You are currently viewing Prasasti Canggal
Prasasti Canggal Koleksi Museum Nasional

Prasasti Canggal

  • Post author:
  • Post category:Cagar Budaya

Prasasti Canggal
Batu
Gunung Wukir, desa Canggal, kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah
Aksara Pallawa akhir
Bahasa Sanskerta
Tahun 654 Śaka (= 732 Masehi)
Tg. 160,5 cm; Lb. 81,5 cm; Tb. 24,5 cm
No. Inv. D. 4

Prasasti Canggal dipahatkan pada batu berwarna kuning kecoklatan, berbentuk persegi empat pipih (stele), dan bagian tepiannya telah diratakan. Permukaan bidang yang akan ditulisi juga telah diratakan dan diupam terlebih dahulu. Bagian atas atau puncak dibentuk lengkung kurawal.
Pada saat ditemukan, prasasti Canggal kondisinya terbelah menjadi dua bagian, dan saat ini telah direstorasi, disatukan kembali. Pecahan yang kecil ditemukan di halaman candi Gunung Wukir. Pecahan yang terbesar ditemukan di desa Canggal yang letaknya di bawah Gunung (bukit) Wukir. Prasasti Canggal kini disimpan di Museum Nasional, Jakarta dengan nomor inventaris D. 4.
Prasasti Canggal merupakan prasasti nomor dua tertua di pulau Jawa setelah prasasti Tuk
Mas yang menggunakan aksara Pallawa akhir dan bahasa Sansekerta. Angka tahun yang
tertera dalam prasasti ini adalah sruti indrya rasa atau 654 (Saka), merupakan penggunaan candrasengkala tertua dalam prasasti di Indonesia.
Dari segi isinya, prasasti Canggal memberikan keterangan yang sangat penting bagi
penulisan sejarah kuno Indonesia, khususnya di masa kerajaan Mataram Kuno, periode
pemerintahan raja Sanjaya. Prasasti Canggal merupakan prasasti pertama yang dikeluarkan raja Sanjaya untuk memperingati pendirian lingga di atas bukit Sthirangga. Pendirian lingga ini sebagai rasa syukur bahwa ia telah dapat membangun kembali kerajaan dan bertahta dengan aman tenteram setelah berhasil mengalahkan musuh-musuhnya. Mungkin sekali bangunan lingga itu ialah reruntuhan candi di atas Gunung Wukir, mengingat bahwa prasasti Canggal memang berasal dari halaman percandian itu.
Bait-bait awal dari prasasti Canggal ini berisi puji-pujian kepada dewa Siwa, Brahma, dan
Wisnu (trimurti) dengan catatan bahwa pujian untuk Siwa sendiri sebanyak 3 bait. Ini
menandakan bahwa agama yang dipeluk raja Sanjaya dan rakyatnya adalah Hindu Saiwa.
Sudah ada pemujaan terhadap trimurti secara bersama-sama, dan Siwa yang terutama dipuja.
Prasasti Canggal merupakan sumber tertulis Indonesia tertua yang menyebut pulau Jawa atau Yawadwipa. Bait-bait selanjutnya mengenai pujian kepada pulau Yawa (Jawa) yang subur dan banyak menghasilkan gandum atau padi dan kaya akan tambang emas. Di pulau Yawa itu ada sebuah bangunan suci untuk pemujaan Siwa yang sangat indah, untuk kesejahteraan dunia yang dikelilingi oleh sungai-sungai yang suci, antara lain sungai Gangga. Bangunan suci itu terletak di wilayah Kunjarakunja.

Prasasti Canggal juga menyebutkan pendahulu raja Sanjaya. Disebutkan bahwa di pulau
Yawa ini terdapat seorang raja bernama Sanna, yang memerintah dengan lemah lembut
bagaikan seorang ayah yang mengasuh anaknya sejak kecil dengan penuh kasih sayang, dan dengan demikian dia menjadi termasyhur di mana-mana. Setelah ia dapat menaklukan
musuh-musuhnya, ia memerintah dalam waktu yang lama dengan menjunjung tinggi keadilan bagaikan Manu. Akan tetapi setelah Sanna wafat, kembali ke surga untuk menikmati jasanya yang amat banyak, negeri dan rakyatnya menjadi sedih dan kebingungan karena kehilangan pelindungnya.
Adapun yang menjadi pengganti raja Sanna adalah Sanjaya, anak Sannaha, saudara
perempuan raja Sanna. Ia seorang raja yang gagah berani, yang telah menaklukan raja-raja sekelilingnya. Bagaikan Raghu, ia juga dihormati oleh para pujangga karena dipandang
sebagai raja yang paham meletakkan kakinya jauh di atas kepala raja-raja yang lain. Selama ia memerintah dunia ini yang berikatpinggangkan samudera, dan berdada gunung-gunung, rakyatnya dapat tidur di tepi jalan tanpa merasa takut akan penyamun dan bahaya lain. Oleh karena kemakmuran itu, Dewi Kali hanya menangis-nangis saja sebab tidak dapat berbuat apa-apa.