Museum Kebangkitan Nasional menempati sebuah komplek bangunan bersejarah yang dibangun pada tahun 1899. Bangunan tersebut pada awalnya diperuntukan sebagai gedung sekolah dan asrama School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), atau Sekolah Dokter Bumiputra. Konstruksi gedung STOVIA terlihat sangat kokoh karena bangunannya terdiri atas susunan tembok yang tebal. STOVIA merupakan penyempurnaan dari sistem pendidikan kedokteran Sekolah Dokter Jawa yang didirikan pada tahun 1851 di Rumah Sakit Militer Weltevreeden (sekarang Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto). Sekolah Dokter Jawa awalnya menempati salah satu bangunan yang ada di dalam rumah sakit militer tersebut.

Siapa sangka ternyata bangunan gedung STOVIA tersebut mirip dengan salah satu bangunan Rumah Sakit Militer (Militair Hospitaal) yang ada di daerah Cimahi, Jawa Barat. Pembangunannya dimulai pada tahun 1887 dan diresmikan pada bulan September 1896 bersamaan dengan peresmian Garnisun Militer. Para dokter yang bekerja di rumah sakit ini adalah dokter-dokter Belanda. Rumah sakit ini terus mengalami perluasan. Hal ini disebabkan pada saat itu hampir separuh kekuatan Angkatan Perang/Militer Hindia Belanda berada di Cimahi. Hal inilah yang membuat Cimahi menjadi daerah yang penting, terutama karena keberadaan Rumah Sakit Militernya. Keberadaan Cimahi yang demikian penting dengan dijadikannya sebagai pusat militer pemerintah kolonial dan keberadaan rumah sakit militernya ini tidak lepas dari rencana pemerintah yang akan menjadikan Kota Bandung sebagai ibu kota pemerintahan kolonial menggantikan Batavia.

Pada masa Pendudukan Jepang, rumah sakit ini hanya difungsikan sebagai tempat perawatan bagi tawanan yang berasal dari Belanda dan negara-negara Eropa lainnya, juga perawatan tentara Jepang. Rumah sakit ini hanya digunakan bagi kepentingan perang dan ekonomi pemerintah Pendudukan Jepang. Bangunannya tidak banyak mengalami perubahan baik secara fisik maupun fungsinya. Seperti juga pada masa pemerintah Hindia Belanda, pada masa pemerintah Pendudukan Jepang rumah sakit tidak dipergunakan untuk kepentingan masyarakat pribumi. Pada 1945-1947, rumah sakit ini dikuasai NICA. 

Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh pemerintah Kerajaan Belanda (1949), Militair Hospitaal diserahkan oleh militer Belanda kepada TNI yang diwakili Letkol Dr. Rd. K. Singawinata (pangkat terakhir kolonel). Sejak saat itu, Militair Hospitaal diubah namanya menjadi Rumah Sakit Territorium III dan Letkol. Dr. Rd. K. Singawinata diangkat sebagai kepala rumah sakit itu. Pada 19 Mei 1956, dalam rangka Hari Ulang Tahun yang ke-10 Territorium III/Siliwangi, Rumah Sakit Territorium III diberi nama Rumah Sakit Dustira oleh Panglima Territorium III, Kolonel Kawilarang, sebagai penghargaan terhadap jasa-jasa Mayor Dokter Dustira Prawiraamidjaja.

Pada perkembangan selanjutnya Rumah Sakit Dustira, bukan saja menerima pasien dari kalangan militer tetapi masyarakat umum. Saat ini Rumah Sakit Dustira mampu mengupayakan pelayanan kesehatan kuratif dan rehabilitatif yang terpadu dengan pelaksanaan kegiatan kesehatan promotif dan preventif sehingga menjadi rumah sakit rujukan tertinggi. Rumah Sakit Dustira telah terakreditasi KARS versi 2012 pada tahun 2014, dimana Rumah Sakit Dustira menjadi studi bagi rumah sakit lainnya terutama bagi rumah sakit di jajaran TNI.

Sumber:
Ahmad, Tantra. (2016). Perjalanan Sejarah Rumah Sakit Dustira. (http://www.infobdg.com/v2/2016/07/perjalanan-sejarah-rumah-sakit-dustira/, diakses 12 April 2020)
Dewi, Aileen. 2017. Wajah Militair Hospitaal dan ‘Kota Militer’ Cimahi. Prosiding Seminar Heritage Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI): 261-266. Cirebon, 3-5 Mei 2017: IPLBI.
Muhsin, Mumuh. 2011. Dr. Mayor Dustira Prawiraamadjaya Sang Dokter Pejuang (1919-1946). Makalah dalam Seminar Nasional Pengusulan Dr. Mayor Dustira Prawiraamadjaya sebagai Pahlawan Nasional. Cimahi, 20 April:Yayasan MSI Jawa Barat, Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) Provinsi Jawa Barat,  dan Pemerintah Kota Cimahi.