You are currently viewing 91 Tahun Sumpah Pemuda

91 Tahun Sumpah Pemuda

  • Post author:
  • Post category:Berita

Museum Sumpah Pemuda yang dahulu bernama Gedung Indonesische Clubgebouw didirikan oleh Sie Kong Liong pada awal 1900-an. Gedung yang berada di atas luas lahan 1.284 m² ini lalu menjadi pondokan pelajar seiring dengan pertumbuhan sekolah-sekolah. Para pelajar yang tidak tertampung di asrama tinggal di luar asrama. Salah satu tempat di luar asrama tersebut di antaranya adalah Gedung Indonesische Clubgebouw. Pada 1925 gedung ini disewakan kepada Jong Java sebagai tempat tinggal dan berlatih kesenian “Langen Siswo”, serta berdiskusi mengenai sastra, sejarah, dan politik.

Pada September 1926 Gedung Indonesische Clubgebouw dijadikan kantor Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) sekaligus kantor redaksi majalah PPPI, Indonesia Raja. Seiring berjalannya waktu, Gedung Indonesische Clubgebouw sudah dihuni oleh para pelajar yang berasal dari berbagai daerah. Muhammad Yamin, Abu Hanifah, Amir Sjarifuddin, A.K. Gani, Setiawan, Soerjadi, Mangaraja Pintor, Sugondo Djojopuspito, dan Asaat adalah para pelajar yang mendiami Gedung Indonesische Clubgebouw. Selain itu, gedung yang beralamat di Jalan Kramat Raya 106 ini turut menjadi saksi bisu penyelenggaraan Kongres Pemuda II, termasuk diperdengarkannya lagu Indonesia Raya oleh Wage Rudolf Supratman dan lahirnya ‘Sumpah Pemuda’.

Sepenggal Kisah Mengenai ‘Sumpah Pemuda’

Pada awal abad 20 Kebijakan Politik Etis yang dicetuskan kelompok liberal memicu perubahan tatanan kehidupan masyarakat di Hindia Belanda. Dalam rangka memenuhi salah satu butir Kebijakan Politik Etis tersebut, yakni pendidikan, Pemerintah Kolonial membangun sekolah-sekolah dan memberikan kesempatan kepada kalangan pemuda bumiputra untuk mengenyam bangku pendidikan ala barat. Setelah lulus, mereka diperkenankan untuk menjadi pegawai pemerintahan atau melanjutkan studi di dalam negeri maupun di Belanda. Di sisi lain, para pemuda bumiputra perlahan-lahan menjelma menjadi kalangan elite baru yang memiliki kesadaran akan nasib penderitaaan sebagai bangsa yang terjajah.

Atas nama kesadaran sebagai sesama anak bangsa, para pemuda bumiputra lalu berkumpul menghimpun suatu wadah aspirasi dalam bentuk organisasi, seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Celebes, Pemoeda Kaum Betawi, dan Sekar Rukun, walaupun sejatinya organisasi yang didirikan oleh mereka masih bersifat kedaerahan. Tak mau kalah, para pelajar yang menimba ilmu di negeri Belanda turut membentuk sebuah organisasi yang bernama Indische Vereeniging pada 1908. Organisasi yang nantinya berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) mengeluarkan sebuah manifesto yang dikenal sebagai Manifesto Perhimpunan Indonesia pada 1925. Isi manifesto tersebut adalah mengedepankan persatuan nasional dan mengesampingkan perbedaan sempit yang bersifat kedaerahan.

Manifesto Perhimpunan Indonesia 1925 berdampak cukup signifikan di Hindia Belanda. Pada 15 November 1925 diadakan pertemuan yang dihadiri oleh Soemarto, Soewarso, Mohammad Tabrani (Jong Java); Bahder Djohan, Djamaludin, Sarbaini (Jong Sumatranen Bond); Jan Toule Soulehuwij (Jong Ambon); Sanoesi Pane (Jong Batak), Jong Minahasa, Sekar Rukun beserta beberapa pemuda lainnya untuk membentuk sebuah panitia yang bertugas menyelenggarakan Kongres Pemuda Indonesia Pertama. Tujuan diadakan kongres ini adalah untuk menggugah semangat kerja sama di antara organisasi-organisasi pemuda. Kongres Pemuda Pertama diselenggarakan pada 30 April-2 Mei 1926 di Jakarta dan dihadiri oleh Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, Sekar Rukun, Jong Minahasa, dan Jong Batak. Kongres Pemuda Pertama menitikberatkan pada penyebaran jiwa nasionalisme Indonesia di kalangan para pemuda. Selain itu, terdapat usul untuk melakukan fusi terhadap semua organisasi pemuda demi Indonesia Merdeka.

Kongres Pemuda Kedua

Kongres Pemuda Kedua diadakan pada 27-28 Oktober 1928. Kongres ini merupakan lanjutan dari Kongres Pemuda Pertama. Penggagas Kongres Pemuda II adalah Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI). Kongres ini dihadiri oleh tujuh ratus lima puluh peserta yang berasal dari berbagai organisasi, seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Batak, Pemoeda Indonesia, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, Sekar Rukun, Jong Ambon, dan Pemuda Kaum Betawi. Kongres berlangsung di tiga tempat berbeda dan dibagi dalam tiga rapat dengan susunan panitia sebagai berikut:

Ketua : Soegondo Djojopoespito (PPPI)

Wakil Ketua : Djoko Marsaid (Jong Java)

Sekretaris : Muhammad Yamin (Jong Sumatranen Bond)

Bendahara : Amir Sjarifuddin (Jong Batak)

Pembantu I : Djohan Mohammad Tjaja (Jong Islamieten Bond)

Pembantu II: R. Katjasoengkana (Pemuda Indonesia)

Pembantu III: R.C.L Senduk (Jong Celebes)

Pembantu IV: Johannes Leimena (Jong Ambon)

Pembantu Rochjani Soe’oed (Pemoeda Kaoem Betawi)

Pada rapat pertama, Sabtu 27 Oktober 1928, yang berlangsung di Gedung Katholieke Jongelingen Bond, Muhammad Yamin berpidato dengan judul “Persatuan dan Kebangsaan Indonesia”. Menurut Muhammad Yamin, persatuan dan kebangsaan Indonesia merupakan hasil kemauan sejarah panjang Nusantara, yang disebutnya Roh Indonesia. Kesamaan adat dan bahasa, upaya berbagai kerajaan menyatukan nusantara, persatuan yang dipaksa oleh Belanda, semua itu merupakan proses menuju persatuan dan kebangsaan Indonesia.

Pada rapat kedua, Minggu 28 Oktober 1928,yang berlangsung di Gedung Oost-Java Bioscoop, topik pembahasan adalah mengenai pendidikan dan peranannya dalam mewujudkan kebangsaan. Ada dua pembicara antara lain Poernamawoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro. Mereka membahas mengenai pentingnya pendidikan bagi seorang anak.

Pada rapat ketiga, Minggu 28 Oktober 1928, yang berlangsung di Gedung Indonesische Clubgebouw (sekarang Museum Sumpah Pemuda),dirumuskan sebuah hasil putusan rapat oleh Muhammad Yamin. Sebelum dibacakan, terlebih dahulu diperdengarkan lagu Indonesia Raya gubahan Wage Rudolf Supratman. Para peserta yang hadir dibuat tertegun oleh permainan biola Wage Rudolf Supratman. Bahkan, mereka meminta wartawan Sin po tersebut untuk mengulangi lantunan lagu Indonesia Raya. Namun, Wage Rudolf Supratman melantunkannya hanya sekali.

Setelah mendengar lagu ciptaan Wage Rudolf Supratman, barulah Ketua Panitia Kongres Pemuda Kedua Soegondo Djojopoespito membacakan hasil putusan rapat yang hari ini dikenal sebagai ikrar ‘Sumpah Pemuda’. Isi putusan rapat tersebut adalah

Pertama, Kami putra dan putri Indonesia mengaku, bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.

Kedua, Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.

Ketiga,Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.