You are currently viewing Menimba Ilmu Sampai Ke Den Haag
Basoeki Abdullah saat usia 10 tahun sudah berpetualang sambil melukis di Pulau Bali.

Menimba Ilmu Sampai Ke Den Haag

Basoeki Abdullah bukanlah sosok orang yang terbilang pandai dalam mata pelajaran umum semasa sekolah. Namun siapa sangka, kemahiran dan ketekunannya dalam bidang seni lukis justru membawa Basoeki Abdullah terbang ke Belanda untuk melanjutkan studinya.

Bangsa Indonesia dijajah Pemerintah Kolonial Belanda ratusan tahun lamanya. Tugas pokok Pemerintah kolonial di lapangan pendidikan pada permulaan abad ke 20 adalah memberi pengajaran rendah kepada bangsa Indonesia sesuai dengan kebutuhannya. Akan tetapi hal ini tidak tercapai dengan susunan pengajaran yang ada karena Tweede Inlandsche School (Sekolah Bumi Putera Kelas Dua) merupakan lembaga yang mahal dan memerlukan anggaran belanja yang besar. Tweede Inlandsche School merupakan sekolah lanjutan yang pertama kali diperkenalkan di Indonesia. Ini adalah sekolah yang paling umum bagi golongan pribumi pada waktu itu. Sekolah semacam sekolah rakyat yang bertujuan mendidik pegawai rendahan dengan lama pendidikan empat tahun. Pelajaran yang diberikan antara lain membaca, melukis, berhitung, bahasa Melayu dan ilmu bumi tentang Pulau Jawa. Atas dasar itu, maka pada tahun 1907 Gubernur Jenderal Van Heutsz memerintahkan untuk mendirikan Sekolah Desa. Sekolah Desa tersebut tidak diselenggarakan oleh gubernemen, tetapi oleh desa. Guru-gurunya menjadi pengawal desa, jadi bukan pegawai pemerintah. Demikian juga semua biaya menjadi tanggung jawab desa. Sebetulnya sekolah ini didirikan hanya untuk memberantas buta huruf saja. Pendidikan dalam arti yang sesungguhnya tidak diberikan, kecuali membaca, menulis dan berhitung. Sedangkan lama berjalannya hanya tiga tahun.

Pada tahun 1907 itu juga Eerste Indlandische School (Sekolah Bumi Putera Kelas Satu) diberikan bahasa Belanda sebagai mata pelajaran dan diberikan sejak kelas II sampai kelas V. Setelah lama belajar di sekolahan ini setahun dijadikan enam tahun, bahasa Belanda dijadikan bahasa pengantar di kelas VI. Kemudian pada 1911 masa belajar menjadi tujuh tahun. Mulai tahun 1914 sekolah ini diubah menjadi Hollandsch Inlandsche School (HIS), dan menjadi bagian pengajaran rendah barat.

Sekolah tersebut adalah kunci pertama bagi sistem pendidikan Belanda yang memberi kemungkinan lebih besar bagi murid untuk melanjutkan pendidikan dan mempersiapkan diri memasuki sistem kolonial. Kecuali itu HIS memang dimaksudkan sebagai standenschool, sekolah yang berdasarkan status. Untuk menentukan status seseorang dalam masyarakat kolonial, pemerintah Hindia Belanda berpegang pada penghasilan. Berdasarkan perhitungan tertentu maka yang berpenghasilan di atas F. 1200, – setahun dianggap sebagai golongan yang mempunyai status cukup tinggi. Dalam dunia kepegawaian ini artinya berlaku bagi pangkat asisten wedana ke atas.

Berdasarkan ketentuan pemerintah (Stbld. 1914 No. 359) ada empat dasar penilaian yang memungkinkan orang tua, memasukkan anak-anaknya ke HIS. Keempat dasar penilaian itu adalah keturunan, jabatan, kekayaan dan pendidikan. Jadi seorang keturunan bangsawan tradisional mempunyai hak untuk sekolah di HIS, demikian juga orang yang mempunyai jabatan dalam pemerintahaan seperti wedana, asisten wedana, demang dan sebagaianya. Kecuali itu pendidikan yang pernah diterima si orang tua paling rendah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) atau yang setingkat dan penghasilan rata-rata F. 100, – sebulan mempunyai hak untuk memasukkan anaknya ke HIS.

Jejak langkah Basoeki Abdullah di bangku sekolah

Berdasarkan peraturan pemerintah (Stbld. 1914 No. 359) maka Basoeki Abdullah yang ayah angkatnya sebagai dokter, berpendidikan tinggi, kaya, dapat bersekolah di HIS. Itulah sebabnya Basoeki Abdullah berusia enam tahun oleh Dr. Sulaiman Mangunhusodo dimasukan ke HIS Katolik Solo. Di sekolah ini Basoeki Abdullah termasuk anak yang tidak menonjol dan pelajaran yang disukai adalah menggambar dan sejarah. Sedangkan untuk pelajaran berhitung, ilmu bumi, ilmu hayat merupakan pelajaran yang tidak disukai. Ia sulit untuk konsentrasi kalau diterangkan mata pelajaran tersebut. Akan tetapi kalau diterangkan sejarah dan menggambar Basoeki Abdullah antusias sekali. Basoeki Abdullah menyenangi mata pelajaran sejarah karena sejarah memberi semangat patriotisme pada dirinya.

Meskipun P. Diponegoro oleh Belanda dikatakan sebagai pemberontak tetapi Basoeki Abdullah menganggapnya sebagai seorang pahlawan yang ingin membebaskan bangsanya dari penjajahan Belanda. Dari mata pelajaran sejarah ini Basoeki Abdullah banyak memperoleh inspirasi dalam melukis tokoh-tokoh yang dianggapnya sebagai pahlawan. Itulah sebabnya ia mengagumi tokoh-tokoh seperti RM. Sosrokartono, Dr. Wahidin Sudirohusodo, Ir. Soekarno dan sebagainya. Akan tetapi kesenangan pada mata pelajaran sejarah tetap mengalahkan kesenangannya pada mata pelajaran menggambar.

Basoeki Abdullah di sekolah tidak serius dalam menerima pelajaran dari gurunya. Ia lebih suka menggambar, kalau gurunya melihat kearahnya maka kertas gambarnya dimasukkan ke dalam laci dan ia pura-pura memperhatikan penjelasan gurunya. Barangkali ia lebih mengutamakan waktunya untuk melatih diri dengan menggambar, sehingga pelajaran sekolah diabaikan. Pernah ada ulangan berhitung, Basoeki Abdullah tidak mengerjakan ulangan, melainkan menggambar wajah gurunya. Ketika perbuatannya ini diketahui gurunya, maka ia dimarahi dan disuruh keluar kelas. Gambar tersebut kemudian dibawa pulang oleh gurunya. Bagi Basoeki Abdullah menggambar bukanlah kesenangan lagi tetapi sudah menjadi kehidupannya. Ia mulai menggambar sejak bisa pegang pensil dan mulai umur tujuh tahun sudah melukis menggunakan cat. Peralatan cat tersebut diperoleh dari Ny. Alfia isteri Dr. Moh. Zein teman Dr. Sulaiman Mangunhusodo.

Pada waktu liburan panjang, Basoeki Abdullah pergi ke Bali tanpa bekal uang. Sesampainya di Surabaya ia berkenalan dengan seorang dokter Belanda dan ternyata dokter tersebut senang dengannya. Kemudian Basoeki Abdullah diajak ke rumah dan diperkenalkan dengan isterinya. Ia tertegun melihat isteri dokter itu demikian isteri dokter juga tertarik akan ketampanan dan kegagahan meskipun baru berusia 10 tahun.

Tahu kalau Basoeki Abdullah bisa melukis, kemudian oleh dokter itu Basoeki diminta melukis isterinya. Ternyata hasil lukisannya cukup bagus dan sebagai rasa terima kasihnya ia diberi uang. Kepandaian Basoeki Abdullah melukis terdengar teman-teman dokter itu. Mereka juga minta untuk dilukis dan memberinya uang. Dengan bekal uang hasil melukis itu Basoeki Abdullah meneruskan perjalanannya ke Bali.

Meskipun Basoeki Abdullah boleh dikatakan tidak pernah belajar tetapi berhasil menyelesaikan pendidikan rendahnya di HIS tepat pada waktunya. Pada tahun 1928 ia dinyatakan lulus meskipun nilainya tidak begitu bagus. Setelah lulus dari HIS, Dr. Sulaiman Mangunhusodo berkeinginan agar Basoeki Abdullah meneruskan ke MULO. Perlu diketahui bahwa MULO merupakan kelanjutan dari HIS. Sebenarnya sejak tahun 1903 di beberapa sekolah rendah Belanda dibuka kursus MULO, yang memberi pengajaran lanjutan. Lama belajarnya mula mula diterapkan dua tahun kemudian diubah menjadi tiga tahun. Kursus ini sebagai lanjutan dari sekolah rendah Belanda dan hanya boleh dikunjungi oleh anak-anak Belanda saja. Setelah kursus itu pada tahun 1914 diubah menjadi sekolah MULO, maka sekolah tersebut berdiri sendiri lepas dari sekolah rendah Belanda. Reorganisasi ini mengakibatkan dua perubahan penting yaitu :

Kalau semula pengajaran ini khusus untuk anak-anak Belanda saja, kemudian juga terbuka bagi anak-anak Indonesia yang telah menamatkan HIS.

Kursus MULO hanya merupakan lanjutan dari sekolah rendah Belanda. Kemudian MULO diubah dan ada dua tujuannya ialah : a). Menjadi onderbouw (tingkat bawah) dari sekolah-sekolah kejuruan menengah; b). Juga onderbouw menjadi dari pengajaran menengah.

Di atas telah disebutkan bahwa setelah Basoeki Abdullah lulus HIS, ayah angkatnya menginginkan agar ia meneruskan ke MULO. Pada tahun 1928 itu juga Basoeki Abdullah mendaftarkan ke MULO Katolik Solo dan diterima. Di sekolah yang baru ini ia menghadapi suasana dan lingkungan yang baru. Meskipun demikian tetap bergembira sebab pandai bergaul dan mudah menyesuaikan diri dengan tempat yang baru. Seperti waktu belajar di HIS, di MULO pun Basoeki Abdullah termasuk anak yang tidak begitu pandai. Nilai mata pelajaran yang paling bagus hanya menggambar dan sejarah sedangkan mata pelajaran yang lain kurang.

Awal mula kepindahan Basoeki Abdullah ke Belanda

Basoeki Abdullah belajar di MULO Katolik Solo hanya satu tahun karena pada tahun 1929 ia pindah ke Yogyakarta mengikuti pamannya yang bertugas di Yogyakarta. Di kota ini ia sekolah di MULO Katolik dan mengulang kelas I lagi. Oleh karena pernah tidak naik kelas maka ia baru lulus tahun 1932. Setelah berhasil menyelesaikan studinya di MULO, rasa khawatir mulai muncul untuk menghadapi masa depannya. Hal ini disebabkan ia menyadari bahwa studinya di MULO tidak lancar. Untuk menenangkan rasa khawatirnya itu pada suatu malam ia bersepeda merk Simplex menuju pantai Parangtritis. Di pantai Parangtritis ia berdoa memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberikan pengarahan hidup yang jelas. Basoeki Abdullah berdoa cukup lama dan baru mengakhiri berdoa setelah mendengar suara dari kejauhan. Suara itu memberi tahu sebaiknya ia segera pulang karena di rumah sesuatu yang jelas menunggu. Menjelang fajar ia sudah sampai di rumah dan begitu masuk rumah sebuah surat tergeletak di mejanya. Adapun isi surat itu bahwa Basoeki Abdullah agar menyiapkan mantel tenal sebab keberangkatannya ke negeri Belanda segera direalisasi. Keberangkatan Basoeki Abdullah ke negeri Belanda ini disponsori oleh Cathalic Mission. Gurunya tahu bahwa Basoeki Abdullah mempunyai bakat dalam bidang seni lukis. Atas dasar itu bakat yang dimilikinya perlu dikembangkan melalui pendidikan secara akademis. Ini semua bisa berjalan mulus berkat bantuan dari Pastor Koch, Sy. yang pernah berjanji akan mengusahakan agar Basoeki Abdullah bisa belajar di negeri Belanda.

Pada tahun 1933 Basoeki Abdullah bertolak ke negeri Belanda. Di negeri Belanda ini ia langsung menempuh pendidikan di Koninklijke Academie Van Beeldenden Kunsten Den Haag. Di bawah asuhan dan bimbingan Hogewaard, Meyer dan Dr. Ir. Platinga, Basoeki Abdullah berhasil menjadi pelukis yang handal. Dr. Ir. Platinga pada saat itu menjabat sebagai Directur Koninklijke Academie Van Beeldenden Kunsten, sangat memperhatikan Basoeki Abdullah karena mempunyai bakat melukis yang luar biasa. Bahkan Dr. Ir. Platinga ikut mempromosikan kepandaian Basoeki Abdullah sebagai pelukis.

Di Den Haag Basoeki Abdullah mulai menemukan jati dirinya. Kesenangan melukis ternyata menjadi suatu yang memberikan harapan terang bagi kehidupannya. Namun harapan itu harus diwujudkan melalui studi yang terus-menerus. Pendidikan formal di Koninklijke Academie Van Beeldenden Kunsten baginya merupakan sesuatu yang sangat menekan. Hal ini disebabkan ketika di Indonesia Basoeki Abdullah dalam hal studi sangat santai dan menurut kemauannya sendiri. Padahal di akademi ini peraturannya sangat ketat dan disiplin. Keadaan semacam ini mendorong Basoeki Abdullah harus merubah sikap dan bekerja keras untuk menyesuaikan lingkungan di mana dia berada.

Lama pendidikan di Koninklijke Academie Van Beeldenden Kunsten ini seharusnya selama lima tahun, tetapi Basoeki Abdullah bisa menyelesaikan dalam waktu singkat. Pada tahun 1935 ia berhasil menyelesaikan studainya dan menyandang gelar Royal Academie. Betapa lega hati Basoeki Abdullah tiada dapat digambarkan dengan kata-kata. Ia berhasil membuktikan bahwa orang Indonesia tidak kalah dengan orang Belanda yang merasa lebih tinggi derajatnya.

Setelah berhasil menyandang gelar Royal Academie Basoeki Abdullah masih ingin belajar lagi tentang seni lukis. Untuk itu ia belajar di Academy of Fine Arts baik di Roma maupun Paris. Di sini ia sebagai mahasiswa tamu atau pendengar saja. Bagi Basoeki Abdullah ijazah dirasa tidak perlu, yang dipentingkan adalah ilmunya. Hal ini disebabkan masyarakat dunia sudah mengakuinya sebagai pelukis yang berbakat.