You are currently viewing Sejarah Gedung Kramat Raya 106 Sesudah Sumpah Pemuda

Sejarah Gedung Kramat Raya 106 Sesudah Sumpah Pemuda

  • Post author:
  • Post category:Sejarah

Dalam realisasi sumpah pemuda, kemudian di Gedung Kramat Raya 106 diadakan pementasan drama “Ken Arok dan Ken Dedes” yang disutradarai oleh Roesmali, latihan diadakan di IC dan pementasannya di Gedung Komidi Pasar Baru. Drama ini hasil karya Moh.Yamin, pengatur musiknya DR. Purbotjaroko, dan pelatih seni tarinya Indrosugondo.

Selain di Jakarta pementasan drama ini juga dilakukan di Solo dan Yogyakarta, dan dimana-mana mendapat sambutan yang hangat dari masyarakat. Pementasan ini dimaksudkan oleh pemrakarsa untuk memberi sumbangan dalam rangka mempropagandakan, dan mempopulerkan bahasa Indonesia sebagai bahasa kesatuan, selain pemupukan sejarah sendiri. Karena itu bahasa yang digunakan dalam drama adalah bahasa Indonesia, walaupun musik dan tari-tariannya mengambil dari daerah Jawa.

Riwayat IC Kramat Raya 106 berakhir sekitar tahun 1934, dan bubarnya mempunyai kisah yang unik. Seperti diketahui pemuda-pemuda yang menempati gedung Kramat 106 menyewa dari pemiliknya seorang Cina yang bernama “Sie Kong liang”, tapi sewa gedung itu disekitar tahun 1934 berhutang beberapa bulan, karena anggota-anggotanya tidak membayar. Hutang IC sudah bertumpuk pada pemilik gedung, pada suatu ketika pemilik gedung datang kepada ketua IC (Roesmali) dengan membawa surat pernyataan bahwa IC mempunyai hutang sewa, maksud pemilik gedung ialah agar hutang tersebut diakui oleh ketua IC, ketua IC kemudian mengakuinya dengan menandatangani sebuah pernyataan karena memang IC merasa mempunyai hutang sewa yang belum terlunasi. Surat pernyataan ini dibawa oleh pemilik gedung ke pengadilan sehingga pengurus IC kemudian dipanggil oleh pengadilan. Kesalahan ketua IC ini mendapat omelan dari kawan-kawannya seperti Moh. Yamin, Asaat, Amir sjarifuddin, dan Surjadi.

Dalam sidang pengadilan IC kemudian ternyata mendapat kemenanganatas kelihaian Moh.yamin dan Amir Sjarifuddin sebagai pengacara. Tetapi walaupun begitu pemilik gedung Sie Kong Liang merasa tidak puas dan ia berusaha naik banding. Menghadapi persoalan baru ini Moh Yamin dan Amir Sjarifuddin menyarankan kepada pengurus IC supaya jangan menghadiri sidang, dan berusaha menghindarkan diri. Atas saran kawan-kawannya DR. Roesmali bersembunyi pulang ke Sumatra, dan begitu juga anggota-nggota pengurus lainnya masing-masing bersembunyi.

Sebagai kelanjutannya semenjak saat ini IC membubarkan diri di Kramat Raya 106. Tetapi walaupun IC membubarkan diri di Kramat Raya 106 para anggotanya tidak membekukan diri begitu saja. Mereka mengalihkan kegiatan mereka ketempatyang baru di Kramat Raya 156, untuk meghindari incaran pemerintah Hindia Belanda maka nama IC dirubah menjadi CI, kemudian dipilih pengurus baru walaupun orangnya masih tetap seperti sediakala. Pengurus baru ini diketuai oleh DR. AK Gani, perjuangan CI lalu berlangsung terus sampai masa kemerdekaan.

Setelah para pemuda meninggalkan gedung Kramat Raya 106, maka pemiliknya Sie Kong Liang menyewakan gedung itu kepada seorang Cina juga yang bernama Pang Tjem Yam. Orang ini sebelumnya bertempat tinggal di Gang Kernolong. Sie Kong Liang pernah menceritakan kepada anak-anaknya mengenai gedung Kramat Raya 106 itu, dan yang diceritakan oleh anak-anaknya sepanjang yang diketahuinya saja.

Menurut Ny. Diana Sutrisno anak bungsu almarhum Sie Kong Liang yang sekarang berumur 52 tahun, waktu gedung itu disewakan kepada Pang Tjem Yam ia masih kecil, dan untuk apa rumah itu dipergunakan oleh penyewa tidak diketahuinya. Menurut Ny. Diana Sutrisno, gedung itu pernah dirombak oleh penyewa dan disetujui oleh yang punya gedung. Alasan perombakan adalah karena keadaan gedung ini kurang segar, keadaannya gelap dan kurang menarik, terutama keadaan bangunannya rendah, kemudian bagian yang rendah ini ditinggikan oleh penyewa, supaya keadaannya terang dan segar. Hanya itulah yang diketahui oleh Ny. Diana Sutrisno, dan selain itu ia tidak mengetahui lagi.

Tetapi yang jelas Gedung Kramat Raya 106 itu didiami oleh Pang Tjem Yam dari tahun 1934 bubarnya IC ditempat itu sampai tahun 1937. Kemudian pada tahun 1937 Gedung Kramat Raya 106 itu disewa oleh Loh Jing Tjoe dari Sie Kong Liang pemiliknya.

Menurut keluarga almarhum Loh Jing Tjoe, gedung ini pada tahun 1939 dipergunakan oleh ayahnya untuk toko bunga (Kembang) sampai tahun 1948. Kemudian dikemukakan juga oleh keluarga Loh Jing Tjoe bahwa dalam zaman revolusi fisik tahun 1946, gedung ini dipergunakan oleh pemuda untukmengadakan gerakan, sebagai tempat persembunyiannya. Keluarga Loh Jing Tjoe pada masa ini mengungsi ke Sukabumi dan rumah itu hanya dijaga oleh Loh Jing Tjoe sendiri. Loh Jing Tjoe bersedia menyediakan rumah ini sebagai tempat persembunyian dari gerakan pemuda ialah karena ia sendiri seorang Cina yang menaruh perhatian besar akan perjuangan kemerdekaan Indonesia, disamping itu menurut keluarganya Loh Jing Tjoe sangat kenal baik dengan wakil presiden Moh. Hatta. Sesudah revolusi fisik gedung ini dijadikan hotel oleh Loh Jing Tjoe dengan nama “Hotel Hersia”. Hotel berjalan sebagai hotel umum sampai tahun 1951, dan semenjak tahun 1951 disewa oleh Inspeksi Bea Cukai. Mula-mula hotel dipergunakan oleh Bea Cukai sebagai tempat penampungan sementara. Kemudian oleh Bea Cukai dijadikan kantor pada bagian depannya, dan peristiwa ini terjadi pada tahun 1970. Karena pada bagian depan telah dijadikan kantor maka bagian yang dijadikan kantor itu dilakukan perombakan, yaitu dengan menutup ruangan depan dengan papan yang tadinya terbuka. Jadi tidak pernah diadakan perombakan total cuma dilakukan penambahan bagian depan saja. Penggunaan hotel sebagai kantor ini pada bagian depannya oleh Bea Cukai adalah atas persetujuan almahum Loh Jing Tjoe.

Disamping itu dari pihak anggota IC pada tahun 1960 pernah disusun panitia gedung bersejarah Kramat 106 untuk menyelamatkan gedung ini. Panitia itu terdiri dari Dr. Roesmali sebagai ketua, dengan Prof. Adam Bachtiar Alim sebagai anggota, dan Tan In Hok sebagai bendahara.

Dalam usahanya itu pihak panitia pernah menghubungi Walikota Syamsurizal, dan R Sam dahulu ketua Jong Islamieten Bond, kemudian Walikota Sudiro. Pihak Walikota dan R Sam pada masa itu belum merestui usaha panitia, tetapi walaupun begitu panitia tidak tinggal diam, dan mereka berusaha terus untuk menyelamatkan gedung bersejarah itu. Mereka menghubungi pemilik geduang itu, dan panitia mengemukakan keinginannya untuk membeli gedung itu, dan mereka juga akan mencarikan rumah pengganti di Mampang no. 7.

Dari hasil pembnicaraan antara panitia dan pemilik gedung kemudian tercapailah kata sepakat, dimana pemilik gedung bersedia menjual gedungnya kepada pihak panitia, panitia kemudian meminjam uang dari bank untuk membeli gedung ini. Sesudah uang dipinjam dan hendak diberikan kepada pemilk gedung, ternyata bahwa pemiliknya tidak bersedia menjual gedung itu dengan alasan tidak disetujui oleh anaknya. Gagallah usaha panitia dan sebagai akibatnya panitia dikejar-kejar hutang pinjaman bank.

Kemudian atas inisiatif dari Prof. Sunario SH, dihubungilah tokoh-tokoh Sumpah pemuda, atau orang-orang yang ikut Sumpah Pemuda, diantaranya DR.A Halim, Siti Sundari, Sarwono, A. Mononutu, J. leimena, M Roem, Samawi, Sumanang, Ny. Burdah Jusupadi, Dolly agus Salim, dan Dr. Roesmali untuk memperjuangkan secara bersama, agar pemerintah menunjukkan perhatiannya kepada gedung Kramat Raya 106. Para pemrakarsa kemudian mengirimkan surat kepada Gubernur DKI Jaya pada tanggal 15 Oktober 1968, yang maksudnya untuk meminta perhatian dan membina gedung bersejarah ini serta mengembalikan kepada bentuk semula. Para pemrakarsa merasa khawatir kalau

Gedung ini sampai dibongkar sehingga nilai sejarah yang terkandung didalamnya akan hilang sama sekali.

Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah peristiwa sejarah yang penting dalam perjuangan rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan. Setiap tahun rakyat dan pemerintah kita merayakan Sumpah Pemuda, yang menandakan bahwa peristiwa ini sangat penting dalam sejarah. Kalau gedung dimana dicetuskannya sumpah Pemuda ini tidak dipelihara, maka lama kelamaan peristiwa itu sendiri akan dilupakan orang.

Lebih lanjut para pemrakarsa meminta kepada gubernur agar :

  1. Gedung Kramat Raya 106 dinyatakan sebagai “Gedung Sumpah Pemuda” untuk kepentingan persatuan nasional Indonesia
  2. Kalau perlu didirikan suatu yayasan untuk memelihara dan membantu pelaksanaannya.
  3. Gedung tersebut diberi nama “Gedung sumpah Pemuda”
  4. Jalan Kramat Raya sampai Salemba diganti namanya menjadi “Jalan Raya sumpah Pemuda”

(disarikan dari surat Prof. Sunario SH dan kawan-kawannya 15 Oktober 1968)

Sumber : Buku Peranan Kramat Raya