Mengolah Jiwa Dari Menari

0
3690

Denpasar, Bali – Selendang warna-warni berkibar di pelataran Patung Catur Muka, Bali. Sang penari yang sedari tari memegang ujung selendang tersebut mulai melenggok-lenggokan badan serta memulaskan senyum sejak awal hingga akhir pertunjukan. Pemandangan yang tak biasa ini merupakan suguhan istimewa siswa sekolah menengah kejuruan dalam menyemarakkan kegiatan Denpasar Festival di penghujung 2017. Adapun tari yang dibawakan ialah tari-tarian Bali yang sudah diakui UNESCO, yang kemudian dikolaborasikan menjadi satu rangkaian.

Sebut saja Tari Rejang, Tari Baris Tunggal, Tari Baris Kupu-Kupu dan Tari Dramatari Gambuh yang dikemas begitu apik pada kegiatan tersebut. Lengkap dengan tabuhan karawitan yang menggaungkan keindahan Bali lewat petikan nada. Samar-samar terdengar adanya akulturasi budaya Tiongkok dari tabuhan alat musik yang dimainkan.

“Kami memadukan dua karakter (musik) yang sangat berbeda, yang berat dan melankolis,” ujar I Wayan Gede Arsana, guru seni karawitan SMKN 5 Denpasar di sela-sela gladi bersih. Sejatinya, tahun ini SMKN 5 Denpasar ditunjuk secara khusus untuk menampilkan garapan kesenian Bali di festival tahunan tersebut.

Salah satu siswi yang ambil bagian dalam rangkaian Denpasar Festival ke-10 ialah Gusti Ayu Putu Tirta Wati. Agar tampil maksimal saat hari pelaksanaan, ia dan puluhan teman-teman lainnya tak berhenti belajar menari. Meski menari dan ikut pentas bukanlah hal yang baru bagi Gusti Ayu. Baginya, menari tidak sekadar menggerakan badan mengikuti irama musik. Menari ialah panggilan jiwa.

“Dari dulu memang senang menari, bahkan saat kecil sudah berlatih dan ikutan menari,” ujar siswi yang memilih jurusan seni tari ini.

Hal senada juga dirasakan oleh Bagus Restu Waisnawa. Penguasaan gerak tari yang ia dapatkan sejak kecil kemudian turut mengantarkannya ke sekolah jurusan seni tari seperti sekarang. Dari seringnya latihan menari jugalah ia belajar banyak, yakni soal kedisiplinan waktu dan bagaimana ia harus bersikap ke para tamu saat tampil di muka.

“Kalau menari ada yang dipelajari di sekolah dan disanggar. Positifnya (menari) itu kita bisa mengatur waktu latihannya, termasuk disiplin. Saat menari kita juga diajarkan menghormati tamu yang kita perform di depannya,” tambahnya.

Bukan Ekspresi, Melainkan Karakter

Menarik benang merah pada dua tahun silam, tepatnya pada 2 Desember 2015, UNESCO menetapkan tiga genre tari tradisi di Bali sebagai Warisan Budaya Takbenda. Tiga genre tarian tersebut terdiri dari sembilan tari tradisional Bali, yakni Tari Rejang, Tari Sanghyang Dadari, Tari Baris Upacara, Tari Topeng Sidhakarya, Tari Sendratari Gambuh, Tari Sendratari Wayang Wong, Tari Legong Kraton, Tari Joged Bumbung dan Tari Barong Ket Kuntisraya.

Adapun di dalam Undang-undang Pemajuan Kebudayaan No. 5 Tahun 2017, seni menjadi salah satu dari sepuluh objek kebudayaan. Termasuk diantaranya kesenian tari Bali yang ditampilkan di Denpasar Festival beberapa waktu silam. Tarian tersebut bukan hanya sekadar kesenian belaka, tentunya merefleksikan jiwa dan identitas yang melekat pada masyarakat Bali.

Bali begitu kental dengan norma dan budaya nan mendarah daging pada masyarakatnya. Tari-tariannya menggema dan memikat. Hal tersebut seiring dengan kebiasaan menari yang sudah dipupuk sejak dini, yang diturunkan oleh para orang tua ke anak dan cucu mereka.

Demikian halnya jika berbicara lebih jauh mengenai sembilan tarian Bali yang diakui UNESCO. Hampir sebagian besar tarian yang ada di Bali berakar dari sembilan tarian tersebut. Dengan kata lain, mereka yang belajar menari dari tari-tarian tersebut tak sulit untuk mempelajari tarian Bali lainnya. Justru bagian yang paling sulit ialah bagaimana memunculkan karakter dari tarian itu sendiri. Si penari haruslah memiliki jam terbang tinggi untuk memunculkan emosi hingga keluar karakter yang diharapkan. Ini menjadi kunci yang tak boleh dilewatkan.

“Tarian sembilan ikon ini merupakan tarian dasar yang ada di Bali. Apalagi Tari legong dan Tari Baris itu tarian dasar, orang yang mau belajar tari Bali dasar gerakannya pasti dua tarian tersebut. Hanya saja yang banyak ditekankan ialah karakter dari tarian itu sendiri, bukan ekspresinya,” kali ini A.A Ketut Ngurah Astara, guru seni tari SMKN 5 Denpasar ikut ambil suara.

Selain merangkul anak-anak muda untuk merawat budaya, kolaborasi tari Bali yang diakui UNESCO juga memberikan makna tersendiri. Tari Barong misalnya, lanjut A.A Ketut, melambangkan perwujudan Sanghyang Tri Murti, yang diyakini masyarakat bali yang dapat melindungi mereka dari kerusakan.

Di sisi lain, Tari Baris Upacara yang memiliki 18 tari baris turunan ini cukup kaya makna. Ada tari baris yang menunjukkan akulturasi budaya, simbol kewibawaan seorang pemimpin, lambang dari dewa yang menyinari perjalanan Atma, hingga menjadi bagian penting dalam sebuah upacara.

Tak hanya itu, pria yang sudah bergelut dengan seni tari sejak kecil ini menyebut, pada dasarnya ada singgungan antara tarian bali dengan tari-tarian dari daerah lain di Indonesia. Sehingga tari-tarian yang ada di Bali tidak semata-mata lahir dari wilayah ini. Pengaruh budaya lain turut mempengaruhi bagaimana sebuah tarian akhirnya berkembang.

“Tari Rantak, Tari Saman, Tari Topeng dari Jawa juga ada akulturasi yang sama dengan tari bali,” ujarnya memberikan contoh.

Ia pun berharap generasi muda dapat mempertahankan budaya lokal. Toh rasanya, manusia perlu melihat seperti apa akar kehidupannya, yakni menjadikan seni dan budaya sebagai pijakan hidup mereka di masa mendatang.

“Jadi betul-betul pemuda itu memahami lewat seni dan budaya,” tukasnya penuh harap.