu berada,  baik secara mikro maupun secara makro. Unsur iklim, suhu dan kelembaban merupakan faktor utamanya, besarnya amplitudo suhu dan kelembaban baik itu siang maupun malam hari akan sangat memicu terjadinya pelapukan secara fisis. Pelapukan  secara fisis yang terjadi pada bangunan kantor pabean bekas Pelabuhan Buleleng  antara lain berupa aus dan korosi pada beberapa bagian  permukaan bidangnya

Faktor Penyebab Kerusakan dan Pelapukan

  • Faktor Internal

Faktor internal meliputi faktor perencanaan  (teknologi pembuatan), faktor menurunnya rasio kwalitas bahan  serta letak atau posisi bangunan. Bangunan atau struktur  yang dibuat dengan perencanaan atau teknologi yang baik akan memiliki daya tahan yang baik serta dapat mengurangi kerusakan yang diakibatkan oleh faktor mekanis dan fisik. Bangunan atau struktur  yang dibuat dengan bahan yang kwalitasnya jelek akan cepat mengalami kerusakan sedangkan bangunan yang dibuat dengan bahan yang bagus akan bertahan lebih lama dari berbagai macam kerusakan dan pelapukan serta tanah tempat suatu bangunan atau struktur  cagar budaya berdiri juga mempengaruhi kelestarian material bangunan. Tanah yang memiliki sifat rentan terhadap faktor air, daya tahannya akan mudah menurun sehingga menyebabkan kondisi bangunan atau struktur tidak stabil.

  • Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah faktor lingkungan yang meliputi faktor fisis  (suhu, kelembaban, hujan), faktor biologis, faktor kimiawi, bencana alam serta faktor manusia (vandalisme). Pengaruh suhu dan kelembaban yang yang tinggi dan berubah-ubah akan mengakibatkan suatu bangunan atau struktur cagar budaya kondisinya tidak stabil, yang pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan dan pelapukan. Air hujan juga akan menyebabkan kelembaban pada bangunan atau struktur cagar budaya akan meningkat yang pada akhirnya akan merangsang tumbuhnya jasad–jasad organik pada permukaan material cagar budaya yang pada akhirnya juga akan menimbulkan kerusakan dan pelapukan. Faktor eksternal penyebab kerusakan dan pelapukan pada bangunan atau struktur cagar budaya sangat sulit untuk dihindari, apalagi terhadap bangunan atau struktur cagar budaya yang terdapat di alam terbuka.

Hasil Kegiatan Studi Kelayakan Bekas Kantor Pelabuhan Buleleng

Istilah studi kelayakan merupakan salinan dari kata asing feasibility study yang berkenaan dengan perencanaan proyek pembangunan fisik. Istilah studi kelayakan arkeologi  pertama kali diterima sebagai salah satu jenis kegiatan yang resmi dalam arkeologi Indonesia pada tahun 1970-an. Kemungkinan besar studi kelayakan arkeologi mulai diselenggarakan oleh Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (Ditlinbinjarah) pada 1979 atas permintaan yang cukup mendesak dari Bappenas. Pada awalnya studi kelayakan arkeologi diselenggarakan dalam hubungannya dengan rencana pemugaran bangunan cagar/situs budaya dan situs cagar budaya.

Kegiatan studi kelayakan arkeologi ini dilaksanakan dengan melakukan pengamatan dan pengumpulan data di lapangan terhadap obyek yang menjadi sasaran kegiatan, adapun data yang dikumpulkan meliputi data sejarah, arkeologi, teknis dan keterawatan. Hasil dari pengolahan data yang telah berhasil dikumpulkan akan menjadi suatu rekomendasi tentang layak tidak suatu bangunan/struktur dan situs cagar budaya mendapatkan upaya pelestarian berupa kegiatan pemugaran. Berkenaan dengan hal tersebut maka dilaksankanlah suatu kegiatan studi kelayakan terhadap bangunan kantor pabean bekas Pelabuhan Buleleng, lebih jelasnya mengenai hasil dari kegiatan studi kelayakan ini akan diuraikan sebagai berikut : perkembangan kawasan Pelabuhan Buleleng dapat dibagi menjadi tiga tahap periodisasi, yakni : jaman kerajaan, jaman kolonial dan jaman kemrdekaan. Pada jaman kerajaan kawasan Pelabuhan Buleleng merupakan kawasan yang berada dalam kekuasaan Kerajaan Buleleng. Dalam tata ruang tradisional Bali, kawasan pelabuhan yang berada di daerah pantai utara Buleleng dianggap sebagai kawasan nista (kotor). Keberadaan pemukiman di kawasan Pelabuhan Buleleng dimulai pada abad ke-17, ketika pelaut Bugis dari Makasar datang ke tempat ini. Hubungan yang baik dengan pihak Kerajaan Buleleng dan penduduk pribumi membuat orang-orang Bugis tersebut diberikan lahan bermukim di daerah pantai utara Buleleng yang pada perjalanannya  berkembang menjadi Pelabuhan Buleleng. Selain menjadi nelayan, keberadaan orang-orang Bugis          di wilayah ini juga dimanfaatkan oleh Raja Buleleng sebagai armada laut karena keahlian mereka melaut.

Perkembangan selanjutnya pada saat pemerintah Hindia Belanda menguasai Pulau Bali pada tahun 1846 dan menjadikan Kota Singaraja sebagai pusat pemerintahan di Bali, maka dibangunlah berbagai fasilitas kota, termasuk diantaranya adalah Pelabuhan Buleleng. Selain membuat pelabuhan Pemerintah Hindia Belanda juga membuat jalan utama baru menuju pelabuhan. Keberadaan jalan ini telah mempengaruhi tata ruang tradisional Buleleng, yaitu mengubah akses kota yang berpusat pada catus pata (perempatan agung) menjadi kantor Pemerintah Hindia Belanda. Keberadaan tata kota yang baru ini memudahkan Pemerintah Hindia Belanda untuk dapat memantau aktivitas di pelabuhan.

Pelabuhan Buleleng pada masa Pemerintahan Hindia Belanda merupakan pintu gerbang utama Pulau Bali. Berbagai fasilitas pelabuhan dibangun, seperti : dermaga, gedung, terminal, kantor pabean, jembatan yang menyeberangi Sungai Buleleng dibangun di kawasan ini. Pesatnya pertumbuhan kawasan pelabuhan membuat perkampungan nelayan Bugis bergeser dari kawasan ini, kawasan pelabuhan diutamakan sebagai kawasan pergudangan untuk distribusi barang. Aktiftas yang ramai di Pelabuhan Buleleng memberi pengaruh pada kawasan di sekitar pelabuhan yang mulai menjadi kawasan perdagangan. Deretan pertokoan mulai bermunculan di kawasan ini, sebagai sarana jual beli barang distribusi pelabuhan. Pertokoan ini sebagian besar dimiki oleh kaum dari etnis China, yang memang terkenal sebagai bangsa pedagang.

Semua distribusi barang dari dan keluar Bali melalui pelabuhan ini, sebagian besar hasil ternak dan hasil bumi dari Bali diekspor ke Malaka dan Hongkong melalui Pelabuhan Buleleng. Banyak kapal-kapal besar berlabuh di dekat  Pelabuhan Buleleng sebagai penghubung kota-kota pelabuhan di nusantara, seperti Semarang dan Makasar, serta kota-kota di Sunda Kecil, seperti Ampenan dan Kupang. Kondisi kedalaman laut di daerah ini yang tidak terlalu dalam sehingga walaupun telah dibuatkan dermaga kapal-kapal besar tidak dapat merapat langsung ke daratan. Kegiatan bongkar muat kapal besar dilakukan dengan bersandar di tengah laut, kemudian dengan menggunakan kapal yang lebih kecil untuk    mencapai dermaga.

Pembabakan selanjutnya mengenai keberadaan Pelabuhan Buleleng ini adalah saat masuk dalam sejarah perjuangan kemerdekaan, dimana kawasan ini merupakan tempat peperangan antara pasukan Belanda dan tentara nasional. Pentingnya pelabuhan ini bagi pihak Belanda membuat kawasan ini dipertahankan mati-matian oleh Belanda.

Pada masa kemerdekaan Kota Singaraja sempat menjadi Ibukota Kepulauan Sunda Kecil dan Ibukota Provinsi Bali sampai tahun 1958. Pada masa ini Pelabuhan Buleleng menjadi pusat distribusi barang dari Bali ke NTB dan NTT dan begitu sebaliknya. Kemudian Ibukota Provinsi Bali dipindahkan ke Denpasar dan diikuti dengan perpindahan pelabuhan utama ke daerah Benoa di Denpasar. Perpindahan Ibukota dan pelabuhan utama Provinsi Bali ini merupakan awal dari menurunnya fungsi dari Pelabuhan Buleleng. Kegiatan bongkar muat pelabuhan tidak lagi berlangsung di kawasan ini, dan membuat Pelabuhan Buleleng ini menjadi tidak berfungsi.

Keterpurukan kawasan Pelabuhan Buleleng ini pada puncaknya terjadi pada tahun 1970-an, selain kawasan ini sudah tidak berfungsi, adanya abrasi dan kurang pedulinya masyarakat akan kebersihan lingkungan pelabuhan membuatnya dijuluki pelabuhan sampah. Lingkungan Pelabuhan Buleleng yang dekat muara  Sungai Buleleng, dimana masyarakat pada saat itu sering membuang sampah ke aliran sungai yang pada akhirnya akan mengendap di daerah pelabuhan. Baru pada tahun 1980-an Bupati Buleleng mencanangkan program revitalisasi kawasan Pelabuhan Buleleng. Sejak saat itu Pelabuhan Buleleng mulai mendapatkan perhatian serius dan diencanakan menjadi destinasi wisata. Program ini cukup lama terlaksananya, dan pada akhirnya tahun 2002 terlaksana beberapa program, yang antara lain : perbaikan tepian (pembuatan talud) pantai agar lebih kuat terhadap abasi dan pembuatan restourant apung yang memanfaatkan dermaga pelabuhan. Pengembangan terbaru Pelabuhan Buleleng dilaksanakan pada tahun 2010, namun disayangkan pengembangan dan pemanfaatannya  berujung pada pembongkaran bangunan gudang yang merupakan bangunan tua bersejarah di kawasan ini. Sampai saat ini bangunan yang tersisa adalah satu bangunan yang dulunya dimanfaatkan sebagai kantor pabean Pemerintah Hindia Belanda. Saat ini bangunan kantor pabean ini dimanfaatkan menjadi kantor Kelurahan Kampung Bugis. Melihat perkembangan kawasan bekas Pelabuhan Buleleng sampai saat ini, perlu kiranya juga diperhatikan kelestariannya sebagai satu-satunya pelabuhan kolonial yang ada di Bali.

Pengamatan terhadap kondisi terkini bangunan kantor pabean bekas Pelabuhan Buleleng menghasilkan suatu gambaran yang cukup baik, dimana kondisi bangunan ini masih baik dan dalam posisi yang stabil. Pihak pengeloala bekas Pelabuhan Buleleng ini menyebutkan bahwa terjadinya beberapa kali gempa bumi yang melanda Pulau Bali tidak membuat bangunan kantor pabean bekas Pelabuhan Buleleng ini runtuh, dan masih tegak berdiri sampai sekarang. Gejala kerusakan dan pelapukan yang dapat diamati pada bangunan kantor pabean bekas Pelabuhan Buleleng  adalah berupa terjadinya retakan-retakan mikro, pengelupasan dan korosi pada komponen-komponen bangunan yang terbuat dari besi. Gejala kerusakan dan pelapukan yang terjadi pada bagunan ini prosentasenya relatif kecil dari keseluruhan permukaan bidangnya. Faktor-faktor penyebab tejadinya gejala keusakan dan pelapukan pada bangunan kantor pabean bekas Pelabuhan Buleleng ini kemungkinan disebabkan oleh rasio kwalitas bahan yang menurun, garam-garam terlarut yang sampai dipermukaan bidang bangunan serta fluktuasi suhu yang ekstream, ditambah lagi lingkungan bangunan kantor pabean bekas Pelabuhan Buleleng ini yang berada sangat dekat dengan laut.

Sesuai dengan maksud dan tujuan dari kegiatan studi kelayakan, yang adalah untuk mengumpulkan dan mengolah  data cagar budaya dalam rangka menetapkan kelayakan pemugaran melalui penilaian  data arkeologis, sejarah, keterawatan dan teknis, yang kemudian akan dilanjutkan dengan pelaksanaan studi teknis arkeologi yang merupakan kegiatan perencanaan pelaksanaan pemugaran.  Namun mengingat gejala kerusakan dan pelapukan yang terjadi pada bangunan kantor pabean bekas Pelabuhan Buleleng ini relatif sangat kecil, kemungkinan upaya pelestarian cukup dengan melaksanakan perbaikan-perbaikan kecil, tanpa harus melakukan studi yang lebih lanjut. Namun demikian dalam upaya perbaikannya, alangkah prinsip-prinsip pelestarian cagar budaya tetap menjadi acuan utamanya.

Penutup

 

  1. Bangunan kantor pabean bekas Pelabuhan Buleleng adalah peninggalan yan memiliki nilai budaya dan sejarah yang penting.
  1. Bangunan kantor pabean bekas Pelabuhan Buleleng ini dapat dijadikan sebagai suatu bahan kajian bagi penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang sejarah, arkeologi, budaya dan arsitektur
  2. Untuk mengantisipasi gejala kerusakan yang terjadi pada bangunan kantor pabean bekas Pelabuhan Buleleng perlu kiranya mendapatkan penanganan pelestarian secara berkesinambungan secara tradisional dan juga penanganan konservasi sehingga kelestariannya tetap terjaga
  3. Pelaksanaan pelestarian cagar budaya ini harusnya selalu berpatokan dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.
  4. Pengembangan dan pemanfaatan bangunan kantor pabean bekas Pelabuhan Buleleng ini diharpakan akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan tetap menjaga kelestariannya.

Simpulan

  1. Keberadaan cagar budaya tahta batu yang merupakan peninggalan dari masa megalitik ini perlu kiranya diperkenalkan kehadapan khalayak umum, karena ini merupakan hal yang sangat penting bagi kita semua dan merupakan pencerminan jati diri bangsa secara keseluruhan.
  2. Sebagai langkah preventif terhadap kelestarian cagar budaya ini, hendaknya seluruh masyarakat Kelembang dan Bali secara keseluruhan  senantiasa menjaga warisan budaya yang tak ternilai ini, agar nantinya dapat diwariskan kepada    generasi-generasi berikutnya.