SEJARAH LEMBAGA KEPRESIDENAN INDONESIA PERIODE 1949 – 1950

Lambang Presiden Republik Indonesia

Bogor (13/5) Pada periode 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950, RI bergabung dalam negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan kedudukan sebagai negara bagian. Hal ini mengakibatkan berlakunya dua konstitusi secara bersamaan di wilayah negara bagian RI, yaitu Konstitusi RIS dan UUD 1945. Pada 27 Desember 1949, Presiden RI Soekarno telah menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI kepada Asaat sebagai Pemangku Jabatan Presiden.

Menurut Konstitusi RIS, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri atas seorang presiden. Presiden dipilih oleh Dewan Pemilih (Electoral College) yang terdiri atas utusan negara-negara bagian dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum menjalankan tugasnya, presiden bersumpah di hadapan Dewan Pemilih. Berbeda dengan UUD 1945, Konstitusi RIS mengatur kedudukan dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara lebih rinci. Selain itu dalam sistematika Konstitusi RIS, hal-hal yang mengatur tentang Lembaga Kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di berbagai pasal.

Lembaga Kepresidenan dalam periode ini hanya berumur sangat pendek. RI dan RIS mencapai kesepakatan pada 19 Mei 1950 untuk kembali ke bentuk negara kesatuan. Pada 15 Agustus 1950, di hadapan sidang DPR dan Senat, diproklamasikan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia menggantikan negara federasi Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS diubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (yang selanjutnya dikenal sebagai UUDS 1950) berdasarkan UU RIS No. 7 Tahun 1950. Pada hari itu juga, Pemangku Jabatan Presiden RI, Assaat, menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI kepada Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia.

Soekarno, adalah tokoh Presiden Pertama dari Indonesia. Jabatan pertama ini dimulai sejak  18 Agustus 1945. Sukarno terpilih secara aklamasi dalam sidang PPKI atas usul Otto Iskandardinata. Ia didampingi oleh wakil presiden Drs. Mohammad Hatta. Menurut aturan yang ada pada saat itu kekuasaan presiden sangat besar. Seiring berjalannya waktu kekuasaan legislatif diserahkan kepada Badan Pekerja Komite Nasional pada bulan  Oktober 1945.

Selanjutnya pada bulan November pada tahun yang sama, Sukarno menyerahkan kekuasaan eksekutif pada Kabinet Syarir I. Namun pada 29 Juni 1946 – 2 Oktober 1946, dan 27 Juni 1947 – 3 Juli 1947, Sukarno kembali mengambil alih kekuasaan saat terjadi keadaan darurat. Pada 29 Januari 1948 Sukarno kembali membentuk kabinet presidensil. Wakil Presiden Mohammad Hatta ditugasi untuk memimpin kabinet sehari-hari. Di sini dapat dilihat bahwa Presiden dan Wakil Presiden melakukan pembagian kekuasaan, sehingga Wakil Presiden tidak hanya duduk di bangku cadangan yang baru diturunkan ketika pemain utama cedera.

Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan aksi militer menyerang Ibu Kota Yogyakarta. Dalam peristiwa ini Sukarno dan Hatta ikut tertawan sehingga praktis pemerintahan lumpuh walau tidak bubar secara resmi. Namun sebelum tertawan, Presiden dan Wakil Presiden sempat mengirimkan mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara yang berada di Sumatera untuk membentuk pemerintahan, dan mandat kepada Menteri Keuangan Mr. A. A. Maramis yang berada di India untuk membentuk pemerintahan pengasingan jika usaha Syafruddin membentuk pemerintahan gagal dilakukan. Syafruddin berhasil membentuk pemerintahan darurat di Sumatera pada 22 Desember 1948. Namun, Belanda lebih memilih berunding dengan pemerintahan tertawan. Hal inilah yang menimbulkan keadaan pemerintahan ganda. Sampai akhirnya pada 13 Juli 1949, setelah melalui proses yang berliku, Syafruddin mengembalikan mandatnya kepada Mohammad Hatta.

Pada 16 Desember 1949 Sukarno terpilih sebagai Presiden Negara Federasi Rebublik Indonesia Serikat. Pada saat yang hampir bersamaan Mohammad Hatta terpilih sebagai perdana menteri negara federasi. UUDS RIS yang melarang rangkap jabatan bagi kepala neara federal dan perdana mentri dengan jabatan apapun, mengharuskan Sukarno dan Mohammad Hatta untuk meletakkan jabatan bersama-sama. Keadaan ini diantisipasi dengan keluarnya UU No 7 Tahun 1949. Dalam UU ini diatur apabila Presiden dan Wakil Presiden berhalangan secara bersama-sama maka Ketua Parlemen diangkat menjadi Pemangku Jabatan Presiden. Akhirnya pada 27 Desember 1949 Sukarno berhenti sebagai presiden dan menyerahkan jabatan Lembaga Kepresidenan kepada Ketua Badan Pekerja KNI Pusat, Mr. Asaat Datuk Mudo.

Pada 27 Desember 1949 Sukarno memulai masa jabatannya yang pertama sebagai presiden negara federal Indonesia. Tidak banyak yang terekam dalam jabatan presiden federal ini yang sangat singkat ini. Sebuah persetujuan antara pemerintah federal RIS (yang bertindak atas namanya sendiri dan atas mandat penuh dari pemerintah negara bagian yang tersisa, pemerintah negara bagian Negara Indonesia Timur dan pemerintah negara bagian Negara Sumatera Timur) dan pemerintah negara bagian Republik Indonesia  (yang beribukota di Yogyakarta) memilih Sukarno sebagai presiden negara kesatuan yang akan dibentuk dari penggabungan RIS dengan RI (Yogyakarta)gyakarta).

Jabatan Presiden Federal dipangku Sukarno sampai tanggal 15 Agustus 1945. Jabatan ini dapat dihitung sebagai maSukarno. Pada tanggal itu presiden federal memproklamasikan berdirinya negara kesatuaan di hadapan sidang gabungan DPR dan Senat di Jakarta. Sore harinya Sukarno terbang ke Yogyakarta untuk membubarkan pemerintah RI (Yogyakarta) dan menerima penyerahan kekuasaan dari Pemangku Jabatan Presiden. Setelah kembali ke Jakarta pada hari yang sama Sukarno menerima penyerahan kekuasaan dari Perdana Mentri RIS.

Pada 15 Agustus 1950 Sukarno secara resmi telah menjadi Presiden Negara Kesatuan yang pertama setelah menerima kekuasaan dari dua pemerintahan RIS dan RI. Jabatan ini dapat dihitung sebagai jabatan ketiga bagi Sukarno. Keesokan hari tanggal 16 Agustus, Presiden melantik DPR Sementara Negara Kesatuan, hasil penggabungan dari DPR (RIS), Senat (RIS), Badan Pekerja KNI (RI-Yogyakarta), dan DPA (RI-Yogyakarta). Sesuai UUDS 1950, Sukarno mengangkat Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden atas usulan dari DPR Sementara. Bagi Hatta jabatan ini dapat dihitung sebagai masa jabatan kedua. Sesuai UUDS 1950 pula, lembaga ini berulangkali membentuk kabinet. Sampai awal 1956 Lembaga Kepresidenan telah membentuk setidaknya enam kabinet dan menerima pengembalian mandat pemerintahan sebanyak lima kali.