You are currently viewing FKAI Bahas Kemajemukan dan Keadilan di Museum Nasional

FKAI Bahas Kemajemukan dan Keadilan di Museum Nasional

Forum Kajian Antropologi bekerjasama dengan Museum NAsional menyelenggarakan Koentjaraningrat Memorial Lectures XIII/2017: KEMAJEMUKAN DAN KEADILAN,

pada tanggal 9 Februari 2017 hadir sebagai pembicara :

Pembicara
Pembicara Kunci: Hilmar Farid, Ph.D., Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI,
Kemajemukan dan Keadilan. Unduh: KML 2017_Makalah_Hilmar Farid_Kemajemukan dan Keadilan

RUMUSAN :

“Kebhinekatunggalikaan”, dan “Keindonesiaan kita” tidak berada dalam ruang hampa.  Dalam seri KML kali ini kita ingin melihat lebih dalam lagi apakah pluralisme kultural atau spirit yang menganggap  bahwa perbedaan-perbedaan sebagai hal normal dan wajar bagi Indonesia sudah dapat memberikan keadilan bagi kita semua tanpa kecuali? Untuk itulah kuliah ini diadakan untuk memberikan perspektif terkini tentang bagaimana seharusnya Indonesia dimengerti, bagaimana caranya membaca, tantangan apa yang sedang terjadi dan bagaimana kita menjawabnya sebagai warganegara Indonesia.

Studi genetika yang dilakukan oleh Dr. Herawati Sudoyo membuktikan bahwa pluralisme adalah fakta tak terbantahkan. Komposisi genetik manusia Indonesia membuktikan adanya tiga fakta penting yaitu: pertama, manusia sudah mendiami kepulauan yang sekarang adalah Indonesia, dari 70 sampai 50 ribu tahun yang lalu. Kedua, adanya gelombang-gelombang migrasi. Ketiga, adanya pembauran genetik dari wilayah Barat ke Timur.  Dalam mengartikan studi sains tersebut, kita tidak dapat lari dari kenyataan bahwa keanekaragaman sudah dimulai dari esensi yang mendasar yaitu komposisi kimia bangsa ini sendiri.

Konsekuensinya, segala usaha-usaha ideologis untuk mendefinisikan bangsa yang “bersatu dalam tumpah darah”, harus bermula dari pengakuan akan keberagaman sebagai fondasi dasar tanpa ragu-ragu. Kita juga harus menerima kenyataan bahwa bangsa ini terkoneksi satu sama lain. Sains membuktikan bahwa tidak ada alasan untuk membangun tembok yang tebal. Pada saat yang sama, studi genetis membuka pintu hati.  Justru kita harus malu kepada usaha-usaha untuk terlalu menjago-jagokan diri sebagai yang terhebat, termurni, terbenar, dan yang terkuat sendirian. Dengan bukti keberagaman genetika, maka inkorporasi dan solidaritas bangsa harus semakin inklusif dan berkontribusi bahkan sampai keluar batas-batas nasional.

Sayangnya, persoalan menguatnya konflik horizontal terjadi di mana-mana di seluruh muka bumi. Ini adalah persoalan terbesar bagi Homo sapiens dengan kemampuan manusiawinya terjebak dalam klasifikasi-klasifikasi yang dibuatnya tentang dunia. Mengkotak-kotakkan manusia, membangun batas-batas, dan memerangi perbedaan dan mengambil manfaat eksklusif dengan menciptakan perang. Manusia terjebak dalam kecenderungan partikularismenya sendiri. Dewasa ini, multikulturalisme yang populer dianggap sebagai jalan politik untuk memberikan ruang pertemuan bagi perbedan-perbedaan kebudayaan tetap menghadapi risiko ketika ruang-ruang pertemuan tersebut tidak dapat diakses dengan demokratis dan adil oleh semua pihak.

Dari Dr. Yudi Latif, kita memperoleh gambaran terkini bahwa globalisasi itu bersifat paradoksal. Globalisasi mempersatukan orang-orang yang memiliki akses kekuasaan ekonomi politik besar dalam kelompok negara-negara beruntung. Di saat yang sama membuang orang-orang yang kalah. Sebuah logika kapitalistik yang membawa konsekuensi penderitaan sosial dan menciptakan tembok dendam. Perlawanan baik sporadis maupun terorganisir kemudian datang dalam bentuk-bentuknya yang semakin ekstrem—hitam putih. Perlawanan ini menggunakan simbol-simbol primordial dan sektarian karena dianggap paling ampuh menggambarkan dengan kontras maka kawan dan mana musuh untuk menggalang kekuatan.

Sifat-sifat partikular yang mencuat ini memperlihatkan adanya kekosongan yang dimanfaatkan “organisasi-organisasi perlawanan” untuk mempopulerkan fantasi tentang identitas utopianya. Gerakan-gerakan massa alternatif menggambarkan dunia ideal sebagai alternatif dunia sekarang yang “terkutuk”. Rekrutmen massa menggunakan fantasi identitas menguat di mana-mana. Masing-masing berusaha mendefinisi diri dengan mempertajam perbedaan dan memperluas ruang dengan meniadakan yang berbeda—bahkan menistakannya. Dikenalnya gerakan-gerakan keagamaan transnasional yang mengambil jalan kekerasan adalah bagian dari krisis paradoksal globalisasi hari ini.

Dalam paparan pemakalah kunci Hilmar Farid,PhD,  hari ini kita sedang menghadapi maraknya gejala sekterianisme dan fanatisme golongan di mana-mana di tanah air. Di perkotaan ketimpangan kelas kaya-miskin yang memicu tumbuhnya harapan atas keadilan ilahi. Itulah yang menyebabkan mengapa kaum miskin kita cepat teradikalisasi oleh isu agama. Puritanisme juga terjadi pada kelas menengah atas kota. Persaingan kerja dan alienasi sosial akibat kapitalisme memicu hausnya kebutuhan akan identitas primordial dan cara beragama yang zakelijk. Ini yang menyebabkan mengapa kelas sosial yang mapan justru menjadi pelaku utama sekterianisme dan puritanisme. Lalu sentimen rasis “invasi pekerja China” hadir karena ketidakpastian kerja yang merupakan konsekuensi logis dari fleksibelitas pasar tenaga kerja yang diakibatkan kebijakan neoliberal global.

Dari paparan Geger Riyanto, kita melihat bahwa identitas yang secara alamiah berwatak cair, membaur, serta bercampur aduk satu sama lain—sebagaimana sudah diperlihatkan oleh Dr. Herawati—mengalami pengerasan akibat proses-proses inklusi dan eksklusi sosial. Ia mengeras karena dieksploitasi sebagai strategi pihak-pihak tertentu untuk mengamankan eksistensi sosialnya dari rambahan pihak lain, serta bagian dari usahanya memperoleh penghargaan dan pengakuan yang dianggap menjadi haknya.

Geger memperlihatkan adanya kecenderungan demikian dengan meringkas studi-studi etnografis yang relevan. Sebagai kasus, kita melihat bagaimana Alifuru serta Dayak, yang awalnya merupakan identifikasi-identifikasi peyoratif dari pemerintah kolonial, menjadi identitas yang dibanggakan karena ia bisa memilah antara orang asli dengan pendatang—antara yang layak memiliki tanah beserta segala kekayaannya dengan yang tidak. Identitas suku asli, kendati menampik keragaman subsuku dari suku bersangkutan, juga bermanfaat untuk melakukan mobilisasi karena kemampuannya untuk mengikat para anggotanya yang sebelumnya tersebar, selain memberikan pendorong emosional.

Geger melihat bahwa imajinasi ketidakadilan mempunyai andil dalam melecut solidaritas berbasis klaim identitas asli ini, sehingga kita tidak boleh mengalihkan mata darinya dengan memvonisnya sesuatu yang sepenuhnya buruk. Ia mengisyaratkan bahwa jangan-jangan ada kesenjangan, ketimpangan objektif yang harus kita perhatikan dari masyarakat bersangkutan.

Namun, ada serenteng pula konsekuensi pelik dari politisasi imajinasi ketidakadilan ini yang telah nyata menyeruak di Indonesia. Kita dapat melihat bahwa eksploitasi imajinasi ketidakadilan telah menjadi modus elite untuk merekrut massa dan menggerakkannya untuk menunaikan kepentingan mereka. Selain itu juga, konflik berbasis identitas yang disulutnya juga rentan mengalami pelebaran ketika melibatkan simbol-simbol agama ke dalamnya. Konflik Maluku Utara maupun Kalimantan Barat terkait dengan persoalan-persoalan ekstra-komunal adalah contohnya. Persoalan-persoalan kegagalan demokrasi ekonomi yang menjangkau ke semua orang tanpa kecuali menciptakan benih-benih ketidakadilan di akar rumput yang mudah meledak. Ketidakadilan ini kemudian ditafsirkan sebagai konsekuensi dari eksklusi yang dilakukan oleh satu komunitas religius terhadap komunitas religius lain yang implikasinya adalah ia memantik konflik agama yang skalanya tak tanggung-tanggung. Pemeluk-pemeluk agama, yang bahkan sebelumnya tak terlibat dalam konflik tersebut, terpanggil oleh solidaritas agamanya dan memperkeruh situasi yang ada.

Untuk menggerus kerentanan ini, Geger menganggap prinsip keadilan sosial yang didengungkan dalam sila kelima Pancasila mendesak untuk dikedepankan kembali. Dengan melakukannya, kita berusaha menutup serapat-rapatnya juga ruang untuk berseminya imajinasi ketidakadilan yang merupakan pelecut eksklusi, marjinalisasi, serta konflik berbasis identitas.

Saat ini di abad 21, konsep “negara” masih merupakan satu-satunya payung untuk mengelola dan mengatur lalu-lintas bangsa-bangsa. Sayangnya, konsep negara itu memiliki kelemahan pada praktiknya. Demokrasi sebagai mesin tunggal bekerja dengan letih. Berhasil baik dalam skala-skala kecil (tingkat komunal), namun sering terseok-seok dalam skala negara, dan dalam skala global menciptakan ruang-ruang gelap yang bernuansa sektarian dan cenderung menggunakan kekerasan.

Jadi bagaimana Indonesia? Orde Baru membuat interpretasi Pancasila yang sempit. Kandungan ideologis Pancasila diterjemahkan untuk mematikan ruang diskusi warganegaranya selama 30 tahun lebih sehingga Pancasila hanya menjadi alat untuk menilai tindakan warga sebagai salah atau benar menurut kepentingan para penguasa waktu itu.

Dr,Yudi Latif justru mengajak kita untuk memahami Pancasila secara radikal dan progresif – seperti dahulu dirancang oleh The Founding Fathers.  Ketuhanan yang Maha Esa sesungguhnya adalah Ketuhanan yang berkebudayaan. Ada suasana plural dalam berketuhanan yang Esa.  Maraknya fundamentalisme agama adalah konsekuensi dari bangsa yang tidak mempraktikkan ketuhanan yang berkebudayaan.  Makna berkebudayaan maksudnya adalah praktik-praktik sosial dari ajaran agama yang mengedepankan kepasitas manusia untuk berhubungan akrab dengan perbedaan tafsir, dan toleran terhadap perbedaan ajaran.  Sila kedua dan ketiga adalah prinsip nasionalisme-internasionalisme. Indonesia adalah kebangsaan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan, mengenal keunikan dan keberagaman namun berdiri atas prinsip semua untuk semua dengan sederajat. Artinya ada prinsip bahwa nasionalisme Indonesia adalah jembatan yang dibangun untuk kepentingan dunia sebagai bagian dari internasionalisme.  Sila keempat bersifat penerjemahan dari prinsip social democratic. Demokrasi permusyawaratan (deliberative democracy) harus bersifat imparsial dan tidak memihak golongan sosial serta kelas tertentu. Sila kelima adalah demokrasi ekonomi, atau jaminan bahwa negara menciptakan keadilan dalam kompetisi ekonomi (yang jauh dari adil itu),  dengan memberikan akses ekonomi pada golongan yang lebih lemah.  Terlepas dari keramatnya Pancasila, inti terpentingnya adalah Pancasila itu harus diterjemahkan rasional, dan dapat masuk ke dalam common-sense menjadi praktik-praktik sosial secara masif. Memahaminya secara radikal artinya mengamalkannya dalam praktik-praktik sosial dan kebudayaan kita sebagai bangsa yang harus dimulai dari sekarang.

Sebagai penutup, negara dan kita semua harus mewaspadai adanya ketimpangan dalam politik rekognisi (pengakuan) identitas dan redistribusi ekonomi. Keduanya dianggap terpisah! Politik pengakuan berurusan dengan masalah identitas, gender, dan multikulturalisme. Tujuannya untuk menghadirkan pengakuan sosial politik berbasis identitas kultural yang mengarah pada hegemoni yang harmonis dalam kehidupan berkebudayaan. Sementara politik redistribusi berurusan dengan akses terhadap keadilan ekonomi bagi semua warganegara Indonesia. Misalnya mengurus ketimpangan akses terhadap sumberdaya ekonomi, mengurus akses terhadap lapangan pekerjaan untuk keadilan bagi kelas pekerja. Tujuannya untuk mengatur kembali hubungan ekonomi yang mengarah pada kesejahteraan sosial. Maka politik multikultural untuk bangsa Indonesia yang beragam hanya dapat berhasil juga dilaksanakan berbarengan dengan peningkatan keadilan sosial ekonomi. Maka secara teknis perlu untuk segera melakukan perluasan akses dan kesempatan dalam kegiatan-kegiatan dan ekspresi budaya. Pengakuan pada keragaman perlu diberi ruang. Di saat yang sama perlu adanya dorongan bagi kegiatan budaya yang punya unsur pemberdayaan ekonomi terutama bagi kaum yang terpinggirkan secara ekonomi dan lemah secara politik. Dengan cara ini akar ketidakadilan yang mengacu pada sekterianisme dapat dibenahi.

Jakarta, 9 Februari 2017

Iwan Meulia Pirous

www.fkai.org