Ahmad Dahlan dalam Pemikirannya mengenai Pendidikan Islam di Indonesia

0
1564

Pendidikan merupakan suatu bagian terpenting dalam proses perkembangan suatu bangsa. Munculnya tokoh pemikir yang peduli terhadap pendidikan bangsa Indonesia menjadi faktor pendorong pergerakan nasional di Indonesia. Ahmad Dahlan salah satu tokoh yang peduli terhadap pendidikan bangsa Indonesia. Dia melihat terdapat perbedaan antara sistem pendidikan kolonial Belanda dan sistem pendidikan Islam tradisional yang berpusatkan di pondok pesantren sehingga berkembang dualisme dalam sistem pendidikan di Indonesia. Melihat perbedaan pendidikan yang terjadi pada saat itu maka timbulah ide dari Ahmad Dahlan untuk melakukan pembaharuan. Dalam melakukan pembaruan Ahmad Dahlan tidak hanya mendirikan sekolah, tetapi ikut membantu mengajar ilmu keagamaan di sekolah lain.

Merasa prihatin terhadap perilaku masyarakat Islam di Indonesia yang masih mencampur-baurkan adat istiadat yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran umat islam, inilah yang menjadi latar belakang pemikiran Ahmad Dahlan untuk melakukan pembaruan, yang juga melatar belakangi lahirnya Muhammadiyah. Pemikiran Ahmad Dahlan tentang pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai awal kebangkitan pendidikan Islam di Indonesia. Gagasan pembaruannya sempat mendapat tantangan dari masyarakat waktu itu, terutama dari lingkunagan pendidikan tradisional. Kendati demikian, bagi Dahlan, tantangan tersebut bukan merupakan hambatan, melainkan tantangan yang perlu dihadapi secara bijaksana. Arus dinamika pembaharuan terus mengalir dan bergerak menuju kepada berbagai persoalan kehidupan yang semakin kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting dan strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius. Hal ini disebabkan, karena pendidikan merupakan media yang sangat strategis untuk mencerdaskan umat.

Gerakan organisasi sosial keagamaan di Indonesia memiliki peran yang sangat penting. Salah satu diantaranya adalah persyarikatan Muhammadiyah yang dibangun oleh Ahmad Dahlan. Muhammadiyah memiliki tridimensi gerakan yakni keIslaman, dakwah dan pembaharuan. Muhammadiyah terbukti mampu menyentuh semua bidang kehidupan, dan mendapat simpati banyak orang, sehingga tidak heran jika ormas ini untuk selanjutnya mendulang jumlah anggota yang selalu menunjukkan grafik naik pada tiap tahunnya.

Praktek keagamaan masyarakat saat itu yang dianggap menyimpang dari nilai-nilai Islam seperti praktek takhayul, bid’ah dan khurafat,maka Ahmad Dahlan berusaha mendobrak dan memerangi kemapanan tradisi yang sudah berurat akar dalam masyarakat tersebut dengan meniscayakan adanya tajdid (pembaruan) sebagai soko guru gerakannya. Corak pemikiran Islam dari Ahmad Dahlan pada umumnya berkisar pada penekanan praktik Islam salaf sebagai kritik atas Islam tradisional (taqlid) yang bercorak sinkretis karena pengaruh adat istiadat lokal. Dengan kata lain, singularitas Islam direkonstruksi lagi menjadi Islam sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, pembaruan dalam Muhammadiyah berarti memperbarui pemahaman (Islam) dengan kembali kepada keaslian Islam

Muhammadiyah Organisasi Pergerakan Nasional Bentukan K.H. Ahmad Dahlan

K.H. Ahmad Dahlan dengan nama kecil Darwis merupakan putra dari K.H. Abu Bakar bin Kiai Sulaiman seorang khatib (penghulu yang ditugaskan Keraton untuk membawahi urusan agama) tetap di masjid Agung Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sejak usia balita, kedua orang tua Darwis sudah memberikan pendidikan agama bahkan ketika berusia 8 tahun, Darwis sudah bisa membaca Al-Qur’an dengan lancar sampai khatam. Menjelang dewasa, Darwis mulai mengaji dan menuntut ilmu fiqih kepada K.H. Muhammad Saleh. Selain itu, ia juga mengaji di Pesantren menurut sistem lama. Darwis juga melanjutkan pelajarannya selama 1 tahun di tanah suci Mekah.

Setelah pulang ke Indonesia ia menjabat sebagai pegawai masjid Sultan dan mengembangkan kegiatan perdagangan. Sebagai saudagar beliau tetap tidak meninggalkan kegiatan memperdalam dan menambah ilmu mengenai ajaran agama Islam dengan mendatangi ulama serta memperhatikan keadaan kaum muslimin di tempat-tempat yang disinggahinya. Sebagai orang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Ahmad Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah-tengah masyarakat.

Ahmad Dahlan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912. Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW. Muhammadiyah secara etimologis berarti pengikut nabi Muhammad, karena berasal dari kata Muhammad. kemudian mendapatkan ya nisbiyah, sedangkan secara terminologi berarti gerakan Islam Muhammadiyah adalah Gerakan Islam yang melaksanakan. dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dan tajdid, bersumber pada Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Muhammadiyah berpandangan bahwa Agama Islam menyangkut seluruh aspek kehidupan meliputi aqidah, ibadah, akhlaq, dan mu’amalat dunyawiyah yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan harus dilaksanakan dalam kehidupan perseorangan maupun kolektif. Ahmad Dahlan memilih nama Muhammadiyah yang pada masa itu sangat asing bagi telinga masyarakat umum adalah untuk memancing rasa ingin tahu dari masyarakat, sehingga ada celah untuk memberikan penjelasan dan keterangan seluas-luasnya tentang agama Islam sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah SAW.

Persyarikatan ini mempunyai maksud menyebarkan pengajaran kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumi putera dan memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya. Selain itu, dibentuk untuk mendukung usaha Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Ketidak murnian amalan Islam akibat tidak dijadikannya Al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagian besar umat Islam Indonesia pena menjadi faktor penyebab munculnya kolonialisme di Indonesia. Dengan mengemban misi gerakan tersebut Muhammadiyah dapat mewujudkan atau mengaktualisasikan Agama Islam menjadi rahmatan lil-’alamin dalam kehidupan di muka bumi ini.

Ahmad Dahlan ingin mendirikan organisasi yang dapat dijadikan sebagai alat perjuangnan dan da’wah untuk menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar yang bersumber pada Al-Qur’an dan surat Al-ma’un sebagai sumber dari gerakan sosial praktis untuk mewujudkan gerakan tauhid. Ketidak murnian ajaran islam yang dipahami oleh sebagian umat islam Indonesia, sebagai bentuk adaptasi tidak tuntas antara tradisi islam dan tradisi lokal nusantara dalam awal bermuatan paham animisme dan dinamisme. Sehingga dalam prakteknya umat Islam di Indonesia memperlihatkan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran islam, terutama yang berhubuaan dengan prinsip akidah islam yag menolak segala bentuk kemusyrikan, taqlid, bid’ah, dan khurafat. Sehingga pemurnian ajaran menjadi pilihan mutlak bagi umat Islam Indonesia.

Kristenisasi sangat berkembang di Indonesia pada saat itu sebagai efek domino dari imperalisme Eropa ke dunia timur yang mayoritas beragama Islam. Proyek Kristenisasi satu paket dengan proyek Imperialalisme dan modernisasi bangsa Eropa, selain keinginan untuk memperluas daerah koloni untuk memasarkan produk-produk hasil revolusi industri yang melada Eropa. Imperialisme Eropa tidak hanya membonceng gerilya gerejawan dan para penginjil untuk menyampaikan ’ajaran Yesus’ untuk menyapa umat manusia diseluruh dunia untuk ’mengikuti’ ajaran Yesus, tetapi juga membawa angin modernisasi yang sedang melanda Eropa. Modernisasi yang terhembus melalui model pendidikan barat (Belanda) di Indonesia mengusung paham-paham yang melahirkan modernisasi Eropa, seperti sekularisme, individualisme, liberalisme dan rasionalisme. Jika usaha itu tidak dihentikan maka akan terlahir generasi baru Islam yang rasional tetapi liberal dan sekuler.

Peran Ahmad Dahlan dalam Pendidikan di Indonesia

Setelah kembalinya Ahmad Dahlan dari menuntut pendidikan di Mekkah maka ia turut mengajar anak-anak yang menjadi murid ayahnya. Anak-anak ini belajar di waktu siang dan sore di Mushola. Pada tahun 1906, Ahmad Dahlan kembali ke Yogyakarta dan menjadi guru agama di Kauman. Pihak Keraton Yogyakarta juga mengangkat Ahmad Dahlan sebagai khatib tetap di Masjid Agung. Tugas-tugas beliau digunakan untuk mengamalkan ilmunya. Dia menggunakan serambi Masjid Agung untuk memberi pelajaran kepada orang-orang yang tidak dapat belajar di surau-surau tempat pengajian yang berjadwal tetap. Ahmad Dahlan juga membangun asrama untuk menerima murid-murid dari luar kota dan luar daerah. Juga membangun surau untuk menambah kemakmuran kampung Kauman dalam bidang pengajian dan pendidikan pada masa itu.

Ahmad Dahlan mengajar juga di Kweekschool di Yogyakarta dan Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren sebuah sekolah untuk pegawai pribumi di Magelang. Peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hooge School Muhammadiyah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Muhammadiyah (sekarang dikenal dengan Madrasah Mu’allimin (khusus laki-laki), yang bertempat di Patang puluhan kecamatan Wirobrajan dan Mu’allimaat Muhammadiyah (khusus Perempuan), di Suronatan Yogyakarta. Ahmad Dahlan selain mendirikan organisasi Muhammadiyah, juga mendirikan sekolah dengan menggunakan nama Muhammadiyah. Pendirian sekolah tersebut dipengaruhi oleh 2 faktor baik secara internal maupun eksternal, yaitu :

  1. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri umat Islam sendiri, yaitu sikap beragama dan sistem pendidikan Islam.

Sikap beragama umat Islam saat itu pada umumnya belum dapat dikatakan sebagai sikap beragama yang rasional. Sikap beragama yang demikian bukanlah terbentuk secara tiba-tiba pada awal abad ke 20 itu, tetapi merupakan warisan yang berakar jauh pada masa terjadinya proses Islamisasi beberapa abad sebelumnya. Seperti diketahui proses Islamisasi di Indonesia sangat di pengaruhi oleh dua hal, yaitu Tasawuf/Tarekat dan mazhab fikih, dan dalam proses tersebut para pedagang dan kaum sufi memegang peranan yag sangat penting. Melalui merekalah Islam dapat menjangkau daerah-daerah hampir di seluruh nusantara ini.

  1. Faktor eksernal, yaitu faktor yang disebabkan oleh politik penjajahan kolonial B

Faktor tersebut antara lain tanpak dalam sistem pendidikan Kolonial serta usaha ke arah westrnisasi dan kristenisasi. Pendidikan demikian pada awal abad ke 20 telah meyebar dibeberapa kota, sejak dari pendidikan dasar sampai atas, yang terdiri dari lembaga pendidikan guru dan sekolah kejuruan. Adanya lembaga pendidikan kolonial terdapatlah dua macam pendidikan diawal abad 20, yaitu pendidikan Islam tradisional dan pendidikan Kolonial. Kedua jenis pendidikan ini dibedakan, bukan hanya dari segi tujuan yang ingin dicapai, tetapi juga dari kurikulumnya.

Pendidikan kolonial melarang masuknya pelajaran agama dalam sekolah-sekolah kolonial, dan dalam artian ini orang menilai pendidikan Kolonial sebagai pendidikan yang bersifat sekuler, disamping sebagai peyebar kebudayaan Barat. Hal ini merupakan salah satu sisi politik etis yang disebut politik asosiasi yang pada hakekatnya tidak lain dari usaha westernisasi yang bertujuan menarik penduduk asli Indonesia ke dalam orbit kebudayaan Barat. Dari lembaga pendidikan ini lahirlah golongan intlektual yang biasanya memuja Barat dan menyudutkan tradisi nenek moyang serta kurang menghargai Islam, agama yang dianutnya. Hal ini agaknya wajar, karena mereka lebih dikenalkan dengan ilmu-ilmu dan kebudayaan Barat yang sekuler tanpa mengimbanginya dengan pendidikan agama, konsumsi moral dan jiwanya. Sikap umat yang demikianlah yang dimaksud sebagai ancaman dan tantangan bagi Islam diawal abad ke 20.

Menurut K.H. Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.  Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk menciptakan individu yang salih dan mendalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agama sama sekali. Melihat ketimpangan tersebut KH. Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi K.H. Ahmad Dahlan kedua hal tersebut (agama-umum, material-spritual dan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa KH. Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah.

Menurut Dahlan, materi pendidikan yang diberikan adalah pengajaran Al-Qur’an dan Hadits, membaca, menulis, berhitung, Ilmu bumi, dan menggambar. Materi Al-Qur’an dan Hadits meliputi; Ibadah, persamaan derajat, fungsi perbuatan manusia dalam menentukan nasibnya, musyawarah, pembuktian kebenaran Al-Qur’an dan Hadits menurut akal, kerjasama antara agama-kebudayaan-kemajuan peradaban, hukum kausalitas perubahan, nafsu dan kehendak, Demokratisasi dan liberalisasi, kemerdekaan berpikir, dinamika kehidupan dan peranan manusia di dalamnya, dan akhlak (budi pekerti).

Muhammadiyah yang ada sejak tahun 1912 telah menggarap dunia pendidikan, namun perumusan mengenai tujuan pendidikan yang spesifik baru disusun pada 1936. Pada mulanya tujuan pendidikan ini tampak dari ucapan K.H. Ahmad Dahlan: “ Dadiji kjai sing kemajorean, adja kesel anggonu njambut gawe kanggo Muhammadiyah”( Jadilah manusia yang maju, jangan pernah lelah dalam bekerja untuk Muhammadiyah). Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut, menurut K.H. Ahmad Dahlan materi pendidikan atau kurikulum pendidikan hendaknya meliputi:

  • Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al Qur’an dan as sunnah.
  • Pendidikan Individu yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh, yang kesinambungan antara perkembangan mental dan jasmani, antara keyakinan dan intelek, antara perasaan dan akal pikiran serta antara dunia dan akhirat.
  • Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesedihan dan keinginan hidup masyarakat. Dilihat dari sudut kurikulum,sekolah tersebut mengajrakan tidak hanya ilmu umum tetapi juga ilmu agama sekaligus. Hal ini merupakan trobosan baru bahwa pada saat itu lembaga pendidikan umum (sekolah) hanya mengajarkan pelajaran umum dan sebaliknya lembaga pendidikan agama (pesantren) hanya mengajarkan pelajaran agama. Dengan kurikilum tersebut, Ahmad Dahlan berusaha membentuk individu yang utuh dengan memberikan pelajaran agama dan umum sekaligus.

Di dalam menyampaikan pelajaran agama K.H. Ahmad Dahlan tidak   menggunakan pendekatan yang tekstual tetapi kontekstual. Karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi. Cara belajar-mengajar di pesantren pada umumnya menggunakan sistem Weton dan Sorogan, sementara madrasah Muhammadiyah menggunakan sistem masihal seperti sekolah Belanda. Bahan pelajaran di pesantren mengambil dari kitab-kitab agama saja. Sedangkan di madrasah Muhammadiyah bahan pelajarannya mengambil dari kitab agama dan buku-buku umum. Menurut Toto Suharto, Ahmad Dahlan memadukan antara pendidikan Agama dan pendidikan umum sedemikian rupa, dengan tetap berpegang kepada ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selain kitab-kitab klasik berbahasa Arab, kitab-kitab kontemporer berbahasa Arab juga dipelajari dilembaga Muhammadyah yang dipadukan dengan pendidikan umum. Di pesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena para kiai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah Muhammadiyah mulai mengembangkan hubungan antara guru-murid yang akrab.

Bagi K.H. Ahmad Dahlan, ajaran Islam tidak akan membumi dan dijadikan pandangan hidup pemeluknya, kecuali dipraktekkan. Betapa pun bagusnya suatu program, menurut Dahlan, jika tidak dipraktekkan, tidak akan bisa mencapai tujuan bersama. Karena itu, K.H. Ahmad Dahlan tidak terlalu banyak mengelaborasi ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi ia lebih banyak mempraktikkannya dalam amal nyata. Praktek amal nyata yang fenomenal ketika menerapkan apa yang disebut dalam surat Al-Maun yang secara tegas memberi peringatan kepada kaum muslim agar mereka menyayangi anak-anak yatim dan membantu fakir miskin. Untuk mengamalkan isi surat Al-Ma’un sK.H. Ahmad Dahlan juga mengajak santri-santrinya ke pasar Beringharjo, Malioboro, dan Alun-alun utara Yogyakarta. Di tempat-tempat itu berkeliaran pengemis dan kaum fakir. K.H. Ahmad Dahlam memerintahkan setiap santrinya untuk membawa fakir itu ke Mesjid Besar. Dihadapan para santri, K.H. Ahmad Dahlan membagikan sabun, sandang dan pangan kepada kaum fakir. K.H. Ahmad Dahlan meminta fakir miskin untuk tampil bersih. Sejak saat itulah, Muhammadiyah aktif dalam menyantuni fakir miskin dan yatim piatu.

Muhammadiyah berusaha mengembalikan ajaran islam pada sumbernya yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Muhammadiyah bertujuan meluaskan dan mempertinggi pendidikan agama Islam, sehingga terwujud masyaraIslam yang sebenarnya. Untuk mencapai tujuan itu, Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah yang tersebar di seluruh Indonesia. Dalam dunia pendidikan dan pengajaran Muhammadiyah telah mengadakan pembaruan pendidikan agama. Modernisasi dalam sistem pendidikan dijalankan dengan menukar sistem pondok pesantren dengan pendidikan modern sesuai dengan tuntutan dan kehendak zaman. Pengajaran agama Islam diberikan di sekolah-sekolah umum baik negeri maupun swasta. Muhammadiyah telah mendirikan sekolah-sekolah baik yang khas agama maupun yang bersifat umum. Metode baru yang diterapkan oleh sekolah  Muhammadiyah mendorong pemahaman Al-Qur’an dan Hadis secara bebas oleh para pelajar sendiri.  Sebagai sebuah organisasi yang memperhatikan perkembangan pendidikan di Indonesia, maka Muhammadiyah melakukan usaha mengembangkan pendidikan dengan cara mendirikan sekolah-sekolah umum dan mendirikan madrasah-madrasah yang juga diberi pendidikan pengajaran ilmu-ilmu pengetahuan umum.

Perkembangan Muhammadiyah di Indonesia, sebagai berikut :

  1. Perkembangan secara Vertikal

Dari segi perkembangan secara vertikal, Muhammadiyah telah berkembang ke seluruh penjuru tanah air. Akan tetapi, dibandingkan dengan perkembangan organisasi NU, Muhammadiyah sedikit ketinggalan. Hal ini terlihat bahwa jamaah NU lebih banyak dengan jamaah Muhammadiyah. Faktor utama dapat dilihat dari segi usaha Muhammadiyah dalam mengikis adat-istiadat yang mendarah daging di kalangan masyarakat, sehingga banyak menemui tantangan dari masyarakat.

  1. Perkembangan secara Horizontal

Dari segi perkembangan secara Horizontal, amal usaha Muhamadiyah telah banyak berkembang, yang meliputi berbagai bidang kehidupan. Perkembangan Muhamadiyah dalam bidang keagamaan terlihat dalam upaya-upayanya, seperti terbentukanya Majlis Tarjih (1927), yaitu lembaga yang menghimpun ulama-ulama dalam Muhammadiyah yang secara tetap mengadakan permusyawaratan dan memberi fatwa-fatwa dalam bidang keagamaan, serta memberi tuntunan mengenai hukum.

Pemikiran Ahmad Dahlan tentang pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai awal kebangkitan pendidikan Islam di Indonesia. Gagasan pembaruannya sempat mendapat tantangan dari masyarakat waktu itu, terutama dari lingkunagan pendidikan tradisional. Kendati demikian, bagi Dahlan, tantangan tersebut bukan merupakan hambatan, melainkan tantangan yang perlu dihadapi secara arif dan bijaksana. Arus dinamika pembaharuan terus mengalir dan bergerak menuju kepada berbagai persoalan kehidupan yang semakin kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting dan strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius. Hal ini disebabkan, karena pendidikan merupakan media yang sangat strategis untuk mencerdaskan umat. Melalui media ini, umat akan semakin kritis dan memiliki daya analisa yang tajam dalam membaca peta kehidupan masa depannya yang dinamis. Dalam konteks ini, setidaknya pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan dapat diletakkan sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang lebih proporsional.

Written by : Merlyn Febriany