Peran Aktif Golongan Republiken pada Awal Kemerdekaan di Sumatera

PERAN AKTIF GOLONGAN REPUBLIKEN

PADA AWAL KEMERDEKAAN DI SUMATERA*)

Gusti Asnan

(Staf Pengajar Jur. Sejarah, Fak. Ilmu Budaya, Univ. Andalas-Padang, gasnan@yahoo.com)

Dalam kegiatan Seminar Nasional “Proklamasi Kemerdekaan R.I. di 8 Wilayah

 Masa revolusi atau periode perang kemerdekaan di Sumatera cenderung dikaji dan ditulis berdasarkan daerah-daerah, seperti daerah administratif tingkat propinsi, kabupaten/kota atau daerah budaya/etnik tertentu. Berbagai tulisan dan buku yang terbit tahun 1950-an misalnya, mengungkapkan masa revolusi atau era perang kemerdekaan tersebut berdasarkan tiga daerah administratif yang ada di pulau tersebut saat itu. Hal ini terutama sekali terlihat dalam tiga buku berjudul Propinsi Sumatera Utara, Propinsi Sumatera Tengah, dan Propinsi Sumatera Selatan yang diterbitkan oleh Kementerian Penerangan RI tahun 1953. Penelitian dan publikasi yang dilakukan sejak tahun 1970-an hingga dewasa ini menyajikan masa revolusi atau era perang kemerdekaan pada daerah administratif setingkat provinsi, kabupaten dan kota atau daerah-daerah budaya/etnik yang ada di Sumatera kontemporer. Karya-karya dalam corak ini meliputi berbagai skripsi, tesis, disertasi, biografi, auto­biografi, buku-buku yang ditulis berdasarkan „pesanan“ pemerintah daerah, buku-buku yang ditulis oleh sejarawan amatir, dan juga buku yang diterbitkan sebagai bagian Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang mulai dilakukan pertengahan tahun 1970-an.

Ketiadaan atau minimnya kajian atau publikasi yang mengungkapkan pengalaman orang/ daerah Sumatera secara keseluruhan pada masa revolusi membuat pemahaman mengenai berbagai kejadian yang berhubungan dengan periode yang cukup menentukan dalam sejarah pulau itu menjadi tidak utuh. Padahal,

*) Makalah Disajikan pada Seminar Nasional “Proklamasi Kemerdekaan RI di Delapan Wilayah”, Tanggal 30 Oktober 2014, di Museum Nasional, 30 Oktober 2014, Jl. Medan Merdeka Barat No. 12, Jakarta.

tidak diragukan lagi, ada banyak peristiwa yang terjadi pada saat itu memiliki saling keterkaitan antara satu daerah dengan daerah yang lain. Sehingga kalau dikaji hanya pada suatu daerah tertentu saja, tidak akan didapatkan pemahaman yang utuh dari peristiwa-peristiwa tersebut.

Makalah ini, mencoba mengisi “kekosongan” kajian mengenai masa revolusi dan perang kemerdekaan di Sumatera secara keseluruhan. Namun, karena sejumlah

keterbatasan (dan terutama sekali pembatasan yang disebabkan oleh permintaan penyelengara seminar ini), maka bahasan makalah ini akan difokuskan pada peran aktif kaum republiken di Sumatera pada masa awal kemerdekaan. Diharapkan, makalah ini menjadi awal dari kajian yang lebih mendalam dan menyeluruh mengenai masa revolusi atau perang kemerdekaan di Sumatera khususnya serta sejarah Sumatera pasca-proklamasi kemerdekaan pada umumnya. Sehubungan dengan itu ada tiga pertanyaan utama yang akan dijawab dalam makalah ini: pertama, bagaimana “profil” kaum republiken di Sumatera pada era awal kemerdekaan? Kedua, apa-apa saja aksi mereka, khususnya yang bersifat “khas” Sumatera saat itu; Ketiga, mengapa mereka melakukan aksi tersebut?

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, pada bagian berikut akan dikemukakan situasi umum Sumatera beberapa saat sebelum dan setelah pernyataan kemerdekaan.

Tinjauan Ringkas Tentang Sumatera Sebelum Kemerdekaan

Pada masa penjajahan Belanda, tepatnya tahun 1929 Sumatera dijadikan sebagai sebuah propinsi dengan ibu kotanya Medan. Pembentukan propinsi ini ditujukan untuk memudahkan konsolidasi pemerintahan dan memaksimalkan pengawasan/ jalannya pemerintahan. Sebelum pembentukan Propinsi Sumatera, pulau yang juga dikenal dengan nama Andalas serta Perca ini terbagi ke dalam sepuluh daerah administratif setingkat residentie, yakni Residentie Atjeh, Sumatra’s Oostkust (Sumatera Timur), Tapanuli, Sumatra’s Westkust (Sumatera Barat), Riau en Onderhoorigheden (Riau dan Daerah-daerah Taklukannya), Jambi, Palembang, Bangka-Belitung, Bengkulu, dan Lampung.[1] Keresidenan ini dibagi lagi kedalam sejumlah afdeeling, afdeeling dibagi pula ke dalam sejumlah onderafdeeling, dan seterusnya (sebagaimana layaknya yang berlaku dalam pembagian unit administratif kolonial Belanda).

Di samping unit-unit admistratif yang langsung dikepalai oleh para pejabat yang termasuk ke dalam jajaran Binnenlandsch Bestuur (BB) itu, juga ada sejumlah “daerah istimewa” di Sumatera saat itu. Daerah-daerah istimewa ini adalah daerah yang sebelumnya merupakan bagian dari sebuah kerajaan atau kesatuan adat yang jatuh ke tangan pemerintah Hindia Belanda melalui sejumlah perjanjian pendek atau panjang (Korte Verklaring atau Lange Verklaring). Perjanjian ini dibuat umumnya setelah terjadinya perang atau perlawanan dari pihak kerajaan terhadap tentara atau pemerintah kolonial atau setelah adanya “penyerahan suka rela” dari pihak kerajaan kepada pemerintah Belanda. Namun, apapun alasannya, daerah-daerah istimewa ini memiliki kedekatan emosional dan politis dengan pemerintah Hindia Belanda. Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya hak khusus bagi keluarga raja (kerajaan) untuk tetap menjadi penguasa tertinggi (“kepala pemerintahan”) di daerah istimewa tersebut. Kalau tidak ada posisi “kepala pemerintahan” ini, maka status raja atau kebangsawanan tetap melekat kepada mereka, dan untuk itu mereka mendapat berbagai kemudahan serta fasilitas. Mereka ini termasuk ke dalam jajaran pejabat bumiputera atau Inlandsche Bestuur (IB). Daerah-daerah istimewa dan barisan pejabat seperti ini umumnya terdapat di daerah Sumatera Timur dan Riau.

Di daerah-daerah (keresidenan) yang lain, daerah istimewa seperti di atas relatif tidak mendapat tempat. Walaupun demikian, kaum bangsawan atau golongan adat yang ada di daerah itu, seperti uleebelang di Aceh, kepala kuria di Tapanuli, para datuk di Minangkabau, pesirah di Palembang (untuk menyebut beberapa contoh) juga mendapat keistimewaan. Mereka umumnya diangkat menjadi pejabat IB, dan mendapat sejumlah hak dan kemudahan sosial-ekonomi. Tidak itu saja, posisi atau jabatan adat yang mereka duduki selama ini dikukuhkan keberadaannya dalam struktur pemerintahan kolonial (IB) dan sejumlah posisi baru yang sebelumnya tidak ada dalam struktur pemerintahan adat juga diciptakan untuk mereka (seperti regen dan kepala laras di Minangkabau). Walaupun demikian, posisi atau jabatan tersebut umumnya berada pada lapisan yang terendah, sehingga dengan demikian mereka sekaligus menjadi ujung tombak penguasa kolonial dalam berhadapan dengan masyarakat jajahan.

Pemerintah kolonial Belanda menjalankan “politik belah bambu”, kaum bangsawan diistimewakan dan golongan lain, seperti ulama dan politisi dianak­tirikan. Sangat sedikit ruang bagi mereka untuk beraktivitas, kegiatan mereka selalu berada dalam pengawasan PID (Politieke Inlichtingen Dients), dan tidak jarang mereka ditangkap dan dipenjarakan karena apa yang mereka lakukan dianggap merusak rust en orde. Periode hadirnya pemerintahan Propinsi Sumatera nyaris bersamaan waktunya dengan diterapkan politik represif oleh pemerintah kolonial di pulau itu khususnya dan di Indonesia pada umumnya.

Kurun waktu terbentuknya Propinsi Sumatera juga nyaris bersamaan waktunya dengan krisis ekonomi (malaise) yang melanda Indonesia atau dunia. Era depresi ekonomi yang juga sering disebut oleh orang Melayu sebagai “zaman meleset” itu sangat terasa di daerah yang ekonominya sangat tergantung pada perdagangan luar negeri, seperti Sumatera Timur. Di kawasan yang mulai tampil ke panggung sejarah Sumatera sejak perempat terakhir abad ke-19 itu terdapat perkebunan berbagai jenis tanaman ekspor dan juga tambang minyak, sehingga menyebabkan ekonomi daerah tersebut sangat tergantung pada perdagangan komoditas ini.

Sebagai “daerah baru” dan langsung menjadi pusat ekonomi dan kemudian pusat politik terpenting di Sumatera, Sumatera Timur membutuhkan banyak tenaga kerja, serta menarik minat banyak orang untuk mengadu nasib di sana. Dalam konteks inilah didatangkannya banyak pekerja (kuli) dari Jawa dan juga Tiongkok, serta India ke daerah itu. Dalam hubungan dengan perkembangan ini pulalah berdatangannya para perantau (umumnya para lajang dari berbagai etnik di Sumatera) ke daerah tersebut. Para kuli bekerja atau dipekerjakan di berbagai perkebunan (dan tambang) yang ada di daerah itu, para perantau, di samping bekerja di perkebunan atau tambang, juga bergerak dalam berbagai usaha yang sifatnya “kreatif”, mulai dari berdagang (keliling), menjual obat, sebagai mandor perkebunan, preman, hingga tukang copet. Para kuli dan perantau (yang sebagian besar tidak beruntung) ini menyaksikan kemewahan hidup sebagian anggota masyarakat, seperti kaum kolonialis, ambtenaar, pengusaha (tuan kebun), para pedagang, dan para bangsawan.

Pada masa pendudukan Jepang, ada sejumlah perubahan dari pemerintahan Propinsi Sumatera khususnya dan dalam kehidupan sosial-politik Sumatera pada umumnya. Segera setelah masuknya balatentara Jepang, Sumatera dikuasai oleh Angkatan Darat dan berada di bawah kekuasaan Tentara ke-25 yang berpusat di Singapura. Tidak lama kemudian Sumatera menjadi pemerintahan yang berdiri sendiri dengan ibu kotanya Bukittinggi.[2] Untuk memudahkan jalannya pemerintahan maka Sumatera dibagi lagi menjadi delapan shu (setingkat keresidenan),[3] dan masing-masing shu dibagi pula ke dalam beberapa bunshu, serta bunshu dibagi lagi menjadi sejumlah fuku bunshu.

Sama dengan berlaku di daerah lain, karena kekurangan tenaga kerja, maka pada hari-hari pertama kekuasaannya, Jepang mempekerjakan sejumlah kaum terpelajar bumiputera (umumnya ambtenaar pada zaman Belanda) pada berbagai lembaga pemerintahan, bahkan ada juga yang diberi posisi/kedudukan cukup tinggi, pada jabatan yang sebelumnya nyaris tidak pernah diduduki oleh inlanders. Kaum terpelajar atau para pegawai yang dipekerjakan ini adalah orang-orang yang dipinggirkan pada masa pemerintahan Belanda, atau golongan yang memperlihatkan sikap perlawanan terhadap Belanda. Banyak pula dari mereka yang termasuk kelompok “orang pergerakan” atau politisi yang menginginkan hengkangnya kolonialis Belanda dari Nusantara.

Di samping kaum terpelajar, tentara pendudukan Jepang juga memberi ruang yang luas kepada golongan agama (ulama). Kaum ulama diberi kesempatan untuk tampil dalam berbagai kegiatan sosial dan politik, mereka misalnya diizinkan mendirikan berbagai organisasi sebagai wadah bagi mereka untuk berkumpul, serta lembaga-lembaga lain yang berkenaan dengan kemajuan umat dan agama Islam. Beberapa organisasi yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah MTI (Majelis Islam Tinggi) di Sumatera Barat dan Mahkamah Agama (Syukyo Hoin) yang bertugas menangani perkara-perkara agama (Islam) di Aceh, dlsbnya.[4]

Tidak hanya ulama, kaum muda juga mendapat perlakuan yang baik oleh Jepang. Banyak dari mereka dirangkul untuk bekerjasama dan diberi kesempatan mendirikan sejumlah organisasi kepemudaan. Tidak itu saja, para pemuda ini kemudian dididik dan dilatih, serta direkrut menjadi “tentara bantuan” yang terhimpun ke dalam giyugun dan heiho.[5]

Berbeda dengan kelompok-kelompok di atas, maka raja-raja, kaum bangsawan, dan golongan adat yang menjadi anak emas Belanda nyaris tidak mendapat tempat dalam struktur pemerintahan tentara pendudukan. Jabatan-jabatan mereka dihapuskan dan hak-hak istimewa yang mereka nikmati dihilangkan, bahkan banyak dari mereka yang ditahan karena dianggap pendukung Belanda.

Seiring dengan berjalannya waktu dan datangnya pegawai dari Jepang, jabatan-jabatan yang semula diberikan kepada kaum terpelajar bumiputera mulai dikurangi. Kalaupun mereka tetap bekerja, maka posisi yang mereka tempati umumnya berada pada level yang lebih rendah (malahan banyak dari mereka yang betul-betul kehilangan pekerjaan). Sikap Jepang terhadap ulama khususnya dan Islam pada umumnya kemudian juga mengalami perubahan.  Sejumlah pembatasan mulai dilakukan, terutama terhadap aktivitas dakwah ulama, serta sejumlah kebijakan yang dianggap bertentangan dengan agama Islam, seperti pelaksanaan “seikerei” (menghormat ke arah matahari terbit) bagi anak sekolah atau pegawai negeri mulai dipraktikkan. Perlakuan tentara Dai Nippon terhadap pemuda juga mulai berubah. Kepada pemuda yang tidak direkkrut menjadi giyugun dan heiho, serta menjadi anggota sejumlah organisasi kepemudaan, dikenakan kerja wajib (kerja paksa) pada berbagai proyek infrastruktur atau perkebunan. Tidak itu saja, sejumlah kebijakan tidak popular lainnya, seperti pelecehan terhadap kaum perempuan (terutama anak gadis), pengumpulan hasil panen (padi), kekerasan pisik, dlsbnya. dilakukan oleh tentara Jepang. Kesemua tindakan ini menimbulkan sikap antipati di kalangan sebagian besar (atau semua) kaum terpelajar, politisi, ulama, pemuda, dan juga kaum perempuan. Sikap tidak suka ini sangat terlihat segera setelah pernyataan proklamasi. Pada perkembangan selanjutnya, aksi tersebut tidak hanya ditujukan kepada bala tetara Jepang, tetapi juga terhadap kolonialis Belanda ingin berkuasa kembali (serta termasuk kelompok pendukungnya/non-republiken). Bagaimana wujud reaksi tersebut dan perkem­bangannya pada pasca kapitulasi Jepang serta hari-hari pertama berdirinya republik akan dikemukakan pada bagian berikut ini.

Kaum Republiken Sumatera dan Aksi-aksi Mereka

Kaum republiken adalah orang-orang yang pro-republik. Mereka adalah orang-orang yang berbuat, bertindak, dan berjuang demi tegaknya republik. Namun secara lebih khusus, penamaan ini lebih ditujukan kepada kaum terpelajar, politisi, ulama, pemuda, tentara, milisi (lasykar perjuangan), dan juga perempuan yang berbuat, bertindak, dan berjuang secara langsung demi tegap tegaknya republik. Keberadaan (dan penyebutan) kaum republiken mulai muncul segera setelah proklamasi kemerdekaan dinyatakan, dan tetap menjadi aktual hingga awal dasawarsa 1950-an. Namun, keberadaan (dan penyebutan) itu sangat kentara pada masa perang kemerdekaan, karena pada saat itulah segala perbuatan, tindakan dan perjuangan mereka betul-betul ditujukan demi tegaknya republik. Di samping itu, pada saat yang bersamaan juga muncul kelompok lain yang berseberangan posisinya dengan mereka, yakni kaum non-republiken, yaitu kelompok masyarakat yang tidak menginginkan adanya RI, serta menginginkan hadirnya kembali penjajah Belanda di negeri ini.

Keberadaan kaum republiken berhubungan erat dengan kelompok-kelompok masyarakat yang tampil ke panggung sejarah pada masa pendudukan Jepang. Aksi-aksi nyata mereka ini disebabkan adanya ancaman atau upaya untuk mengagalkan republik yang telah diproklamirkan, baik oleh tentara Jepang, sekutu dan NICA (Belanda), serta kelompok-kelompok non-republiken.

Sehubungan dengan kehadiran mereka yang bertalian dengan pengalaman pada masa  Jepang, dalam mana tentara Jepang sering mempertontonkan tindak kekerasan dan kekejaman yang di luar batas kemanusiaan, maka perlu juga dikemukakan di sini, bahwa ada sebagian kaum republiken yang menampilkan aksi yang berlebihan. Aksi-aksi yang berlebihan itu, umumnya dilakukan oleh “orang muda”. Aksi-aksi berlebihan yang mereka lakukan itu kadang-kadang tidak lagi menggambarkan aksi pejuang yang beradab. Banyak aksi mereka itu yang dinilai tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai proklamasi, yang salah satu intinya adalah membebaskan anak bangsa dari berbagai penindasan. Aksi-aksi yang berlebihan ini, bisa dikatakan sebagai “balas dendam” atas berbagai pengalaman pahit yang mereka alami semasa pendudukan Jepang khususnya dan pengalaman dizalimi penjajah (termasuk kolonialis Belanda) pada umumnya. Karena itu, aksi yang berlebihan ini umumnya ditujukan kepada apa saja yang berbau penjajahan, termasuk orang yang secara kebetulan memakai baju atau bahkan sapu tangan yang berwarna merah, putih, dan biru.

 Aksi berlebihan di atas sesungguhnya hanya potret dari rasa cinta negeri yang berlebihan. Aksi itu adalah cerminan ketakutan mereka akan kembalinya penjajah di negeri yang baru saja memperoleh kemerdekaannnya. Di samping itu, aksi tersebut adalah juga gambaran dari belum bisanya sebagian kaum republiken itu memahami makna proklamasi kemerdekaan. Dan ternyata aksi itu hanya dilakukan oleh sejumlah kecil kaum republiken dan hanya salah satu dari sejumlah aksi lain yang sesuai dengan perbuatan yang lebih beradab, lebih sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, lebih sesuai dengan semangat proklamasi, serta lebih sesuai dengan tujuan diproklamirknnya kemerdekaan itu sendiri.

Sehubungan dengan pernyatan yang terakhir ini, maka setidaknya ada sejumlah aksi yang menarik dan lebih khas Pulau Sumatera yang dilakukan kaum republiken saat itu: pertama, aksi yang berkaitan dengan penerimaan berita proklamasi; kedua, aksi pengalihan kekuasaan dan pembentukan pemerintahan daerah; ketiga, aksi fisik mempertahankan kemerdekaan.

Kesemua komponen kaum republiken terlibat dalam ketiga aksi di atas, namun ada konsentrasi keterwakilan dalam masing-masing aksi itu. Para pegawai, pemuda, dan politisi adalah kelompok yang paling dominan dalam aksi yang pertama, politisi dan pegawai merupakan unsur yang paling dominan dalam aksi yang kedua, pemuda dan tentara serta milisi adalah kelompok yang paling dominan dalam aksi yang ketiga. Di samping itu, juga menarik untuk mencermati, “lawan” atau rintangan utama dalam masing-masing aksi  tersebut juga berbeda antar yang satu dengan yang lainnya.

Aksi historis pertama yang dilakukan kaum republiken adalah menyebar­luaskan berita proklamasi kemerdekaan. Kaum republiken yang pertama melakukan aksi nyata di masa awal republik adalah dari kelompok pegawai yang bekerja pada kantor berita domei khususnya dan pegawai PTT (Pos Telefon dan Telegraf) pada umumnya. Hal ini terbukti dari diterimanya berita proklamasi pertama kali oleh seorang pegawai PTT (Ahmad Basya), yang dipekerjakan pada kantor berita domei di ibu kota Sumatera Bukittinggi. Peranan yang sama juga dimainkan oleh pegawai PTT (domei) di Padang dan Medan, serta domei dan radio hodohan di Palembang.[6] Merekalah yang pertama menerima (mengetahui) informasi tentang proklamasi kemerdekaan. Para pegawai yang bergerak dalam lapangan penerangan inilah yang kemudian menyampaikan berita proklamasi itu kepada rekan sejawat mereka dan kepada para pemuda serta politisi untuk kemudian menyebar pada masyarakat luas.

Aksi nyata para pegawai PTT (domei) ini tidak hanya bisa dinilai dari maknanya yang penting bagi penyebarluasan berita kemerdekaan, tetapi juga dari aspek keberanian mereka. Aksi mereka itu dapat dikatakan sebagai sebuah pertaruhan jiwa dan raga yang luar biasa. Mereka berani melanggar instruksi penguasa Jepang yang melarang mendengarkan (apalagi menyebarluaskan) semua berita mengenai perkembangan terakhir Perang Asia Timur Raya (tentang kapitulasi Jepang terhadap sekutu) umumnya dan perkembangan politik dalam negeri (proklamasi kemerdekaan RI) pada khususnya. Para pegawai PTT (domei) dan radio hodohan melanggar larangan tersebut dengan tetap mendengarkan berbagai berita tentang Perang Pasifik dan perkembangan terakhir dalam negeri. Tidak itu saja, setelah mengetahui berita-berita tersebut, terutama proklamasi kemerdekaan RI, mereka bahkan menyeludupkan berita tersebut ke luar kantornya. Aksi mereka ini jelas memperlihatkan sikap dan jiwa patriotisme yang tinggi, dengan resiko dihukum, dipenjara atau dibunuh oleh Jepang yang saat itu ditugasi menjaga status quo.[7]

Sebagai bagian dari penyebarluasan berita proklamasi ini, maka kaum republiken berikutnya yang memiliki peran besar adalah golongan pemuda. Aksi pemuda ini terlihat dari aktivitas mereka yang membawa dan menyampaikan atau menyebarluaskan berita proklamasi, yang diselundupkan pegawai PTT (domei) dan radio hodohan kepada golongan politisi dan selanjutnya kepada masyarakat luas. Para pemuda pula yang menganjurkan kepada rakyat untuk mengibarkan bendera merah putih, dan segera mengadakan rapat untuk mengambilalih kekuasaan dari tangan Jepang. Mereka pula yang mendesak politisi (yang masih ragu) untuk meyakini proklamasi yang disampaikan Soekarno-Hatta untuk kemudian ditindaklanjuti dengan pernyataan politik politisi daerah.

Sehubungan dengan itu, maka politisi adalah kaum republiken ketiga yang punya andil dalam merespon pernyataan proklamasi kemerdekaan di Sumatera. Kaum politisi ini pulalah yang dengan segera mengambil sikap politik terhadap proklamasi kemerdekaan di Jakarta. Sikap politik yang diambil oleh politisi itu adalah “mereproklamirkan” pernyataan kemerdekaan yang disampaikan oleh Soekarno-Hatta, serta memberi beberapa tambahan berkenaan dengan pengakuan dan dukungan terhadap pernyataan kedua proklamator tersebut. Pengakuan dan dukungan ini dinyatakan sebagai pengakuan dan dukungan dari seluruh warga Sumatera. “Reproklamasi” kemerdekaan ini menjadi khas Sumatera, adapun pernyataan yang dikemukakan itu berbunyi:

PERMAKLOEMAN

KEMERDEKAAN INDONESIA

Mengikoeti dan mengoeatkan pernjataan kemerdekaan Indonesia oleh Bangsa Indonesia seperti PROKLAMASI pemimpin2 besar kita SOEKARNO-HATTA atas nama Bangsa Indonesia seperti berikoet:

PROKLAMASI

Kami Bangsa Indonesia dengan ini menjatakan

KEMERDEKAAN INDONESIA

Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan dan lain2 diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat2nya.

Djakarta 17 boelan 6 tahoen 1945

Atas nama Bangsa Indonesia

Soekarno-Hatta

Maka kami Bangsa Indonesia di Soematera dengan ini mengakoei Kemerdekaan Indonesia seperti dimaksoed dalam Proklamasi di atas dan mendjoendjoeng keagoengan kedoea pemimpin Indonesia itoe.

Boekittinggi hari 29 bl 8 th 1945

Atas nama Bangsa Indonesia di Soematera

Moehammad Sjafei

Aksi politisi ini adalah juga sebuah sikap yang menggambarkan satu kesatuannya Sumatera. Aksi ini pulalah yang memudahkan pembentukan Propinsi Sumatera sebagaimana yang dinyatakan dalam hasil sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945 dan menyi­kapi pasal 18 UUD 1945 dengan menetapkan Sumatera sebagai salah satu dari delapan propinsi di Indonesia saat itu. Mudahnya proses penerimaan “penetapan” Propinsi Sumatera ini juga disebabkan oleh – secara kebetulan – banyak tokoh (politisi) penting Sumatera saat itu tengah berada di Bukittinggi dan mereka berunding dan berbicara atas nama Sumatera.

Keharmonisan di kalangan politisi Sumatera juga terlihat dari proses penerimaan keputusan yang menetapkan Medan sebagai ibu kota Propinsi Sumatera. Para politisi yang berasal dari Sumatera Tengah dan Selatan dengan segera menyetujui pemilihan (penetapan) Medan sebagai ibu kota propinsi. Walaupun demikian, tentu ada sedikit perdebatan di kalangan politisi yang berasal dari Sumatera Utara, Tengah dan Selatan saat itu. Pada awalnya muncul suara yang menginginkan ibu kota Propinsi Sumatera adalah Bukittinggi. Alasannya, Bukittinggi saat itu telah menjadi ibu kota Sumatera. Di samping itu, letak Bukittinggi yang nyaris berada di bagian tengah pulau, membuat jarak yang relatif sama bagi warga pulau yang menetap di utara atau selatan untuk datang ke ibu kota propinsi (bila mereka berurusan dengan pusat pemerintahan itu).[8]

Aksi lain dari kaum republiken dan itu juga relatif khas Sumatera adalah perlawanan terhadap golongan non-republiken. Sebagaimana disebut pada bagian terdahulu, golongan non-republiken ini hampir ada di setiap daerah di Sumatera. Mereka adalah kelompok-kelompok masyarakat yang mendapat banyak kemudahan serta perlakukan istimewa pada zaman penjajahan Belanda, sebaliknya mereka adalah kelompok masyarakat tersisih pada masa Jepang, dan disingkirkan atau tidak, serta kurang diterima pada era republik. Sehubungan dengan itu, banyak dari mereka tidak mendukung kemerdekaan yang telah diproklamirkan, serta mendukung hadirnya kembali kolonialis Belanda di Sumatera.

Walaupun ada banyak kelompok non-republiken di Sumatera, perlawanan yang diberikan oleh kelompok  uleebalang yang menghimpun diri mereka ke dalam organisasi yang dinamakan “Markas Uleebalang” dan kemudian membentuk barisan serdadu (tentara)nya yang dinamakan Badan Penjaga Keaman (BPK) yang berpusat di Lammeulo (Aceh) adalah perlawanan di awal revolusi yang menarik untuk dibicarakan. Ada banyak perbuatan yang meresahkan masyarakat yang dilakukan gerombolan ini, mulai dari  mengintimidasi hingga membunuhi rakyat yang tidak tunduk kepada mereka, merampoki harta benda rakyat yang berjuang demi tegaknya republik, serta menangkapi pemimpin dan kaum terpelajar yang pro-republik. Gerakan lain gerombolan ini yang tercatat sangat membahayakan jiwa rakyat dan republik adalah serbuan mereka ke Sigli dan juga serbuan di Lammeulu pada akhir tahun 1945. Di samping itu mereka juga melakukan terror di sejumlah daerah. Banyak kerugian harta benda serta korban jiwa yang jatuh akibat aksi mereka ini.

Tindakan uleebalang yang kemudian membahayakan kehidupan masyarakat dan juga bangsa kemudian mendapat aksi dari kaum republiken. Tindakan “bangsawan” ini semakin lama semakin brutal dan pengikutnya juga semakin banyak. Daerah yang melakukan perlawan juga semakin luas. Sehubungan dengan itu, kaum republiken yang terdiri dari berbagai kelompok masyarakat , dan dimotori oleh Markas Besar Rakyat Umum menyerbu pusat-pusat pertahanan uleebalang, seperti di Pidie, Meuredu, Loeengputu, Beureunoeen, Lemmeulo, Keumala, dlsbnya. Serbuan yang dilaksanakan mengambil landasan semangat islami. Hal ini terlihat dari kalimat pembuka dari maklumat yung dikeluarkan oleh Markas Besar Rakyat Umum yang berbunyi: “Saudara-saudara kaum Muslimin…..”

Aksi kaum republiken mampu menumpas gerakan Uleebalang. Pada pertengahan Januari 1946 gerakan mereka dapat diakhiri, pemimpin mereka ditangkap dan anggota pasukannya dihukum dengan hukuman yang setimpal. Mengenai aksi uleebalang ini disebutkan:

“Dari pemeriksaan dan pengakuan pengchianat-pengchianat  ini terbuktilah dengan terang-terangnja bahwa mereka telah bekerdja sama dalam gerakan pengchianatannya dengan Nica dan ternjata pula hampir semua kaum uleebalang di Atjeh turut tjampur dalam gerakan chianat tersebut. Hampir semua mereka telah memberi bantuan setjara terang-serangan atau setjara raasia kepada Markas Uleebalang di Lammeulu…..” (Propinsi Sumatera Utara 1953: 71-2).

Berbeda dengan aksi-aksi penyebarluasan berita proklamasi, “reproklamasi” kemerdekaan RI ‘ala Sumatera, penerimaan pembentukan propinsi Sumatera serta penetapan ibu kotanya yang dimotori oleh golongan yan secara sosial lebih tinggi posisi (terpelajar dan terdidik), maka pelaku aksi menumpas gerombolan non-republiken (uleebalang) umumnya adala masyarakat kebanyakan. Memang ada beberapa tokoh militer dan pemerintahan (politisi) yang terlibat, namun pelaku penyerbuan dan yang mengeksekusi di lapangan adalah masyarakat awam. Merekalah yang menyabung nyawa menghadapi hujan peluru gerombolan non-republiken. Di sisi lain, bisa pula dikatakan bahwa gerombolan “non-republiken” yang ingin merongrong kemerdekaan RI, sesungguhnya adalah juga kelompok masyarakat yang secara sosial dan politik (baik daerah keresidenan atau propinsi) tidak begitu menentukan (penting) posisinya. Secara sosial mereka termasuk kelompok “orang kecil”.

 Untuk melengkapi uraian upaya kaum non-republiken mengganggu negara proklamasi perlu disampaikan di sini kegiatan yang dilakukan oleh kelompok “elite”nya. Bila perlawanan yang dilakukan “orang kecil” terjadi di awal masa revousi, maka kegiatan yang dimotori “kaum elit” ini berlangsung di hari-hari terakhir perang kemerdekaan. Gerakan yang dalam beberapa literatur sezaman dinamakan sebagai “separatisme” ini diwujudkan dalam Muktamar Sumatera. Muktamar yang diinisiafi oleh Wali Negara Sumatera Timur (T. Dr. Mansur) ini bertujuan “…untuk menggalang kerjasama dalam banyak lapangan antar kelompok etnis di Sumatera…..”.

Muktamar yang berlangsung antara tanggal 29 Maret hingga 2 April 1949 di kota Medan itu dihadiri oleh 86 orang utusan. Secara sosial, peserta yang hadir adalah “tokoh” daerahnya. Sedangkan daerah yang “wakilnya” ikut dalam Muktamar tersebut adalah: Sumatera Timur, Sibolga, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Minangkabau, Sabang, Bangka, Belitung, Riau, Indragiri, Bengkalis, Siak, Jambi, Bengkulu, Lampung, dan Sumatera Selatan. Namun dari 16 perutusan yang hadir tersebut hanya tujuh utusan yang memiliki mandat, sisanya datang tanpa mandat (artinya kehadiran mereka bukanlah mewakili daerah asalnya).[9]

Aroma non-republiken atau adanya campur tangan Belanda dalam muktamar itu dapat dilihat dari alasan Gubernur Militer Aceh, Tgk. Daud Beurueh sebagaimana dinyatakan dalam surat kabar Semangat Merdeka.

“….maksud Belanda ialah hendak mendiktekan kepada Dr. Mansur supaya menjalankan politik pintar busuknya itu untuk memcah belah Republik ini karrena belanda endiri telah selalu gaga; dan tidak bisa mendjalankan politik devde er emperanya lagi…”.

“…..Kita jakin bahwa mereka jang telah menerioma baik undangan Dr. Mansur tersebut bukanlah orang Republiken, tetapi adalah kaki tangan dan budak kolonialisme Belanda jang selama ini sudah diberi makan roti…..”

Berbeda dengan aksi terhadap gerakan gerombolan uleebalang yang termasuk “orang kecil”, maka aksi terhadap Muktamar Smatera yang diprakarsai dan dihadiri oleh para elit daerah (“orang besar”) juga dilakukan oleh kaum republiken yan termasuk orang dengan status sosial yang tinggi, terpelajar dan juga “orang besar”.

            Satu lagi kelompok warga Sumatera yang bekerjasama dengan kolonialis adalah kaum China. Walaupun tidak semuanya, ada banyak warga China (khususnya di Medan) yang tidak mau mengibarkan bendera merah putih. Sebaliknya mereka mendukung kehadiran serta bekerjasama dengan Inggris (dan kemudian dengan Belanda). Inggris memberi senjata kepada sebagaian penduduk China. Mereka juga diberi izin membentuk barisan yang kemudian terkenal dengan nama “Po An Tui”.

Sama dengan golongan uleebalang dan bangsawan, penolakan mereka terhadap Negara republik disebabkan oelh pengala,a yang jelek pada masa penduduk Jepang serta di masa Belanda mereka mendapat banyak kemudahan.  Politik kolonial Belanda yang rasialis menempatkan Orang China dan timur asing lainnya dalam lapisan kedua.

Sering terjadi kontak senjata antara pemuda republic dengan pasukan Poh An Tui. Dengan demikian, pemuda punyaperan yang besar dalam menghadapi Poh An Tui. Gejala ini berbeda dengan dua gerakan kaum non-republiken di atas.

Penutup

Masih ada banyak aksi kaum republiken di Sumatera terhadap upaya perongrongan kemerdekaan yang telah diproklamirkan. Aksi-aksi itu dilakukan oleh hampir semua kaum republiken dan terjadi di hampir semua daerah di Sumatera. Aksi itu dilakukan terhadap halangan yang dilakukan oleh tentara Jepang yang memegang „amanah“ menjaga status quo, sikap arogansi tentara sekutu, intimidasi, teror, kekerasan pisik dan senjata oleh NICA serta tentara Belanda, termasuk juga kaum non-republiken lainnya. Aksi kaum republiken mampu menghabisi upaya dan perlawanan gerombolan non-republiken. Aksi-aksi kaum republiken tersebut lebih kental nuansa revolusi (militer atau politik)nya.

Aksi kaum republiken dalam menyambut proklamasi ternyata tidak hanya berupa „perlawan“ terhadap rongrongan kaum non-republiken, tetapi juga berupa upaya „perwujudan“ cita-cita kemerdekaan sebagaimana terungkap dalam Pembukaan UUD 1945, yakni: Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, Memajukan kesejahteraan umum, Mencerdaskan kehidupan bangsa, Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sehubungan dengan tujuan dan cita-cita kemerdekaan ini, maka banyak tokoh republiken yang juga berusaha keras mengatasi kelangkaan berbagai bahan kebutuhan pokok, mendirikan sekolah (penyelenggaraan pendidikan), mendirikan surat kabar dan majalah guna menyampaikan informasi yang mencerdaskan, menyelenggarakan hiburan (olah raga dan kesenian), dlsbnya.

Aksi-aksi kaum republiken pada masa revolusi di Sumatera masih banyak yang belum terungkap. Termasuk juga hubungan dan kaitannya dengan berbagai peristiwa yang teradi di daerah lain. Untuk itu, perlu kajian yang lebih menyeluruh.

Daftar Kepustakaan

Achmaddin Dalip et al., Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Daerah Bengkulu. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984.

Anhar Gonggong et al., Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Daerah Lampung. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984.

Benda, Harry J., Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang. Jakarta: Pustaka Jaya, 1980

Biro Sejarah, Medan Area Mengisi Proklamasi: Perjangan Kemerdekaan Dalam Wilayah Sumatera Utara. Medan: Badan Musyawarah Pejuang Republik Indoneia Meda Area, 1976.

Fatimah Enar et al., Sumatera Barat 1945-1950. Padang: Pem­da Sumbar, 1978.

Kahin, Audrey, Perjuangan Kemerdekaan: Sumatera Barat dalam Revolusi Nasional Indonesia (Terj. Tim Penerjemah MSI Sumbar). Padang: MSI Sumbar dan Ex. CTP Sumbar, nt.

Lukman Rahman, Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Jambi. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983.

Ma’mum Abdullah, Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Sumatera Selatan. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980.

Mardjani Martamin et al, Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Daerah Sumatera Barat. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982/83.

Republik Indonesia: Propinsi Sumatera Utara. Dajakarta: Kementerian Penerangan, 1954.

Republik Indonesia: Propinsi Sumatera Tengah. Dajakarta: Kementerian Penerangan, 1954.

Republik Indonesia: Propinsi Sumatera Selatan. Dajakarta: Kementerian Penerangan, 1954.

S.M. Rasjid et al, Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Minangkabau 1945-1950 (2 Jilid) (Jakarta: Badan Pemurnian Sejarah Indonesia-Minangkabau [BPSIM], 1978, 1981).

S.P. Napitupilu, R.Z. Leiriza, Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Sumatera Utara. Jakarta: Dep. P dan K, 1982.

Soewardi M.S. et al, Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Daerah Riau. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasiuonal, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982.

Zakaria Ahmad et al, Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Aceh. Banda Aceh: Yayasan Peduli Nangroe Atjeh, 1982.

——–ooo0ooo——-

[1]     Setelah pembentukan Propinsi Sumatera, kesepuluh keresidenan ini tetap dipertahankan, namun keberadaannya berada di bawah pemerintahan propinsi.

[2]     Sumatera di sini lebih bermakna Pulau Sumatera, sebab Kepulauan Riau dimasukan ke dalam Pemerintaan Singapura.

[3]     Salah satu perubahan yang cukup signifikan dalam unit pemerintahan ini (shu) adalah dijadikannya bagian paling selatan Sumatra’s Ooskust (Rokan, Siak, dan Pelalawan), bagian paling timur Sumatra’s Westkust (Kampar), dan kawasan daratan  Residentie Riouw en Onder­hoorigheden (Indragiri dan Kuantan) menjadi Riau Shu dengan ibu kota Pakanbaru.

[4]     Sikap “baik” tentara pendudukan Jepang ini berhubungan dengan peran-serta kaum agama (ulama) dalam “memfasilitasi” kedatangan Jepang ke Sumatera. Sikap bersahabat ulama terhadap Jepang (dalam proses kedatangan mereka) adalah reaksi terhadap perlakuan buruk serta ketidakadilan kolonialis Belanda terhadap kaum ulama pada masa sebelumnya. “Bantuan” golongan agama terhadap Jepang ini tidak hanya di Sumatera, tetapi juga di berbagai daerah lain di Indonesia (Harry J. Benda 1980).

[5]     Sama dengan kaum agama (ulama), sikap “baik” Jepang terhadap pemuda ini juga dilatarbelakangi oleh adaya “bantuan” para terutama itu dalam proses kedatangan bala tentara Dai Nippon ke Sumatera. Hal ini, antara lain terlihat jelas dari adanya perekrutan sejumlah pemuda Sumatera untuk digabungkan ke dalam pasukan “F-Kikan”, sebuah pasukan yang diorganisir oleh Mayor Fujiwara Iwaichi, seorang perwira intelijen Jepang, sebuah pasukan yang disiapkan melakukan sejumlah “pendekatan” kepada warga Sumatera serta “menggarap” warga pulau itu agar mau menerima kedatangan tentara Jepang, serta ditugaskan juga mematai-matai kelompok-kelompok lain yang anti Jepang (Audrey Kahin nt: 41).

[6]     Di Bukittinggi berita proklamasi diketahui tanggal 17 Agustus malam, di Padang diketahui tanggal 18 Agustus, di Medan tanggal 18 Agustus, dan di Palembang tanggal 18 Agustus. Di daerah-daerah lain umumnya diketahui setelah tanggal 19 Agustus. Keterlambatan tersebut terutama sekali disebabkan oleh sulitnya komunikasi saat itu, apalagi sejak hari-hari terakhir pendudukan Jepang penduduk dilarang mendengar siaran radio (radio-radio milik penduduk disegel oleh penguasa.

[7]     Peran para pegawai kantor berita dan stasiun radio ini relatif belum mendapat tempat yang memadai dalam penulisan sejarah proklamasi di Sumatera. Walaupun ada deskripsi tentang kegiatan mereka, porsinya masih sedikit. Peran pejuang bidang penerangan ini menjadi sangat penting selama masa revolusi. Ini pulalah yang menjadi latar belakang dibentuknya Kementerian Penerangan serta Jawatan Penerangan saat itu.

[8]     Sikap menerima dari politisi yang berasal dari Sumatera Tengah dan Selatan memperlihatkan pula sikap mengutamakan kepentingan bersama (Sumatera) dari pada kepentingan daerah dari politisi pada masa itu.

[9]     Suatu penelusuran yang saksama terhadap peserta muktamar ini perlu dilakukan, setidaknya untuk lebih meyakinkan bahwa pertemuan tersebut memang sebagai bagian dari upaya merongrong negara proklamasi RI. Namun, latar belakang satu peserta yang hadir, yakni Dt. Baringek dari Minangkabau dinilai warga daerah itu memang seorang yang pro-Belanda. Di masa pemerintahan Hindia Belanda dia menjadi anggota PID, dan ketika Indonesia merdeka memang pernah terpilih jadi residen SumateraBarat, namun hanya dalam waktu yang singkat, kemudian dilengserkan karena ketidakyakinan warga daerah itu terhadap nasioalismenya.