PERJUANGAN BARU DI ABAD BARU

0
1121

Peran Tokoh dan Organisasi di Awal Pergerakan Nasional Bagi Masa Depan Indonesia

Menjelang akhir abad ke-19, kehidupan rakyat Indonesia tidak membaik, meskipun terlihat ada upaya dari pemerintah kolonial Belanda untuk memperbaiki keadaan tersebut sejak era Tanam Paksa dihapus pada tahun 1870. Melihat kenyataan ini, beberapa tokoh Belanda mulai menyuarakan agar pemerintah Kerajaan Belanda lebih serius memperhatikan nasib rakyat di tanah jajahan. Diantara tokoh yang terpenting adalah C.Th. Van Deventer. Dalam majalah De Gids pada tahun 1899, ia menulis tulisan berjudul “Een Eereschlud’ (Satu Hutang Kehormatan). Menurutnya, pemerintah Belanda telah begitu lama mengambil untung besar dari wilayah jajahan, sementara rakyat pribumi tetap menderita. Karenanya, pemerintah Belanda memiliki kewajiban moral untuk melakukan balas budi melalui perbaikan kesejahteraan penduduk.

Kritik Van Deventer ternyata disambut oleh banyak kalangan. Ratu Belanda, Wilhelmina, bahkan akhirnya mengeluarkan kebijakan baru sebagai “balas budi” bagi masyarakat Hindia Belanda, yang dinamakan Politik Etis.

Politik Etis yang dicanangkan pemerintah Belanda pada awal abad ke-20, membuka babak baru di Hindia Belanda. Melalui tiga program utamanya, yaitu irigasi, edukasi, dan emigrasi (transmigrasi), Politik Etis diharapkan dapat membawa perubahan besar berupa “kemajuan” di Hindia Belanda. Akan tetapi, meskipun program ini terlihat bagus, dalam praktiknya tetap disalahgunakan bagi kepentingan dan keuntungan pemerintah kolonial Belanda. Dampak berbeda lebih terlihat di bidang pendidikan. Di bidang ini memang tetap berlangsung penyimpangan dari tujuan semula. Ketimbang “membalas budi”, pendidikan misalnya, justru lebih ditujukan untuk mendapatkan tenaga cakap administrasi yang murah. Selain itu, pendidikan tetap terdiskriminasi dengan utamanya hanya diperuntukkan bagi anak-anak pegawai negeri dan penduduk yang mampu. Di luar penyimpangan tersebut, pembangunan sekolah-sekolah dengan pendidikan gaya Barat yang dilakukan Belanda selama masa politik etis, ternyata berhasil membuka peluang bagi mobilitas sosial masyarakat di Hindia/Indonesia serta memunculkan sekelompok kecil intelektual bumiputra yang memiliki kesadaran, bahwa rakyat bumiputra harus mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain untuk mencapai kemajuan.

Hingga akhir Perang Dunia I, kebijakan baru dalam bidang pendidikan tersebut menghasilkan lulusan dengan jumlah yang semakin meningkat. Dalam beberapa tahun setelah perang, mahasiswa Indonesia yang belajar di negeri Belanda semakin banyak dibanding jumlah sebelumnya. Banyak diantara mereka yang lebih memiliki kesadaran politik dari pada angkatan sebelumnya (Ingleson, 1988 : 1). Golongan intelektual bumiputra “baru” ini tidak memandang suku, ras, agama sebagai perbedaan. Mereka lebih merasa bersama sebagai kaum bumiputra yang tertindas. Pengalaman yang mereka peroleh di sekolah dan dalam kehidupan setelah lulus sangat berbeda dengan generasi orang tua mereka. Para kaum muda terpelajar inilah yang kemudian membentuk kesadaran “nasional” sebagai bumiputra di Hindia. Merekalah kaum penggerak dari zaman baru Indonesia, zaman Pergerakan Nasional.

Perjuangan di masa Pergerakan Nasional yang digerakkan oleh kalangan terdidik ini dilakukan melalui pembentukan organisasi-organisasi modern yang, tentu saja, berbeda dengan bentuk perjuangan yang dilakukan bangsa Indonesia sebelumnya. Perjuangan bersenjata bersifat kedaerahan yang dipimpin oleh ulama atau bangsawan mulai ditinggalkan. Organisasi yang dibentukpun tidak hanya terbatas bergerak dalam bidang politik melainkan juga pendidikan dan sosial. Maka berdirilah berbagai organisasi modern sejak awal abad ke-20 di Indonesia.

Setidaknya terdapat dua hal penting dalam kebangkitan dan pergerakan nasional bangsa Indonesia pada awal abad ke-20, yang berujung pada kemerdekaan bangsa ini pada setengah abad setelahnya. Pertama, adanya peran penting pendidikan. Kedua, tumbuhnya organisasi-organisasi di berbagai bidang seperti politik, sosial dan agama, yang memiliki semangat sama, yaitu mengedepankan kemajuan, persatuan dan kebangsaan Indonesia.

Kedua hal ini menjadi semakin penting, terutama ketika kita berbicara tentang konteks kebangsaan Indonesia pada masa sekarang. Kini, kita berada pada dasawarsa kedua abad ke-21. Satu abad yang lalu, gemuruh kebangkitan nasional tengah ditabuh, yang akarnya berada pada perubahan di pergantian abad. Ada banyak harapan di sana, sama halnya dengan pergantian abad pada masa sekarang yang juga ditandai dengan harapan-harapan baru seiring tumbangnya pemerintahan Orde Baru yang diagantikan Orde Reformasi. Terkandung di dalamnya, keinginan besar untuk menjadikan bangsa dan negara Indonesia menjadi semakin baik.

Sayangnya, hingga hampir 20 tahun sejak Gerakan Reformasi berlangsung, berbagai persoalan bangsa masih mendera. Pendidikan, yang memiliki peran penting bagi kebangkitan nasional pada satu abad yang lalu, di masa kini masih memiliki banyak hambatan dan kendala. Sementara semangat persatuan dalam keberagaman yang digerakkan oleh beragam organisasi pada satu abad yang lalu juga, di masa kini masih sempat tercabik oleh konflik. Globalisasi dan pengaruh ideologi asing bila tidak disikapi hati-hati berpotensi menggerus kesadaran kebangsaan. Maka menjadi penting di sini merefleksikan kembali bagaimana hal-hal tersebut : pendidikan, semangat persatuan dan kesadaran kebangsaan dari berbagai organisasi pergerakan nasional di masa lalu, menjadi penggerak serta nilai penting bagi kemajuan Indonesia kini dan untuk masa depan.

Sejarah, bagaimanapun, memberikan pada kita refleksi kritis yang melintas waktu : masa lalu hingga masa kini dan demi masa depan. Memahami bagaimana kemungkinan Indonesia di masa depan, tidak bisa tidak, kita harus memandangnya dengan pemahaman yang dalam tentang bagaimana Indonesia di masa lalu (Kuntjoro-Jakti, 2012 : hlm. 3-12).

Abad Baru yang Berubah

Pada permulaan abad ke-20, kebijakan penjajahan Belanda mengalami perubahan arah yang paling mendasar dalam sejarahnya. Kekuasaannya memperoleh definisi kewilayahan baru dengan selesainya upaya-upaya penaklukan yang dilakukan Belanda sebelumnya. Kebijakan kolonial Belanda tersebut kini juga memiliki tujuan baru. Eksploitasi terhadap Indonesia mulai kurang dijadikan sebagai alasan utama kekuasaan Belanda, dan digantikan dengan pernyataan-pernyataan keperihatinan atas kesejahteraan bangsa Indonesia. Kebijakan ini dinamakan “Politik Etis”. Masa di mana kebijakan ini muncul melahirkan perubahan-perubahan yang begitu mendasarnya di lingkungan penjajahan sehingga orang tidak akan dapat memahami sejarah Indonesia pada awal abad ke-20 tanpa mengacu pada kebijakan etis. Sebenarnya, dalam kebijakan-kebijakan politik etis terdapat lebih banyak janji daripada pelaksanaan. Fakta-fakta penting tentang eksploitasi dan penaklukan sesungguhnya tidak berubah, tetapi ini tidak mengurangi arti penting zaman penjajahan baru ini. (Ricklefs, 2010 : 327).

Salah satu yang berubah adalah dalam bidang pendidikan. Politik Etis bagaimanapun telah menumbuhkan banyak sekolah dan lembaga pendidikan pada awal abad ke-20 di Hindia Belanda.

Sampai pertengahan abad ke-19 saja, pendidikan milik pemerintah hanya diperuntukkan bagi anak-anak Eropa, yang sebagian besar, sekitar 80% adalah orang Indo. Hanya beberapa anak laki laki dari elit pribumi diperkenankan masuk Sekolah Dasar Eropa (Europese Lagere School, ELS). Pada tahun 1850 hanya ada 50 anak pribumi dari 3.500 murid. (Groeneboer, 1999 : 33).

Akan tetapi penerapan Politik Etis di Hindia Belanda pada awal abad ke-20 telah memberi dampak penting pada lahirnya banyak sekolah dengan sistem pendidikan Eropa di Indonesia. Hal ini mengubah sistem pendidikan yang telah berlangsung selama berabad-abad di wilayah kepulauan nusantara. Maka pendidikan di Hindia Belandapun mengalami kemajuan dengan diperbanyaknya sekolah-sekolah sesuai dengan jenjang tingkatan pendidikan, seperti :

  • Sekolah tingkat rendah (kini SD), seperti : ELS (Europese Lagere school), HIS (Hollands Inlandse School), Sekolah Desa (Volksschool).
  • Pendidikan lanjutan/menengah, seperti : MULO dan HBS (kini SMP), AMS (kini SMA).
  • Pendidikan Tinggi, seperti : Sekolah Tehnik Tinggi (Technische Hoge School), Sekolah Hakim Tinggi (Rechskundige Hoge school).

Di samping itu terdapat pula sekolah-sekolah kejuruan, seperti : Sekolah pertukangan (Amachts leergang dan Ambachtsschool), Sekolah teknik (Technish Onderwijs), Pendidikan dagang (Handels Onderwijs), Pendidikan pertanian (Landbouw Onderwijs), Pendidikan kejuruan kewanitaan (Meisjes Vakonderwijs), Pendidikan keguruan (Kweekschool). Juga terdapat STOVIA (Sekolah pembantu dokter) dan OSVIA (Sekolah calon pangrehpraja) (lihat, Ricklefs, 2010 : 339-346).

Dampak terpenting dari banyaknya sekolah-sekolah yang didirikan dengan jenjang yang tertata ini, bagi bangsa Indonesia adalah lahirnya kaum intelektual baru Indonesia. Mereka adalah anak-anak muda yang terdidik, memiliki semangat tinggi dan perduli pada bangsanya.

Pengalaman sejarah bagaimanapun telah memberi kesadaran baru di kalangan terpelajar Indonesia pada awal abad ke-20, bahwa perjuangan menghadapi kolonial harus dilakukan dengan cara yang berbeda dengan sebelumnya. Hingga masa kebangkitan nasional, beberapa faktor yang dianggap sebagai penyebab gagalnya perlawanan dan perjuangan bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah adalah : (a) perjuangan masih bersifat kedaerahan; (b) perlawanan tidak dilakukan secara serentak; (c) masih menggantungkan diri pada kepemimpinan kharismatis; (d) kalah dalam persenjataan; dan (e) efektifnya politik adu domba (devide et impera) Belanda.

Berdasarkan pengalaman tersebut, kaum terpelajar ingin berjuang dengan cara yang lebih modern yaitu menggunakan kekuatan organisasi, tidak bergantung pada seorang pemimpin, lebih bersifat nasional, memiliki visi bersama yang jauh ke depan berupa kemerdekaan Indonesia, serta perjuangan yang tidak lagi bersifat fisik melainkan dalam bentuk suatu gerakan. Karena itulah era perjuangan bangsa Indonesia pada awal abad ke-20 ini dikenal sebagai “masa pergerakan nasional”.

Kondisi ini semakin terdorong manakala beberapa peristiwa yang terjadi di berbagai wilayah dunia menginspirasi para anak muda terpelajar Indonesia untuk membangkitkan nasionalisme Indonesia dalam mengusir penjajah. Faktor-faktor luar negeri ini antara lain berupa : masuknya pengaruh masuknya paham baru seperti nasionalisme, kemenangan Jepang atas Rusia pada tahun 1905 yang menunjukkan bisa dikalahkannya bangsa Eropa oleh bangsa Asia, serta kebangkitan nasional yang terjadi di negara-negara seperti India, Filipina, Tiongkok dan Turki.

Demikian pula gerakan pembaharuan Islam yang muncul di Timur Tengah pada abad ke-19 sebagai reaksi atas dominasi Barat di negeri-negeri muslim. Ketertinggalan umat Islam dari dunia Barat serta tekanan-tekanan kolonialisme, telah menjadi faktor penting bagi tumbuhnya gerakan kebangkitan dalam Islam. Salah satu diantara ide yang berkembang pada masa itu adalah mengenai nasionalisme berdasarkan Islam. Ide ini meluas ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Maka di Sumatera Barat, pada awal abad ke-20, muncul nama-nama seperti Syekh Muhammad Taher Jamaluddin, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Haji Abdul Karim Amrullah sebagai tokoh-tokoh pembaharu Islam. Tokoh-tokoh ini selain mendirikan lembaga pendidikan juga menerbitkan majalah untuk menyebarkan gagasannya. (Noer, 1991 : 37-46). Di Jawa, gerakan pembaharuan Islam ini juga berkembang pada periode awal abad ke-20, dan kelak mempengaruhi berdirinya organisasi-organisasi modern Islam awal seperti Sarekat Dagang Islam dan Muhammadiyah.

Perjuangan Baru : Tokoh dan Organisasi di Awal Pergerakan Nasional

Perjuangan baru bangsa Indonesia pada awal abad ke-20 dengan kepedulian besar dalam bidang pendidikan telah ditunjukkan sejak awal melalui organisasi Budi Utomo (BU), bahkan sebelum organisasi ini terbentuk.

Bermula dari ide dr. Wahidin Sudirohusodo yang ingin menggalang dana belajar (studie fonds) bagi pelajar pribumi yang kurang mampu. Wahidin menganggap usaha memperbaiki pendidikan dan menguasai pengetahuan modern barat sebagai kunci utama menuju kemajuan yang mereka harapkan bagi bangsa-bagsa bukan Barat. Pada tahun 1906 dimulai aksi mengadakan dana beasiswa untuk pemuda-pemuda Indonesia yang berbakat. Guna keperluan propaganda bagi rencana ini ia melakukan beberapa perjalanan ke seluruh Jawa. (Korver, 1985 : 5).

Pada salah satu perjalanan inilah Wahidin berhubungan dengan sejumlah siswa STOVIA yang kemudian menindaklanjutinya dengan mengadakan pertemuan yang menghasilkan pembentukan organisasi Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 di Jakarta. Beberapa tokoh pendirinya antara lain Sutomo, Gunawan, Cipto Mangunkusumo, dan R.T. Ario Tirtokusumo.

Pada awal pendirian, BU bukanlah partai politik dan memilih sikap kooperatif dengan pemerintah kolonial. Memiliki tujuan utama kemajuan bagi Hindia Belanda, lingkup BU pun masih terbatas di Jawa dan Madura. Namun meskipun lingkupnya terbatas, secara umum BU dianggap sebagai perserikatan Indonesia pertama yang mencantumkan dalam panjinya keikutsertaan wakil-wakil golongan rakyat Indonesia (Korver, 1985 : 5). Dicantumkan sebagai tujuan BU adalah “kemajuan yang harmonis untuk nusa dan bangsa Jawa dan Madura”. Pada waktu itu ide Indonesia dan persatuan Indonesia belum ada di kalangan bangsa Indonesia. Inilah yang menyebabkan “wilayah” Budi Utomo hanya meliputi Jawa dan Madura saja dan sama sekali belum menyebutkan kemerdekaan. Kalaupun kesadaran nasional sudah ada, tetapi untuk menyebut dengan tegas bahwa tujuan BU adalah ‘kemerdekaan’ dinilai belum tepat waktu, sehingga hanya disebut harmonisasi. Jadi, tujuannya adalah kemajuan harmonis dari nusa dan bangsa Jawa dan Madura. Jalan mencapai tujuan tersebut dilakukan melalui beberapa usaha, diantaranya memajukan pengajaran sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh dr. Wahidin. Maka usaha pertama yang dijalankan BU untuk mencapai tujuan kemajuan bangsa adalah pengajaran. (Tirtoprodjo, 1980 : 12-13).

Selain itu, BU juga mencita-citakan terjaminnya “kehidupan bangsa yang terhormat”. Disinilah letaknya apa yang sebenarnya menjadi cita-cita Budi Utomo, yaitu kehormatan dan kedudukan bangsa agar menjadi bangsa yang terhormat diantara bangsa-bangsa di dunia. Jadi, meskipun yang diprogramkan adalah pengajaran, kemajuan kebudayaan dan sebagainya, tetapi pokok yang dicita-citakan oleh para pendiri Budi Utomo adalah kehidupan bangsa yang terhormat. Inilah yang memberikan corak baru dalam sejarah, bahwa untuk pertama kalinya kesadaran nasional disimpulkan dalam bentuk perkumpulan. Karena itulah pendirian BU akhirnya ditetapkan sebagai permulaan pergerakan nasional. (Tirtoprodjo, 1980 : 13-14).

Namun dalam perkembangannya, terjadi perbedaan-perbedaan pendapat dalam tubuh BU kemudian, terutama antara golongan muda yang menginginkan perjuangan politik dalam menghadapi pemerintah kolonial, dengan golongan tua yang ingin mempertahankan cara perjuangan sosio-kultural. Perbedaan pandangan inilah yang melemahkan BU, bahkan berujung pada keluarnya beberapa anggota BU yang berasal dari golongan muda. Kiprah BU akhirnya semakin menurun, kalah populer dengan organisasi-organisasi lain yang kemudian terbentuk dan lebih “berani” berhadapan dengan pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1935 Budi Utomo akhirnya berfusi ke dalam Partai Indonesia Raya (Parindra).

Ide untuk kemajuan bangsa juga dikumandangkan oleh Sarekat Islam (SI). Organisasi yang awalnya dibentuk pada tahun 1911 dengan nama Sarekat Dagang Islam (SDI) dan dipimpin oleh H. Samanhudi di Solo ini bertujuan memberikan bantuan pada para pedagang batik pribumi agar dapat bersaing dengan pedagang Cina. Keanggotaan SDI waktu itupun masih terbatas pada pedagang muslim saja. Pada tahun 1912, nama Sarekat Dagang Islam diubah menjadi Sarekat Islam (SI) di bawah pimpinan Haji Omar Said Cokroaminoto. Keanggotaannyapun tidak lagi terbatas hanya para pedagang saja. Segera saja SI berkembang menjadi organisasi besar dengan keanggotaan yang bersifat terbuka.

Deliar Noer menulis bahwa dalam Anggaran Dasarnya yang pertama tahun 1911, disebutkan alasan pendirian SI, yaitu :

“Tiap-tiap orang mengetahuilah bahwa masa yang sekarang ini dianggapnya zaman kemajuan. Haruslah sekarang kita berhaluan : janganlah hendaknya mencari kemajuan itu cuma dengan suara saja. Bagi kita kaum muslimin adalah dipikulkan wajib juga akan turut mencapai tujuan itu, dan oleh karenanya kita tetapkanlah mendirikan perhimpunan Sarekat Islam”.

Sedangkan tujuan Sarekat Islam, sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar, disebutkan bahwa Sarekat Islam :

“…akan berikhtiar supaya anggotanya satu sama lain bergaul seperti saudara, dan supaya timbullah kerukunan dan tolong menolong satu sama lain antara sekalian kaum Muslimin, dan lagi dengan segala daya upaya yang halal dan tak menyalahi wet-wet negeri (Surakarta) dan wet-wet pemerintah,… berikhtiar mengangkat derajat rakyat agar menimbulkan kemakmuran, kesejahteraan, dan kebesaran negeri”. (Noer, 1991 : 116-117).

Dalam Anggaran Dasar tanggal 10 September 1912 disebutkan kembali tentang tujuan SI, yaitu :

  1. Memajukan semangat dagang di kalangan bumiputra;
  2. Memberikan bantuan kepada para anggota perkumpulan, yang bukan karena kesalahannya dan tiada dengan sengaja dalam macam macam kesulitan.
  3. Memajukan pendidikan rohani dan kepentingan materil bumiputra yang dengan demikian juga membantu meningkatkan kedudukan bumi putra
  4. Menghilangkan salah pengertian mengenai agama Islam dan memajukan kehiudpan keagamaan di kalangan bumiputra sesuai dengan hukum tata cara dan agama tersebut; menempuh segala cara dan menggunakan semua jalan yang diperkenankan dan tidak bertentangan dengan ketenteraman umum dan adat istiadat yang baik (Korver, 1985 : 208).

Ide bagi kemajuan bangsa ini terus berkembang dalam tubuh SI. Dalam situasi kolonialisme, kiprah SI akhirnya bahkan bersinggungan dengan politik. Pada tahun 1913, Cokroaminoto selaku Ketua SI mulai menegaskan bahwa Sarekat Islam bertujuan untuk “membangunkan kebangsaan, mencari hak-hak kemanusiaan yang memang sudah tercetak oleh Tuhan, menjunjung derajat yang masih rendah, memperbaiki nasib yang jelek dengan jalan mencari tambahnya kekayaan”. (Noer, 1991 : 126).

Sejak tahun 1916, kongres-kongres SI bahkan telah mencerminkan suatu usaha yang sadar dari pemimpin-pemimpinnya untuk menyebarkan dan menegakkan cita-cita nasionalisme, dengan Islam sebagai ajaran yang dianggap dasar dalam pemikiran tersebut. Menjelaskan pemakaian kata ”nasional”, Cokroaminoto berkata bahwa : “ ia merupakan suatu usaha untuk meningkatkan seseorang pada tingkat natie (bangsa)…. usaha pertama untuk berjuang menuntut pemerintahan sendiri atau sekurang-kurangnya agar orang Indonesia diberikan hak untuk mengemukakan suaranya dalam masalah-masalah politik”. Abdul Muis, tokoh SI yang lainnya, menghubungkan hal ini dengan perjuangan kemerdekaan. Katanya, “hanyalah dengan dasar nasionalisme dapat kemerdekaan suatu bangsa dan suatu negeri dicapai dengan cepat”. (Noer, 1991 : 126).

Cokroaminoto bahkan pernah lebih spesifik lagi dalam mendudukkan hubungan bangsa Indonesia dengan Belanda sebagaimana seharusnya. Pada kongres nasional pertama di Bandung pada tahun 1916 ia berkata :

“Tidaklah wajar untuk melihat Indonesia sebagai sapi perahan yang diberikan makan hanya disebabkan karena susunya. Tidaklah pada tempatnya untuk menganggap negeri ini sebagai suatu tempat di mana orang-orang datang dengan maksud mengambil hasilnya, dan pada saat ini tidaklah lagi dapat dipertanggungjawabkan bahwa penduduk terutama pribumi, tidak mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam masalah politik yang menyangkut nasibnya sendiri. Tidak bisa lagi terjadi bahwa seseorang mengeluarkan undang-undang dan peraturan untuk kita tanpa partisipasi kita, mengatur hidup kita tanpa partisipasi kita”. (Noer, 1991 : 126-127).

Apa yang dikemukakan di atas memperlihatkan keberadaan Sarekat Islam sebagai organisasi yang menginginkan kemajuan bangsa Indonesia. Selain itu, meskipun berdasarkan Islam, SI tetap menunjukkan sikap kebangsaan yang anti penjajahan.

Bentuk kegiatan lain untuk meningkatkan derajat rakyat Indonesia yang dilakukan SI adalah melalui usaha memajukan pendidikan. Asisten Residen Jakarta bahkan melaporkan pada tahun 1913 bahwa gerakan SI berpengaruh positif dalam bidang pendidikan. Menurutnya, pada masa itu anak Indonesia yang bersekolah bertambah banyak, tidak seperti masa sebelumnya yang sangat kurang. Konsekuensi dari jumlah sekolah yang terus meningkat ini menimbulkan pula kebutuhan akan tenaga pengajar bagi sekolah-sekolah tersebut. Maka sejak tahun 1915 didirikanlah institusi pendidikan guru berdasarkan agama dan pendidikan modern oleh cabang-cabang SI. Hal ini kian ditegaskan oleh Abdul Muis dalam Kongres SI di Surabaya. Menurutnya, bila SI berusaha mendirikan sekolah-sekolah atas dasar keagamaan, maka kini tiba waktunya juga mendirikan sekolah pendidikan guru berbasis agama Islam (Korver, 1985 : 99-100)..

Peran SI dalam bidang pendidikan lainnya adalah menuntut pemerintah kolonial agar menghapus peraturan yang mendiskriminasi murid di sekolah-sekolah dan menuntut terlaksananya wajib belajar untuk semua penduduk hingga usia 15 tahun. SI juga menuntut perbaikan pendidikan pada segala tingkat, ditambahnya jumlah sekolah, serta diberikannya beasiswa kepada pemuda Indonesia untuk belajar di luar negeri (Noer, 1991 : 128)..

Sayangnya, kebesaran SI sebagai suatu organisasi akhirnya mengalami perpecahan. Dalam kongres SI tahun 1921, perpecahan tampaknya sudah terjadi. SI pecah menjadi dua kubu, yaitu :

  1. SI Putih yang dipimpin oleh H.O.S. Cokroaminoto, H. Agus Salim dan Abdul Muis yang berpusat di Yogyakarta dan tetap berlandaskan nasionalisme Islam.
  2. SI Merah yang berhaluan sosialisme kiri (komunis), dipimpin oleh Semaun, dan berpusat di Semarang.

Anggota SI Merah lalu keluar dari SI dan membentuk Sarekat Rakyat. Sementara SI sendiri kemudian berganti nama menjadi Partai Sarekat Islam (PSI). Tahun 1927 PSI berubah nama kembali menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).

Organisasi lainnya yang bercita-cita membangkitkan harkat bangsa Indonesia dan mewujudkan pendidikan yang lebih baik bagi anak bangsa adalah Indische Partij.

Indische Partij (IP) merupakan organisasi politik pertama di Indonesia.  Didirikan oleh E.F.E. Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat dan dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 1912, IP memiliki tujuan “indie” merdeka, atas dasar “National Indische.” Dengan semboyan “Indie untuk Indiers” perkumpulan ini berusaha membangunkan rasa cinta tanah air dari semua “Indier” dan berusaha mewujudkan kerja bersama yang erat bagi kemajuan tanah air dan menyiapkan kemerdekaan (Pringgodigdo, 1986 : 12).

IP meluaskan keanggotaannya bagi seluruh orang yang lahir di Hindia Belanda dari keturunan apapun tanpa memandang suku, agama, dan ras. Dalam bahasa Belanda, tujuan IP disebutkan dalam kalimat “voorbereiding voor een onafhankelijk volksbestaan, yang berarti “persiapan untuk kehidupan bangsa yang merdeka”. Kata “voorbereiding” atau “mempersiapkan” sengaja digunakan untuk menghindari larangan pemerintah kolonial yang melarang keinginan bangsa Indonesia untuk merdeka. Jadi, meskipun IP tetap mencita-citakan Indonesia yang merdeka, namun untuk menghindari larangan pemerintah kolonial, organisasi ini mencantumkan kata “persiapan” dalam tujuannya. Meskipun begitu pemerintah Belanda tetap keberatan dengan pendirian IP yang menurut pandangan mereka sudah diluar batas yang diperbolehkan. IP pun menjadi organisasi terlarang (Tirtoprodjo, 1980 : 41-42).

IP juga memandang penting pendidikan bagi kemajuan bangsa Indonesia. Ki Hajar Dewantara, nama lain dari salah seorang pendiri IP yaitu Suwardi Suryaningrat, bahkan kemudian terkenal sebagai pendiri Perguruan Taman Siswa sekaligus tokoh pendidikan di Indonesia.

Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara sistem pengajaran harus dapat menjadikan manusia merdeka, yaitu manusia yang lahir dan batinnya tidak tergantung kepada orang lain dan bersandar kepada kekuatan sendiri. Semakin tinggi pengajaran maka akan semakin banyak pengaruh pengajaran tersebut terhadap kemerdekaan manusia. Dalam hal pengajaran nasional, Ki Hajar berpendapat bahwa pengajaran nasional merupakan pengajaran yang selaras dengan kehidupan bangsa, sebagai wujud hak dan kewajiban rakyat. Agar dapat melaksanakan pengajaran tersebut dengan leluasa, seharusnya kita tidak perlu menerima bantuan dari pihak lain dalam hal apapun, karena akan menimbulkan keterikatan dengan si pemberi. Untuk mengekalkan pengajaran nasional tanpa bantuan tadi, bisa dilakukan sistem zelfbedruipingssijsteem (membiayai diri sendiri) dan studentfonds atau beasiswa, itupun kepada murid yang pantas menerimanya (Ki Hajar Dewantara, 2013 : 3-6).

Bersamaan tahun dengan pendirian IP, berdiri pula Muhammadiyah. Berbeda dengan IP, keberadaan Muhammadiyah tidak dipermasalahkan oleh pemerintah kolonial Belanda karena organisasi ini tidak bergerak di bidang politik.

Muhammadiyah didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada tahun 1912 di Yogyakarta sebagai organisasi modern Islam dan bergerak dibidang sosial, pendidikan, keagamaan. Dalam rangka tersebut, Muhammadiyah lalu mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, badan wakaf dan pengumpulan zakat, balai kesehatan, rumah yatim piatu, menyelenggarakan tabligh-tabligh Islam, penerbitan buku, brosur, majalah dan surat kabar. Muhammadiyah juga mengorganisir kegiatan kaum perempuan dalam organisasi Aisyah dan kaum muda dalam Hizbul Wathan.

Dakwah juga dilakukan Muhammadiyah dengan cara-cara yang dianggap modern pada masa itu, yaitu melalui pemanfaatan media cetak. Sistem pendidikan dalam Muhammadiyah menggabungkan cara tradisional dengan cara modern, dimana model sekolah Barat dikombinasikan dengan pelajaran agama yang dilakukan di dalam kelas.

Baik KH. Ahmad Dahlan, maupun Ki Hadjar Dewantara sebagaimana telah dibahas sebelumnya, keduanya merupakan dua tokoh pendidikan yang telah lama mengembangkan konsep pendidikan yang disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya, dan keagamaan masyarakat Indonesia. Tidak hanya menggali konsep pendidikan bagi masyarakat pribumi yang pada waktu itu masih dijajah, tetapi dua tokoh ini juga turut berperan aktif melaksanakan dan terjun langsung dalam dunia pendidikan dan berjuang melalui pendirian lembaga pendidikan bagi masyarakat pribumi. Menurut mereka berdua, pendidikan Barat hanya memunculkan elite intelektual baru yang sedikit banyak menjadi asing terhadap kebudayaan bahkan agamanya sendiri. Hanya saja bila KH. Ahmad Dahlan lebih banyak menyerap nilai-nilai modern agama Islam dalam memajukan peradaban manusia, maka Ki Hadjar Dewantara lebih terpengaruh oleh pandangan baru pendidikan di Barat dan menguraikan teori pendidikannya dengan menggunakan basis nilai-nilai budaya bangsa (Jawa) (Dyah, 2012 : 2).

Kiprah kaum perempuan dalam pergerakan nasional Indonesia juga tidak bisa dilupakan. Organisasi kaum perempuan bahkan telah muncul di masa-masa awal lahirnya organisasi-organisasi modern pergerakan nasional.

Pada tahun 1912 misalnya, di Jakarta berdiri organisasi Putri Mardika yang didirikan atas bantuan Budi Utomo. Perkumpulan ini bertujuan untuk memajukan pengajaran terhadap anak-anak perempuan dengan cara memberi penerangan dan bimbingan, serta memperbaiki harkat hidup kaum perempuan. Di Yogyakarta pada tahun 1912 didirikan perkumpulan wanita yang bernafaskan Islam dengan nama Sopo Tresno. Dua tahun setelah itu, perkumpulan ini bersama dengan kaum perempuan Muhammadiyah membentuk organisasi baru, Aisyah.  Nyai Ahmad Dahlan, istri KH. Ahmad Dahlan, menjadi ketuanya. Aisyah dengan cepat berkembang dengan memiliki ribuan anggota, serta cabang dan sekolah yang banyak pada masa itu. Tahun-tahun berikutnya, di beberapa kota Jawa Barat didirikan perkumpulan Kautamaan Istri dengan tokohnya Dewi Sartika. Pertama di Tasikmalaya (1913), lalu Sumedang (1916), Cianjur (1916), Ciamis (1917), dan Cicurug (1918). Di Sumatera Barat berdiri perkumpulan Kerajinan Amai Setia (KAS) di bawah pimpinan Rohana Kudus, yang pada tahun 1914 mendirikan sekolah perempuan pertama di Sumatera Barat. Di Jawa terbentuk Pawiyatan Wanito di Magelang (1915). Organisasi besar Sarekat Islam juga mendirikan Sarekat Siti Fatimah di Garut (1918). Selain itu berdiri pula perkumpulan Wanita Susilo di Pemalang (1918), Wanito Rukun Santoso di Malang (1919), Putri Budi Sejati di Surabaya (1919). Maria Walanda Maramis mendirikan organisasi Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya (PIKAT), di Minahasa pada tahun 1917. Perkumpulan ini berhasil mendirikan Sekolah Kepandaian Putri. Hingga dasawarsa 1920-an berbagai organisasi kaum perempuan terus berdiri di berbagai tempat (tentang pergerakan kaum perempuan, lihat Pringgodigdo, 1986 : 19-21).

Organisasi kaum perempuan yang terbentuk pada masa pergerakan nasional ini umumnya bertujuan ingin meningkatkan derajat dan memajukan kaum perempuan yang hingga masa itu masih terkungkung oleh tradisi. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan antara lain berupa belajar membaca dan menulis, melatih berbagai keterampilan atau membuat kerajinan tangan, belajar kecakapan kerumahtanggaan, serta membiasakan kaum perempuan untuk berorganisasi.

Perjuangan Baru di Abad Baru : Refleksi Masa Lalu, Demi Masa Kini, Bagi Masa Depan

Sejarah memberikan pada kita refleksi kritis yang melintas waktu : masa lalu hingga masa kini dan demi masa depan. Memahami bagaimana kemungkinan Indonesia di masa depan, tidak bisa tidak, kita harus memandangnya dengan pemahaman yang dalam tentang bagaimana Indonesia di masa lalu (Kuntjoro-Jakti, 2012 : hlm. 3-12).

Maka mengacu pada uraian esai di atas, setidaknya terdapat tiga hal yang menjadi fokus pikiran dan gerakan pada zaman pergerakan nasional, yakni persatuan, kebangsaan, dan pendidikan, yang dapat direfleksikan ke masa kini. Dua masa ini, era kebangkitan – pergerakan nasional dan era sekarang, sama-sama berada dalam awal abad baru.

Pada masa pergerakan nasional : persatuan, kebangsaan dan pendidikan menjadi diantara unsur terpenting dalam perjuangan bangsa Indonesia untuk menegakkan martabatnya sebagai sebuah bangsa. Ketiga hal ini, tidak dapat dipungkiri kelak justru menjadi fondasi bagi Indonesia yang merdeka. Melalui pemikiran tokoh kebangsaan dan gerakan organisasi-organisasi baru, ketiga unsur tersebut merekatkan dan memperkuat kesadaran dan jati diri bangsa Indonesia untuk memerdekakan dirinya.

Bercermin pada masa sekarang, jujur harus kita akui, keretakan dalam masyarakat tetap berlangsung. Hal ini misalnya sempat marak dan terlihat jelas dalam dunia media sosial saat pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Ideologi-ideologi lain yang tidak sesuai dengan dasar negara Pancasila juga turut mengancam. Begitu pula dengan pendidikan di masa ini dimana masih terdapat banyak persoalan yang dapat menghambat kemajuan bangsa dan negara Indonesia di tengah perkembangan dunia yang semakin cepat berubah. Kesadaran mengenai makna penting pendidikan bagi kemajuan bangsa seakan tergerus. Keteladanan para pemimpin negeri juga semakin bias.

Berdasarkan persoalan-persoalan tersebut tersebut, kita perlu kembali tampaknya merenungkan betapa pada pergantian abad di abad yang lalu, bangsa ini justru tengah bergerak membangun jati dirinya untuk menjadi bangsa yang bermartabat. Nilai-nilai persatuan, kebangsaan dan kesadaran mengenai pentingnya pendidikan pada waktu itu, seharusnya menjadi pembelajaran bagi kita kini, betapa pentingnya unsur-unsur tersebut bagi kebangkitan suatu bangsa. Jika kita ingin selalu dan terus membawa perubahan yang baik bagi bangsa ini kini, seharusnyalah kita mampu merefleksikan nilai-nilai keteladanan dimasa lalu tersebut pada masa kini, bagi masa depan kita sebagai sebuah bangsa : Indonesia

Oleh : Gadang Ali Syariati Pradono