PRESIDEN DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Bogor (10/5) 1. Soekarno. Kebijakan pendidikan pada masa presiden Ir. Soekarno adalah Pendidikan Sosialisme yang sesuai tujuan Negara (1961-1966).

  1. Membuang sistem pendidikan kolonial dan mengutamakan patriotism.
  2. Anak yang berumur 8 Tahun diwajibkan memperoleh pendidikan Sekolah Dasar.
  3. Diadakan ujian-ujian Negara yang terpusat dengan sistem kolonial yang ketat dan jujur yang mempertahankan kualitas.
  4. Sosialisme Indonesia yang dijalankan oleh pemerintah , di tingkatan kebijakan, sampai penerapannya dilingkungan pendidikan formal,SMP,SMA dan Perguruan Tinggi itu merupakan salah satu cara mensejalankan tujuan Negara dan tujuan pendidikan dan lahirlah mata pelajaran Ilmu Kewargaan Negara atau Civics, yang diajarkan di tingkat SMP dan SMA.

Sosialisme Indonesia merupakan salah satu materi dalam mata pelajaran tersebut. Pendidikan sosialisme Indonesia didapat melewati akal dan pengalaman empiris.

Seokarno pernah berkata:

“…sungguh alangkah hebatnya kalau tiap-tiap guru di perguruan taman siswa itu satu persatu adalah Rasul Kebangunan! Hanya guru yang dadanya penuh dengan jiwa kebangunan dapat ‘menurunkan’ kebangunan ke dalam jiwa sang anak

Dari perkataan Soekarno itu sangatlah jelas bahwa pemerintahan orde lama menaruh perhatian serius yang sangat tinggi untuk memajukan bangsanya melalui pendidikan.

2. Soeharto. Sejak Pelita I hingga Pelita V mutu pendidikan terus-menerus dijadikan salah satu kebijakan pokok. Peningkatan mutu pendidikan di era Presiden Soeharto cenderung secara patuh melaksanakan kebijakan Bank Dunia.

  • EBTANAS dan UMPTN menjadi seleksi penyeragaman intelektualitas peserta didik.
  • Pendidikan sentralistik dan mentalistik pragmatis.
  • Pemberantasan buta aksara. Kenyataan bahwa masih banyak  penduduk yang buta huruf ditanggapi pemerintahan Soeharto dengan pencanangan penuntasan buta huruf pada 16 Agustus 1978. Tekniknya adalah dengan pembentukan kelompok belajar atau ”kejar”. Kejar merupakan program pengenalan huruf dan angka bagi kelompok masyarakat buta huruf yang berusia 10-45 tahun. Tujuannya, mereka akan mampu membaca serta menulis huruf dan angka Latin.
  • Wajib Belajar 9 Tahun. Upaya pelaksanaan wajib belajar 9 tahun pada kelompok usia 7-15 tahun dimulai saat diresmikannya Pencanangan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun pada 2 Mei 1994.Kebijakan ini diperkuat dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1Tahun 1994.
  • Pembangunan SD Inpres. Program SD Inpres untuk daerah-daerah terpencil dan terisolir diberbagai belahan daerah di Indonesia.
  • Pembentukan Kelompok Belajar atau kejar.

Dalam upaya peningkatan mutu sekolah menekankan ketersediaan fasilitas, seperti pergedungan dan ruang kelas, laboratorium, dan buku teks disamping pembaharuan kurikulum.

3. BJ. Habibie. Masa pemerintahan Presiden Habibie, merupakan masa transisi reformasi. Isu otonomi pendidikan sebenarnya hak bagi setiap institusi untuk memutuskan apa yang baik  bagi sebuah institusi tanpa ada gangguan dari pihak luar. Konsep ini jelas datang dari semangat kebebasan akademis, ketika hak-hak akademis individu untuk mengekspresikanopini mereka terjamin. Di dalam Magna Carta of European Universities yang ditandatangani pada 1988 oleh para rektor dari Universitas terbaik se-Eropa dikatakan bahwa universitas merupakan lembaga yang otonom di tengah-tengah masyarakat yang sangat beragam, baik secara geografis maupun budaya. Universitas adalah produsen utama hampir seluruh produk sosial, politik, dan budaya yang bersinggungan langsung dengan kehidupan masyarakat.

Dalam rangka menarik minat pasar, pendidikan tinggi di Indonesia harus membuka program-program pelatihan, sertifikasi, serta kuliah jarak jauh yang dikelola dengan logika kolaboratif, yaitu ketersambungan dunia bisnis dan pendidikan. Networking atau jejaring adalah kata kunci yang harus dikembangkan secara terus-menerus oleh setiap universitas dalam rangka mencari pola partnership yang tepat antara universitas dan lembaga keuangan (bisnis, entertainer) dan lembaga riset.

4. Abdurrahman Wahid. Kebijakan pendidikan yang diterapkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid adalah menuju desentralisasi pendidikan. Kebijakan desentralisasi pendidikan mengacu pada UU No. 22 tahun 1999 dan No. 25 tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 dan No. 33 tahun 2004 dimana dapat ditangkap prinsip-prinsip dan arah baru dalam pengelolaan sektor pendidikan dengan mengacu pada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi dankabupaten/kota) serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dimana implikasi otonomi daerah bagi sektor pendidikan sangat tergantung pada pembagian kewewenangan di bidang pendidikan yang akan ditangani pemerintah pusat dan pemerintah daerah disisi lain.

Sebuah sistem pendidikan nasional yang disahkan melalui UU Sisdiknas dimana beberapa muatan dalam kebijakan ini secara tidak langsung mencoba melakukan perbaikan mutu pendidikan. Sekolah dan pendidikan adalah dua hal yang bertentangan.Pendidikan tidak bisa disempitkan pada pendidikan formal semata. Konsep desentralisasi yang diusung pemerintah dan didukung berbagai elemen demokrasi dinegeri ini melahirkan berbagai kebijakan yang memiliki implikasi positif terhadap pendidikan nasional. Demokratisasi pendidikan terkait dengan beberapa masalah utama, antara lain desentralisasi pendidikan melalui perangkat kebijakan pemerintah yaitu Undang-undang yang mengatut tentang pendidikan di negara kita.

5. Megawati. Reformulasi konsep pendidikan dan rekonstruksi fondasi pendidikan nasional, utamanya menyangkut hak-hak pendidikan masyarakat dan nilai-nilai dasar pendidikan saat ini mutlak untuk dipikirkan (rethinking) dan direaktualisasi. Salah satu konsepnya adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang mulai diimplementasikan pada sekolah-sekolah dasar dan menengah dibeberapa provinsi diIndonesia, mungkin juga konsep pendidikan “masyarakat belajar” bagi masyarakat akademis seperti digagas Murbandono Hs (1999). Dengan demikian dalam konteks ini, kebijakan otonomi daerah (melalui diterbitkannya UU No. 32 tahun 2004 dan UU No.33 tahun 2004) dan desentralisasi pendidikan dalam rangka perbaikan pendidikan ini sangat perlu dan mendesak.

6. Susilo Bambang Yudhoyono. Pada pemerintaan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahun 2004-2009, anggaran pendidikan ditetapkan sesuai dengan UUD 1945 yaitu 20% dari APBN dan APBD, sehingga banyak terjadi reformasi di dunia pendidikan, terutama dalam dalam pemberian dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Wajib Belajar 9 tahun, dan peningkatan standar penghasilan Guru dengan adanya sertifikasi guru, serta pemberian bantuan pendidikan (Beasiswa) untuk peningkatan Kompetensi guru, dan sebaginya.

Kebijakan-kebijakan pemerintah

Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang  Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional bahwa pendidik merupakan tenaga profesional. Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional  mempunyai visi terwujudnya penyelenggaraan pembelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip profesionalitas untuk memenuhi hak yang sama bagi setiap warga negara dalam memperoleh pendidikan yang bermutu. Di era SBY telah diterapkan standar nasional pendidikan yang meliputi:

  • Standar isi;
  • Standar proses;
  • Standar kompetensi lulusan;
  • Standar pendidik dan tenaga kependidikan;
  • Standar sarana dan prasarana;
  • Standar pengelolaan;
  • Standar pembiayaan; dan
  • Standar penilaian pendidikan.