PRINSIP PENDIDIKAN TAMAN SISWO PADA AWAL PENDIRIANNYA

0
5186

           Ketenangan di wilayah penduduk kolonial Hindia Belanda pada awal 1913 menjadi terhentak ketika pemerintah pada Juni 1913 mengeluarkan pernyataan resmi akan menyelenggarakan perayaan genap 100 tahun kemerdekaan negara itu dari cengkeraman Napoléon Bonaparte.  Pernyataan pembebasan negeri Belanda dari kekuasaan Prancis juga akan dirayakan secara besar-besaran di wilayah koloni. Menurut pernyataan itu, tidak hanya orang Belanda yang akan merayakan peringatan itu, akan tetapi juga akan melibatkan penduduk bumiputera. Untuk merayakannya, akan dipungut derma yang berasal tidak hanya dari dari orang-orang Belanda yang tinggal di wilayah koloni, akan tetapi juga akan dipungut dari penduduk bumiputera. Pemungutan derma ini berlaku bagi seluruh penduduk di wilayah ini.

            Himbauan pemerintah ini memperoleh reaksi yang luar biasa dari tokoh masyarakat, khususnya masyarakat bumiputera. Mereka berpendapat bahwa tidaklah sepantasnya bila pesta perayaan kemerdekaan itu  melibatkan penduduk bumi putera, karena kondisi mereka yang masih dijajah.  Mereka bahkan memperotes mengapa rencana perayaan itu akan diselenggarakan secara besar-besaran. Seyogyanya perayaan itu diselenggarakan secara tertutup di Societeit atau di tempat-tempat tertutup lainnya. Banyak penduduk bumiputera termasuk para tokohnya mempertanyakannya, karena mereka tidak mengerti dan tidak paham mengapa mereka diharuskan terlibat dalam acara tersebut. Bahkan beberapa di antaranya menganggap bahwa himbauan ini merupakan suatu hinaan terbuka yang ditujukan kepada mereka.

            Atas prakarsa dr, Tjipto Mangoenkoesoemo (selanjutnya disingkat TM), didirikanlah Inlandsche Comite tot Hardenking van Nederlands Honderjarige Vrijheid,  yaitu “Panitia Peringatan 100 tahun Kemerdekaan Belanda”.  Komite ini diketuai oleh TM dengan sekretaris dan bendahara RM Soewardi Soerjaningrat (selanjutnya disingkat SS). Sedangkan posisi komisaris dijabat oleh Abdoel Moeis dan AH Wignyadisastra. Komite yang baru dibentuk ini lebih dikenal sebagai Comite Boemi Poetra. Komite ini sengaja dibentuk untuk memprotes dilibatkannya penduduk bumiputera dalam memperingati 100 tahun kemerdekaan negeri Belanda, yang diikuti dengan pemungutan sumbangan. Akibat dari kegiatan ini tokoh TM, SS, dan selanjutnya EFE Douwes Dekker ini harus menghadapi pengadilan.

         Komite ini selain bereaksi keras atas desakan pemerintah Hindia Belanda agar penduduk bumiputera ikut serta dalam bentuk pemberian sumbangan/derma  dalam peringatan 100 tahun kemerdekaan negeri Belanda, juga memberikan reaksi atas suatu rencana dari pemerintah kolonial yang akan membentuk Koloniale Raad, yaitu suatu Dewan Kolonial yang beranggotakan sebanyak 29 orang. Dewan ini dibentuk dengan komposisi 21 orang anggotanya berasal dari orang  Belanda dan sisanya  8 orang adalah wakil dari kaum bumiputera. Dari 8 orang wakil bumiputera tersebut, 5 di antaranya adalah berasal dari para bangsawan yang menduduki jabatan bupati, suatu jabatan tertinggi yang boleh diduduki oleh penduduk bumiputera. Kelima bupati ini diangkat oleh pemerintah kolonial. Tentu saja, mereka lebih memperjuangkan kepentingan mereka pribadi dan kepentingan pemerintah kolonial dari pada kepentingan penduduk bumiputera. Dengan demikian, Komite ini sengaja dibentuk utuk membela kepentingan penduduk bumiputera  dan meneruskan saran, pendapat, kritik yang disampaikan untuk diteruskan kepada pemerintah kolonial.

Perjuangan Ketiga Tokoh di Komite Boemipoetra

Komite bumiputera selanjutnya mengumpulkan uang yang diperoleh dari para anggotanya. Tujuan pengumpulan uang itu adalah sebagai ongkos pengiriman telegram yang akan dikirimkan kepada Sri

Ratu Belanda Wilhelmina. Telegram yang dikirimkan itu berisi selain untuk mengucapkan selamat atas peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda, juga meminta agar Sri Ratu mencabut Peraturan Pemerintah nomor 111 yang melarang kaum bumiputera untuk berkumpul dan berpolitik, serta dibebaskan dari pengumpulan sumbangan dalam rangka peringatan tersebut. Selain mengirimkan telegram, Komite Bumiputera juga mengirim utusan untuk beraudiensi dengan Gubernur Jenderal di Batavia, yang saat itu dijabat oleh Gubernur Jenderal Idenburg, dengan maksud untuk menyampaikan seperti apa yang dituliskan dalam telegram yang dikirimkan kepada Sri Ratu.

            Menteri Koloni Pleyte sempat merasa heran, mengapa kaum bumiputera dilibatkan dalam kegiatan ini. Namun, ia lebih merasa heran lagi, mengapa kaum bumiputera juga dipungut sumbangan secara paksa guna mensukseskan  perayaan tersebut di Hindia Belanda. Propaganda yang berupa iklan, pamflet banyak beredar di koran-koran di Jawa. Melalui harian Tjahaja Timoer di Malang telah dipasang iklan  agar masyarakat bumiputera bersedia mengumpulkan sumbangan itu. Demikian pula dari  harian Pantjaran Warta  terbitan Batavia juga terdapat iklan yang isi dan tujuannya sama. Bahkan SS sempat menyaksikannya sendiri, ketika Asisten Residen di Buitenzorg dengan bantuan kaum bumiputera sibuk mengumpulkan sumbangan yang berasal dari masyarakat itu.  Ketika melihat kejadian tersebut, SS kemudian melakukan protes ketidaksetujuannya terhadap pengumpulan uang dari kaum bumiputera. Setelah kejadian tersebut pemerintah menuduh Komite Bumiputera telah melakukan kekacauan di Buitenzorg.

            Semua kegiatan di Komite itu dimotori oleh TM dan SS. EFE Douwes Dekker menyusul kemudian karena saat peristiwa itu terjadi ia sedang berada di Negeri Belanda. Upaya mereka sebagai pendiri Indische Partij tidak ditanggapi oleh pemerintah Belanda. Bahkan Indische Partij yang sudah dua kali mengajukan diri untuk memiliki badan hukum, ditolak, padahal semua persyaratan telah dipenuhi termasuk Anggaran Dasarnya.  Usulan untuk memperoleh status badan hukum untuk partai mereka diajukan lagi pada 5 Maret 1913, dengan perubahan pada anggaran dasarnya sesuai permintaan dari pemerintah kolonial, agar lebih menekankan pada kegiatan sosial kemasyarakatan. Namun apa yang diharapkan oleh pengurus Indische Partij tetap ditolak.

Penangkapan dan Penahanan para Tokoh

Pada saat terjadi kebuntuan dalam proses perolehan status hukum Idische Partij, muncullah brosur yang beredar di masyarakat yang berjudul Als ik eens Nederlander was “Andaikata aku seorang Belanda” yang ditulis oleh SS. Karangan ini diterbitkan atas tanggung jawab TM yang dicetak di percetakan De Eerste Bandoengsche Publicatie Maatschappij, yang dipimpin oleh J.F. Wesselius. Isi tulisan ini merupakan ungkapan hati seandainya SS adalah orang Belanda, ia akan memprotes gagasan peringatan itu. Ia menegaskan bahwa gagasan merayakan peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda di wilayah koloni adalah gagasan yang keliru. Dengan merayakan kemerdekaan di wilayah koloni hal itu mengakibatkan kondisi politis yang sangat berbahaya bagi bangsa  Belanda.  Namun, SS bukanlah orang Belanda, sehingga ia ingin mengusir masyarakat Belanda yang memerintah dan berkuasa di wilayah koloni ini. Tulisan ini  dianggap sebagai penghinaan terhadap Sri Ratu yang tidak dapat dimaafkan oleh siapa pun.

            Komite segera dipanggil menghadap Mr. Monsanto yang menjabat sebagai Officier van Justitie, yang didatangkan dari Batavia ke Bandung, dengan tugas untuk memeriksa masalah SS.  Sementara TM juga diperiksa sebagai saksi.  Tentu saja SS menyangkal tuduhan itu, namun ditegaskan oleh jaksa bahwa SS dilarang untuk membuat tulisan seperti itu.  SS sama sekali tidak paham mengapa ia dituduh menghasut kaum bumiputera.  Ketika TM diminta untuk memberikan keterangan, ia menyembunyikan identitas siapa yang menulis sehingga ia diancam akan mengalami nasib yang sama dengan kepala Redaktur koran De Locomotief  yang dihukum karena menyembunyikan siapa penulis artikel di dalam hariannya. Kemudian TM berjanji untuk mengatakannya siapa yang menulis artikel itu. Dalam proses pemeriksaan itu, ia menulis artikel yang berjudul Kracht of vrees (Kekuatan atau Ketakutan).  Isi tulisan itu adalah menyadarkan pembacanya bahwa kaum bumiputera adalah pemilik sah negeri ini. Meskipun tidak bersenjata, mereka akan tetap berjuang, karena mereka punya kekuatan.

Melihat tulisan  TM, semakin nyata bagi pemerintah kolonial  bahwa ialah yang menjadi tokoh intelektual gerakan ini. Melihat bahwa suasana politik semakin panas,  pada 28 Juli 1913, terbit tulisan SS yang berjudul Een voor allen, mar ook allen voor een (Satu untuk semua, tetapi juga semua untuk satu).  Tulisan ini berisi tentang penegasan dirinya bahwa tulisan  sebelumnya merupakan refleksi apa yang dipikirkannya selama ini. Ia yakin bahwa semua penduduk bumiputra memiliki perasaan dan pemikiran yang sama dengan dia. Tulisan kedua SS menambah runcing hubungan antara Komite di Bandung dan pemerintah kolonial. Kantor Komite di Bandung digeledah polisi guna  mencari sisa kedua tulisan itu yang belum diedarkan.

            Melihat kenyataan bahwa tulisan kedua itu benar-benar telah menghina pemerintah kolonial Belanda, maka pada 30 Juli 1913, SS ditangkap polisi di rumahnya dan langsung ditahan.  Selama dalam tahanan, rumah SS dijaga ketat oleh polisi dan tidak seorang pun diizinkan untuk memasukinya.  Ia ditangkap karena dituduh  menganggu ketertiban dan keamanan masyarakat. Selain SS, pemerintah juga menahan TM, karena dialah yang dianggap sebagai tokoh intelektual dari semua kegaduhan politik saat itu.  Penahanannya merupakan suatu kontroversi, karena ia pernah menerima De Ridder in de Orde van Oranje Nassau,  penghargaan yang diperoleh dari Sri Ratu Belanda. Namun, kenyataannya ia dipenjara bersama dengan SS.  Abdoel Moeis dan AH Wignyadisastra pun juga ditangkap, karena dianggap turut aktif  sebagai komisaris dari Komite itu.  Selama mereka ditahan, pemerintah kemudian membubarkan Comite Boemi Poetra.  Namun, berkat protes yang dilancarkan oleh TM dan jaminan dari dirinya, Abdoel Moeis dan AH Wignyadisastra kemudian dibebaskan.

            EFE Douwes Dekker yang baru datang dari negeri Belanda pada 1 Agustus 1913 telah memperoleh informasi dari teman-temannya bahwa SS dan TM telah ditahan akibat dari tulisan mereka. Oleh karena itu, ia kemudian menulis opini yang dimuat  dalam koran De Express terbitan 5 Agustus 1913, yang diberi judul “Onze Helden: Tjipto Mangoenkoesoemo en RM Soewardi Soerjaningrat” (Pahlawan-pahlawan kami: Tjipto Mangoenkoesoemo dan RM Soewardi Soerjaningrat. Tulisannya ini mengungkapkan jasa yang telah diberikan oleh TM sehingga ia berhak untuk menerima penghargaan bintang ksatria dari kerajaan Belanda, ketika ia berperan aktif dalam pemberantasan penyakit pes di Malang, Pasuruan dan Jawa Timur.

            Selama 10 hari ditahan, SS menderita sakit demam tinggi. Sebagai akibat kondisi fisiknya yang sedang sakit, ia  kemudian dibebaskan. Namun belum lama ia menghirup udara kebebasan, pada 8 Agustus 1913, ia menerima surat panggilan dari pengadilan di Bandung untuk menghadap ke rumah Residen Bandung TJ Janssen pada pagi harinya, 9 Agustus 1913, pukul 09.00. Ia datang memenuhi panggilan itu. Ia dituduh telah melanggar Peraturan Pemerintah pasal 48 yang intinya bahwa ia telah membahayakan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum. Oleh karena itu, ia harus kembali ditahan. Mereka berdua akhirnya divonis harus dibuang dan diasingkan.

            Walaupun baru beberapa hari menginjakkan kakinya di tanah air, EFE Douwes Dekker, akibat tulisannya tentang kedua tokoh ini ditangkap dan dipenjarakan di penjara Weltevreden. Pada 11 Agustus 2013 pukul 09.00 ia dipanggil untuk menghadap Residen Batavia H Rijfsijder.  Ia pun dituduh sebagai penghasut karena sebagai ketua redaksi koran De Express,  media itu telah ikut menyebarkan tulisan para terdakwa. Namun, akhirnya   ia dinyatakan bebas.

            Penahanan TM merupakan dilema bagi pemerintah, karena ia adalah orang yang banyak jasanya di negeri ini, khususnya dalam bidang kesehatan masyarakat, bahkan pemerintah pun mengakuinya. Oleh karena itu diciptakanlah beberapa upaya untuk membujuknya agar ia bersedia untuk mengubah pemikirannya.  Untuk merayunya agar mau mengubah pemikiran dan pandangannya, beberapa bujukan ditawarkan, antara lain memberikan tawaran kepada adik TM  untuk masuk ke HBS secara gratis. Bahkan melalui ayahnya yang menjadi guru di HBS (Hoogere Burger School) pun diminta agar membujuk TM. Tidak hanya berhenti di situ saja, melalui sahabat-sahabatnya, diminta untuk membentu membujuk TM agar mengajukan grasi kepada pemerintah. Namun, semuanya bujukan itu ditolaknya.

            Aktivitas EFE Douwes Dekker yang sering mengunjungi mereka berdua akhirnya tercium oleh aparat kepolisian. Ia ditangkap dan dipenjarakan besama dengan TM dan SS. Akhirnya keputusan Raad van Justitie  menetapkan bahwa TM harus segera meninggalkan kota Bandung dan akan dibuang ke Banda.  Rekan seperjuangannya, SS juga harus segera meninggalkan Bandung untuk mejalani pembuangannya di pulau Bangka. Sementara EFE Douwes Dekker harus tinggal di Kupang selama masa pembuangannya.

Dalam pembelaannya, mereka bertiga menuntut agar tidak dibuang di ke tiga tempat itu, namun meminta agar diizinkan untuk tinggal di negeri Belanda sebagai tempat pengasingan mereka. Permohonan mereka itu dikabulkan dengan catatan bahwa paling lama 30 hari sejak keputusan itu, mereka harus segera diberangkatkan ke negeri Belanda sebagai tempat pengasingan dan pembuangan mereka.

Pengasingan di Negeri Belanda

Pada 6 September 1913 tiga serangkai ini, TM, SS bersama isterinya, dan EFE Douwes Dekker beserta isteri dan anak-anaknya berangkat dari pelabuhan Tanjung Priok di Batavia menuju ke negeri Belanda, sebagai tempat pembuangannya melalui Singapura. Namun keberangkatannya mengalami pendundaan, sehingga dikhawatirkan batas waktu keberangkatan ke tempat pengungsian akan terlewati. Pada 13 September 1913, kapal mulai meninggalkan pelabuhan Tanjuk Priok. Dari atas kapal Melchior Treub, sebuah kapal milik maskapai pelayaran Jerman, yang akan membawa mereka ke Belanda, SS masih sempat menulis pesan yang disampaikan kepada kawan-kawannya yang mengantarnya dari pelabuhan Tanjung Priok. Pesan itu diberi judul “Vrijheidsherdenking en Vrijheidsberooving” (Peringatan Kemerdekaan dan Perampasan Kemerdekaan).  Beberapa saat sebelum kapal bergerak, ia menerima kabar dari kawan-kawannya bahwa uang sumbangan yang telah terkumpul telah dikembalikan kepada para donaturnya.

            Sesampainya di negeri Belanda, mereka hidup dengan menggunakan uang yang diperoleh dari sumbangan teman-teman mereka yang telah membentuk suatu badan pengumpul dana yang diberi nama TADO yang merupakan singkatan dari Tot Aan De Onafhankelijkheid (Sampai Kemerdekaan Tercapai), yang memberikan uang bantuan beaya hidup bagi para buangan itu.  Dari dana TADO ini, untuk keperluan sehari-hari SS dan TM f 150 per bulan. EFE Douwes Dekker bersama isteri dan dua orang anaknya menerima f 250 per bulan.  Tentu saja beaya sebesar itu tidak akan mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Oleh karena itu mereka juga memperoleh bantuan dari teman-temannya yang sedang belajar di negeri Belanda yang secara spontan mengirimkan beras, pakaian, serta peralatan rumah tangga.

            Dalam mengatasi kesulitan hidup ini isteri SS, Soetartinah, yang ikut serta mendampingi suaminya melamar untuk bekerja sebagai guru di Fröbel School, sebuah taman kanak-kanak di Weimar, Den Haag. Sementara itu, SS dan TM sibuk dengan urusan jurnalisme yang telah ia tekuni sejak lama. Dari honor mereka menulis inilah, mereka dapat menyambung hidupnya di negeri kincir angin tersebut. Namun, TM harus dipulangkan segera  ke tanah air pada 27 Juli 1914 akibat penyakit kronis yang dideritanya, walaupun terhadap dirinya tetap diberlakukan kembali Ketetapan Surat Keputusan Hukuman 18 Agustus 1913 berupa “interneering” (pengasingan) ke pulau Banda. Namun sesampainya di Hindia Belanda, ia diizinkan menetap di kota Solo sebagai seorang dokter swasta di daerah Kusumoyudan Solo.

Banyak karya yang dihasilkan selama SS berada di pembuangan, antara lain ia sempat mendirikan Indonesisch Pers Bureau, dengan sekretariat di jalan Fahrenheitstraat 473  di Den Haag. Pendirian pers nasional di Belanda ini berhasil didirikan berkat pinjaman uang dari H. Van Kol seorang Belanda  yang pernah bekerja di Departemen Pekerjaan Umum di Jawa.  Uang pinjaman sebesar  f 500 akan dikembalikan dengan cara diangsur.

Diilhami oleh pekerjaan isterinya, di samping kesibukannya bekerja mengurus masalah pers, SS masih menyempatkan diri untuk mengikuti kuliah singkat di Lager Onderwijs (Sekolah Guru), yang diselenggarakan oleh Kementerian Dalam Negeri Belanda di Den Haag. Pada 12 Juni 1915, ia memperoleh ijazah Akte van bekwaam als Onderwijzer  (Ijazah Kepandaian Mengajar). Mendengar berita kelulusan SS, sahabatnya EFE Douwes Dekker menyarankan agar ia tidak lagi membuat onar di bidang politik.  Namun himbauan sahabatnya itu tidak dapat dipenuhi, sehingga ia tetap menulis  artikel yang dimuat di koran-koran Belanda. Kegiatan dalam bidang pendidikan pun yang semula merupakan kegiatan iseng dengan tujuan untuk memperoleh hasil tambahan untuk biaya hidup, akhirnya  mempengaruhi hampir seluruh kehidupannya. Ia sependapat dengan isterinya bahwa perjuangan dapat dilakukan tidak hanya dengan berperang, atau tindakan kekerasan lainnya. Perjuangan dapat dilakukan dengan mempersiapkan bangsanya untuk merdeka melalui pendidikan. Banyak buku pendidikan yang telah dibacanya, termasuk sistem pendidikan yang digagas oleh tokoh

Montessori, seorang pendidik dari Italia, yang mengarahkan anak-anak didik pada kecerdasan budi. Ia juga membaca buku tentang Rabindranath Tagore, tokoh pendidikan dari India yang menekankan pentingnya pendidikan keagamaan yang baik sebagai alat untuk memperkokoh kehidupan manusia. Beberapa prinsip dasar pendidikan nasional sudah dipikirkannya, antara lain dengan menggunakan bahasa ibu, dan bukan bahasa kolonial.

Kemantapan dirinya untuk menjadi pendidik  semakin tertanam dalam dirinya, tatkala anak pertamanya lahir, yang diberi nama Asti pada 24 Agustus 1915.  Asti lahir dengan berkebutuhan khusus. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh hubungan darah yang masih dekat dengan isterinya (saudara sepupu). SS yang semula adalah seorang jurnaslis sekaligus politikus mulai tertarik dan berniat untuk mendidik angkatan muda  dalam jiwa kebangsaan Indonesia.  Ia sangat sadar bahwa pendidikan merupakan dasar perjuangan untuk meninggikan derajat rakyat di tanah airnya, sekaligus melihat kelemahan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. SS meletakkan dasar kemerdekaan melalui pendidikan anak-anak karena ia sadar bahwa mengisi jiwa anak-anak merupakan suatu keharusan agar mereka berani untuk berjuang, yang merupakan senjata yang paling ampuh untuk merebut kemerdekaan. Sistem pendidikan kolonial membuat anak-anak selalu bergantung kepada bangsa Barat.

Setelah menjalani hukuman buang di negeri Belanda, keluarga SS yang terdiri atas isterinya dan dua anak mereka (Asti dan adiknya Broto) direncanakan akan meninggalkan Belanda pada 24 Mei 1917 dengan menaiki kapal Rinjani. Namun, pada saat menjelang keberangkatannya, anak pertama mereka sakit keras, sehingga harus dirawat di rumah sakit. Tentu saja dengan kejadian ini keluarga SS membatalkan keberangkatannya untuk kembali ke tanah air. Namun rencana kepulangan ini menjadi tertunda cukup lama sebagai akibat dari pecahnya Perang Dunia I di Eropa. Hampir dua tahun berselang, pada 6 Juli 1919 Asti yang sakit dinyatakan sembuh,  dan pada 26 Juli 1919, keluarga SS meninggalkan negeri Belanda dengan menaiki kapal Rinjani.  Perjalanan ke tanah air ditempuhnya selama 51  hari. Pada 15 September 1919, keluarga SS merapat di Pelabuhan Tanjung Priok di Batavia.

Prinsip-Prinsip Pendidikan Taman Siswo

Setibanya di tanah air, SS tidak menginginkan untuk melanjutkan karirnya di bidang politik. Ia kemudian mengkonsentrasikan dirinya dalam kegiatan pendidikan untuk anak-anak bumiputera. Informasi yang didapat diperoleh berdasarkan laporan yang dikirimkan oleh SS, yang telah berganti nama  menjadi Ki Hadjar Dewantara bersama dengan Ki Mangoensarkoro  yang diterima terima oleh Penasehat Urusan Pribumi.

Taman Siswo, yang merupakan singkatan dari Pergerakan Kebangsaan Taman Siswo, yang merupakan merupakan sebuah lembaga pendidikan yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantoro pada  Juli 1922 di Yogyakarta. Pada 6 Januari 1923 Pergerakan Kebangsaan Taman Siswo dinyatakan sebagai “wakaf bebas”. Lembaga ini diserahkan oleh Ki Hadjar Dewantara pada 7 Agustus 1930 kepada Yayasan Taman Siswo, yang berkedudukan di Yogyakarta.

            Dengan tujuan untuk memperoleh suatu wawasan dalam pemikiran yang mendasari Perguruan Taman Siswo, perlu untuk mengetahui prinsip dasar yang diuraikan dalam rapat pendiriannya pada 3 Juli 1922 oleh Ki Hadjar Dewantara. Terdapat tujuh prinsip dari lembaga pendidikan ini.

  1. Hak menentukan nasib sendiri. Hak menentukan nasib sendiri dari individu yang perlu memperhitungkan tuntutan kebersamaan dari masyarakat harmonis, sebagai prinsip dasar lembaga pendidikan ini. Tertib dan Damai menjadi tujuan tertingginya. Tidak ada ketertiban yang terjadi di masyarakat apabila tidak ada perdamaian. Akan tetapi juga tidak akan ada perdamaian selama individu dihalangi dalam mengungkapan kehidupan normalnya. Pertumbuhan alami, merupakan tuntutan yang dibutuhkan bagi pengembangan diri seseorang. Dengan demikian, lembaga ini menolak pengertian “pengajaran” dalam arti “pembentukan watak anak secara disengaja” dengan tiga istilah “pemerintah – patuh – tertib”. Metode pengajaran yang dianut memerlukan perhatian menyeluruh yang menjadi syarat bagi pengembangan diri demi pengembangan akhlak, jiwa dan raga anak. Perhatian inilah yang disebut sebagai “sistem among”.

Siswa yang mandiri. Sistem ini diterapkan  untuk mendidik Siswa menjadi mahluk yang bisa merasa, berpikir dan bertindak mandiri. Di samping memberikan pengetahuan yang diperlukan dan bermanfaat, guru perlu membuat Siswa cakap dalam mencari sendiri

  1. pengetahuannya dan menggunakannya agar diperoleh manfaat. Inilah pengutamaan sistem pendidikan among. Pengetahuan yang diperlukan dan bermanfaat adalah pengetahuan yang sesuai kebutuhan ideal dan material dari manusia sebagai warga di lingkungannya.
  2. Pendidikan yang mencerahkan masyarakat. Sehubungan dengan masa depan, anggota masyarakat harus diberikan pencerahan. Sebagai akibat dari kebutuhan yang menumpuk, yang sulit dipenuhi dengan sarana sendiri sebagai akibat pengaruh peradaban asing, lembaga pendidikan ini harus sering bekerjasama dalam mengatasi gangguan perdamaian. Sebagian dari kaum bumiputera tidak merasa puas. Juga sebagai akibat dari ketersesatan sistem pendidikan itu.  Lembaga pendidikan ini harus mencari perkembangan intelektual yang timpang, yang menjadikan kaum bumiputera tergantung secara ekonomi dan juga membuat terasing dari rakyat yang menjadi bagian dari pemerintah kolonial. Dalam kebingungan ini mereka menjadikan budaya Eropa sebagai titik tolak, sehingga Taman Siswo dapat mengambil langkah maju.  Atas dasar peradaban sendiri, hanya pembangunan dalam kondisi damai bisa terwujud;
  3. Pendidikan harus mencakup wilayah yang luas. Tidak ada pendidikan betapapun tingginya juga yang bisa membawa dampak bermanfaat bila hanya mencapai kehidupan sosial yang bertahan secara sesaat. Pendidikan harus mencakup wilayah yang luas. Kekuatan suatu negara merupakan kumpulan dari kekuatan individu. Perluasan pendidikan rakyat terletak dalam usaha lembaga ini;
  4. Perjuangan menuntut kemandirian. Perjuangan setiap prinsip menuntut kemandirian. Oleh karenanya kaum bumiputera jangan mengharapkan bantuan dan pertolongan orang lain, termasuk di dalamnya untuk mewujudkan kemerdekaan. Dengan senang lembaga ini menerima bantuan dari orang lain akan, tetapi menghindari apa yang bisa mengikatnya. Jadi Taman Siswo ingin bebas dari ikatan yang menindas dan tradisi yang menekan dan tumbuh dalam kekuatan dan kesadaran kaum bumiputera.
  5. Sistem ketahanan diri. Bila bangsa ini bisa bertumpu pada kemampuan sendiri, semboyannya cukup sederhana. Tidak ada persoalan di dunia yang mampu bekerja sendiri. Persoalan itu tidak akan bertahan lama. Mereka tidak bisa bertahan sendiri karena sangat bergantung dari kaum bumiputera. Atas semua yang sudah terjadi selama ini, akan muncul “sistem ketahanan diri” sebagai metode kerja lembaga pendidikan ini.
  6. Pendidikan anak-anak. Lembaga ini bebas dari ikatan, bersih dari praduga. Tujuan lembaga ini adalah mendidik anak-anak. Bangsa bumiputera tidak meminta hak, akan tetapi meminta diberikan kesempatan untuk melayani anak-anak.

Pada  1921, Taman Siswo di Yogyakarta disiapkan, dan pada 1922 didirikan secara permanen.  Sekolah ini muncul sebagai “perguruan pendidikan nasional”.

            Segera di berbagai tempat, sekolah-sekolah Taman Siswo berdiri, terutama setelah pendirinya berceramah di kota-kota besar di Jawa, sehingga prinsip Taman Siswo dapat diuraikan secara panjang lebar. Sebagai pedoman telah diterima semboyan “kembali dari Barat menuju nasional” dengan penggunaan bahasa ibu sebagai pengantar pendidikan yang akan berdampak dalam menjalankan ibadah agama, penghapusan permainan dan lagu-lagu anak-anak Belanda dan menggantinya dengan model nasional.

            Sebagai sekolah nasional jauh lebih banyak yang akan diberikan budaya sendiri daripada di lembaga lain (bahasa,  sejarah, moral, musik, tari dan sebagainya). Apabila tidak ada bahasa ibu yang masih murni, (seperti di Batavia misalnya), sebagai pengantar akan digunakan bahasa Melayu baru yang disebut bahasa Indonesia. Beberapa mata pelajaran diberikan dalam bahasa Belanda, untuk melatih siswa dalam penggunaan praktis  bahasa itu. Juga kadang-kadang bahasa Jawa atau bahasa Melayu masih sulit untuk diterima. Sehubungan dengan pendidikan bahasa, aturan dalam kurikulum ini berbunyi: bahasa ibu sebagai pengantar, terutama untuk kelas rendah, pendidikan dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu berlangsung di kelas yang lebih tinggi dari sekolah dasar.

            Dalam bahasa terletak semua yang tersimpan, apa yang dimiliki rakyat dari nilai kebatinan. Bahasa sendiri akan memberi anak sebagai jalan masuk menuju ke hati rakyat. Bila pendidikan berjalan dengan baik, pasti akan terjadi pengalihan budaya. Penguasaan bahasa rakyat sendiri menjadi syarat pertama karena hanya dengan itu rakyat bisa merasakan kebudayaannya sendiri. Hal ini menjadi suatu syarat demi munculnya rasa  kasih terhadap budaya sendiri, yang merupakan faktor penting dalam usaha untuk pengembangan budaya, menuju pengembangan lebih lanjut. Sehubungan dengan ini, dalam sistem among berlaku prinsip bahwa pendidikan harus dilaksanakan dalam bahasa ibunya sendiri. Terutama bagi anak kecil, penggunaan bahasa daerah dalam pendidikan dianggap sangat penting, karena pendidikan baru bisa hidup. Hantu, mitos dan legenda

bisa dikisahkan kepada anak ketika mereka  masih sangat peka. Jadi anak  hidup dalam fantasinya dengan rakyatnya sendiri dan ikut terlibat dalam penilaian rohani sejauh daya tangkapnya memungkinkan.

Penggunaan bahasa ibu merupakan suatu tuntutan untuk meletakkan dasar yang kuat bagi proses berpikir. Jadi pendidikan dengan menggunakan bahasa asing diperlukan pada usia yang lebih tinggi, bila anak sudah mampu menguasai bahasa mereka sendiri. Di tingkat Taman kanak-kanak, masih belum ada pendidikan bahasa asing yang diberikan.

            Sistem among menganggap permainan anak memegang peranan penting dalam mendidik anak, karena semuanya terletak dalam jiwa anak itu sendiri. Hal ini sesuai dengan fantasi mereka dan dorongan bagi kegiatan dan gerak motorik mereka. Tidak ada yang lebih alami dari pada anak bisa memperoleh permainannya sendiri yang berasal dari lingkungannya sendiri. Jadi anak tetap berada dalam lingkup rakyatnya sendiri. Jika sebaliknya anak menerima permainan asing, maka akan tertanamkan inti pemisahan dari bangsanya sendiri. Melalui pemainan nasional, pemikiran anak secara alami  tumbuh bersama kehidupan rakyatnya.

            Watak nasional Taman Siswo mengakibatkan orang memperkenalkan anak dengan ide nasional yang tertanam pada rasa kasih kepada bangsa dan tanah airnya sendiri. Namun ide nasional itu tidak disertai dengan kebencian terhadap bangsa lain, karena akan menjadi penghambat dalam perkembangan terhadap kesadaran kasih bagi kemanusiaan. Oleh karenanya, menurut pandangan Taman Siswo nasionalisme tidak bertentangan dengan kemanusiaan. Azas Taman Siswo adalah kemanusiaan dengan sifat kebangsaan.

            Dalam  Poesara, majalah  Taman Siswo terbitan Maret 1933, Ki Hadjar Dewantara menulis artikel dengan judul “Kembali ke ladang”. Ki Hadjar Dewantara menggambarkan hubungan Taman Siswo dengan pergerakan politik sebagai berikut: “Taman Siswo dan selanjutnya juga dalam setiap karya sosial, ladang atau sawah tempat orang  menanam untuk memenuhi  kebutuhan hidupnya, pergerakan politik nasional menjadi pagar, pagar untuk melindungi ladang agar tanaman di ladang tidak diganggu oleh hewan liar atau dicuri oleh orang asing.”

            Bisa dikatakan bahwa Taman Siswo tidak ikut campur dalam bidang politik. Pergerakan politik nasional harus memperhatikan agar orang tidak menghambat tumbuhnya sekolah nasional, sehingga pembinaan terhadap pemuda secara nasional tidak terganggu. Hal inilah yang menjadi inti pembangunan nasional. Politik tidak diizinkan di sekolah. Ada larangan keras bagi guru untuk membawa politik ke ranah  sekolah, karena Taman Siswo menduga bahwa politik tidak boleh mengorbankan anak-anak kecil. Orang tidak boleh memasukkan suasana politis di sekolah. Dalam kaitan ini tidak ada lagi keterlibatan dalam politik, atau politik praktis. Politik  harus dibatasi oleh tenaga pengajar dan diatur. Orang bisa terlibat dalam partai politik sebagai tenaga pengajar Taman Siswo, tetapi orang harus memperhitungkan semua yang disebutkan di atas. Saat itu di Taman Siswo juga berlaku aturan bahwa setiap guru mengucapkan janjinya bahwa dia perlu mengutamakan kepentingan sekolah dan bukan kepentingan lainnya. Taman Siswo menuntut dari guru agar guru bisa mencurahkan jiwanya untuk mendidik anak. Ini hanya akan terjadi bila orang menganggap karyanya untuk pendidikan dan pengembangan Taman Siswo sebagai tujuan nomor satu. Taman Siswo menuntut lebih banyak karena berdasarkan “ide Paguron” yang dianut oleh Taman Siswo. Guru melihat tugas hidupnya dalam karya pendidikan.

            Taman Siswo ingin tetap menjaga jarak dari politik, atas dasar pedagogis. Apabila pada saat tertentu disinggung tentang warna politik Taman Siswo, maka ini biasanya dianggap berasal dari para pelakunya. Akan tetapi Taman Siswo sendiri bisa merujuk pada tata tertib yang telah ada. Taman Siswo merasa wajib dengan tujuan untuk tetap setia kepada prinsipnya, yakni melayani anak-anak.

            Prinsip kemanusiaan, tidak diabaikan oleh Taman Siswo dalam usaha menanamkan jiwa nasionalisme. Prinsip moral membatasi pelaksanaan ide nasionalis. Tanpa itu, Taman Siswo tidak bisa menjadi lembaga pendidikan. Dengan demikian yang penting adalah pernyataan bahwa pada tahun 1921 dalam pendirian Taman Siswo  digunakan semboyan  “Suci Ngesti Tata Tunggal, yang berarti “kemurnian dan ketertiban berjuang demi kesempurnaan”, dan menurut versi Jawa bersama menunjuk angka tahun 1854 Caka. Moral dalam Taman Siswo muncul dalam agama. Hal ini diketahui dari semboyan tersebut. Tunggal berarti juga satu, di sini dicantumkan dalam arti mistis

kata itu. Semua ini selanjutnya bisa dijelaskan dari kenyataan bahwa para pendiri Taman Siswo tanpa terkecuali adalah sosok agamis.

            Taman Siswo memiliki visi  bahwa hanya ada perkembangan alami apabila anak dididik:

  1. Sesuai dengan kondisi alam materi;
  2. Atas dara bakat alamnya;
  3. Sesuai kondisi alamnya;

Dalam alam, pusat pendidikan utama terletak pada keluarga. Ayah dan ibu merupakan pendidik anak yang paling utama. Suatu pandangan alami tertentu untuk mendidik selalu terpusat pada ayah atau ibu. Pandangan ini menjadikan keluarga sebagai pusat pendidikan alami. Pandangan ini menghendaki sistem among dialihkan kepada Paguron, di sekolah. Dari sana Taman Siswo dalam organisasinya tampil sebagai “keluarga besar dan suci”. Keluarga ini pada dasarnya berbeda dari  keluarga alami.

            Keluarga alami didasarkan pada hubungan darah. Taman Siswo didasarkan sebagai “keluarga” atas hubungan roh. Hubungan roh di sini menunjukkan bahwa di Taman Siswo orang bisa saling merasa dirinya sebagai saudara, atas dasar kenyataan bahwa orang menganut ide yang sama. Juga hubungan keluarga yang membuat hubungan antara majikan dan pekerja tidak dapat diterima di Taman Siswo. Sebagai anggota dari keluarga yang sama, orang berjuang demi tujuan yang sama, dan untuk gagasan yang sama. Sewajarnya ada kepemimpinan, seperti dalam keluarga. Demikian pula dalam Taman Siswo kepemimpinan dipegang oleh orangtua, bukan menurut ukuran raga melainkan menurut ukuran jiwa.

            Di sekolah setiap Siswa bisa menyebut gurunya dengan “bapak” atau “ibu” sesuai pengajar pria atau wanita. Bentuk-bentuk fisik yang bukannya tanpa pengaruh muncul pada hubungan antara guru dan Siswa. Pada tahun-tahun pertama anak merasa sangat dekat dengan ibunya. Unsur “keibuan” juga ingin ditetapkan dalam sistem among di sekolah. Di Taman Anak, di mana anak-anak mencapai usia 9 tahun, diberi pelajaran oleh guru perempuan.

            Sekolah menyebut dirinya  “perguruan” (paguron). Ditarik dari kata “guru” (pengajar). Kata ini secara harafiah berarti: tempat di mana guru tinggal. Orang juga bisa menarik makna dari kata “berguru” (meguru), yakni belajar, kemudian perlu diberikan pemahaman belajar pada kata itu. Sering kata “paguron” memperoleh makna belajar sendiri, yakni karena bila sosok guru menjadi unsur yang dominan, maka  paguron berarti arah perguruan ditunjukkan di situ.

            Taman Siswo menyebut kata ini dalam tiga makna. Paguron berarti: pusat belajar dengan arah tertentu sekaligus rumah guru. Menurut sistem pendidikan Jawa lama, juga Indonesia lama, mungkin Asia pada umumnya, sekolah juga menjadi rumah guru. Di sana dia tinggal selamanya; dia memberikan namanya, atau lebih tepat lagi dikatakan orang menyebut dusun itu dari namanya.

            Dari jauh dan dekat para Siswa datang kepadanya; dia tidak mendatangi murid. Orang berkata: dia jangan menjadi “sumber lumaku tinimba” (sumber air yang berjalan untuk diambil oleh orang). Suasana paguron didominasi dengan semangat kepribadiannya. Belajar di paguron demikian menjadi masalah kedua. Tidak bisa dikatakan bahwa hanya sedikit perhatian yang dicurahkan; jika tidak maka orang tidak akan memberikan nama khusus pada lembaga ini: pawiyatan (wiyata  = belajar). Jadi pada prinsipnya sosok guru memberikan bimbingan hidup. Inilah yang disebut dengan kata yang lain “pengajaran”.

            Dalam “rumah sekolah Taman Siswo ideal”, para murid selama pagi, siang dan malam sibuk dengan belajar, dengan olah raga atau olah seni, di bawah bimbingan para gurunya. Semuanya tinggal dengan keluarga mereka. Kurikulum pagi biasa tidak terlalu penting dibandingkan dengan kebersamaan murid dan guru selama ini sampai larut malam. Kenyataan tidak bisa dibantah bahwa para murid mengalami kehidupan keluarga yang sama dalam asrama (sebuah nama lain bagi paguron dalam masa Hindu-Jawa) seperti di rumah bersama ayah dan ibunya.

            Yang dimaksudkan kata “among” dalam bahasa Jawa adalah “membimbing”. Dalam kehidupan sehari-hari kata ini digunakan bagi hubungan pengasuh yang diserahi tugas membimbing anak kecil. Dalam wayang istilah ini ditemukan kembali pada hubungan panakawan, khususnya Semar dengan Arjuna. Akan tetapi dalam prinsip yang dianut oleh Taman Siswo kondisinya sedikit berbeda, lebih dalam lagi dan harus dihubungkan dengan pandangannya tentang tugas manusia di dunia ini.

            Di Taman Siswo perlu dibedakan tiga periode perkembangan anak sejak lahir sampai dewasa. Setiap periode mencakup waktu delapan tahun (windu). Windu pertama disebut “zaman wiraga” (wi = mengikuti, raga = fisik). Hal ini merupakan masa perkembangan fisik dan bagian tubuh lainnya. Windu kedua disebut “zaman wicipta”. Periode ini merupakan perkembangan daya

intelektual anak, yang  sangat mempengaruhi sifat pemahamannya. Windu ketiga disebut ‘zaman wirama” (wirama = keharmonisan). Ini merupakan masa penyesuaian dengan dunia luar, di mana anak akan menentukan tempat yang akan didudukinya di sana. Setelah masa ini, anak menjadi dewasa. Pada masa ini anak sudah mencapai usia sekitar 23 tahun.[1]

            Lembaga sekolah disesuaikan dengan tuntutan khas setiap periode. Cabang “Taman Muda” bagi Siswa kira-kira berkisar dari 9 sampai 14-16 tahun. Periode ini bagi sebagian besar merupakan “zaman wicipta”, windu kedua. Taman Anak dan Taman Muda besama-sama menjadi cabang pendidikan dasar utuh. Lembaga pendidikan menengah yang berada di atasnya mencakup lima tahun ajaran, dibagi dalam dua sub-cabang, satu cabang awal tiga tahun yang disebut Taman Dewasa dan cabang lanjutan  dua tahun yang disebut Taman Dewasa Raya (yang berarti di sini adalah diperluas). Kedua cabang ini menampung Siswa dari 14-16 tahun sampai 19-23 tahun. Bagi sebagian besar, periode ini bersamaan dengan “zaman wirama”, masa penyesuaian dengan dunia luar, masa pematangan usia muda, masa puber. Zaman wirama dimulai dengan masa kehancuran, yang kira-kira bersamaan dengan periode Taman Dewasa, atau bagian awal dari sekolah menengah.

            Sebagai organisasi, Taman Siswo bukan merupakan lembaga (juga tidak memiliki anggota yang membayar iuran) tetapi merupakan “wakaf bebas”, sejenis “yayasan” bumiputra, tetapi tidak tercatat sebagai lembaga Islam, seperti halnya yang diwajibkan bagi wakaf biasa, karena mereka tidak terikat pada aturan-turan Islam. Selanjutnya juga harus ditunggu untuk meminta status badan hukum karena badan hukum termasuk kewenangan hukum Eropa.

            Setiap Taman Siswo menjadi cabang perserikatan yang disebut Persatuan Taman Siswo, berkedudukan di Yogyakarta di bawah pimpinan sebuah Majelis Luhur atau pengurus pusat yang dipilih oleh kongres tiap empat tahun. Di atas lembaga ini masih ada “pimpinan umum”, yang untuk jangka waktu tidak terbatas dipilih. Bersama “Dewan Sesepuh”, memberikan nasehat, pemimpin umum dan pengurus pusat bersama-sama menjadi kepemimpinan tertinggi.

            Penyelesaian masalah Taman Siswo hanya merupakan hak anggota yang diserahi oleh para anggota kepada lembaga yang berwenang untuk itu. Lembaga itu adalah:

  1. Rapat Besar Umum
  2. Rapat Besar
  3. Pemimpin Umum dan Hak leluasa (pemimpin umum dengan kewenangan tak terbatas)
  4. Majelis luhur
  5. Majelis Cabang

Rapat Besar Umum memiliki kekuatan tertinggi dan yang paling berhak untuk memutuskan sesuatu. Mereka bertemu empat tahun sekali di Yogyakarta dan juga mengadakan pertemuan khusus yang  dihadiri oleh semua utusan cabang dari Persatuan Taman Siswo. Pada Rapat Besar Umum ini juga dipilih anggota  Majelis Luhur yang akan memiliki masa kerja selama periode 4 tahun. Rapat Besar Umum diberi kewenangan untuk menentukan pandangan (organisasi) dalam semua persoalan organisasi dan berwenang untuk mengambil suatu keputusan dengan memperoleh suara 2/3 dari suara yang ada. Setiap cabang dalam Rapat Besar Umum  setiap lima anggota  atau sebagian darinya bisa memiliki satu suara dengan maksimal lima suara.

            Perintah Umum dan Hak Leluasa dipegang oleh pimpinan umum, yang dipilih untuk jangka waktu tak terbatas oleh Rapat Besar Umum melalui  referendum yang dipilih oleh ¾ dari seluruh jumlah suara anggota. Pimpinan Umum memanfaatkan kewenangan ini hanya dalam kondisi penting dan mendesak. Waktu ketika kewenangan ini dimanfaatkan, ditentukan sendiri oleh pimpinan umum, di samping atas permohonan Majelis Luhur. Pimpinan umum hanya bertanggungjawab kepada Rapat Besar Umum.

            Rapat Besar merupakan konferensi Majelis Luhur yang dihadiri oleh semua utusan lembaga pendidikan Taman Siswo di seluruh Hindia Belanda. Rapat Besar diadakan sekali per tahun. Rapat besar diadakan untuk mengawasi pelaksanaan keputusan Rapat Besar Umum dan selanjutnya mengatur semua persoalan yang belum diputuskan oleh Rapat Besar Umum. Majelis Luhur menjadi pengurus harian Taman Siswo dan kadang-kadang bila  tidak ada Rapat Besar Umum dan  hak leluasa sebagai kekuasaan tertinggi tidak bisa digunakan. Mereka memegang kekuasaan dan memperhatikan semua pesoalan organisasi serta bertanggungjawab atas ketertiban dan perdamaian sendiri, dan membuat laporan tentang aktivitasnya pada setiap Rapat Besar dan Rapat Besar Umum.

            Majelis Luhur terdiri atas:

Badan Pemimpin, yakni lembaga yang memegang kepemimpinan. Dalam lembaga ini duduk tiga orang anggota.  Salah satu dari ketiganya menjadi ketua yang sekaligus menjadi ketua

  1. Majelis Luhur. Badan Pemimpin mewakili Taman Siswo untuk kegiatan-kegiatan keluar. Secara garis besar mereka menjalankan aktivitas Majelis Luhur;
  2. Badan Pemangku Azas, yakni lembaga yang mengawasi “pelaksanaan” prinsip Taman Siswo murni;
  3. Badan Pemangku Benda, yakni lembaga yang mengawasi harta milik;
  4. Badan Pengurus, yakni lembaga pengelola, yang memperhatikan penyelesaian semua persoalan dari lembaga yang disebut sub a, b dan c;

Juga dalam Majelis Cabang, yang terdiri atas anggota lembaga pendidikan (lokal), orang menjumpai pembagian yang sama dalam badan seperti pada Majelis Luhur dengan  kewenangan yang sama (dalam konteks cabang).

            Dalam anggaran dasar dilarang menerima hadiah, yang bisa mengikat Taman Siswo baik ekstern maupun intern. Sebaliknya hadiah yang diberikan tanpa ada ikatan justru tidak boleh ditolak. Tidak boleh bantuan dimintakan dari orang lain karena hal ini akan mengganggu jalannya proses pendidikan.

            Menurut laporan periode 1935-1936 Taman Siswo  dalam periode itu memiliki 187 cabang, tersebar di seluruh Hindia Belanda. Jumlah murid dari 136 cabang ini mencapai 11.335 (8.350 Siswa dan 2.855 siswi). Dari periode 1936-1937 Taman Siswo menampung 184 cabang, dan dari 115 cabang, jumlah muridnya mencapai  9.015 termasuk 6.653 Siswa dan 2.362 siswi. Laporan periode  1937-1938 menyebutkan informasi berikut ini: jumlah cabang 190 dengan 225 sekolah; beberapa cabang dan sekolah masih menjadi calon karena belum diperiksa atas nama kepemimpinan pusat atau belum disetarakan.

            Dari 190 cabang itu, ada 147 cabang di Jawa dan Madura yang dibuka, 37 di Sumatra, 4 di Borneo, 1 di Celebes dan 1 di Bali. Selama periode 1938-1939 Taman Siswo memiliki 187 cabang. Dari 160 cabang seluruh murid berjumlah 14.627 termasuk 10.476 siswa dan 3.881 siswi.

            Semua cabang ini memiliki sekolah Taman Anak dan sebuah sekolah dasar dan/atau sekolah penghubung; selanjutnya ada 21 sekolah MULO, 7 sekolah guru dan 1 sekolah menengah. Juga beberapa cabang mengelola sebuah sekolah rakyat, sebuah sekolah rakyat khusus untuk gadis, sebuah sekolah pertanian dasar dan/atau sekolah perdagangan, sebuah sekolah pekerjaan rumah dan sebagainya sebagai bentuk percobaan. Seluruhnya  ada 733 tenaga pengajar, termasuk 100 guru perempuan dan 20 ribu pelajar termasuk 4 ribu siswi.

Setelah melihat riwayat aktivitas politik RM Soewardi Soerjaningrat sejak sekolah di STOVIA hingga aktivitasnya di dunia pers, pembuangannya di negeri Belanda, serta pendirian  lembaga pendidikan Taman Siswo, terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan, antara lain sebagai berikut:

  1. SS adalah orang yang bersikap sangat nasionalis. Ia dengan segala resiko yang ada berani mengorbankan kepentingannya sendiri demi kepentingan masyarakat bumiputera;
  2. Sebagai seorang yang memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi, ia dengan segala upaya dan keahlian dirinya tidak segan-segan untuk melakukan koreksi terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dianggapnya tidak menghiraukan penderitaan yang dialami oleh kaum bumiputera;
  3. Dengan keahlian dirinya dalam bidang jurnalistik, ia mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggapnya tidak sesuai dengan hati nuraninya. Walaupun dituduh sebagai penghasut, namun ia tetap merasa benar karena keyakinannya bahwa apa yang dilakukannya adalah benar. Bahkan, ancaman pembuangan pun tidak membuatnya gentar;
  4. Sebagai seorang yang nasionalis, ia tidak berhenti untuk belajar. Banyak hal yang dipelajarinya termasuk mengikuti pelajaran sebagai pengajar. Banyak tokoh yang ia jadikan panutan, dari tokoh pendidikan Italia, India, maupun tokoh pendidikan lainnya;
  5. Kesadaran dirinya bahwa pendidikan merupakan unsur yang sangat penting dalam mempersiapkan bangsa yang terbebas dari penjajahan merupakan titik tolak karier dalam hidupnya dalam bidang pendidikan. Sementara itu kehidupan politik ia gunakan sebagai pagar untuk melindungi pendidikan dari intervensi kolonial.
  6. Sistem pendidikan yang didasarkan dari jati diri bangsa akan membuat bangsa yang mandiri, terlepas dari kungkungan bangsa Barat yang selama ini telah menciptakan pendidikan yang berorientasi pada kepentiangan kolonial.
  7. Sistem among yang ia canangkan memiliki makna bahwa anak akan tumbuh secara leluasa. Pamong wajib Tut Wuri Andayani  yang berarti mengikuti dan mempengaruhi agar anak asuh dapat berjalan ke arah yang baik. Dengan adanya sistem among ini, maka bebaslah anak mengembangkan bakatnya dan anak didik selalu mencari jalan sendiri tanpa menunggu perintah dari atasannya.

Dengan sistem pendidikan yang mengangkat budaya nasional, maka Perguruan Taman Siswo merupakan lembaga pendidikan yang meletakkan dasar pendidikan nasional Indonesia. Dengan mengelaborasi kekayaan kebudayaan nasional, maka nilai budaya daerah dan nasional tidak akan pernah luntur dalam kehidupan masyarakatnya. Permainan anak, lagu-lagu daerah, kesenian khas daerah merupakan kekakayaan nasional yang dijunjung tinggi dan dipelajari dalam lembaga ini. Dengan upaya yang telah dilakukannya, pantaslah negara ini memberikan tempat yang tinggi dan terhormat bagi tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantara  yang mengelaborasi budaya bangsa Indonesia sebagai landasan dari sistem pendidikannya.