Strategi Hatta dalam Menangkis Tuduhan Belanda dengan Penunjukan Sjahrir sebagai Perdana Menteri

Strategi Hatta dalam Menangkis Tuduhan Belanda  dengan Penunjukan Sjahrir sebagai  Perdana Menteri

Abdulrakhman

Dalam kegiatan Seminar Nasional “Proklamasi Kemerdekaan R.I. di 8 Wilayah

Pengantar

Dalam sejarah kemerdekaan bangsa-bangsa di Asia pasca Perang Dunia Kedua, merupakan fakta, bahwa hanya sedikit bangsa yang dalam mencapai kemerdekaannya dilakukan dengan perang mengusir penjajah asing,   khusus  di Asia Tenggara hanya tercatat Vietnam dan Indonesia. Kemerdekaan Vietnam diperoleh setelah mengalahkan Perancis tahun 1954 dan Amerika Serikat tahun 1975. Sedangkan Indonesia memperoleh kemerdekaan, setelah terjadi pertempuran melawan pasukan Jepang di akhir masa pendudukan, dan bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Melawan Belanda pada perang kemerdekaan 1945-1949 dengan strategi bersenjata dan berdiplomasi, akhirnya bangsa Indonesia berhasil mengakhiri penjajahan Belanda dan bangsa Indonesia memperoleh “pengakuan kedaulatan” pada 27 Desember 1949.  Atas dasar fakta ini Anthony Reid, sejarawan terkemuka dari Australia menyebut bangsa Indonesia sebagai “ A Nation by Revolution” (Reid, 2010).

Sepenggal paragraf  di atas untuk menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia, negara kita,  bukan merupakan pemberian Jepang.  Kemerdekaan  Indonesia diperoleh melalui perjuangan yang meneteskan  darah dan keringat para pahlawan kita. Untuk itu sebelum membahas tema pokok permasalahan kita, ada baiknya kita menengok proses menuju Indonesia merdeka, terutama yang terkait dengan Mohammad Hatta.

Masuknya Jepang ke Indonesia

Masa akhir pemerintahan Hindia Belanda dilalui Hatta dalam pembuangan di Neira yang kemudian dipindahkan ke Sukabumi. Hatta dalam biografi politiknya menyebutkan bahwa tidak lama setelah ia berada di Sukabumi, pemerintah  Hindia Belanda menawarkan ke Hatta, melalui Amir Syarifuddin, untuk pergi ke luar negeri sebagai pemimpin Indonesia. Amir memberikan alasan bahwa perlu ada pemimpin Indonesia di luar negeri agar dapat turut serta dalam konferensi perdamaian nantinya, sebagai wakil dari rakyat Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tawaran ini pada awalnya membuat Hatta tertarik, namun Hatta tidak bisa menerima jika biaya kepergiannya ditanggung pemerintah Hindia Belanda karena akan membuat Hatta berhutang budi. Bila ini terjadi maka akan memudahkan pemerintah Hindia Belanda memanfaatkannya. Hatta hanya bersedua jika kepergiannya dibiayai oleh pergerakan rakyat Indonesai, namun Hatta menyadari bahwa hal ini tidak mungkin sehingga Hatta menolak tawaran melalui Amir ini. Sikap Hatta ini menunjukkan bahwa Hatta tidak mau bekerja sama dengan Belanda. (Deliar Noer, 1991)

Lalu mengapa pada masa pendudukan Jepang, Hatta dan juga Soekarno mau bekerja sama dengan Jepang. Sehingga nantinya Hatta  dan Soekarno dicap sebagai kolaborator Jepang. Bahkan Syahrir yang pada masa pendudukan Jepang bergerak di bawah tanah  mencap kabinet Soekarno Hatta sebagai kabinet Bucho.

Masuknya tentara Jepang ke Indonesia pada tiga bulan pertama tahun 1942 mendapat sambutan yang baik dari penduduk setempat. Bahkan tokoh-tokoh nasionalis Indonesia, Hatta dan Soekarno bersedia melakukan kerja sama dengan Jepang. Padahal sebelumnya, pada masa Hindia Belanda dua tokoh ini bersikap non kooperatif.

Tokoh pergerakan kita sebenarnya telah melakukan hubungan dengan Jepang jauh sebelum Jepang menduduki Indoneisa, salah satunya adalah Hatta. Terkait dengan sikap Hatta, Kanahele  mengatakan bahwa meskipun Hatta memiliki keyakinan nasionalis yang mendalam dan sulit untuk dipengaruhi, namun tidak berarti Hatta tidak bersimpati terhadap Jepang. Hatta dengan tegas menolak aktivitas imperialisme Jepang, namun ia tidak mengecam Jepang  terkait tantangan Jepang terhadap rongrongan dari negara-negara Barat. (Marwati, 2009) Sikap Hatta terhadap imperialisme dan fasisme sangat kuat. Hatta dalam satu tulisan di kumpulan tulisannya ia mengatakan bahwa

Pada fasisme tidak dapat dikemukakan cita-cita menentukan nasib bangsa sendiri. Niat kita dalam perang sekarang ini adalah tidak lain  melainkan fasisme hancur lebur sama sekalai…, sebab Jepang yang imperialis adalah acaman yang sehebat-hebatnya bagi Indonesia. (Hatta, jilid I, 1976)

Lalu mengapa Hatta mau bekerja sama dengan Jepang, padahal ia dikenal sebagai anti fasis? Terkait dengan alasan ini Nugroho Notosusanto berpendapat bahwa kemugkinan Hatta dan juga Soekarno yakin akan ketulusan  Jepang dalam janjinya untuk mendukung kemerdekaan Indonesia atau paling tidak suatu pemerintahan sendiri. Sebagaimana yang disampaikan Jepang melalui propaganda yang disampaikannya sebelum Jepang melakukan penyerbuan ke Indonesia. (Marwati, 2009)

Soekarno sendiri dalam an autobiografi-nya yang ditulis Cindy Adams,  menyebutkan antara lain bahwa Jepang sedang dalam keadaan kuat, sedangkan Indonesia dalam posisi yang lemah. Oleh karena itu bantuan Jepang diperlukan oleh rakyat Indonesia untuk mencapai cita-citanya. Oleh karena itu rakyat Indonesia harus melampaui batas penderitaan. (Marwati, 2009)

Hatta sendiri dalam biografi politiknya berpedapat bahwa

Oleh karena diajak oleh pemerintah pendudukan Jepang untuk bekerja sama, maka …, Hatta tidak dapat menolaknya.  Sifat fasisme dan sifat peperangan akan menyebabkan hukuman baginya bila ia menolak –hukuman yang lebih kejam lagi dari pada pembuangannya ke Digul pada masa penjajahan Belanda. (Noer, 1990)

Lebih lanjut Hatta juga yakin bahwa Jepang akan kalah, dan karena itu kesempatan bekerja sama perlu dipergunakan untuk menyusun kekuatan rakyat.   Lebih lanjut juga disebutkan bahwa dengan bekerja sama, Hatta dan para pemimpin nasionalis, berusaha meringankan beban penderitaan rakyat . Para pemimpin juga memperkirakan bahwa perang Asia Timur Raya tidak akan sampai ke Jawa. Dalam arti bahwa tentara Sekutu tidak perlu berperang di Jawa untuk menundukkan Jepang.  Perang akan lebih cepat berakhir apabila Sekutu langsung menyerang Jepang, dan langsung menyerang Jepang,  otomatis  daerah pendudukannya pun akan terlepas dari Jepang (N oer, 1991)

Sejak saat itulah wakil-wakil kita,  aktif dalam organisasi perjuangan yang dibentuk oleh pemerintah Jepang.   Hatta pun kemudian menjadi penasehat militer Jepang (1942), kemudian aktif di Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA, 1942-1943) bersama tiga tokoh lainnya  yang kemudian dikenal dengan empat Serangkai (Soekarno, Ki Hadjar Dewantara,  dan K.H. Mas Mansoer), kemudian aktif dalam Jawa Hokokai (kebaktian rakyat Jawa) sebagai salah seorang pemimpin (1943-1945), kemudian aktif di Tyuo Sangi-In (Dewan Pertimbangan Pusat) sebagai wakil Ketua (1943-1944), kemudian aktif sebagai penasihat (Sanyo) pada Departemen  Ekonomi  sambil merangkap sebagai ketua Dewan Penasihat-Penasihat (Dewan Sanyo), 1944-1945. (Noer, 1990)

Aktivitas Hatta inilah yang dianggap sebagai cermin kerja sama dengan Jepang. Namun kalau kita memperhatikan aktivitasnya dan membaca sumber-sumber terkait dengan  aktivitas itu, terlihat ada upaya pembelaan terhadap rakyat dari yang dilakukan Hatta di setiap aktivitas di lembaga-lembaga tersebut.  Dalam melakukan aktivitasnya, Hatta memiliki keyakinan bahwa Jepang pada akhirnya akan kalah dalam perang dan Jepang tidak akan membiarkan pergerakan rakyat berkembang. Hal ini merujuk pada perkembangan semenjak Jepang masuk ; kemudian larangan berkumpul dan berserikat, dan larangan berpolitik.  Sikap Hatta ini berbeda dengan sikap Soekarno yang berkeyakinan bahwa Jepang akan menang perang, oleh karena itu sikapnya disesuaikan dengan pendapatnya itu.  Ia berharap bisa menegakkan kembali pergerakan rakyat  dengan bekerja sama dengan Jepang.  Dua sikap berbeda ini tidak membedakan tujuan mereka, yaitu menggerakan rakyat kembali untuk menuju Indonesia merdeka. (Hatta,  Memoirs, 1981)

Hatta juga memanfaatkan badan-badan yang ia masukin untuk bekerja sama dengan Jepang sebagai tempat keluh kesah rakyat. Keluh kesah inilah yang kemudian ia sampaikan dengan bahasa yang lain kepada  pemerintah Jepang usulan-usulan yang ia yakini akan bermanfaat bagi bangsa Indonesia ke depan. Tanpa basa basi Hatta mengemukakan usulannya misalnya dalam bidang Pendidikan (Hatta memimpin Sekolah Tinggi Islam yang kemudian menjadi UII, dalam bidang perumahan (misalnya penggantian pondok-pondok buruk dengan rumah sederhana dengan gotong royong membangunnya). Serta berbagai aktivitas lainnya. (Noer, 1991)

Janji Kemerdekaan dari Jepang

Ketika kondisi perang Jepang semakin memburuk, pusat-pusat pertahanan militer Jepang semakin terbuka, para penguasa perang Jepang berusaha untuk tetap mempertahankan pengaruhnya di kalangan pemimpin bangsa Indonesia. Angkatan Perang Jepang makin terjepit dalam perang Asia Timur Raya. Bahkan pada Bulan April 1944, Kepualauan Saipan, yang merupakan pertahan terakhir Jepang di Pasifik, berhasil dikuasai tentara Sekutu, Amerika Serikat. Wilayah ini sangat dekat dengan Jepang, sehingga memunculkan keguncangan  dalam masyarakat Jepang. (Marwati, 2009)

Pada Bulan Agustus 1944, kondisi Jepang makin memburuk. Hal ini terbukti makin mundurnya moril masyarakat Jepang, Industri perang yang semakin merosot yang dampaknya suplay amunisi dan persenjataan berkurang.  Kondisi ini semakin diperparang dengan banyaknya kapal-kapal pengangkut logistik   yang tenggelam.  Kondisi ini menyebabkan situasi politik semakin rumit di Jepang, yang akhirnya membuat Kabinet Tojo jatuh pada  17 Juli 1944 dan digantikan oleh Kabinet Kuniaki Koiso. Salah satu cara yang dijalankan untuk mempertahankan pengaruh Jepang di wilayah-wilayah yang didudukinya adalah  dengan cara memberikan “janji kemerdekaan di kemudian hari”. Alasan Jepang memberikan janji ini agar tentara Sekutu yang akan datang disambut oleh penduduk sebagai penyerbu negara yang akan merdeka, bukan sebagai pembebas.

Janji kemerdekaan  ini dikeluarkan di Tokyo pada tanggal 7 September 1944 melalui sidang Istimewa ke-85 Teikoku Ginkai.  Dalam sidang tersebut Perdana Menteri Koiso mengumumkan pendirian pemerintahan kemaharajaan Jepang, bahwa daerah To Indo, Hindia Timur atau Indonesia diperkenankan merdeka dikemudian hari.  Hal ini kemudian diimplementasikan oleh Panglima Jepang di Jawa, Kumakichi Harada, pada tanggal 1 Maret 1945 dengan mengumumkan pembentukan Dokuritsu Junbi Cosakai (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekan), pada 28 Mei 1945 dan segera melaksanakan sidangnya pada 29 Mei-2 Juni 1945. Sidang kedua dilaksanakan pada tanggal 10-16 Juli 1945. Hatta menjadi anggota di lembaga ini.   Langkah ini merupakan langkah  konkrit pertama pelaksanaan Janji Koiso. Lembaga ini yan menghasilkan suatu rancangan UUD yang akan digunakan oleh Indonesia kelak  jika sudah merdeka.

Implementasi janji kemerdekaan selanjutnya adalah ketika Soekarno, Hatta dan Radjiman di panggil ke Dalat pada tanggal 9 Agustus 1945 untuk bertemu Jenderal Terauchi, Panglima Angkatan Perang Jepang di Asia Tenggara. Di Dalat inilah Soekarno Hatta dan Radjiman menerima keputusan pemerintah Jepang  di Tokyo yang memutuskan memberikan  kemerdekaan kepada Indonesia, yang waktunya diserahkan kepada para pemimpin Indonesia. (Hatta, 2011) Lembaga yang akan menjalankan keputusan ini adalah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau Dokuritsu Junbi Iinkai.

Sepulang dari Dalat Soekarno, Hatta dan Radjiman di sambut oleh para pembesar Jepang di Jakarta dan juga rakyat dan tokoh-tokoh pergerakan lainnya.  Disinilah Soekarno berpidato pendek, ia mengatakan bahwa apabila dulu aku katakan bahwa  Indonesia akan merdeka sesudah janggung berbuah, sekarang dapat dikatakan Indonesia akan merdeka sebelum jagung berbunga. (Hatta, 2011)

Desakan Pemuda Kepada Soekarno Hatta

Kepulangan Soekarno Hatta telah ditunggu oleh tokoh-tokoh pemuda, diantaranya Syahrir. Ia menanyakan  kemerdekaan Indonesia dan menyampaikan bahwa Jepang sudah menyerah kepada Sekutu. Syahrir berpendapat bahwa penyataan kemerdekaan Indonesi jangan dilakukan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.  Menurut Syahrir kemerdekaan Indonesia akan dicap sekutu sebagai buatan Jepang dan diduga akan dihapuskan oleh sekutu. Sebagai gantinya Indonesia akan diserahkan kembali kepada Belanda untuk melanjutkan statusnya sebagai Hindia Belanda sebagaimana sebelum pecah perang Pasifik. Umumnya kalangan pemuda dan mahasiswa sependapat dengan Syahrir. Namun semua keinginan itu kandas di tangan Soekarno, bahwa sebagai ketua PPKI tidak mungkin ia akan memerdekaan sendiri, itu sesuatu yang janggal. Hatta juga menegaskan bahwa sama saja pernyataan kemerdekaan itu diucapkan Soekarno sebagai pemimpin rakyat dan oleh Soekarno sebagai ketua PPKI, yang sejak semula bekerja sama dengan Jepang dan oleh Belanda tetap dituduh sebagai penghianat. (Noer, 1991)

Upaya penjelasan yang diberikan oleh Soekarno dan Hatta tidak bisa diterima oleh kalangan pemuda. Pemuda terus melakukan desakan, bahkan dengan ancaman. Di sisi lain pendirian Soekarno tetap tegas, yang akhirnya membuat kalangan pemuda menculik Soekarno Hatta dan dibawanya ke Rengasdengklok pada tanga 16 Agsustus 1945.. Dengan alasan bahwa  rakyat dibantu dengan pemuda dan mahasiswa pada pukul 12 tengah hari akan menyerbu ke kota  dengan dibantu mahasiwa dan Peta untuk melucuti Jepang. Oleh karena itu Soekarno Hatta akan diamankan  ke Rengasdengklok.(Hatta, 2011)

Setelah seharian penuh Soekarno dan Hatta  berada di Rengasdengklok, para pemuda tetap tidak mampu menekan Soekarno Hatta supaya segera melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan terlepas dari semua hal yang berkaitan dengan Jepang.  Soekarno Hatta kembali ke Jakarta malam hari tanggal 16 Agustus 1945.  Hal ini terjadi karena adanya usaha Subardjo. Begitu Subardjo mendengar Soekarno Hatta di culik,  Soebardjo langsung mencari informasi keberadaan Soekarno Hatta.  Ia kemudian ketemu Wikana, dan berdua mencapai kata sepakat terkait dengan kemerdekaan Indonesia harus dilaksanakan di Jakarta, oleh karena itu Soekarno Hatta harus segera dikembalikan ke Jakarta. Soebardjo juga menegaskan tentang kesediaan Maeda Tadashi  menyediakan rmahnya untuk dijadikan ruang rapat PPKI dan menjamin keselamatannya.  Subardjo akhirnya diantar oleh Yusuf Kunto untuk pergi ke Rengasdengklok  menjemput Soekarno Hatta.   Agar Soekarno Hatta dapat dibawa kembali ke Jakarta, Subardjo memberikan jaminan bahwa kemerdekaan Indoneia akan dilaksanakan paling lambar tanggal 17 Agustus 1945, keesokan harinya paling lambat pukul 12.00. Jika hal ini tidak terncapai maka Subardjo menjaminkan nyawanya.

Setibanya di Jakarta,  Subardjo menghubungi anggota PPKI untuk sidang dan Subardjo juga mengusahakan tempat rapat yaitu di rumah Laksamana Maeda. Namun sebelum rapat dimulai, Soekarno Hatta atas permintaan  Somubucho, Jendral Nishimura  untuk menemuinya. Dalam pertemauan ini Soekarno mengungkapkan kembali rencana untuk memerdekakan Indonesia. Namun Soekarno dan  Hatta mendapat respon bahwa  Jepang harus menjaga status quo. Tidak mungkin Jepang memberikan lagi janji kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Imamura menegaskan bahwa kalau itu dilakukan sebelum pukul 13.00 kemerdekaan  masih dapat dilangsungkan. Namun jika dilakukan setelah itu maka akan menghadapi kekuata militer Jepang.  Ini sebuah bukti bahwa kemerdekaan Indonesia bukan merupakan pemberian dari Jepang. Setelah lobby yang cukup panjang akhirnya pemerintah Jepang tetap kukuh bahwa tidak boleh melakukan aktivitas apapun. Mendapatkan kondisi seperti ini Sukarno Hatta pada akhir akan memerdekan Indonesia dengan atau tanpa Jepang. (Hatta, 1969)

Merumuskan Naskah Proklamasi

Soekarno Hatta  kemudian meninggalkan rumah Nishimura dan menuju rumah Maeda.  Setelah bercerita tentang apa yang dibicakan dengan  Nishimura, Soekarno Hatta undur diri menuju ruang tamu kecil untuk membuat teks ringkas tentang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.  Hasil dari pertemuan ini kemudian tersusun suatu teks naskah proklamasi Indonesia yang kemudian dibacakan pada 17 Agustus 1945 pada pukul 10.00.   Naskah ini ditandatangani oleh Soekarno Hatta atas nama eda  Indonesimaah maedah, namun ma setelah meperoleh persetuan dari yang hadir. Walaupun dilaksanakan di rumah Maeda, bukan  berarti bahwa kemerdekaan kita    pemberian Jepang. Karena dalam penyusunan dan pelaksananya tidak melibatkan tentara Jepang. Hal ini terlihat  pada perencanaan dan pelaksanaan pembacaan naskah Proklamasi yang dilaksanakan pada pukul 10 di rumah Soekarno. Hal ini menghindari dari patroli Jepang yang biasa dilakukan pada pukul 9 dan pukul 11. Ini tentunya kalau kemerdekaan pemberian Jepang kapan saja bisa dilakukan waktunya.

Masa Republik Indonesia Merdeka..

Suatu tantangan bagi sebuah negeri yang baru merdeka adalah memertahankan kemerdekaan. Indonesia negeri yang begitu luas wilayahnya belum mempunyai pemerintahan yang satu, oleh sebab itu maka pada tanggal 18 Agustus PPKI dalam sidangnya mengangkat Soekarno Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

 Dalam sidang-sidang lainnya, PPKI menetapakan pembagian wilayah Indonesia  yang terdiri atas 8 Provinsi dan  Kementerian , pembentukan Komite Nasional  , pembentukan Partai Nasional Indonesia  dan Lembaga Ketentaraan dengan nama Badan Keamanan Rakyat.

Komite Nasional Indonesia akan dibentuk ditingkat pusat dan tingkat daerah. Komite Nasional Indonesia di tingkap pusat dikenal dengan nama Komite Nasional Indonesia Pusat yang diresmikan pada tanggal 29 Agustus 1945. Tujuan komite ini adalah mempersatukan semua lapisan dan bidang pekerjaan agar tercapai solidaritas  dan kesatuan nasional yang erat dan utuh, membantu menenteramkan rakyat  dan melindungi keamanan serta membantu para pemimpin  untuk memwujudkan cita-cita bangsa. Bila ditilik dari pasal IV aturan tambahan dan aturan peralihan UUD 1945 disebutkan bahwa Komite Nasional Indonesia  adalah badan yang bertugas membantu Presiden menjalankan kekuasaan MPR, DPR dan DPA sebelum lembaga tersebut terbentuk.  KNIP pertama kali dipimpin oleh Kasman Singodimedjo.

KNIP pada era Kasman Singodimejo, dapat disimpulkan bahwa lembaga tersebut tidak berfungsi sebagai lembaga legislatif. Namun lebih sesuai dengan  fungsi  KNIP  sebagai lembaga pembantu eksekutif sesuai dengan Pasal IV Peraturan Peralihan  UUD 1945.  Dalam perkembangan, para pemrakarsa kemerdekaan, terutama kalangan pemuda,  ingin menjadikan KNIP sebagai lembaga legislatif tempat pemerintah memberikan pertanggungjawabannya. Keinginan ini semakin meningkat setelah kabinet yang pimpin Soekarno  diaggap ragu-ragu dalam bertindak. Misalnya kabinet ini terlalu memperhiungkan keberadaan Jepang di Indonesia yang mendapat tugas dari Sekutu dan peran Sekutu sendiri di negara kita. (Noer, KNIP)

Pada tanggal 7 Oktober 1945, kelompok pemuda dalam KNIP mengajukan petisi kepada Presiden Soekarno yang ditandatangani oleh 50 orang agar KNIP diberi kewenangan legislatif.  Berdasarkan petisi inilah kemudian, pada tanggal 16 Oktober Wakil Presiden Hatta mengeluarkan Maklumat  No X, yang menyatakan bahwa  sebelum MPR dan DPR terbentuk, KNIP diberi kekuasaan legislatif  dan ikut serta dalam menentukan garis-garis besar haluan negara. Dan tugas sehari-hari KNIP dijalankan oleh Badan Pekerja KNIP.  (Maklumat no X) Disinilah terjadi masa peralihan KNIP menjadi lembaga legislatif.

Perkembangan KNIP menjadi lembaga legislatif didorong oleh desakan kelompok demokrasi parlementer dan juga kelompok yang kurang percaya pada Soekarno Hatta yang pada jaman Jepang berkerja sama dengan Jepang. Dan juga  kepada para menteri  dari Kabinet Soekarno yang sebagian besar menjadi pegawai tinggi pada masa Jepang. Kalangan ini menginginkan pengikisan pengaruh-pengaruh Jepang dari badan-badan dan kelembagan RI. Hal ini terleihat dari pergeseran Kasman selaku ketua KNIP, yang pada jaman Jepang menjadi komandan Peta di Jakarta.  Namun kalangan ini tidak mungkin menggeser Soekarno Hatta dari kedudukannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Rakyat Indonesia gegap gempita karena tokoh ini dan kemerekaan Indonesia bagaikan bergantung pada dua tokoh ini pula. (Noer, 2005)

Maklumat No X yang dikeluarkan oleh Hatta pada tanggal 16 Oktober 1945 mengubah sistem pemerintahan Indonesia dari Kabinet Presidensial menjadi kabinet parlementer.  Langkah pertama kearah itu adalah peningkatan status KNIP  menjadi pengganti DPR dan mengambil sebagian tugas MPR. Sejak saat itu KNIP berfungsi sebagai badan legislatif bersama Presiden. Untuk menjalankan fungsi keseharian sebagai lembaga legislatif dibentuk Badan Pekerja KNIP. Sedangkan fungsi MPR yang dimiliki KNIP adalah bersama Presiden menetapkan Garis Besar Haluan Negara. (GBHN) (Noer, 1991) Semenjak penetapan perubahan ini, kebijaksanaan politik pemerintah mulai beralih dari kepala negara ke BP KNIP, namun tidak berarti bahwa Presiden dan Wakil Presiden  hanya tinggal sebagai simbol belaka.  Wibawa KNIP bergantung juga pada wibawa Soekarno Hatta. (Noer, 1991)

Perubahan kedudukan dan fungsi KNIP mendorong munculnya Syahrir ke ranah politik pasca kemerdekaan.  Syahrir yang mulanya acuh tak acuh  dengan perkembangan sesudah proklamasi mulai menyokongnya.( Kahin, 1980). Syahrir kemudian masuk ke dalam KNIP atas usulan Nyi Mangoensarkoro. (Hatta, 2011) Syahrir kemudian terpilih sebagai ketua BP KNIP dengan anggota sejumlah 15 orang. Hal pertama yang dilakukan BP KNIP adalah memberikan penjelasan atas Maklumat   Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, tentang kedudukan dan fungsi BP KNIP. (lihat lampiran).

Jalan ke arah perubahan sistem pemerintahan serta kenaikan Syahrir di kancah politik tidak terlepas dari peran Hatta.  Tdak lama setelah Hatta mengeluarkan Maklumat  No. X, Hatta mengumumkan maklumat baru pada tanggal 3 November 1945.  Maklumat ini memberikan kesempatan pada rakyat  untuk medirikan  partai-partai politik “agar dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran yang ada dalam masyarakat”.  Selain itu partai-partai tersebut juga “hendaknya memperkuat  perjuangan kita mempertahankan kemerdekaan dan memperjuangan keamanan masyarakat”. (Maklumat Presiden 3 November 1945).  Maklumat ini dikeluarkan atas usul BP KNIP, sehingga tanggung jawabnya tidak hanya terletap pada kepala negara saja, apalagi diletakkan pada pundamek Hatta, karena ia yang mengumumkan dan menandatanganinya.   Karena keputusan ini banyak menuai kecaman, terutama dari kelompoknya Tan Malaka, bahkan oleh Soekarno pada masa-masa berikutnya.

Mereka menganggap bahwa tindakan Hatta ini mengancam persatuan, padahal persatuan yang kuat sangat dbutuhkan dalam  sebuah revolusi dan harus dicerminkan dalam bentuk nyata. Namun Hatta lebih melihat bahwa persatuan  itu ada pada faham dan sikap, dan kalau pun orang berbeda pendapat, namun saling menghormati perbedaan pendapat itu juga sebagai cerminan sebuah persatuan.  Motivasi dikeluarkannya maklumat tanggal 3 November 1945 disamping sebuah cerminan dari hak-hak politik rakyat dan demokrasi, juga sebagai  persiapan pemilihan umum yang direncanakan akan diadakan pada Januari 1946. (Noer, 1991)

Selain usulan tentang pembentukan partai-partai politik, BP KNIP juga mengusulkan kepada Presiden tentang kebijakn politik dalam negeri dan luar negeri, yang kemudian menjadi maklumat 1 November 1945 yang ditandatangani Hatta, yang isinya menuduh Belanda secara “tidak bertanggung jawab … menyerahkan bangsa Indonesia kepada bangsa Jepang dalam keadaan tidak berdaya”.  Oleh sebab itu, “ bangsa Belanda tidak berhak lagi terhadap Indonesia”, dan Indonesia menolak Belanda datang kembali ke Indonesia “ dengan alasan melucuti senjata Jepang di Indonesia”. (Noer, 1991) Kebijakan ini suatu gambaran penolakan atas kedatangan kembali Belanda ke Indonesia. Bangsa Indonesia tidak benci pada bangsa asing termasuk bangsa Belanda.  Namun sebaliknya bangsa Indonesia juga butuh bantuan asing untuk bantuan teknik dan modal asing untuk membangun Indonesia.

Usulan BP KNIP lainnya adalah usulan tentang pertanggung jawaban menteri kepada lembaga perwakilan. Pada intinya merupakan perubahan sistem eksekutif pemerintahan. Dasar pemikirannya terletak pada kedaulatan rakyat yang dirasa perlu tercermin dalam hubungan pertanggungjawaban menteri kepada parlemen.  Usulan ini pun disetujui oleh pemerintah dengan pertimbangan politik  untuk menangkis serangan-serangn dari luar negeri terhadap Soekarno Hatta yang selalui dicela sebagai kolaborator Jepang.  Di sisi lain pemerintah mau tidak mau harus berhubungan dengan pihak sekutu.  Agar supaya presiden dibebaskan dari serangan itu dan agar pemerintah bisa berhubungan dengan luar  dan bisa menangkis serangan-serang itu atas nama rakyat maka dibentuklah sebuah kabinet parlementer. Pembentukan ini merupakan persetujuan antara Soekarno dan Hatta atas usul dari BP KNIP.  Persetujuan ini kemudian direalisasikan dengan mengangkat Syahrir sebagai Formatur Kabinet pada tanggal 14 November 1945 untuk membentuk kabinet parlementer yang sementara. Alasan yang digunakan oleh pemerintah pada waktu itu adalah Presiden “mendelegasikan” kekuasaanya kepada Perdana Menteri untuk mengatasi kesulitan-kesulitan  pemerintah sementara waktu.  (Noer, 1991) Sedangkan Syahrir dan kawan-kawannya dari Partai Sosialis berpendapat bahwa kabinet RI dibawah pimpinan Syahrir memudahkan perundingan dengan Belanda. Karena Syahrir di mata Sekutu tidak termasuk “black list” sebagai kaki tangan Jepang. (Salam, 1990)

Walaupun demikian muncul pendapat-pendapat lain yang mengatakan bahwa disatu sisi perubahan sistem itu bisa diangap sebagai sebuah terobosan karena mempertimbangkan kebutuhan mendesak, namun ada juga yang mengatakan bahwa perubahan itu telah menjadikan Syahrir naik sebagai orang nomor satu di Indonesia. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa tindakan ini merupakan pengkhianatan pertama kali UUD 1945 atau dengan kata lain Syahrir dengan diam-diam telah melakukan kup kepada Sukarno. (Syahrir, 2010)

Sementara itu, Adam Malik dan Chairul Saleh lebih memberikan dukungan karena mereka menentang percobaan Soekarno membentuk sebuah partai tunggal, PNI. Sehingga  memunculkan kekahwatiran akan munculnya fasisme. Atas pertimbangan inilah Syahrir dimunculkan. (Syahrir, 2010)

Pandangan lain datang dari Soebardjo, dalam buku Kesadaran Nasional , menyebut tindakan Syahrir sebagai Silent  Coup. Sedangkan Ali Sastroamidjojo menyebutnya sebagai penyelewengan. (Syahrir, 2010)

Bagi Hatta perubahan kedudukan KNIP ini tidak merupakan secara otomatis terjadi suatu penyimpangan dari Undang-undang dasar yang perlu disesali atau dikecam. Hal ini menurut Hatta disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, perubahan ini dilakukan melalui KNIP yang merupakan pengganti DPR yang belum dapat dipilih, jadi prosesnya sudah demokratis, begitu juga pembentukan Kabinet Parlementer. Kedua, sifat KNIP seperti itu merupakan suatu kompromi antara kegairahan mereka yang tergolong muda yang semenjak sebelum prokalamasi telah banyak berbeda pendapat bahkan berselisih pendapat dengan generasi yang lebih tua, Soekarno Hatta, Ketiga,  Kompromi ini tidak meniadakan sistem kabinet  presidensiil  sama sekali, karena bila keadaan memerlukan,  pimpinan pemerintahan dapat dipegang kembali oleh Presiden atau Wakil Presiden. Keempat, Walaupun Hata tidak  setuju dengan penilaian Syahrir yang negatif terhadap mereka yang bekerja sama dengan Jepang, Hatta bisa memahami Syahrir dengan baik dan jalan pikiran mereka banyak sejalan.  Oleh sebab itu BP KNIP dibawah pimpinan  Syahrir dapat ditolelir Hatta. (Noer, 1991)   Di sisi lain juga Poeze menyebutkan bahwa ciri-ciri yang disebutkan oleh Ben Anderson dalam bukunya Revolusi Pemuda, tidak pada tempatnya, karena Soekarno Hatta toh telah menyetujui rencana perubahan tersebut, karena pilihan lain selain persetujuan itu tidak ada.

Dalam perkembangannya, taktitk dari Pimpinan Pemerintah RI waktu itu, yaitu Soekarno Hatta,  dengan mengorbitkan Syahrir sebagai Perdana Menteri adalah untuk menghadapi Sekutu dan Dunia Internasional agar tidak curiga terhadap Republik Indonesia.  Sedangkan untuk urusan dalam negeri, Soekarno Hatta tampil sebagai lambang pemersatu Rakyat Indonesia yang dihormati dan disegani. Tanpa Soekarno Hatta, di dalam negeri Syahrir tidak akan memperoleh dukungan rakyat. Wibawa Syahrir merupakan pantulan dari wibawa dan popularitas Soekarno Hatta.

DAFTAR PUSTAKA

Maklumat Wakil Presiden No. X tentang pemberian Kekuasaan Legislatif kepada Komite Nasional Indonesia Pusat. Tanggal 16 Oktober 1945.

Maklumat Pemerintah Republik Indonesia 3 November, tentang pembentukan Partai-partai politik.

Djoened Poesponegoro, Marwati. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid VI (edisi Pemutakhiran). Jakarta: Balai Pustaka; 2009.

Gramedia. Mengenang Syahrir: Seorang Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisihkan dan Terlupakan. Jakarta: Gramedia, 2010
Hatta, Mohammad, Untuk Negeri KU: Munuju Gerbang Kemerdekaan , sebuah otobiografi, Jakarta: Kompas, 2011
Hatta, Mohhamad. Indonesian Patriot: Memoirs.  Sinagapore: Gunung Agung, 1981
Kahin. J . Mc. T. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia,   Kualalumpur:
Mrazek, Rudolf. Syahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996
Noer, Deliar dan Akbarsyah. Komite Nasional Indonesia Pusat.1945-1950.  Jakarta: Yayasan Risalah
Noer, Deliar. Mohammad Hatta: Biografi Politik, Jakarta: LP3ES, 1991
Poeze, Harry A. Tan Malaka, gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia. Jilid 1. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Salam, Solichin. Syahrir Wajah Seorang Diplomat. Jakarta: Pusat Studi dan Penelitian  Islam. 1990