SUTAN SYAHRIR “SI KANCIL DAN PARTAI SOSIALIS INDONESIA”

0
34854

Tak terasa sudah 72 tahun Negara Indonesia merdeka. 72 tahun ini terhitung mulai dari hari pembacaan proklamasi kemerdekaan yang dilakukan oleh Ir. Sukarno yang didampingi Drs. Mohammad Hatta. 72 tahun bukanlah waktu yang singkat ataupun cepat. Dan tentunya 72 tahun ini akan terus-menerus bertambah tahun dan berlanjut. 72 tahun yang akan tetap berlanjut ini diperoleh dari kerja keras dan iringan doa dari para pendahulu kita, para pahlawan dan tokoh pergerakan nasional bersama dengan seluruh rakyat Indonesia.

Seiring dengan berjalannya waktu, jiwa nasionalis anak-anak muda mulai memudar. Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris nation) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia yang mempunyai tujuan atau cita-cita yang sama dalam mewujudkan kepentingan nasional, dan nasionalisme juga rasa ingin mempertahankan negaranya, baik dari internal maupun eksternal. Hal ini tercermin dari hal-hal sehari-hari. Contohnya saat berlangsungnya upacara bendera pada hari Senin di sekolah. Anak-anak muda zaman sekarang sulit untuk serius dalam upacara bendera. Biasanya mereka akan mengeluh kelelahan karena berdiri lama atau pun berbicara bersama temannya. Mereka tidak menghiraukan upacara bendera yang sedang berlangsung. Contoh ketidakseriusan yang lain tercermin dari sikap badan saat upacara bendera. Sikap badan yang seharusnya adalah tegap dan fokus.

Memudarnya jiwa nasionalis pada anak muda, maka anak muda zaman sekarang membutuhkan seorang teladan dalam kehidupan berbangsa dan bernegaranya. Ada banyak sekali tokoh-tokoh pahlawan dan pejuang kemerdekaan Indonesia atau pun tokoh pergerakan nasional yang dapat dijadikan teladan, seperti Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, Dr. Soetomo, Ki Hajar Dewantara, dan yang lainnya. Salah satunya  adalah Sutan Syahrir.

Sutan Syahrir adalah salah satu pejuang kemerdekaan negara kita, Indonesia. Ia adalah sosok pemberani, yang sangat anti-Jepang. Sosoknya yang pemberani dan tidak takut akan sebuah perbedaan ini, sangat berperan dalam tercapainya kemerdekaan Indonesia, terutama dalam jalur diplomasi. Berkatnya, Indonesia mendapat pengakuan dari dunia internasional, melalui jalur diplomasi. Ia adalah negarawan humanis dan seorang demokrat sejati. Ada banyak hal pula yang dapat diteladani dari sosok Sutan Syahrir ini. Sutan Syahrir berkecimpung dalam aksi pendidikan ‘melek’ huruf secara gratis bagi anak-anak dari keluarga tak mampu dalam Tjahja Volksuniversiteit (Cahaya Universitas Rakyat). Ia memiliki semangat perjuangan yang sangat tinggi. Semangat perjuangan yang menentang penjajah ini tidak hanya saat pemerintahan Belanda, ia masih tetap berjuang pada saat penjajahan Jepang.

Syahrir adalah salah seorang pemimpin bawah tanah di zaman pendudukan Jepang yang dengan berani mendengarkan siaran radio Sekutu. Padahal, nyawa bisa jadi taruhan karena ada larangan keras mendengarkan siaran radio. Dalam lemari di kamarnya tersimpan radio yang memantau berita kemenangan Sekutu, termasuk penyerahan Jepang. Berita itu biasanya diteruskan Syahrir kepada Bung Hatta. Ia berani mempertaruhkan nyawanya untuk mendengarkan radio demi mencari informasi-informasi terbaru tentang Jepang dan dunia internasional. Sutan Syahrir sangat cocok untuk dijadikan teladan bagi anak-anak muda sekarang.

Sosok Sutan Syahrir

Siapakah Sutan Syahrir? Pria satu ini tidak dapat dijauhkan dari proses kemerdekaan Indonesia. Sutan Syahrir adalah salah satu bapak perintis berdirinya Republik Indonesia dan merupakan perdana menteri pertama Indonesia. Sutan Syahrir lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat pada tanggal 5 Maret 1909. Ayahnya bernama Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan Palindih dan ibunya bernama Puti Siti Rabiah yang berasal dari Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat. Ia mempunyai saudara perempuan yang bernama Rohana Kudus.

 Orang tua Sutan Syahrir merupakan orang yang terpandang di Sumatera. Ayahnya menjabat sebagai penasihat Sultan Deli dan juga kepala jaksa atau landraad pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Karena lahir di keluarga yang kondisi ekonominya berkecukupan, Sutan Syahrir masuk di sekolah terbaik pada zaman kolonal Belanda ketika itu. Ia memulai pendidikannya di ELS (Europeesche Lagere School) atau setingkat sekolah dasar. Setelah menyelesaikan pendidikan di ELS, ia kemudian masuk di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yang setingkat dengan sekolah menengah pertama atau SMP. Disini ia kemudian banyak membaca buku-buku asing terbitan eropa dan juga karya-karya sastra dari luar. Tamat dari MULO pada tahun 1926, ia kemudian pindah ke Bandung dan bersekolah di AMS (Algemeene Middelbare School) yang merupakan sekolah termahal dan terbaik di Bandung.

Di AMS, ia menjadi siswa terbaik disana, Sutan Syahrir banyak menghabiskan waktunya dengan membaca buku-buku terbitan Eropa dan juga mengikuti klub kesenian di sekolahnya. Ia juga aktif dalam klub debat di AMS. Selain itu, ia juga mendirikan sekolah bernama Tjahja Volksuniversiteit (Cahaya Universitas Rakyat) yang ditujukan untuk anak-anak buta huruf dan dari keluarga yang kurang mampu.

Menurut Des Alwi, nasionalisme Sutan Syahrir tumbuh pertama kali takkala mendengar pidato Dr. Tjipto Mangunkusumo. Saat itu Dr. Tjipto, yang telah dikenal sebagai tokoh pergerakan, berpidato di suatu alun-alun di Bandung. Syahrir, yang hidup di lingkungan pro-Belanda karena ayahnya pegawai Belanda, semula kurang menyukai pergaulan dengan kaum pemberontak. Namun kawan sekelasnya, Boediono, membujuk dan mengajaknya jalan-jalan serta makan sate. Dari situlah untuk pertama kalinya Syahrir terpukau dengan semangat kebangsaan. Ia mulai aktif dalam perkumpulan pemuda kebangsaan. Pengalamannya dalam berorganisasi di sekolah membawanya terjun kedalam dunia politik ketika itu.

Sutan Syahrir kemudian dikenal sebagai penggagas dalam berdirinya Jong Indonesië (Himpunan Pemuda Nasionalis) pada tanggal 20 Februari 1927 yang kemudian mengubah nama menjadi Pemuda Indonesia. Pemuda Indonesia kemudian menjadi penggerak dimulainya Kongres Pemuda Indonesia yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda pada tanggal 1928. Akibatnya, pemuda yang masih duduk di AMS itu dimata-matai polisi. Satu kegiatan Syahrir yang terkenal di kalangan pelajar AMS adalah kebiasaanya membaca Algemene Indische Dagblad (AID). Buletin yang ditulis dalam bahasa belanda itu di pasang di jendela setiap pukul enam sore. Surat kabar itu dimaksudkan untuk pembaca warga Belanda. Karena itu ia kerap diusir polisi Belanda, yang melarang anak sekolah membaca berita tersebut.

“Syahrir tidak membenci orang Belanda, yang dibenci adalah paham imperialisme dan kolonialismenya,” tulis Syahbuddin Mangandaralam, dalam Apa dan Siapa Sutan Syahrir? (1986). Sebagai seorang pelajar ketika itu, Sutan Syahrir juga kerap dikejar-kejar oleh polisi Belanda di Bandung karena sering membaca berita mengenai pemberontakan PKI pada tahun 1926 yang ketika itu terlarang untuk dibaca bagi pelajar sekolah. Sutan Syahrir juga merupakan pemimpin redaksi dari Himpunan Pemuda Nasional yang kerap berurusan dengan kepolisian Bandung kerena kerap mengkritik pemerintahan kolonial ketika itu.

Tamat dari AMS, ia kemudian berangkat ke Belanda dan melanjutkan kuliahnya disana. Ia kemudian masuk fakultas hukum di Universitas Amsterdam, di Belanda. Disana, Sutan Syahrir banyak mempelajari teori-teori sosialisme hingga kemudian ia dikenal sebagai seorang sosialis yang cenderung ke ‘kiri’ dan bersikap radikal terhadap hal-hal yang berbau kapitalisme. Di Belanda, beliau bekerja di Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional. Disana juga ia kemudian berkenal dengan Salomon Tas yang merupakan Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat, dan juga wanita bernama Maria Duchateau yang kelak menjadi istrinya yang ia nikahi pada tahun 1932. Di Belanda juga, Sutan Syahrir bergabung dalam Perhimpunan Indonesia (PI) yang dipimpin oleh Mohammad Hatta.

Khawatir akan pergerakan organisasi pergerakan pemuda Indonesia, kemudian pemerintah Belanda dengan ketat mengawasi bahkan melakukan aksi razia seperti memenjarakan para pemimpin pergerakan seperti Ir. Sukarno hingga kemudian PNI (Partai Nasional Indonesia) oleh aktivis PNI sendiri. Bersama dengan Mohammad Hatta, Sutan Syahrir selalu menyerukan untuk melakukan pergerakan menuju kemerdekaan Indonesia. Mereka menuangkan tulisan mereka melalui majalah Daulat Rakjat yang dimiliki oleh Pendidikan Nasional Indonesia.

Melihat menurunnya semangat pergerakan di Indonesia akibat pengawasan pemerintah kolonial Belanda yang ketat membuat Sutan Syahrir pada 1931 memilih berhenti kuliah dan kemudian kembali ke Indonesia untuk melanjutkan pergerakan nasional menuju kemerdekaan Indonesia. Kemudian pada tahun 1951, Sutan Syahrir menikah dengan wanita bernama Siti Wahyunah yang kemudian memberinya dua orang anak bernama Kriya Arsyah Syahrir dan Siti Rabyah Parvati Syahrir. Meskipun perawakannya kecil, yang oleh teman-temannya sering dijuluki Si Kancil, Sutan Syahrir adalah salah satu penggemar olah raga dirgantara dan pernah menerbangkan pesawat kecil dari Jakarta ke Yogyakarta pada kesempatan kunjungan ke Yogyakarta. Di samping itu juga senang sekali dengan musik klasik. Ia juga bisa memainkan biola.

Kemudian pada tahun 1955, setelah Partainya gagal dalam pemilihan umum, hubungannya dengan presiden Sukarno mulai renggang dan memburuk. Hingga kemudian pada 1960, Partai Sosialis Indonesia yang didirikan oleh Sutan Syahrir akhirnya dibubarkan. Partai Sosialis Indonesia (PSI) dibubarkan pada tahun 1960. Di tahun itu juga ia berpisah dengan Maria Duchateau.  Kemudian pada tahun 1962 Sutan Syahrir kemudian ditangkap kemudian dipenjara tanpa pernah diadili hingga tahun 1965, ia kemudian menderita penyakit stroke.

Akhirnya pemerintah ketika itu mengizinkan Sutan Syahrir untuk berobat di Zurich, Swiss. Hingga akhirnya pada tanggal 9 April 1966, Sutan Syahrir akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya, jenazahnya kemudian dimakamkan di Taman Makan Pahlwan Kalibata, Jakarta. Sebagai balas jasa ditanggal yang sama tepat ketika Sutan Syahrir meninggal dunia, pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional Indonesia kepada Sutan Syahrir atas jasa-jasanya sebagai salah satu pendiri Republik Indonesia melalui melalui Keppres nomor 76 tahun 1966.

PNI Baru Hingga Partai Sosialis Indonesia

Pengalamannya dalam berorganisasi ketika masih menjadi pelajar dan juga ketika kuliah di Belanda membuat ia segera bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI Baru) yang diketuainya pada tahun 1932. Sebagai tokoh yang memiliki pandangan sosialis, Sutan Syahrir juga ikut tergabung dalam pergerakan buruh. Tulisan-tulisan Syahrir tentang perburuhan dituangkan dalam majalah Daulat Rakjat dan ia sering berbicara mengenai buruh di forum-forum politik sehingga membuat Sutan Syahrir di daulat sebagai ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.

Tindakan pembubaran PNI oleh Mr. Sartono sangat disayangkan oleh banyak pihak, terutama sebagian besar anggotanya. Mereka kemudian membentuk kelompok sendiri yang dinamakan Golongan Merdeka. Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir yang saat itu berada di negeri Belanda turut menyayangkan tindakan Mr. Sartono. Atas saran Mohammad Hatta, Sutan Syahrir kembali ke Indonesia dengan membawa pesan kepada Golongan Merdeka agar mendirikan partai baru.

Kepulangan Syahrir ke Tanah Air pada pertengahan November 1931 terasa mendadak. Kepada rekan-rekannya di klub mahasiswa sosial demokrat di Belanda, De Socialist, pemuda 22 tahun itu hanya bilang hendak pergi ke “suatu wilayah berbahaya”. Syahrir rupanya telah sepakat mengalah kepada Muhammad Hatta, ketika itu 29 tahun, senior di Perhimpunan Indonesia dan teman diskusinya di De Socialist. Meski belum menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universiteit van Amsterdam, ia akan pulang. Hatta, yang sudah sembilan tahun di Belanda, berniat menyelesaikan kuliah di Falkutas Ekonomi Universiteit Rotterdam lebih dulu.

Dengan adanya pesan Hatta itu, terbentuklah Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru). Tokoh yang mula-mula terpilih menjadi Ketua PNI Baru adalah Sukemi yang kemudian digantikan oleh Sutan Syahrir yang akhirnya diganti oleh Hatta setibanya di Indonesia pada tahun 1932. Pergerakan politik Hatta dan Syahrir melalui PNI Baru justru lebih radikal daripada PNI Sukarno, yang mengandalkan mobilisasi massa. Meski tanpa aksi massa dan agitasi, organisasi ini mendidik kader-kader pergerakan.pengambilalihan PNI Baru ini memang hanya agar pergerakan nasional tidak berhenti melainkan terus berlanjut.

Strategi perjuangan PNI Baru sebenarnya tidak jauh berbeda dengan strategi PNI maupun Partindo. PNI Baru berazaskan nasionalisme dan demokrasi. Menurut tokoh-tokoh PNI Baru, kemerdekaan dapat dicapai dengan terlebih dahulu mendidik rakyat agar mereka memiliki kematangan jiwa dan pengetahuan luas tentang organisasi. Dengan demikian, rakyat akan memiliki kekuatan untuk mengadakan aksi mencapai kemerdekaan.

Kembalinya Hatta ke Indonesia setelah dari Belanda dan memimpin Partai PNI Baru bersama Sutan Syahrir membuat PNI Baru ini cenderung lebih radikal dibanding PNI ketika masih dibawah kepemimpinan Sukarno. Pergerakan PNI Baru dibawah komando Hatta dan Sutan Syahrir yang cenderung semakin radikal dengan mobilisasi massa besar-besaran. Hal ini kemudian membuat pemerintah kolonial Belanda lebih mengawasi secara ketat aktifitas PNI baru ini yang diketuai oleh Syahrir dan Mohammad Hatta. Sehingga  membuat Sutan Syahrir dan Mohammad Hatta akhir ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda dan dipenjarakan, kemudian mereka berdua diasingkan di Boven-Digoel dan kemudian dibuang selama enam tahun di Banda Neira di Kepulauan Banda.

Pada masa kependudukan Jepang, Sutan Syahrir pergerakan ‘bawah tanah’ membangun jaringan untuk mempersiapkan diri merebut kemerdekaan tanpa bekerja sama dengan Jepang seperti yang dilakukan oleh Ir. Sukarno. Syahrir percaya bahwa kependudukan Jepang sudah tidak lama lagi dan Jepang tak mungkin menang dalam perang melawan sekutu sehingga Indonesia harus cepat merebut kemerdekaan dari tangan Jepang. Sutan Syahrir kemudian mendesak Sukarno dan Mohammad Hatta untuk mendeklarasikan kemerdekaaan Indonesia pada tangga 15 Agustus 1945, desakan itu juga didukung oleh para pemuda ketika itu. Namun  Sukarno dan Hatta menolak dan tetap sesuai dengan rencana yakni tanggal 24 September 1945 yang ditetapkan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dibentuk oleh jepang.

Hal tersebut kemudian mengundang kekecewaan dari para pemuda Indonesia terlebih lagi Jepang diketahui telah menyerah dan kalah perang oleh sekutu. Hal inilah yang kemudian membuat kaum muda ketika itu menculik Sukarno dan Mohammad Hatta dan membawanya ke Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945 guna menjauhkan dari pengaruh Jepang dan mendesak agar segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945, Sukarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Pasca kemerdekaan Indonesia, Sutan Syahrir kemudian ditunjuk oleh Presiden Sukarno sebagai Perdana Menteri pertama Republik Indonesia dan menjadi perdana menteri termuda di dunia yakni berusia 36 tahun, beliau juga menjabat sebagai Menteri Luar Negerin dan Menteri Dalam Negeri ketika Republik Indonesia baru saja merdeka, meskipun begitu banyak tulisan-tulisan Sutan Syahrir yang cenderung mengkritik dan menyerang Sukarno. Tulisannya yang terkenal yaitu Perjuangan Kita. Pasca kemerdekaan Indonesia, terjadi peristiwa penculikan perdana menteri Sutan Syahrir pada tanggal 26 Juni 1946 yang dilakukan oleh kaum Persatuan Perjuangan yang merasa kecewa atas diplomasi yang dilakukan oleh Sutan Syahrir dibawah kabinetnya yaitu Syahrir II kepada pemerintah Belanda ketika itu yang ingin kembali menguasai Indonesia.

Diplomasi Kabinet Syahrir hanya menuntut pengakuan wilayah Jawa dan Madura sebagai wilayah Indonesia, namun kaum Persatuan Perjuangan menginginkan kemerdekaan Indonesia sepeuhnya mencakup seluruh wilayah Nusantara seperti yang dicetuskan oleh Tan Malaka. Kaum Persatuan Perjuangan yang menculik Sutan Syahrir ini dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono dan termasuk Tan Malaka didalamnya. Ada juga yang mengatakan bahwa Jenderal Besar Sudirman ikut terlibat dalam penculikan Sutan Syahrir. Penculikan Sutan Syahrir ini kemudian membuat Presiden Sukarno ketika itu marah besar. Pada tanggal 1 Juli 1946, 14 pimpinan yang melakukan penculikan yang didalamnya termasuk Tan Malaka berhasil ditangkap dan kemudian dipenjarakan oleh polisi Surakarta di penjara Wirogunan.

Tanggal 2 Juli 1946, Mayor Jendral Soedarsono kemudian menyerbu penjara tersebut dan kemudian berhasil membebaskan pimpinan dari aksi penculikan Sutan Syahrir. Hingga kemudian Presiden Sukarno akhirnya kemudian memerintahkan Soeharto yang ketika itu menjabat sebagai pimpinan tentara di Surakarta untuk menangkap Mayor Jendral Soedarsono. Hingga kemudian pada tanggal 3 Juli 1946 Mayor Jendral Soedarsono akhirnya berhasil di tangkap oleh pasukan pengawal presiden. Peristiwa tersebut kemudian dikenal sebagai sebuah kudeta pertama atas Republik Indonesia yang mengalami kegagalan.

Pada tanggal 2 Oktober 1946, Sutan Syahrir kembali menjadi Perdana Menteri yang kemudian melanjutkan perundingan Linggarjati yang terkenal 15 november 1946. Sutan Syahrir diketahui sangat mengakui Presiden Sukarno sebagai pemimpin besar dari Indonesia dan banyak yang mengatakan bahwa tanpa presiden Sukarno, Sutan Syahrir tidak ada apa-apanya. Sutan Syahrir juga dikenal sebagai ketua BP KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat), beliau juga merupakan perangcang dari perubahan kabinet presidensil menjadi kabinet parlementer di Indonesia. Sebagai perdana menteri Sutan Syahrir telah melakukan perombakan kabinet sebanyak tiga kali yaitu kabinet Syahrir I, Syahrir II dan Syahrir III. Beliau juga dikenal sebagai tokoh yang konsisten dalam memperjuangkan kedaulatan Indonesia di kancah Internasional melalui jalur diplomasi.

Meskipun tidak lagi menjadi perdana menteri Indonesia pada tahun 1947, Sutan Syahrir tetap akhif memperjuangkan kedaulatan Indonesia di forum Internasional. Hal itu ia lakukan ketika ia ditunjuk sebagai perwakilan Indonesia di PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) bersama dengan Haji Agus Salim. Ketika Indonesia terus digempur oleh aksi agresi militer Belanda tahun 1947, Sutan Syahrir berpidato mengenai kedaulatan Indonesia dan perjuangan bangsa merebut kemerdekaan di tanah mereka sendiri. Argumen-argumen yang dikeluarkan oleh Sutan Syahrir tentang kedaulatan dan perjuangan Indonesia kemudian mematahkan argumen perwakilan Belanda yaitu Eelco van Kleffens. Diplomasi Republik Indonesia yang diwakili oleh Sutan Syahrir kemudian membuat PBB ikut campur dalam masalah Indonesia-Belanda yang kemudian mendesak Belanda untuk mengakui kedaulatan Indonesia.

Sutan Syahrir kemudian dikenal sebagai diplomat muda yang ulung berkat pidatonya ketika ia mewakili Indonesia di sidang umum PBB. Bahkan beberapa wartawan kemudian menyebut Sutan Syahrir dengan julukan The Smiling Diplomat. Setelah tidak lagi menjabat sebagai Perdana Menteri, Sutan Syahrir kemudian menjadi penasihat Presiden Sukarno dan juga sebagai Duta Besar untuk Indonesia.

Dalam catatan sejarah Indonesia, ada empat partai politik yang pernah menyandang nama ”sosialis” sebagai nama dan ideologi resmi partai, yaitu :

  1. Partai Sosialis yang diketuai Amir Sjarifuddin
  2. Partai Rakyat Sosialis (Paras) yang didirikan dan diketuai Sutan Syahrir
  3. Partai Sosialis
  4. Partai Sosialis Indonesia (PSI)

Partai Sosialis merupakan gabungan dari Partai Sosialis yang diketuai Amir Sjarifuddin dan Partai Rakyat Sosialis (Paras) yang didirikan dan diketuai Sutan Syahrir. Partai inilah yang sejak November 1945 menguasai kabinet RI hingga pertengahan 1947, menguasai kabinet, yaitu Kabinet Syahrir I, II, dan III serta Kabinet Amir Syarifuddin I dan II. Selanjutnya ketika terjadi keretakan antara kelompok Syahrir dan Amir Sjarifuddin, Syahrir membentuk partai baru yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Cikal bakal PSI adalah Partai Sosialis yang diketuai oleh Amir Syarifuddin dan Partai Rakyat Sosialis (PARAS) yang didirikan oleh Sutan Syahrir yang kemudian bergabung dengan nama Partai Sosialis. Partai Sosialis inilah yang sejak bulan November 1945 sampai pertengahan tahun 1947 menguasai kabinet, yaitu Kabinet Syahrir I, II, dan III serta Kabinet Amir Syarifuddin I dan II.

Hadirnya Partai Sosialis Indonesia berasal dari penggabungan dari Partai Sosialis yang diketuai oleh Amir Syarifuddin dan Partai Rakyat Sosialis (PARAS) yang didirikan oleh Sutan Syahrir. Partai Sosialis Indonesia, disingkat PSI, berhaluan kiri dan menganut ideologi sosialisme yang menjunjung tinggi persamaan derajat manusia.

 PSI berlandaskan sosialisme yang disandarkan pada ajaran Karl Marx dan Friedrich Enges untuk menuju masyarakat sosialis yang berdasarkan kerakyatan. Partai ini menentang sistem diktatur proletariat yang diterapkan di Uni Soviet dan negara-negara sosialis lainnya. Sosialisme kerakyatan yang dimaksudkan PSI adalah sosialisme yang menjunjung tinggi derajat kemanusiaan dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat setiap manusia yang menghargai pribadi seseorang dalam pikiran serta dalam pelaksanaan sosialisme.

Syahrir mengkampanyekan ideologi sosialisme kerakyatan yang antifasis dan antifeodal yang menganjurkan kebebasan individu dan menghormati martabat manusia. Dalam karyanya yang terkenal, perjuangan kita, ia menulis, “perjuangan kita sekarang ini tak lain dari perjuangan untuk mendapat kebebasan jiwa bangsas kira. Kedewasaan bangsa kita hanya jalan unutk mencapai kedudukan sebagai manusia yang dewasa bagi diri kita.”

 Partai Sosialis Indonesia awalnya disebut dengan nama Partai Sosialis, partai inilah yang menjadi kekuatan utama pada saat Revolusi Nasional Indoensia (Revolution the Nations Indoensian) atau di sebut juga sebagai masa perang kemerdekaan Indonesia. Pada masa ini, terjadi konflik bersenjata dan perjuangan diplomasi antara Indonesia dan Belanda.

 Peran para tokoh sosialis yang sangat besar adalah dalam menjalin hubungan diplomatik dengan dunia luar. Gunanya untuk mendapatkan pengakuan dari negara lain. Sehingga keberadaan Indonesia diakui oleh dunia dan menjadi negara yang merdeka, bebas dari penjajah. Dan Indonesia dapat berdaulat menjalankan pemerintahannya tanpa adanya gangguan. Partai ini dibubarkan oleh Presiden Sukarno karena dianggap merintangi jalannya revolusi yang dikumandangkan Sukarno yaitu ”NASAKOM” atau ”Nasionalis, Agama, Komunis ” yang oleh Partai Sosialis Indonesia (PSI) sangat ditentang. Dan salah satu dari anggotanya terlibat dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indoensia (PRRI), maka Partai Sosialis Indonesia (PSI) dibubarkan pada tahun 1960.

Written by : Gabriela Jeanifer