PROKLAMASI dan KISAH dari DELAPAN PROPINSI
Taufik Abdullah
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Dalam kegiatan Seminar Nasional “Proklmasi Kemerdekaan R.I. di 8 Wilayah”
Museum Perumusan Naskah Proklamasi tanggal 30 Okober 2014
Ketika perhatian berkisar pada peristiwa yang baru saja dilalui maka tiada keanehan apapun yang terasa seandainya yang terjadi di bulan Agustus dibicarakan di bulan Oktober. Bukankah peristiwa di bulan Agustus itu telah berlalu? Maka suatu kesimpulan—entah baik, entah sebaliknya atau bahkan hanya netral saja – tentang peristiwa yang telah berlalu itu telah bisa juga dirumuskan. Kalau saja ada yang keberatan dengan rekonstruksi peristiwa dan kesimpulan yang diambil dari peristiwa itu maka usaha untuk mempersamakan pandanganpun mungkin juga didapatkan. Perbedaan persepsi dan pemahaman terhadap realitas yang telah berlalu mudah-mudahan bisa juga saling memahami dengan tenang dan bijaksana—setidak-tidaknya begitulah sikap demokratis yang sejati yang kini entah mengapa seperti telah terlupakan saja .
Perasaan agak aneh mungkin bisa menyelinap dengan begitu saja kalau dua peristiwa yang telah dirasakan sebagai pancaran dari dinamika kehidupan kebangsaan dibicarakan dalam urutan yang terbalik. Cobalah balik-balik lembaran buku pelajaran sejarah Indonesia. Bukankah “peristiwa Oktober 1928” biasa diperkenalkan– dan semoga dipahami juga — sebagai awal simbolik dari proses ke arah terjadinya “peristiwa 17 Agustus 1945”? Bagaimanakah dinamika dan gejolak dari tanggal “17 Agustus 1945– ketika Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan –bisa dipahami seandainya makna simbolik dan dampak historis dari peristiwa yang terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928 tidak diketahui dan disadari? Bukankah pada tanggal ini kehadiran sebuah bangsa, yang bernama Indonesia, dinyatakan sebagai suatu realitas yang tidak bisa diengkari? Memang benar – jika rangkaian peristiwa sejarah hendak ditelusuri, tanggal ini sesungguhnya tidak lebih daripada sekedar kulminasi dari rentetan peristiwa saja. Peristiwa Kongres Pemuda II di bulan Oktober, 1928 itu terjadi jauh setelah para mahasiswa yang bersekolah di negeri Belanda menyatakan diri sebagai putra Indonesia dan menjadikan ucapan “Indonesia vrij nu” sebagai motto. Tetapi bukankah pada akhir Oktober 1928 ini praktis semua perkumpulan pemuda dan pelajar yang bersifat kedaerahan dan insulerdi tanah air menyatakan diri mereka sebagai bagian dari komunitas yang mengaku sebagai berbangsa dan bertanah air Indonesia serta menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia? Pada tanggal ini bukan saja penyatuan semua organisasi kedaerahan bermula, segala perbedaan etnis dan historis pun secara simbolik direlatifkan saja. Perbedaan-perbedaan itu telah dijadikan saja sebagai keragaman dalam kesatuan bangsa. Jika sejarah pergerakan kebangsaan ditelaah, meskipun sekadarnya saja, maka tampaklah ketika Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan ,slogan dan tekad yang diucapkan para pelajar dan mahasiswa yang ikut dalam Kongres Pemuda II itu telah dirasakan sebagai realitas objektif yang tidak teringkari. Proklamasi Kemerdekaan tidak pula sekedar kulminasi dari cita-cita yang telah lama dipupuk, tetapitelah menjadi keharusan dari dinamika sejarah yang tidak terelakkan.
Kitapun kini bisa juga merasakan betapa rangkaian dari pembauran dari segala corak dari keragaman mitos dan pemahaman ideologis terhadap realitas peristiwa empiris yang telah dilalui itu mencapai puncak yang menentukan. Ketika itulah pengalaman kesejarahan yang keras telah mempersatukan kesemuanya. Dengan begini keleluasan dalam pemahaman sejarah pun memberi kesempatan bagi terjadinya persambungan historis yang teramat logis – sebuah bangsa yang telah diciptakan dan dipupuk serta diperjuangkan akhirnya mencapai titik kulminasinya. Ketika kesempatan telah terbuka—betapapun mungkin kecilnya– kesadaran kebangsaan itu meronta dan menerjang untuk tampil sebagai sebuah bangsa yang merdeka. Seketika cita-cita itu telah dinyatakan, dialog dan bahkan konflik dengan realitas empiris pun tak terhindarkan. Maka kenangan pada pengorbanan yang telah diberikan itu seperti dengan begitu saja menyebabkan terbersitnya kesenduan Chairil Anwar –“ Kami tulang-tulang berserakan tapi adalah kepunyaanmu” –bisa teringat lagi
Proklamasi Kemerdekaan yang hanya terdiri atas dua kalimat dan ditandatangani oleh dua pemimpin yang terkemuka ternyata adalah ajakan pada pengabdian yang tanpa pamrih serta pengorbanan yang ikhlas. Maka ternyatalah perjuangan kemerdekaan bangsa bukanlah pula sekedar usaha ke arah pemenuhan impian dan cita-cita kebangsaan.
PROKLAMASI KEMERDEKAAN
Ketika lembaran sejarah dari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia telah dibuka maka tampaklah betapa kesempatan historis yang diberikan Perang Pasifik seperti telah terhampar begitu saja. Tanpa melupakan berbagai corak siksaan dan hinaan yang pernah dan bahkan sedang diderita anak bangsa — mulai dari kesulitan kehidupan ekonomis sampai dengan berbagai ragam kekejaman militerisme – masa akhir dari pendudukan Jepang adalah pula saat ketika BPUPKI—Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia—didirikan. Meskipun keanggotaan BPUPKI ini hanya terdiri mereka yang dianggap oleh pemerintah Pendudukan Militer Jepang sebagai “tokoh-tokoh yang terkemuka di pulau Jawa” ( sebagaimana sebuah biografi terbitan di zaman pendudukan Jepang menyebutkannya) tetapi mereka praktis mewakili keragaman etnis, agama, dan ideologi anak bangsa. Dalam rapat-rapat BPUPKI—yang resmi berdiri di bulan Mart, 1945– untuk pertama kalinya segala corak pemikiran ideologis dan visi serta harapan masa depan bangsa dibicarakan dan diperdebatkan secara langsung. Ketika persidangan BPUPKI ini telah dianggap selesai maka Indonesia, yang masih berada di bawah kekuasaan militerisme Jepang, telah mempunyai rancangan UUD dan landasan ideologis bangsa ( “Piagam Jakarta”). Dalam sidang-sidang BPUPKI inilah landasan ideologis dan bentuk kenegaraan dirumuskan dan batas-batas wilayah negara ditentukan . Semua terasa seperti telah siap sedia untuk menanti “hadiah kemerdekaan” yang akan diberi oleh Kerajaan Dai Nippon.
Setelah BPUPKI dibubarkan ( tanggal 7 Agustus 1945) maka untuk memperluas jangkauan pengaruh dari perumusan pemikiran ideologis dan hasrat politik yang dicapai itu pemerintah militer Jepang pun mendirikian PPKI ( Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Keanggotaan badan yang baru ini terdiri atas 12 mantan anggota BPUPKI ( antara lain Sukarno dan Hatta) dan wakil-wakil dari pulau-pulau lain, seperti 3 dari Sumatra , 2 dari Sulawesi, 1 dari Kalimantan, 1 dari Maluku, dan 1 dari kepulauan Sunda Kecil. Di samping itu juga 1 wakil dari keturunan. Tionghoa..
Tetapi sebelum PPKI sempat mengadakan rapat pertamanya, bom atom telah menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki dan Kaisar Dai Nippon pun mengibar bendera putih—Jepang telah bertekuk lutut . Sejak berita tentang peristiwa ini mulai diketahui oleh para pemuda yang “bergerak di bawah tanah” Jakarta pun menjadi medan yang dipadati rangkaian dan bahkan percikan-percikan peristiwa yang diarahkan pada terwujudnya kemerdekaan bangsa. Mestikah Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan sekarang— segera setelah berita kekalahan Jepang telah merupakan suatu kepastian—ataukah kesesuaian pandangan dengan militerisme Jepang, yang masih mempunyai senjata lengkap dan bertugas menjaga status quo harus didapatkan juga? Tanpa disadari masyarakat ramai tetapi pada waktu itu Jakarta sesungguhnya telah menjadi medan yang padat peristiwa dengan jumlah aktor yang terlibat semakin menaik . Sekian tahun kemudian, di saat Republik Indonesia telah asyik dalam kesibukan negara yang baru berdaulat—kisah-kisah tentang kejadian-kejadian yang simpang siur di masa itu mulai disampaikan secara terbuka. Maka di waktu itulah pula – ketika kenangan pada peristiwa yang dilalui telah semakin asyik dikisahkan– Bung Hatta , seorang aktor yang intens bermain dalam kepadatan peristiwa pada saat-saat yang kritis itu, sempat juga berkomentar betapa Dichtung und Warheit telah sedemikian mudah tercampur -aduk. Tetapi betapapun juga perbenturan kenangan ternyata bisa juga membuahkan kepastian historis yang tidak terengkari. Proklamsi Kemerdekaan adalah kepastian historis yang tak bisa diperdebatkan.
Begitulah dalam suasana kepastian sejarah kiat bisa juga mengenang bahwa dalam suasana inilah peristiwa yang telah dinanti-nanti dengan harap-harap cemas itu akhirnya terjadi juga. Pada jam 10 pagi waktu Jakarta, tanggal 17 Agustus, 1945, di hadapan para anggota PPKI dan beberapa ratus pemuda Jakarta yang sempat diberi tahu , Bung Karno membacakan teks “Proklamasi kemerdekaan Indonesia” – sebuah teks keramat bangsa yang sebelumnya telah ditandatanginya bersama Bung Hatta. Seketika Proklamsi Kemerdekaan dibacakan maka seperti tiba-tiba saja para anggota PPKI telah menjadi para pemimpin dari sebuah negara yang merdeka, yang menyebut dirinya Republik Indonesia.
Sebelum rapat pertama PPKI – rapat para pentolan kemerdekaan bangsa– sebuah peristiwa penting telah terjadi lebih dahulu.Atas persetujuan beberapa tokoh yang dianggapnya mewakili aspirasi umat Islam Bung Hatta mengganti “Piagam Jakarta” menjadi “Pembukaan” dari UUD . “Tujuh kata” di belakang “Ketuhanan” dihapus dan diganti dengan ungkapan “Yang Maha Esa”. Tetapi sejak itu pula “Piagam Jakarta” menjadi kenangan historis yang keramat dan kerap kali tampil sebagai tuntutan politik yang tak terlupakan. Rancangan UUD pun mengalami perubahan juga . Kata “beragama Islam” dari fasal tentang syarat untuk menjadi Presiden dihapus.
Maka begitulah dengan perubahan yang sedemikian kecil tetapi teramat fundamental ini para pemimpin dari Republik yang baru berdiri itu mengadakan rapat pertama. Keberlakuan UUD Sementara pun disyahkan. Sukarno dan Hatta secara aklamasi dipilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Tetapi apakah arti kesemua peristiwa yang teramat fuindamental dalam proses pembentukan negara-bangsa ini dalam kenangan pribadi para pelakunya? Kira-kira kurang sedikit dari dua puluh tahun kemudian, ketika ia sedang berada di puncak kekuasaannya Bung Karno pun berkisah. Setelah dipilih sebagai Presiden dari negara yang baru diproklamasikan itu, iapun pulang ke rumah –jalan kaki saja. Di tengah jalan ia bertemu dengan seorang penjual sate. Iapun memesan sate lima puluh tusuk . Inilah perintah pertama dari sang Presiden. Maka begitulah, kisahnya, “ Paduka Yang Mulia Presiden” menikmati santap malamnya.
Keesokan harinya PPKI mulai mengadakan pembagian wilayah administratif dari Republik Indonesia yang baru dilahirkan itu. Maka republik baru inipun dibagi atas 8 Propinsi , yaitu propinsi Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil dan Maluku. Ibukota propinsi ditentukan berdasarkan ukuran kota yang terbesar , lokasi yang strategis dan tentu saja peranan kota dari masa kolonial—Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, Banjarmasin, Makasar, Denpasar, dan Ambon. Kemudian gubernur dari masing-masing pun diangkat pula.Ada gubernur dari kalangan anggota PPKI yang datang dari propinsi-propinsi yang telah dibentuk ( Mr.Teuku Moh.Hasan, Dr. Sam Ratulangi, Mr.Ketut Pudja, Ir Pangeran Moh.Noer dan Mr.J.Latuharhary). Sedangkan gubernur di tiga propinsi di Jawa dipercayakan kepada para mantan pejabat yaitu para priyayi tinggi dari sejak masa penjajahan ( Sutardjo Kartohadikusumo, R.P Soeroso dan R.M. Soerjo). Tetapi ketika pembagian administratif ini belum semuanya bisa berfungsi, pemerintah pusat telah menjadikan Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa. Dukungan spontan yang disampaikan Sultan Hamengkubuwono IX dan Pakualam bukan saja menyebabkan pemerintah pusat mempertahankan kedudukan daerah ini sebagai vorsten landen , tetapi juga mengakuinya sebagai “daerah istimewa”—sebuah kedudukan yang sampai sekarang tetap dipertahankan.
Jadi sepintas lalu tidak ada perubahan administratif yang diperkenalkan. Semua berjalan sesuai dengan warisan kolonial. Hanya saja dengan pembagian wilayah administratif seperti ini berarti claim wilayah “Indonesia Raya “ yang berhasil diperjuangkan Yamin dan Sukarno dalam sidang BPUPKI telah ditinggalkan. Ternyatalah bahwa revolusi harus menyadari betapa pentingnya politik yang realistis dan rasional – “Apa yang tidak rasional dalam sebuah revolusi”, kata Bung Hatta di saat perdebatan dengan para pemuda revolusioner masih menggebu-gebu, “ tidaklah revolusioner”. Apakah mungkin wilayah yang berada di bawah kekuasaan Inggris dan Portugis dijadikan sebagai bagian dari Republik Indonesia,yang masih harus mempertahankan eksistensi dirinya?
Dengan penambahan beberapa anggota maka PPKI pun diubah menjadi Komite Nasional Indonesia ( Pusat) , sebuah badan yang mula-mula praktis menjadi bagian dari pemerintahan. Hal ini bahkan untuk beberapa lama berlanjut juga meskipun pada tanggal 4 September 1945 , kabinet pertama, yang langsung berada di bawah pimpinan Presiden ( sesuai dengan UUD yang menjadikan Presiden Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan). Kabinet yang diejek oleh para pemuda revolusioner sebagai kabinet Bucho sebagian besar terdiri dari para tokoh yang sempat menjadi pegawai tinggi pemerintahan militer Jepang. Ternyata revolusi memerlukan juga suatu kontinuitas yang tidak langsung bersifat kontrontatif.
Tetapi gejolak pergolakan politik yang terjadi di pusat pemerintahan semakin menaik juga. Maka dinamika revolusi pun mulai pula mengalir ke daerah-daerah. Rapat raksasa IKADA, yang diadakan di tengah –tengah pengawasan tentara Jepang yang bersenjata lengkap , pada tanggal 19 September, adalah sebuah perwujudan dukungan rakyat atas keabsyahan pemerintah Republik Indonesia. Dalam suasana inilah Komite Nasional Indonesia-Pusat mulai berfungsi sebagai dewan perwakilan rakyat. Beberapa minggu kemudian kabinet Bucho pun digantikan oleh kabinet yang secara langsung bertanggungjawab kepada KNI-P. Indonesia pun telah memasuki periode semi-parlementer, ketika pandangan mayoritas anggota KNI-P telah bisa menjatuhkan kabinet, tetapi Presiden masih memegang kata akhir. Maka tercatatlah bahwa Sutan Sjahrir adalah satu-satunya tokoh yang memegang jabatan Perdana Menteri tiga kali berturut-turut. Betapapun mungkin kekalahan politik bisa dijatuhkan KNI-P, tetapi kedudukan Sjahrir tetap tokoh karena dipercaya Presiden. Hanyalah ketika partainya terpecah dua, Sjahrir digantikan oleh mantan temannya separtai, Amir Syarifuddin.
Ketika pada tanggal 5 Oktober, 1945 Republik Indonesia telah meresmikan kehadiran angkatan bersenjatanya maka berarti semua persyaratan sebagai sebuah negara yang merdeka telah dipenuhi. Tetapi sejak itu pula bukan saja ancaman akan eksistensi Republik semakin menaik, dinamika politik internal di pusat dan di daerah pun semakin bergejolak pula. Strategi politik apakah yang harus dipakai dalam menghadapi ancaman kolonialisme Belanda yang ingin kembali itu?Apakah “perang” atau “diplomasi” adalah dua pilihan yang tersedia ataukah keduanya adalah keharusan yang sejalan?. Tetapi di beberapa daerah kemerdekaan bangsa kadang-kadang harus berhadapan dengan dampak struktural kolonialisme terhadap dalam kehidupan politik pemerintahan.
DIMENSI DAERAH DARI REVOLUSI NASIONAL
Seketika berita tentang Proklamasi akhirnya sampai juga ke daerah—entah langsung ke ibukota propinsi, seperti halnya yang terjadi di pulau Jawa atau, lebih sering , ke wilayah-wilayah di dalam kesatuan adminstratif yang baru diperkenalkan itu — Indonesia pun seperti dengan begitu saja telah menjadi panorama dari keragaman pengalaman dalam gejolak revolusi. Maka tampaklah betapa kehadiran pemerintah propinsi baru mempunyai arti setelah perjalanan sejarah telah semakin menjauhi tanggal Proklamasi Kemerdekaan. Menjelang terjadinya hal ini kekuasaan nasional lebih dirasakan sebagai simbol dari kesatuan bangsa. Landasan legitimasi dari kehadiran kekuasaan daerah didirikan dengan spontan. Tetapi menjelang ulang tahun pertama R.I seluruh wilayah Indonesia telah merasakan denyut revolusi, betapapun sejak bulan ketiga Proklamasi sebagian besar wilayah Indonesia bagian Timur telah diduduki oleh tentara Sekutu yang selalu membawa boncengan tentara dan bahkan aparat pemerintahan Belanda.
Ketika pengalaman kesejarahan telah direnungkan terasa jugalah betapa revolusi nasional tidak terhindar dari berbagai corak ironi sejarah dan tampaklah pula betapa keharusan logika tidak selamanya sejalan dengan realitas yang tampil ke permukaan. Ada kalanya pimpinan revolusi nasional, yang semesti harus disibukkan oleh berbagai masalah kemerdekaan yang terancam, tetapi seperti dengan begitu saja dihadapkan pula pada kekuatan patriotik yang ingin sekali gus mengadakan perubahan sosial secara revolusioner. Kalau telah begini maka mestikah diherankan kalau revolusi nasional ,yang secara eksplisit ingin mewujudkan kemerdekaan bangsa, harus pula berhadapan dengan berbagai corak ambivalensi yang tidak mudah teratasi? Ketika konflik terbuka dengan kekuatan kolonial sedang dihadapi tidak pula jarang dendam sosial yang telah lama terpendam tampil ke permukaan dan ikut terbaur dalam kegentingan suasana. Maka begitulah drama sosial-politik yang terjadi di saat bangsa sedang bergumul dalam kancah revolusi nasional tidak pula dengan mudah terkikis dari ingatan kolektif anak bangsa.
Sudah bisa dibayangkan bahwa di masa ketika radio dan telegram masih berada di dalam genggaman sistem kekuasaan dan ketika surat kabar secara langsung berada di bawah penilikan militer Jepang penyebaran berita Proklamasi Kemerdekaan sangat ditentukan oleh jarak geografis dari Jakarta. Semakin dekat dari Jakarta maka semakin cepat kemungkinan berita itu bisa diketahui dan mendapat reaksi spontan masyarakat. Maka bisalah dimaklumi juga kalau kota-kota besar di Jawa adalah pula yang paling cepat memberikan reaksi atas Proklamasi Kemerdekaan. Tetapi di kota-kota besar ini pulalah massa dengan mudah bisa tergelincir pada konflik yang multi-dimensional.
Sejak awal September Bandung, Semarang dan Surabaya telah harus menghadapi kenyataan bahwa hasrat akan kemerdekaan bangsa adalah pula undangan untuk terlibat dalam konflik yang keras. Hasrat kemerdekaan ternyata tidak bisa berhenti hanya dengan coretan revolusioner di dinding-dinding gedung tetapi harus pula menghadapi konflik berdarah, “demi kemerdekaan bangsa”. Mula-mula bisa-jadi dengan bala-tentara Jepang, yang memang diharuskan oleh kekuatan yang menang perang untuk bertanggung-jawab atas keamanan dan menjaga persenjataan (seperti halnya pertempuran besar di Semarang). Kemudian dengan tentara Sekutu , sang pemenang , yang ternyata telah membawa goncengan , para pejabat dan tentara NICA. Maka mestikah diherankan kalau sampai kinipun insiden-insiden kecil di Surabaya , yang mencapai klimaks yang teramat dahsyat pada tanggal “10 November” masih tercekam di lubuk hati bangsa. Di tengah –tengah pekikan “Allahu Akbar “ dan seruan “Berontak” dari Bung Tomo ribuan anak bangsa tampil ke medan pertempuran. Entah berapa ribu jumlah mereka yang tewas dan entah ratus pula yang harus merintih karena luka yang parah. Maka ketika akhirnya Belanda menanggalkan kedok NICA –nya seluruh wilayah tanah air telah berada dalam suasana konflik yang keras. Ketika hal itu telah terjadi seluruh wilayah tanah air telah menjadi tebaran dari “Surabaya-Surabaya” kecil. Mestikah kini diherankan kalau hampir semua kota mempunyai “makam pahlawan”?
Jauh atau dekat jarak dari Jakarta hanyalah masalah waktu yang tidak selamanya menjadi faktor penentu dari corak reaksi masyarakat terhadap berita Proklamasi. Tetapi memang seketika berita itu telah sampai keragaman pengalaman dalam pergerakan kebangsaan dan corak kepemimpinan ikut menentukan bentuk reaksi terhadap berita tentang “kemerdekaan bangsa” yang mengejutkan tetapi yang juga dinanti-nanti itu.
Ketika semua konflik bersenjata sudah dianggap berakhir dan di saat kemerdekaan bangsa telah pula menjadi realitas yang tidak terpungkiri, maka di waktu itulah pula pengalaman yang telah dilalui bisa direnungkan. Ketika perenungan ini telah dilakukan, terasalah betapa kesejajaran pengalaman sejarah dari beberapa daerah bisa terjadi dalam suasana yang serba tak menentu. Tampaklah bahwa daerah yang pernah mengalami kegairahan dalam pergerakan kebangsaan di masa kolonialisme Belanda adalah pula daerah yang paling cepat bergerak dalam menyambut kemerdekaan dan—tidak kurang pentingnya— daerah yang paling mudah pula tergelincir pada konflik internal. Pengalaman yang keras kadang-kadang bisa juga memancing perdebatan yang keras di saat pola pertahanan bangsa hendak dirumuskan. Tingkat keterlibatan masyarakat dan corak pengalaman dalam pergerakan kebangsaan yang semakin menaik sejak awal 1920-an dan mengalami tekanan politik rust en orde yang teramat konservatif sejak pertengahan tahun 1930-an, boleh dikatakan sebagai faktor yang ikut menentukan corak situasi perlawanan ketika tantangan kemerdekaan tekah datang. Keragaman ideologi yang sempat dialami tidak pula jarang tampil sebagai pendorong corak dan intensitas aktivitas perjuangan dan tingakt keberhasilan dalam penggalangan semangat revolusi. Begitu halnya di tingkat daerah dan demikian pula di pusat pemerintahan Republik Indonesia.
Tan Malaka dengan Persatuan Perjuangan, yang bersemboyan berunding berdasarkan pengakuan “100 per sen kemerdekaan” mungkin tidak berhasil menjatuhkan Perdana Menteri Sjahrir , yang didukung Sukarno-Hatta, tetapi pengaruhnya menyebabkan penggantian gubernur harus dilakukan di Sumatra Barat. Tidaklah terlalu mengherankan kalau suasana politik internal bangsa di daerah keresidenan Sumatra Barat adalah pula refleksi dari suasana ibukota Republik Indonesia, yang sejak awal Januari, 1946 telah pindah ke Yogyakarta.
Corak dari suasana revolusioner dan bahkan tingkat perbenturan politik internal ketika musuh akan atau bahkan sedang dihadapi ternyata dipengaruhi oleh tingkat keterlibatan pemuda dalam berbagai organisasi—mula-mula bersifat pertahanan sipil demi “Asia Timur Raya”, kemudian semakin bercorak kemiliteran murni. Hampir tanpa kecuali pemuda adalah golongan masyarakat yang paling awal memberikan reaksi pada berita politik yang diterima. Begitulah halnya ketika berita kekalahan Jepang diterima dan terlebih lagi ketika kabar Proklamasi Kemerdekaan telah pula diketahui. Tetapi tanpa kecuali para pemuda lebih suka mempercayakan kepemimpinan adminsitratif pada para tokoh daerah yang telah punya nama. Ada kalanya , memang, semangat perjuangan harus mengalah pada kearifan . Seketika semangat yang menggebu-gebu didampingi oleh kesabaran yang telah mengendur maka tidak jarang konflik sosial yang berdarah seakan-akan tampail sebagai suatu keharusan revolusi. Maka mestikah diherankan kalau kata “pemuda” dalam tradisi kebahasaan Indonesia dengan begitu saja telah pula dirasakan sebagai sinonim dengan kata ”revolusioner”? Tidaklah pula terlalu sukar untuk memahami mengapa pemuda adalah pula golongan sosial yang pertama menjadi korban revolusi, meskipun tidak di medan pertempuran dan bukan pula ketika tentara kolonial telah melakukan agresi.
Faktor ketiga yang ikut menentukan irama revolusi nasional—di samping pengalaman dalam pergerakan politik kebangsaan dan keterlibatan pemuda dalam berbagai corak organisasi– ialah pengalaman serta keluasan dari penyebaran kebudayaan-cetak ( print-culture),baik surat kabar ataupun majalah, di kalangan masyarakat. Keterlibatan yang relatif lebih awal dan intens dari masyarakat Sumatra Barat dalam gejolak dinamika revolusi dibandingkan dengan wilayah lain di Sumatra atau bahkan Indonesia umumnya antara lain dipengaruhi oleh kedua hal ini. Sejak akhir abad 19 dan semakin menaik pada awal abad 20 dan apalagi setelah Sumatra Barat berada dalam suasana perdebatan intelektual dan agama yang intens sejak tahun 1910-an, surat kabar dan organisasi sukarela memainkan peran sosial yang semakin penting . Kebudayaan- cetak bukan saja merelatifkan jarak geografis dan waktu tetapi juga memungkinkan terjadinya penyampaian berita dan pemikiran tanpa hambatan yang berarti. Karena itu bisa jugalah dimaklumi kalau kemudian – sebelum Sumatra dibagi atas tiga propinsi—Gubernur Sumatra menjadikan kota Bukittinggi sebagai pusat kegiatan.
Di samping ketiga hal ini faktor tingkat penyebaran pendidikan modern dan keluasan daya jangkau pemakaian bahasa Indonesia di kota-kota tentu tidak pula bisa dilupakan. Penerbitan buku-buku sastra yang memakai berbagai corak bahasa Melayu, mulai dari yang disebut klassik sampai pasaran dan kemudian sastra Indonesia modern langsung ataupun tidak ikut mempengaruhi proses tumbuhnya rasa-hayat persatuan bangsa. Demikian pula halnya dengan pendidikan modern. Bukankah semua pemimpin pergerakan kebangsaan, baik lokal dan, apalagi, nasional , adalah hasil pendidikan modern, apapun mungkin kecenderungan ideologi politik dan orientasi kultural mereka?Rasa hayat nasionalisme mereka tumbuh di saat mereka mulai merasakan ketidak-pantasan kultural dalam konteks “Hindia Belanda” . Jika saja Indonesia Menggugat/ Indonesia klaagt aan (1930) pidato pledoi Bung Karno di pengadilan Bandung dan Indonesia Merdeka/Indonesia Vrij ( 1928) pidato pembelaan Bung Hatta di pengadilan Den Haag sempat dibaca maka tampaklah betapa pelajaran sejarah yang bersifat Neerlando-sentris — yaitu uraian kesejarahan yang menyepelekan kehadiran anak bangsa — –adalah kecenderungan akademis yang dengan keras menggugah kesadaran mereka. Tetapi jika sekiranya pengalaman yang dilalui daerah-daerah di masa awal revolusi diperhatikan maka tampaklah pula betapa corak dan bahkan intensitas pergerakan kebangsaan dan gelora revolusi yang mereka alami dipengaruhi oleh pengetahuan akan kesamaan nasib sebangsa dan ingatan kolektif tentang hubungan dengan daerah dan suku-bangsa lain.
Kalau di Jawa pada suasana tingkat nasional, tetapi di daerah luar Jawa pengaruh dari “faktor yang lain” ini tidak bisa dianggap enteng. Di samping bahasa Indonesia dan tingkat keterlibatan dalam berbagai corak organisasi-massa dan sebagainya ternyatalah “faktor yang lain” ini, yaitu kehadiran dan aktivitas para perantau—mereka yang berasal dari daerah lain—mempunyai dampak yang cukup penting juga. Bukan saja idee ke-Indonesia-an dengan serta merta bisa saja meniadakan atau setidaknya memperkecil rasa keterasingan, kehadiran mereka bisa juga dirasakan sebagai rantai penghubung dengan daerah lain. Karena itulah nyaris tanpa kecuali setiap daerah menjadikan intelektual perantau sebagai bagian dalam sistem kepemimpinan. Bahkan di beberapa daerah ada juga di antara para perantau yang telah merasakan diri dan dirasakan masyarakat sebagai “putra daerah” tampil sebagai pemimpin utama. Konflik kepemimpinan internal sedaerah yang tidak terselesaikan tidak jarang memberi kesempatan bagi perantau ini untuk ditampilkan sebagai pemimpin dan sekali gus sebagai faktor penengah.
Maka ternyatalah revolusi nasional adalah pula masa ketika segala faktor pendukung yang telah disebut di atas saling menemukan. Intensitas pertemuan ini semakin menaik sejalan dengan tingkat dan corak ancaman , baik dari luar, bahkan maupun dari dalam, telah harus dihadapi. Dalam sistem kenangan bangsa revolusi nasional adalah masa ketika cita-cita luhur yang telah sekian lama dipupuk ingin diwujudkan tanpa kompromi dalam realitas kesekarangan.Kesemuanya terangkul dalam kesatuan ingatan kesejarahan yang bersifat romantis dan membanggakan.Jadi bisa jugalah dipahami kalau Presiden Sukarno lebih dulu memperkenalkan sistem wacana , discourse, yang memantulklan suasana serba-revolusioner sebelum akhirnya memperkenalkan sistem pemerintahan yang disebutnya “ Demokrasi Terpimpin” . Hanya saja jika rentetan peristiwa yang telah menciptakan suatu gambaran dari realitas sejarah hendak dikaji lagi maka tampaklah betapa di masa revolusi nasional itu Indonesia hanya dipersatukan oleh hasrat nasionalisme—suattu hasrat yang ternyata tidak pula selamanya dibimbing oleh impian yang sama dan harapan yang sejalan. Nasib yang dialami Sumatra dan Jawa ( dan Madura) di masa revolusi ternyata berbeda dengan daerah-daerah lain di persada tanah air ini.
Belum sempat penduduk di daerah-daerah di belahan Timur kepulauan Indonesia menyadari terjadinya peristiwa historis yang telah sekian lama dinyanyikan para nasionalis, bala tentara Sekutu dan kemudian Belanda telah menduduki wilayah mereka. Dr. Ratulangi yang baru saja sampai di Makasar untuk memulai tugas kenegaraan sebagai Gubernur dari propinsi Sulawesi , seperti dengan begitu saja ditangkap Belanda. Putra kebanggaan Minahasa inipun diasingkan ke Papua. Ia adalah gubernur Republik pertama yang ditawan dan dibuang – bukan di masa penjajahan , tetapi di saat ia telah menjadi gubernur dari sebuah propinsi di Republik Indonesia. Maka sebuah perbedaan dalam pengalaman historis seperti telah terbentang begitu saja. Jika tokoh-tokoh perjuangan di Jawa dan Sumatra bisa berkata bahwa mereka berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan , maka para pemimpin bangsa di belahan Timur hanya bisa berkata bahwa mereka memimpin perjuangan untuk merebut kemerdekaan. Di mata pemerintah kolonial Belanda, yang kemudian berhasil mendirikan Negara Indonesia Timur, para pemimpin ini tidak lebih daripada pemberontak. Karena itulah pembersihan besar-besaran biasa pula dilakukan. Sampai kinipun kehadiran dan aktivitas kapten Westerling tak bisa terhapus dalam ingatan kolektif bangsa. Bukankah ia yang diperintahkan untuk memimpin operasi militer dengan melakukan pembunuhan ribuan anak bangsa—andaikan benar ungkapan “ 40.000 nyawa korban Westerling” lebih bersifat simbolik daripada historis. Dalam suasana pemberontakan, demi kemerdekaan inilah pula sekian banyak para pejuang Bugis-Makassar yang menyeberang ke pulau Jawa . Mereka ingin berjuang sebagai bagian dari kekuatan revolusioner bangsa demi kemerdekaan bangsa . Mungkin kini telah terlupakan tetapi pemimpin para pejuang ini ialah Kahar Muzakar, yang kemudian diangkat sebagai Let.Kol. TNI. Sementara itu Minahasa , yang biasa dikenal sebagai daerah yang akrab dengan Belanda, tidak mempunyai pilihan lain, selain daripada melakukan pemberontakan, melawan pendudukan Belanda. Pemberontakan yang terjadi di bulan Februari, 1946 ini tidak pula mungkin lekang dari ingatan.
Jika saja nasib di masa pendudukan Jepang harus diingat-ingat. Bagimanakah rasa sedih yang mendalam bisa terhapus begitu saja kalau pengalaman Kalimantan Barat melintas dalam kenangan? Berapa banyakkah kaum terpelajar di daerah ini yang harus berkenalan tanpa ampous dengan poeluruh atau pedang samurai Jepang? Kalimantan Barat meninggalkan masa pendudukan ketika sebagian besar kaum terpelajar mereka telah menjadi korban milietrisme Jepang. Sedangkan di Kalimantan Selatan tercatat juga betapa usaha para pejuang kemerdekaan untuk mewujudkan Propinsi dilarang tentara Sekutu , meskipun residen Kalimantan Selatan sempat juga diangkat. Tetapi rencana untuk mulai melangkah sebagai sebuah pemerintahan terhalang juga (Oktober, 1945). Meskipun konon ada juga unsur-unsur tentara Sekutu yang bersimpati dengan jalan membocorkan berita kemerdekaan, tetapi akhirnya, setelah beberapa pertempuran harus dilalui, pada bukan Juni 1946 , Sekutu secara resmi menyerahkan kekuasaan kepada Belanda. Sejak itu hasrat perlawanan di Kalimantan akhirnya bisa diwujudkan dengan pembentukan ALRI, betapapun kekuasaan militer Beanda masih bercokol.
Kalau diingat-ingat masa revolusi kemerdekaan di persada tanah air ini maka kita sesunguhnya berhadapan dengan panorama peristiwa yang teramat kompleks. Buku pelajaran sejarah mungkin hanya berkisah tentang keteguhan tekad dalam mempertahankan kemerdekaan, tetapi seketika “negeri asing” ( bukankah ada sejarawan yang mengatakan “the past is a foreign country” ?) itu telah didekati maka ternyata juga “ orang berbuat yang aneh-aneh di sana” ( kalau ungkapan yang diperkenalkan Hartley itu diteruskan). Seketika realitas masa lalu telah semakin didekati maka ternyatalah pula betapa revolusi adalah suatu situasi di saat unsur-unsur konflik yang telah lama tersimpan mendapatkan saluran yang leluasa. Kalau saluran itu telah dipakai maka siapa pun akan menyadari juga kompleksitas dari jalan yang harus dilalui meskipun gerbang kemerdekaan telah dilewati. Begitulah ketika berita Proklamasi sampai pulau Bali maka dua situasi seperti muncul begitu saja. Di kalangan pemuda kegairahan nasionalisme segera bangkit maka organisasi Pemuda Pembela Negara pun didirikan. Tetapi di saat itu pula kekuatiran muncul juga di kalangan sebagian kaum raja-raja. Bukankah dalam situasi yang telah mulai memperlihatkan gejala yang serba tak menentu itu apa saja bisa terjadi? Entah telah direncanakan, entah terbawa oleh semangat revolusi tetapi yang jelas pada tanggal 20 September, 1945 raja Gianyar diculik. Maka pintu konflik antara para pemuda revolusioner dengan kaum raja-raja pun seperti terbuka dengan begitu saja. Situasi sosial pun semakin bertambah parah karena meskipun pada tanggal 8 Oktober Jepang telah menyerahkan kekuasaan pada Gubernur Propinsi Kepulauan Sunda Kecil, pada tanggal 27 Oktober ,tetapi dalam waktui yang hampir bersamaan Belanda mendarat di Buleleng. Maka ketika pada awal November BKR , yang kemudian menjadi TKR, didirikan , konflik anti-kolonial dengan mudah telah dengan begitu saja terpaut dengan suasana revolusi sosial.
Memang benar kalau dikatakan bahwa di masa-masa awal revolusi di samping Jawa , maka Sumatra adalah salah satu wilayah Republik yang cukup lama bisa bertahan. Tetapi berbagai corak tantangan internal harus dihadapi juga. Meskipun Mr. Teuku Mohamad Hasan , sang Gubernur, telah sampai dikota Medan, ibukota propinsi Sumatra, pada tanggal 29 Agustus, 1945, tetapi selama beberapa hari seperti tidak terjadi apa-apa. Pada hal ketika itu di Padang , Bukitinggi dan Palembang pemerintahan yang meng-claim diri sebagai bagian dari Republik Indonesia telah berdiri. Dalam suasana yang dirasakan sebagai kekosongan itulah Dr. A.K. Gani, seorang perantau-intelektual Minang, yang telah menjadikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat Palembang, mengirim telegram agar kehadiran propinsi Sumatra segera diumumkan. Usul ini memang ditanggapi tetapi Medan telah mulai memperlihatkan tanda-tanda betapa konflik internal anak bangsa telah menjadi kemungkinan yang tak terengkari.
Maka kalau diingat-ingat ternyata benar juga bahwa revolusi adalah saat—sebagaimana dikatakan Nietschze –terjadinya Umwertung aller Werte—penjungkir-balikan semua nilai. Dalam situasi seperti ini maka yang diperlukan hanya sebuah kasus sederhana untuk menjadikan kesemuanya meledak. Entah kebetulan, entah disengaja, tetapi ketika Sultan Deli mengadakan resepsi di istananya yang megah, ia memberi tempat terhormat bagi para opsir Inggris dan Jepang, tetapi mempersilahkan pemimpin Republik untuk duduk di belakang. Mengapa? Maka berbagai tafsiranpun dibuat tentang arti dari penempatan tamu yang terasa menghina ini. Kesimpulan sederhana yang didapatkan hanyalah pembenaran apa yang memang telah menjadi kecurigaan. Maka para Sultan dan kaum bangsawan Sumatra Timur dengan begitu saja dinilai sebagai anti-republik. Kalau telah begini keadaannya di saat semangat revolusi sedang menaik maka keragaman etnis—Melayu, Batak, Jawa, Cina dan sebagainya—dalam konteks perbedaan kelas ekonomi dengan begitu saja mewujudkan dirinya dalam apa yang kemudian disebut sebagai “revolusi sosial”. Sekian banyak kaum bangsawan Melayu mati terbunuh, tetapi sekian banyak juga yang sempat diselamatkan oleh TRI yang telah terbentuk. Tetapi tak berapa lama kemudian dengan dukungan tentara Belanda Negara Sumatra Timur pun berdiri. Mungkin bukan sebuah ironi sejarah, tetapi memang Presiden NST , Dr. T. Mansyur, adalah Ketua pertama dari Jong Sumatranen Bond, yang kemudian bernama Pemuda Sumatra, salah satu pelopor dari Sumpah Pemuda.
Peristiwa lain terjadi di Siak Sri Indrapura. Seketika berita Proklamasi telah diketahui dan sewaktu T. Mohammad Hasan telah menampilkan diri sebagai Gubernur Sumatra, maka ketika itu pula secara spontan Sultan dari kesultanan yang didirikan pada abad 18 ini menyatakan kesetiannya kepada Republik Indonesia. Atas seizin residen Riau, pada bulan November, 1945, Sultan Syarif Kasim II pergi ke Medan untuk menyerahkan fl. 13.000.000 untuk membantu biaya perjuangan bangsa, kepada Gubernur Sumatra. Dan iapun diungsikan ke Aceh, keresidenan Republik yang kokoh berdiri betapapun daerah tetangganya telah menjadi sekutu Belanda. Iapun kemudian menyerahkan mahkotanya yang bertahtakan permata kepada Presiden Sukarno. Pernyataan kesetiaannya kepada Republik kemudian juga didukung oleh raja-raja Riau yang lain. Maka mestikah diherankan kalau kini lapangan udara dan UIN Pekan Baru memakai nama sang Sultan yang patriotik ini ?
Kalau diingat-ingat pilihan sultan Siak untuk menjadikan Aceh sebagai tempat tinggalnya di tengah-tengah gelora revolusi yang telah menyebar ke Riau adalah keputusan yang penuh resiko. Memang benar keselamatannya lebih terjamin dari kemungkinan serangan anti-revolusi, tetapi Kutaraja ( yang kini bernama Banda Aceh) adalah pula medan persaingan antara uluebalang, para bangsawan/ kepala daerah, dengan ulama. Seketika pemerintah Republik didirikan di Kutaraja pada bulan Oktober, 1945 , dengan dukungan kerjasama ulama dan uluebalang, di waktu itu pula sebagian uluebalang di daerah Pidie menentang kehadiran Republik. Pertempurahn-pertempuran antara pendukung ulama dan uluebalang pun tak terelakkan.Pada bulan Januari, 1945, apa yang dikenal sebagai Perang Cumbok pun berakhir. Kaum uluebalang yang dicurigai sebagai pendukung Belanda telah dihancurkan kaum ulama dan para pendukung mereka terhadap kaum uluebalang tak berhenti. Pada bulan Februari 1946 para pendukung kaum ulama, di bawah pimpinan Al Mudjadid, mendirikan Tentara Perjuangan Rakyat, di Idi, dengan tujuan yang sederhana saja, yaitu menghancurkan kekuatan para uluebalang. Maka ketika mereka telah melancarkan aksi , menuju utara, ke arah Kutaraja, sepanjang perjalanan ratusan keluarga uluebalang harus menemui Sang Pencipta atau diasingkan ke Aceh Tengah. Sejak itu Aceh sepenuhnya berada di bawah kekuasaan golongan ulama dan Aceh adalah pula satu-satu keresidenan yang bersih ( kecuali Sabang) dari injakan pasukan kolonial yang ingin kembali.
Penutup
Maka begitulah sebuah Proklamasi yang dibuat sesederhana mungkin tetapi berhasil juga membongkar segala kekuatan yang tersembunyi untuk tampil di atas pentas sejarah. Ketika yang tersembunyi itu telah keluar maka tampaklah pula betapa ke-bhineka-an terhampar di atas pentas sejarah di saat tujuan yang tunggal—terwujudnya negara- bangsa yang merdeka—hendak dicapai. Dalam suasana inilah pula ke-bhineka-an itu sempat mewujudkan dirinya dalam bentuk berbagai negara-bagian, yang langsung ataupun tidak, didukung oleh kekuatan militer Belanda. Tetapi untuk berapa lama?
Ketika Perdana Menteri Republik Indonesia, Bung Hatta, menerima “souvereniteit overdracht”, yang biasa diterjemahkan Presiden Sukarno “pengakuan kedaulatan”, bukannya “penyerahan kedaulatan”, dari Ratu Juliana pada tanggal 27 Desember 1949, bukan saja seluruh wilayah Hindia Belanda (kecuali Papua) kembali berada dalam sebuah kesatuan kekuasaan, tetapi juga lebih daripada itu. Berbagai corak ombak dan gelombang dalam lautan perjuangan kemerdekaan yang telah dilalui akhirnya sampai juga di pantai kemerdekaan yang penuh harapan. Ketika akhirnya –pada tanggal 17 Agustus, 1950—Indonesia kembali ke negara kesatuan maka berarti babak pertama dalam usaha mengayuh biduk kemerdekaan telah dilalui tetapi sekian corak dan bentuk gelombang lain telah pula siap menghadang.