Buku “Presiden Republik Indonesia 1945-2014”

Buku “Presiden Republik Indonesia 1945-2014”

Bogor (17/5) Ketika perjalanan demokrasi Indonesia dibandingkan dengan Negara-negara lain yang mengalami tuntutan pergantian kepemimpinan di luar keharusan konstitusional, kesan apakah yang didapatkan kalau bukan keterharusasn dan penghargaan pada sikap para pemimpin bangsa. Betapun keras niat mereka bertahan dan melanjutkan kekuasaaan, tetapi ketika penentangan dirasa cukup keras dan cukup luas, maka pada waktu itu pula pangkat dan kekuasaan menjadi tak berarti apa-apa. Keamanan anak bangsa dan ketentraman tanah air merupakan segala-galanya. Mereka pun dengan ikhlas mengundurkan diri. Patriotisme bukanlah hal yang bisa ditawar-tawar. Kecintaan tanah air dan bangsa merupakan dan bangsa merupakan segala-galanya. Itulah nilai-nilai demokrasi yang diberikan oleh para Presiden Indonesia dari masa ke masa.

Uraian dari paragraph diatas merupakan ulasan pada sampul belakang dari buku Presiden Republik Indonesia 1945-2014 yang diterbitkan tahun 2014 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Buku ini berkisah tentang pejalanan aktor-aktor sejarah dalam menjalankan perannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Sejarah bukan lagi sekedar rekonstruksi rentetan peristiwa dalam perjalanan waktu, tetapi juga merupakan susunan potret aktor sejarah yang dianggap memainkan peran yang dominan pada masanya. Setiap aktor sejarah mempunyai tantangan berbeda pada zamanya.

Sejarah mencatat bahwa Sukarno merupakan satu-satunya presiden yang sempat beada di tampuk kekuasaan tertinggi Negara berdasarkan 3 (tiga) Undang-undang Dasar, yaitu: UUD 1945, UUD RIS, UUD Sementara 1950. Presiden kedua, Soeharto adalah presiden terlama menduduki jabatan sesuai dengan UUD 1945. Dalam periode ini kedudukannya sebagai Bapak Pembangunan tidak tergoyahkan.

Tiga aktor-aktor sejarah berikutnya adalah B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarno Putri. Beliau-beliau adalah kepala Negara dalam masa peralihan (1998-2004); tetapi dalam masa tugas yang teramat singkat ini, dengan gaya masing-masing dan dalam konteks problem bangsa dan Negara yang sangat beragam, meninggalkan jejak yang tak mungkin terlupakan dalam persfektif sejarah dan ketatanegaraan bangsa Indonesia. Habibie dengan berani membawa Negara kembali seutuhnya mengikuti keharusan konstitusional. Gus Dur dengan gaya khasnya membuka cakrawala bahwa setiap warga Negara tanpa memperhatikan etnisitas, agama, dan aliran politiknya memiliki hak dan kedudukan yang sama di depan hokum. Megawati Soekarno Putri memperlihatkan kepada dunia internasional bahwa perempuan dapat tampil sebagai presiden di Indonesia, Negara demokrasi ketiga terbesar di dunia dan Negara dengan penduduk beragama Islam yang terbesar.

Berbeda dengan kelima presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY sebagaimanan namanya biasa disingkat, harus turun ke jalan berkampanye menghadapi calon-calon lain. Beliau adalah presiden pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat dan dua kali mendapat kepercayaan dari rakyat sebagaimana UUD 1945 hasil amandemen yang menentukan seseorang hanya boleh dipilih dua kali saja sebagai presiden.

Dengan tekanan berbeda-beda, semua Presiden mengalami saat-saat yang mengetarkan. Ada kalanya hanya selintas, tetapi tak jarang harus dihadapi dengan pilihan yang pasti Ya atau Tidak. Berbagai hal dialami sebagai Kepala Negara, tetapi ketika ujian datang pilihan mereka hanya satu saja, “keutuhan Negara dan bangsa adalah diatas segala-galanya”.

Demikianlah sekelumit ringkasan dari buku “Presiden Republik Indonesia 1945-2014”. Buku tersebut memang dicetak terbatas dan tidak diperjualbelikan, akan tetapi menjadi bahan pustaka yang sangat penting dalam sejarah dan ketatanegaraan di Indonesia.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai Presiden-presiden yang pernah menjabat di Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai periode dan masa jabatanya, maka Museum Kepresidenan Republik Indonesia “Balai Kirti” akan mengadakan Bedah Buku “Presiden Republik Indonesia 1945-2014”. Dengan persfektif sejarah dan ketatanegaraan.