You are currently viewing Frase Bhinnêka tunggal ika dalam Kakawin Sutasoma

Frase Bhinnêka tunggal ika dalam Kakawin Sutasoma

  • Post author:
  • Post category:Sejarah

Jakarta : 10 Juni 2017. Tanggal 1 Juni tahun ini menjadi momentum untuk terus mengukuhkan pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa. Pada tanggal tersebut banyak kelompok, komunitas, organisasi masyarakat, hingga instansi pemerintah melakukan beberapa aksi dan reaksi untuk menggerakkan jiwa masyarakat lebih cinta Pancasila. Aksi dan reaksi tersebut mulai dari kegiatan yang masih bersifat tradisional seperti upacara adat maupun upacara bendera hingga acara pameran. Hal ini dijadikan momentum bagi masyarakat Indonesia untuk kembali mengingat pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa. Dimana akhir-akhir ini bumi Indonesia sedang sedih dijerat masalah-masalah politik yang menyebar sampai menyentuh aspek agama, suku, dan ras sehingga mengancam keutuhan bangsa Indonesia.

Melihat fenomena ini, seakan-akan masyarakat Indonesia lupa akan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Oleh karena itu, tak ketinggalan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggelar Pameran Lahirnya Pancasila agar semua masyarakat dapat mengetahui proses lahirnya Pancasila dan kembali memupuk rasa nasionalisme demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menampilkan beberapa masterpiece salah satunya adalah salinan pertama (1851) Kitab atau Kakawin Sutasoma. Berbahan lontar, beraksara Bali dan menggunakan bahasa Jawa Kuno. Kakawin Sutasoma merupakan karya Mpu Tantular yang ditulis abad XIV pada era Kerajaan Majapahit. Mpu Tantular sendiri adalah seorang penganut Buddha Tantrayana, namun merasakan hidup aman dan tentram dalam kerajaan Majapahit yang lebih bernafaskan agama Hindu. Dari kitab inilah semboyan NKRI dikutip oleh pendiri bangsa ini. Kutipan frase “bhinneka tunggal ika” terdapat pada pupuh 139 bait 5 yang petikannya sebagai berikut :

 Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa,

Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,

Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal,

Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa

Yang artinya :

Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda,

Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?

Sebab kebenaran jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal

Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

Pameran ini digelar mulai 2 sampai 15 Juni 2017 di lobi kaca Museum Nasional. Semoga tujuan dari pameran ini tersampaikan ke masyarakat Indonesia, dimana keanekaragaman yang ada dari ujung barat hingga ujung timur menjadi motivasi tersendiri untuk lebih saling mengenal dan saling menghormati. Penasaran dan ingin menjadi saksi kisah masa lalu? Langsung ke Museum Nasional

Penulis : Prasetyo Budi Agung