Dr. Achmad Mochtar: Saya Rela Mati Asal Rekan-Rekan Saya Tetap Bisa Meneliti!

0
2413

Nama dokter Achmad Mochtar akan terus terabadikan dalam sejarah kedokteran Indonesia. Pasalnya, kisah heroik dokter lulusan STOVIA ini telah amat berjasa dalam bidang penelitian. Ia menjadi saksi kekejaman romusha sekaligus rela menjadi kambing hitam atas kejahatan perang Jepang untuk menyelamatkan rekan-rekan penelitiannya di Eijkman Jakarta (Lembaga Penelitian yang telah ada sejak masa Hindia Belanda).

Achmad Mochtar, lahir di Bonjol, Sumatera Barat pada 1892. Berkat kecerdasannya ia diterima pada School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) pada 1916. Setelah menjadi dokter, ia ditugaskan di Panyabungan, Sumatera Utara. Pendidikan kedokterannya dilanjutkan ke  Universitas Amsterdam pada 1927 hingga mendapat gelar doktor. Dr. Achmad Mochtar, kemudian bergabung dengan lembaga Eijkman. Dia menjadi orang Indonesia pertama yang menjabat Direktur Laboratorium Eijkman, mengepalai bagian bakteriologi. Ia juga peraih Hadiah Nobel Kedokteran pada 1929 atas penemuannya berupa vitamin pencegah neuritis (antineuritis), yakni tiamin alias vitamin B1 (antiberi-beri).

Gambar : Lembaga Penelitian Eijkman Instituut

Namun, pada Oktober 1944, para ilmuwan di Eijkman ditangkap dengan tuduhan sabotase vaksin yang menyebabkan ratusan romusa tewas pada tragedi Klender 1944. Para ilmuwan kemudian dipukul, dibakar, dan disetrum. Dr. Achmad Mochtar membuat negosiasi dengan Jepang, dengan menyatakan dirinya yang harus disalahkan sehingga para ilmuwan lainnya dibebaskan. Atas pengakuannya, ia dihukum pancung pada 3 Juli 1945 kemudian tubuhnya digilas dan digiling. Namun, ada beberapa pendapat menyatakan ia tidak dihukum pancung, melainkan digilas atau digiling secara hidup-hidup dengan stoomwals (alat yang digunakan untuk memadatkan tanah).

Kisah pengorbanan Dr. Achmad Mochtar tertulis dalam buku berjudul “War Crimes in Japan-Occupied Indonesia: A Case of Murder by Medicine” terbitan University of Nebraska Press. Sebuah buku yang ditulis JK Baird dari University Oxford serta Sangkot Marzuki dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), yang terbit pada 2017, 70 tahun setelah wafatnya Dr. Achmad Mochtar. Dia bukan hanya pahlawan Indonesia, namun juga pahlawan penelitian dan kemanusiaan. Kini namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.

Gambar : Buku tentang Dr. Achmad Mochtar

(Untari)