Profil Pewaqaf “Baitul Asyi” Haji Habib bin Buja’ Al-Asyi (2): Kekuatan Hukum waqf, Penerima Waqaf dan Pengelolanya

0
1036

Salah seorang warga Kerajaan Aceh yang menetap di Tanah Suci Mekkah  sekitar tahun 1224 Hijriah atau 1802 Masehi (sekitar 219 tahun lalu), bernama Haji Habib bin Buja’ Al Asyi Al Jawiy, seorang penuh pesona yang karena kemurahan hatinya telah mewaqafkan hartanya terkhususnya untuk orang Aceh (al Asyi) yang beribadah haji di Tanah Suci Mekkah. Karena kedermawanannya ini, beliau sangat istimewa dan sosoknya sangat melegenda tidak hanya di tanah provinsi Aceh tapi juga di dunia Islam saat ini. 

Ia hidup di zaman pemerintahan Sultan Alauddin Jauhar Al Alam yang memimpin Kerajaan Aceh dari tahun 1795-1838. Pada saat yang sama, Tanah Suci Mekkah sendiri berada dalam pemerintahan ke Khalifahan Turki Oestmani masa Khalifah Selim III (1789-1807) dimana segala hal menyangkut aturan waqaf di atur dengan hukum Islam saat itu.

Sebagai warga kerajaan Aceh yang bernasab mulia, Haji Habib memiliki ayah bernama Buja yang berasal dari Aceh (Al-Asyi Al-Jawiy) atau dari tanah nusantara (Jawiy). Diyakini, sosok Haji Habib adalah pribadi yang sering bepergian ke tanah Suci Mekkah dan menjadi warga disana sehingga bisa memiliki asset bernilai ekonomi tinggi.

Kekuatan Hukum Waqaf dari Haji Habib bin Buja’ Al Asyi Al Jawiy

askah waqaf yang ditulis Qadhi Makkah Al-Musyarrafah, Syaikh ‘Abdul Hafizh bin Darwisy Al-‘Ujaimi (1224 Hijriah/1802 M) menyebutkan substansi hukum waqaf dari Haji Habib bin Buja’ Al Asyi Al Jawiy, antara lain: “….semua itu menjadi waqaf yang sah, penahanan (habs: waqaf) yang terang dan terpelihara; (1) tidak boleh dijual, (2) tidak dihibahkan, (3) tidak digadaikan, (4) tidak diwarisi, (5) tidak dimiliki, (6) tidak dipermilikkan, (7) tidak diganti, (8) tidak dialihkan, (9) tidak dibagi, (10) tidak boleh dirusak dengan apapun bentuk perusakan, tapi (11) tetap dijaga sebagaimana aslinya, dengan mengindahkan syarat-syarat yang dijelaskan nantinya, dan dengan memperhatikan pengagungan hak Allah dan keridhaan-Nya. Waqaf tersebut tidak dapat dibatalkan oleh karena masa yang telah berjalan lama, tidak dapat dilemahkan oleh karena waktu yang sudah berbeda, bahkan semakin berjalannya waktu, semakin tambah menguatkannya; setiap kali datang masa baru, maka semakin mengekalkannya; dan bertambah lama, bertambah kuat dan kokoh.

Penerima Waqaf Haji Habib bin Buja’ Al Asyi Al Jawiy dan Pengelola (Nazhir)

Penerima waqaf tertera jelas kategorinya dalam naskah bahwa pewaqaf (Haji Habib bin Buja’ Al Asyi Al Jawiy) telah mengadakan waqafnya ini untuk (1) kelompok orang-orang Aceh yang datang dari bumi negeri Aceh dari Jawiy untuk melaksanakan haji (para haji) dan tinggal di Makkah Al-Musyarrafah; Jika orang-orang Aceh yang tinggal di Makkah sudah tidak ada lagi dan para jama’ah haji dari Aceh tidak datang lagi, maka diwaqafkan (2) untuk para penuntut ilmu dari Jawiy yang tinggal di Makkah Al-Musyarrafah; Jika mereka semua sudah tidak ada lagi dan tidak ada seorang pun lagi, maka diwaqafkan (3) kepada penuntut ilmu dari penduduk Makkah yang bermazhab Syafi’iy; dan, jika semua mereka sudah tidak ada lagi dan tidak seorang pun lagi, maka diwaqafkan (4) untuk berbagai kepentingan Masjidil Haram.

Disebutkan juga bahwa Haji Habib bin Buja’ Al Asyi Al Jawiy berkata mensyaratkan dalam waqafnya  syarat-syarat yang telah ditegaskan untuk dilaksanakan, serta menjadi rujukan dan pedoman pengelolaan waqaf dan hak kuasa atasnya:

  • Pengelolaan waqaf (nazhir) ini dan hak kuasa atasnya diberikan kepada yang mulia Syaikh Muhammad Shalih bin Almarhum Syaikh ‘Abdus Salam Al-Asyi Al-Jawiy, dan pengawas terhadap pengelola (nazhir) dan para pengelola sesudahnya adalah Mufti Syafi’iyyah di Makkah Al-Musyarrafah;
  • Pada saat yang mulia Syaikh Muhammad Shalih hendak merantau, atau berwasiat sebelum mati yang memang tidak dapat dihindari, maka hendaklah ia mencari pengelola untuk waqaf ini siapa saja yang ia pilih dan inginkan, dan hendaklah ia mewasiatkan waqaf ini kepada orang itu dan memberikan tugas pengelolaan kepadanya;
  • Apabila pengelola telah kembali ke Rahmatu-Llah, dan meninggalkan anak-anak, maka hendaklah pengelolaan waqaf diberikan kepada yang lebih bijak dari anak-anak dan cucu-cucunya, dan demikian seterusnya;
  • Jika waqaf kemudian menjadi untuk para penuntut ilmu dari Jawiy, maka pengelolanya adalah orang yang paling alim dan guru mereka. Dan, jika menjadi untuk penuntut ilmu dari penduduk Makkah, maka pengelolaan waqaf dipegang oleh orang yang paling alim dari ulama Syafi’iyyah dan guru bagi mereka;
  • Jika waqaf kemudian menjadi untuk berbagai kepentingan Masjidil Haram, maka pengelolaannya begitu pula, dipegang oleh orang yang paling alim dari ulama Syafi’iyyah;
  • Apabila terjadi kehancuran yang merusak waqaf ini, maka pengelola menyewakannya dan segera membangun bagian yang hancur serta apa yang dapat mempertahankan wujud fisiknya; dan,
  • Pengelola (nazhir) dapat menempatkan siapa saja yang dikehendaki, disukai, dan dipilihnya dari penerima waqaf.

Pada saat ini, pengelola waqaf (nazhir) “Baitul Asyi” bernama Prof Abdur Rahman bin Abdullah, menetap di tanah suci Mekkahmerupakan keturunan ke-6 dari Syaikh Muhammad Shalih bin Almarhum Syaikh ‘Abdus Salam Al-Asyi Al-Jawiy. Ambo

Referensi: