Sidang Komisi 3 Sesi 1 dan Sesi 2, Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 (10/10)

0
787

Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 (10/10) terdapat Sidang Komisi yang waktu nya paralel di lima ruang yang terbagi atas 3 ruang sidang di Hotel Ambarrukmo dan 2 ruang sidang di Hotel New Saphir Yogyakarta.

Sidang komisi 3 pada sesi 1 dilaksanakan Hotel Ambarrukmo Yogyakarta dengan topik Kerja Sama Internasional yang dimoderatori oleh Ida Sundari Husen.

DSC_0384

Paparan pertama dalam sidang komisi 3 dengan pembicara I Wayan Rai S.

Paparan kedua dalam sidang komisi 3 dengan pembicara Andris Adhitra dengan judul Misi Kebudayaan Sebagai Alat Diplomasi Budaya.

Dewasa ini, aktivitas diplomasi menunjukkan peningkatan peran yang sangat signifikan seiring dengan semakin kompleksnya isu-isu dalam hubungan internasional. Hubungan internasional pun tidak lagi semata-mata dipandang sebagai hubungan antar negara namun juga meliputi hubungan antar masyarakat internasional. Dengan demikian, diplomasi tradisional atau yang dikenal dengan istilah ‘first track diplomacy’ yang hanya melibatkan peran pemerintah dalam menjalankan misi diplomasi, tentu saja tidak akan efektif dalam rangka menyampaikan pesan-pesan diplomasi terhadap suatu negara. Oleh karena itu, aktivitas diplomasi publik yang melibatkan peran serta publik akan sangat dibutuhkan dalam rangka melengkapi aktivitas diplomasi tradisional.

Diplomasi tradisional (first track diplomacy) ala Pemerintah kini berkembang menjadi diplomasi publik atau bisa juga disebut diplomasi informal (second track diplomacy), yang wujudnya bisa dengan diplomasi budaya (cultural diplomacy) lewat misi kesenian. Isu diplomasi publik ini mengemuka karena Pemerintah, jika berjalan sendirian, tidak lagi mampu secara efektif menyampaikan pesan-pesan diplomasi dalam situasi dan isu-isu yang semakin kompleks.

Diplomasi kebudayaan amat populer di awal tahun 1990-an yang dirintis dan dikembangkan oleh Menlu RI Prof. Mochtar Kusumaatmadja. Melalui diplomasi kebudayaan ingin ditanamkan, dikembangkan dan dimantapkan citra Indonesia sebagai negara bangsa yang berkepribadian luhur dan berkebudayaan tinggi. Studi tim Universitas Udayana mengungkapkan diplomasi kebudayaan pada waktu itu berdampak sangat signifikan terhadap peningkatan pariwisata, industri, perdagangan, investasi, pendidikan, dan pelaksanaan politik luar negeri. Diplomasi budaya adalah salah satu bagian dari diplomasi publik yang saat ini digencarkan pemerintah Indonesia sebagai langkah bahwa tidak hanya pemerintah yang bisa aktif bekerja sama dengan negara luar tapi unsur atau aktor swasta dan masyarakat sipil seperti dalam hal ini pelajar Indonesia yang bertujuan mengenalkan budaya Indonesia dan diharapkan tercapai nilai saling menghormati, damai, dan penuh keharmonisan. Di tengah keterbatasan mereka sebagai pelajar, mereka secara swadaya dan gotong-royong mewujudkan keinginannya dalam mengenalkan Indonesia, Sebuah wujud semangat kecintaan dan kebanggaan pelajar Indonesia kepada negerinya yang patut mendapat dukungan dan apresiasi tinggi oleh kita semua maupun para pemangku kebijakan saat ini.

Sebagai negara kepulauan, bentangan Indonesia dari Sabang hingga Merauke menghasilkan variasi kebudayaan khas yang mencitrakan identitas Indonesia sebagai bangsa yang besar. Ragam suku dan etnis merupakan sumber dari bagaimana budaya itu dihasilkan. Seperti contoh yakni berbagai macam tarian tradisional mencerminkan aspek sosial masyarakat Indonesia. Tari-tarian tradisional Indonesia merepresentasikan betapa bangsa Indonesia sangat kaya akan ragam budaya seni tari. Sebut saja dalam ragam tarian Bali. Kita mengenal banyak sekali jenis tarian Bali, bukan? Pencitraan dalam setiap tarian diwujudkan dalam konsep, kostum serta jalan cerita yang berbeda. Hal ini berlaku sama dengan ragam tarian daerah lainnya. Sehingga bukan merupakan hal berlebih apabila kita menyebut bangsa Indonesia kaya akan budaya luhur, seperti tari-tarian. Sebagai warisan budaya bangsa, tari-tarian Indonesia menjadi identitas bagi pengenalan Indonesia dalam kancah internasional. Dalam beberapa kesempatan, generasi muda yang mewakili Indonesia dalam kancah internasional selalu menarik perhatian publik internasional melalui ragam tarian. Kemajemukan tarian Indonesia dianggap sebagai sebuah cerminan akan kebesaran Indonesia. Melalui tari-tarian pesan ke-Indonesiaan yang disampaikan ke dunia internasional dapat terakomodir dengan baik. Tari-tarian Indonesia mencerminkan kekhasan Indonesia sebagai bangsa yang agung, menjunjung keragaman dalam kesopanan dan membahasakan nilai ketimuran melalui persahabatan. Refleksi inilah yang membentuk mindset masyarakat internasional ketika menyaksikan ragam tarian Indonesia dipersembahkan. Seharusnya begitu pula yang terjadi pada pribadi kita sebagai generasi muda bangsa. Membanggakan budaya Indonesia (tidak hanya terbatas pada tarian) sebagai investasi kekayaan bangsa. Rasanya sudah sangat adil apabila dalam sisi yang seimbang pemuda bangsa tidak hanya terpaku pada euforia nilai luar yang pada kenyataannya malah mengurangi kapasitas kebanggaan budaya lokal.

Paparan Ketiga dalam sidang komisi 3 dengan pembicara Makmur Keliat.

DSC_0389

Sidang komisi 3 pada sesi 2 dilaksanakan Hotel Ambarrukmo Yogyakarta dengan topik Menglobalkan Budaya Indonesia yang dimoderatori oleh KRT Sulistyo Tirtokusumo.

Paparan pertama dalam sidang komisi 3 dengan pembicara Dendy Sugono dengan judul Pengglobalan Kebudayaan Indonesia Melalui Pembelajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing.

Pengglobalan atau lebih dikenal sebagai globalisasi merupakan proses masuk ke ruang lingkup dunia internasional. Dalam dunia linguistik atau ilmu bahasa persoalan masuk ke ruang lingkup dunia internasional itu sudah berjalan berabad yang lalu, misalnya cara pandang terhadap bahasa sebagai suatu sistem dalam dimensi struktur dan makna (Ferdinand de Sausurre 1857-1913 dalam Chair, 2005:19). Pandangan itu terkembang dalam linguistik transformasi (Chomsky, 1957 dan 1965) yang melihat wujud bahasa itu merupakan struktur permukaan sebagai hasil transformasi dari struktur dalam (katakan makna dalam pandangan Sausurre atau struktur semantik dalam padangan Chafe 1970). Kemudian, terkembang teori tagmemik yang melihat bahasa sebagai suatu konstruksi dari yang terbesar atau tertinggi dalam tataran hierarki gramatikal (Pike dan Pike, 1982). Bahkan, pada awal abad ke-15 bahasa Indonesia telah menjembatani hubungan bangsa Indonesia dan Cina (Daftar Kata Cina-Melayu) serta bangsa Indonesia dan Italia (Italia-Melayu oleh Pigafetta, 1525). Persoalan pengglobalan linguistik tersebut berjalan secara alamiah akademik tanpa ada aturan kesepakatan.

Keberadaan bahasa daerah di wilayah negeri ini merupakan kekayaan kebudayaan di bumi pertiwi Indonesia, yang juga menjadi kekayaan kolektif dunia. Bagi Indonesia, bahasa daerah memiliki peran sebagai salah satu sarana dalam pengembangangan dan pembinaan kebudayaan daerah menuju pelestarian dalam upaya pelindungan serta sebagai pendukung kebudayaan Indonesia. Berbagai acara adat yang hidup dan berkembang dengan wahana bahasa daerah merupakan salah satu kekayaan kebudayaan di bumi pertiwi ini. Maka, keragaman kebudayaan yang memanfaatkan bahasa daerah sebagai medium itu dapat menjadi salah satu unsur kebudayaan Indonesia yang dikemas menuju lingkup dunia internasional.

Dari hasil pengamatan dan penelitian ke-BIPA-an Pusat Bahasa, sasaran pembelajaran BIPA meliputi peneliti, dosen, diplomat, pekerja, siswa, mahasiswa, wisatawan, dan calon kewarganegaraan Indonesia. Keragaman sasaran pembelajaran BIPA itu memperlihatkana bahwa bahasa Indonesia memiliki daya tarik tersendiri. Mengapa masyarakat asing tertarik bahasa Indonesia? Peneliti atau calon peneliti belajar bahasa Indonesia karena mereka akan melakukan penelitian tentang Indonesia ataupun akan melakukan penelitian di Indonesia. Mahasiswa (Jurusan Indonesia) belajar bahasa Indonesia karena mereka ingin memiliki keahlian tentang Indonesia. Calon diplomat dan pekerja belajar bahasa Indonesia karena akan bertugas di Indonesia. Sementara itu, wisatawan belajar bahasa Indonesia karena ingin jelajah Indonesia dengan keramahan interaksi sosial dengan masyarakat Indonesia. Berbagai fenomena latar belakang orang asing belajar bahasa Indonesia tersebut memberikan indikasi bahwa bahasa Indonesia merupakan pintu masuk Indonesia. Dengan menguasai bahasa Indonesia, mereka dapat memasuki berbagai ranah kehidupan masyarakat Indonesia. Apalagi dengan perkembangan teknologi informasi, adanya internet dan berbagai layanan jejaring sosial, penguasaan bahasa Indonesia itu  makin mempermudah mereka dalam mengakses berbagai informasi tentang Indonesia, termasuk kebudayaan.

Penelitian Pusat Bahasa telah mencatat lebih dari 200 penyelenggara Pembelajaran BIPA di seluruh dunia, Di Amerika meliputi Amerika Serikat 12 universitas/institut, Kanada 1 universitas, dan Suriname 1 universitas; di Afrika ada di Aljazair 1 dan di Mesir 1; di Asia meliputi Arab 3 universitas, Azerbaijan 2 universitas, Cina 4 universitas, Filipina 1 universitas, Indonesia 44 universitas/institut, Jepang 36 universitas, 7 lembaga, 13 pusat kebudayaan, Korea Selatan 5 universitas, Myamar 2 universitas/institut, Papua 2 universitas, Rusia 2 universitas, Singapura 4 universitas/lembaga, Thailand 6, Vietnam 1 universitas; Australia 30 univeritas/institut, sekolah/lembaga kursus 9; Eropa: Belanda 6 universitas/institut, Inggris 3 universtas, Italia 10 universitas/lembaga, Jerman 13 universitas/institut, Prancis 1 universitas, dan Vatikan 3 universitas/institut. Penelitian ini belum tuntas, masih belum menjangkau seluruh penyelenggara pembelajaran BIPA. Sebagaimana prinsip dasar, belajar bahasa pada dasarnya adalah belajar kebudayaan masyarakat penutur bahasa yang bersangkutan. Maka, pembelajaran bahasa Indonesia merupakan pembelajaran tentang Indonesia, baik mengenai kewilayahan Indonesia, warga negara (penduduk dan keragaman etnis/suku bangsa), bahasa-bahasa  (daerah) yang hidup, hukum (terutama adat), ekonomi, politik, agama, ataupun kebudayaan. Atas dasar pemikiran itu, pembelajaran bahasa Indonesia bagi orang asing memiliki sasaran bahan ajar penggunaan bahasa Indonesia dalam berbagai ranah tersebut.

Untuk itu, lembaga pemerintah ataupun swasta yang menangani kebudayaan perlu bekerja sama dalam upaya menjadikan kebudayaan Indoneia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Kerja sama itu juga dimaksudkan untuk menggarap secara bersama dalam memajukan dan mengembangkan pusat-pusat pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing di seluruh dunia.

Paparan kedua dalam sidang komisi 3 dengan pembicara James F. Sundah.

Paparan ketiga dalam sidang komisi 3 dengan pembicara Sri Hastanto.