Pura Ulun Swi

0
1363

Pokja Dokumentasi dan Publikasi

BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA BALI


Pura Ulun Swi (3/14-03/STS/9) secara administratif terletak di Desa Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, berada pada posisi astronomis 50 L 0299010, 9030047 UTM, pada ketinggian 33 mdpl. Pura Ulun Swi memiliki 900 m2, dengan batas-batas :

Utara : Pemukiman

Timur : Pasar

Selatan : Jalan

Barat : Pemukiman

(Lokasi Pura Nusa Dharma, Dok.Google Earth 2016)

Status kepemilikan  Pura Ulun Swi merupakan milik dari Desa Adat Pekraman Jimbaran, dan dikelola oleh Desa Adat Pekraman Jimbaran. Lingkungan sekitar Pura Ulun Swi saat ini merupakan Pasar Desa Adat Jimbaran serta permukiman penduduk yang sangat padat dan aktivitas pariwisata yang ramai. Arah hadap Pura Ulun Swi mengarah ke arah timur. Berdasarkan penuturan Jero Mangku I Nyoman Nampus (Pengayah di pura Kahyangan Jagat Ulun Swi) menyebutkan bahwa Piodalan di pura ini jatuhnya pada hari Sukra Paing Dungulan (setiap 210 hari sekali).  Pura ini disungsung (diempon) oleh Desa Adat Jimbaran yang terdiri dari 12 Banjar Adat, dan masing-masing akan bergilir melakukan kewajiban berupa ayah-ayahan serta aci-aci terhadap upacara dan upakara di Pura Kahyangan Jagat Ulun Swi.

Berdasarkan Purana Bali disebutkan sejarah Pura Kahyangan Jagat Ulun Swi sebagai berikut: “Pada mulanya Pura Ulun Swi itu adalah pura kecil yang dibuat oleh Empu Kuturan bersamaan dengan pendirian Pura Sad Kahyangan di Bali. Pura ini dibuat di dalam hutan yang luas (Jimbarwana) dengan tujuan sebagai pusat atau sumber kemakmuran sawah. Kemudian pada masa pemberontakan I Gusti Agung Dimade (I Gusti Agung Maruti) yang akhirnya mampu diusir oleh I Dewa Agung Jambe, maka I Gusti Agung Dimade lari dari Gelgel karena dikejar oleh Laskar Dalem, lalu beliau menuju hutan Jimbaran untuk menyembunyikan diri. Di dalam hutan itu I Gusti Agung Dimade menjumpai sebuah palinggih kecil, bernama Ulun Swi (Purana Bali Dwipa, Koleksi/terjemahan A.A. Raka Parta), di sanalah beliau berdoa mohon agar beliau selamat dari kepungan pasukan Dalem yang mengejarnya dan beliau berkaul akan memperbaiki dan memperbesar pura itu.

Permohonan beliau itu kemudian berhasil, dan setelah beliau mendapat kejayaan serta kebesaran sampai menguasai sebagian Pulau Bali, yaitu batas timurnya sebelah Sungai Petanu, batas utaranya berbatasan dengan daerah kekuasaan Panji Sakti di Buleleng, batas selatannya terus tembus ke Pantai Laut Selatan, batas baratnya tembus sampai ke Pantai Barat Pulau Bali, bahkan sampai ke daerah  Blambangan di Jawa Timur. Lalu putra beliau memenuhi kaul beliau yaitu memperbaiki dan memperbesar Pura Ulun Swi. Beliau membuat palinggih tumpang 11 di pura tersebut, (Lontar Babad Jimbaran, terj. I Nengah Kerthadana dari Desa Werdhi Bhuwana, Mengwi, Badung, lembar ke-8) disebutkan sebagai berikut:

“……mwah

wuwusen ta sira Dalem Petak Jingga apan sira pinisinggih dening

sawonging Jimbaran, raris sira angwangun paryangan stana bhatara meru

tumpang solas ingarananta Ulun Swi. Hana pwa ya sentana nira I Gusti

Anglurah Tegeh Kori, sumawita ring Dalem Petak Jingga sira ta kinonira

amangkunin, palinggih bhatara ring Ulun Swi……”

Maksudnya:

 

“…….lagi

katakanlah beliau Dalem Petak Jingga, karena beliau dimuliakan oleh

seluruh rakyat di Jimbaran, lalu beliau membuat pura lingga bhatara,

meru tumpang solas, dinamailah itu Ulun Swi. Ada keturunan I Gusti

Ngurah Tegeh Kori, bakti kepada Dalem Petak Jingga, dialah disuruh

beliau menjadi pemangku, palinggih Bhatara Ulun Swi………”

 

Oleh karena terjadi ketegangan-ketegangan politik dan suasana jaman itu kurang aman, maka untuk memudahkan pemujaan terhadap Bhatara-Bhatara Sad Kahyangan Jagat di Bali, lalu beliau membuat pelinggih-pelinggih pesimpangan Sad Kahyangan Jagat Bali berbentuk Padma sebanyak 6 buah dan palinggih-palinggih itu diletakkan di dalam Meru yang bertumpang sebelas itu. Oleh cucu beliau yaitu Cokorda Munggu, juga Pura Ulun Swi itu diperbaiki lagi. Setelah itu ketika terjadinya perkawinan I Gusti Ayu Bongan yaitu putri Mengwi dengan I Gusti Ngurah Made Pamecutan di Denpasar lalu daerah kekuasaan Mengwi dari Desa Dalung ke selatan sampai ke laut diserahkan sebagai barang bawaan kawin (Artha dana) kepada I Gusti Ngurah Pamecutan. Kemudian setelah itu terjadilah ketegangan fisik antara Mengwi dengan Badung, sehingga Mengwi sulit lagi bisa pergi ke Pura Ulun Swi di Jimbaran. Lalu Raja Mengwi membuatlah suatu pesimpangan Pura Ulun Swi dan dibangun di Desa Seseh, yang ada sampai sekarang. Penjelasan yang hampir sama juga berasal dari seorang pendeta dari Desa Munggu, yaitu Ida Padanda Gde Pamaron. Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut di atas, maka keterangan yang diperoleh dari lontar-lontar tersebut, maupun keterangan-keterangan lisan yang diperoleh dari orang-orang yang mengetahui tentang keadaan Pura Ulun Swi itu, terutama keterangan Ida Pedanda Gde Pemaron di Munggu, maka setelah mengadakan analisa dan mencocokkan dengan realitas-realitas yang ada, dapat diambil suatu kesimpulan mengenai sejarah Pura Ulun Swi itu, sebagai berikut:

Pura Ulun Swi di Jimbaran itu pada mulanya dibuat oleh Empu Kuturan, sekitar abad ke-11 sejaman dengan pembuatan Pura Kahyangan Jagat di Bali. Di muka meru besar bertumpang 11 di Pura Ulun Swi itu, terdapat arca kuno, tipe abad ke-17, yang diletakkan berjejer, yaitu Arca Dewata Nawa Sangga, berbentuk Rudra di Selatan, Arca Panca Pandawa, berbentuk Bhima di Tengah dan Arca Dewa Astha Wasu, berbentuk Gana Patya di Utara. Diduga arca-arca tersebut adalah suatu kronogram. Kalau dugaan itu benar, maka dapatlah diartikan: Arca Dewata Nawa Sangga bernilai 9, Arca Panca Pandawa bernilai 5, Arca Dewa Astha Wasu bernilai 8. Oleh karena berbentuk kronogram, maka pembacaannya adalah dari kiri ke kanan, sehingga menunjukan angka 958 Saka atau 1036 Masehi. Adapun tahun 1036 Masehi itu adalah masa Empu Kuturan di Bali. Hal ini dikuatkan oleh keterangan prasasti Batu Madeg di Besakih yang berangka tahun 963 Saka atau 1041 Masehi, yang menyebutkan kedatangan Mpu Kuturan ke Bali.

Berdasarkan sumber-sumber tersebut di atas, memberikan keyakinan bahwa Pura Ulun Swi di Jimbaran itu adalah dibuat pada tahun 1036 Masehi atau pada abad ke-11, sesuai dengan keterangan yang disebut dalam keterangan yang ada di dalam Lontar Usana Dewa. Keterangan di atas ada persesuaiannya dengan keterangan di dalam Babad Jimbaran dimana di dalam bagian pendahuluannya menyebutkan Dalem Petak Jingga, pindah dari Gelgel menuju hutan Jimbaran, yang kemudian membuat Meru Tumpang 11 dinamai Ulun Swi. Kalau diteliti lebih lanjut yang menyebut Dalem Petak Jingga itu sesuai dengan peristiwa yang menimpa I Gusti Agung Dimade, yang lari dari Gelgel menuju hutan luas di Jimbaran, yang kemudian memperbesar Pura Ulun Swi itu. Hanya dalam hal itu terdapat perbedaan nama dari pelaku peristiwa itu. Kami cenderung atau menduga yang disebut “Dalem Petak Jingga” itu adalah I Gusti Agung Dimde, yang menurunkan dinasti Mengwi, yang mewilayahi Desa Jimbaran sebab di dalam Babad Mengwi dan juga Pamancangah Dalem, tidak dikenal Dalem Petak Jingga. Disamping itu sudah menjadi kelaziman di jaman yang lampau bahwa orang yang tidak berani menyebutkan nama raja yang sebenarnya sebagai tanda bakti kepadanya, melainkan hanya menyebutnya dengan nama gelar rajanya.

Setiap pura yang berfungsi sebagai tempat suci tentunya memiliki aturan-aturan serta kepercayaan yang dianut dan ditetapkan oleh pengemongnya. Begitu juga dengan Pura Kahyangan Jagat Ulun Swi yang ada di Desa Jimbaran ini memiliki beberapa pantangan atau larangan seperti:

  1. Pada hari Buda Kliwon dan Buda Wage seluruh masyarakat pengemong dan penyiwi tidak diperkenankan untuk melakukan persembahyangan di pura ini, serta pada hari tersebut pintu gapura pura akan dikunci agar tidak ada yang masuk ke areal pura. Kepercayaan ini sangat diyakini oleh seluruh pangemong untuk menjaga kesucian pura tersebut dan berdasarkan penjelasan Jero Mangku I Nyoman Nampus (Pengayah di pura Kahyangan Jagat Ulun Swi) menyebutkan bahwa pada kedua hari tersebut dilarang untuk melakukan persembahyangan karena pada hari-hari tersebut Ida Bhatara yang berstana di Pura Kahyangan Jagat Ulun Swi sedang melakukan pertemuan (parum), oleh sebab itu tidak diperkenankan untuk melakukan persembahyangan bagi pengemong dan penyiwinya.
  2. Kepercayaan-kepercayaan yang hidup di dalam masyarakat pengemong dan penyiwi bahwa Pura Kahyangan Jagat Ulun Swi banyak dimanfaatkan untuk melakukan permohonan seperti memohon berkah kehidupan (arta brana), memohon obat bagi yang sakit serta memohon keselamatan.

Adapun tinggalan budaya dari Pura Kahyangan Jagat Ulun Swi di Jimbaran adalah berupa Pelinggih Meru Tumpang Sebelas yang merupakan peninggalan I Gusti Agung Dimade. Saat ini seluruh gapura dan tembok penyengker pura terbuat dari bahan batu andesit berwarna hitam. Pada masa lalu, gapura pintu masuk dan tembok penyengker pura terbuat dari bahan batu bata dan batu batu padas. Di Pura Ulun Swi terdapat berbagai tinggalan budaya antara lain:

  • Prasasti Pendek (1/14-03/BND/2002)

Di Pura Ulun Swi terdapat prasasti pendek yang dipahatkan pada balok-balok kayu sisa-sisa ambang pintu (Kori Agung). Balok-balok kayu bekas ambang pintu tersebut sekarang disimpan di meru tumpang solas. Prasasti tersebut berisi angka tahun yakni 1675 Saka atau 1753 Masehi. Karena balok-balok kayu prasasti tersebut saat ini terpasang bersama kayu meru yang baru sehingga tidak dapat di dokumentasikan dan di ukur.

 

  • Arca Ganesha (1/14-03/BND/2003)

Ukuran :

Tinggi : 69 cm

Lebar : 30 cm

Tebal : 33 cm

Diskripsi : Arca Ganesha berada di pelinggih Ratu Susuhanan. Arca Ganesha terbuat dari batu padas dengan  sikap duduk wirasana yaitu kaki bersila dengan kedua telapak kaki bertemu dan duduk di atas lapik dengan motif hias lidah api, terdapat huruf Bali baru “prᾱs”. Kepala arca memakai mahkota kiritamakuta. Tangan kanan memegang anak panah, memakai gelang tangan dan gelang lengan bermotif bunga, tangan kiri memegang patahan taring, memakai gelang tangan dan gelang lengan bermotif bunga. Attribute lengkap, memakai hiasan yang mewah, memakai kalung, upawita dari bahu kiri menyilang ke pinggang kanan, memakai ikat perut motif garis tebal dengan motif bungan di bagian depan, memakai kain sebatas lutut bermotif bunga, memakai ampok-ampok motif suluran dan simbar.