You are currently viewing Mengungkap Arti Pentingnya Mitos Bagi Sang Maestro Lukis Indonesia
Moderator sedang mengenalkan narasumber-narasumber yang hadir dalam kegiatan seminar tersebut.

Mengungkap Arti Pentingnya Mitos Bagi Sang Maestro Lukis Indonesia

Mitos bukanlah hanya sebuah tema yang diakrabi oleh Basoeki Abdullah. Mitos pun menjadi bagian hidupnya, dengan segala kisah yang mengelilinginya.

Semasa hidupnya, maestro seni lukis Basoeki Abdullah (1915-1993), memilih menjadi manusia (seniman) istimewa. Ia tidak memilih menjadi  seniman biasa. Oleh karena istimewa, maka pelukis darah biru asal Solo ini dalam memilih pergaulan (sebagai investasi, strategi, dan pasar bagi olah kreatifnya) juga istimewa.  Misalnya ia lebih suka bergaul dengan para presiden dan keluarga, para perdana menteri dan keluarga, para raja dan keluarga, para pengusaha top, sampai kalangan bintang film Eropa.

Barbeda jika dibandingkan dengan kawan-kawan maupun lawannya, seperti misalnya, S.Sudjojono, Affandi, Hendra Gunawan, dan  pelukis-pelukis Indonesia lainnya. Baik pada jamannya, maupun sesudahnya.

Hal itu terkait dengan kesadaran dan upayanya “mem-branding” diri, sebagai pelukis istimewa, di/dari Indonesia, dengan reputasi internasional. Seniman istimewa ini  selalu berpenampilan rapi jali dan wangi, memakai stelan jas atau safari dilengkapi baret, kacamata, jam rolex dan sepatu mengkilat. Kontras dengan seniman-seniman lain pada umumnya : cukup pakai kaos oblong, sarung, atau jins. Paling mewah pakai batik, dengan minyak “keringat”.

Setelah wafat pun, ia tetap istimewa. Bagaimana tidak, almarhum sebagai  seniman pribumi Indonesia, yang dibuatkan museum khusus oleh Pemerintah RI. Museum Basoeki Abdullah tersebut,  dipelihara dengan uang rakyat Indonesia. Sementara Raden Saleh, S.Sudjojono, Affandi, yang juga istimewa, misalnya, tidak dibuatkan museum oleh pemerintah.  Sudjojono dan Affandi, berusaha membuat sendiri, dan hanya sedikit mendapat bantuan pemerintah. Padahal mutu karya, pemikiran, dan pengaruh Raden Saleh, Sudjoyono dan Affandi, tidak kalah dibanding Basoeki Abdullah.

Sebagai “penyambung hidup” Basoeki Abdullah lengkap dengan brandednya, maka sudah seharusnya Museum Basoeki Abdullah “istimewa” juga. Laras dengan branded Basoeki Abdullah. Dalam arti, istimewa dalam pilihan program, istimewa dalam penyajian, istimewa dalam mengkomunikasikan kepada publik yang istimewa. Bukan publik yang biasa. Tutur Bapak Yusuf Susilo.

Berbeda dengan Bapak Yusuf Susilo yang berbicara tentang ketokohan Maestro Basoeki Abdullah. Pembicara selanjutnya, Bapak Rizki A. Zaelani lebih fokus kepada lukisan Gatotkaca dan Antasena karya Basoeki Abdullah.

Menurutnya, cara Basoeki Abdullah menggambarkan kisah Gatotkaca dan Antasena ini tentu saja berkaitan dengan hasil lukisan-lukisan Basoeki Abdullah yang lainnya. Sebagian pihak memahami lukisan-lukisan itu sebagai karya naturalisme, sebagian lain bahkan menyebutnya sebagai karya ‘realisme’, dan khusus mengenai kedua karya ini juga ditambahkan dugaan sebagai karya dengan corak kecenderungan ‘ekspresionisme’. Memang, tak umum orang mengenal bahwa lukisan-lukisan Basoeki Abdullah adalah karya-karya yang terpengaruh oleh gerakan seni Romantisisme Eropa, sebagaimana juga tokoh pelukis Raden Saleh mendapatkan pengaruh darinya.

Di paruh kedua abad ke-19, Romantisisme menjadi gerakan seni yang mempengaruhi perkembangan seni rupa Eropa bahkan bisa sebut sebagai perkembangan seni rupa Barat yang paling internasional pada masanya—dibandingkan seni di era Renesans yang terbatas di Italia atau seni Barok dan Rococo yang berkembang terbatas di sekat-sekat kerajaan di Eropa. Gerakan Romantisisme menjadi besar dan meluas hampir ke seluruh dunia karena berkembang mengikuti gerakan imperialisme dan kolonialisme Eropa (khususnya Perancis dan Inggris) di berbagai wilayah jajahan di Asia dan Afrika. Ciri yang menonjol dari ekspresi Romantisisme adalah pertimbangan penting serta utama terhadap karakter emosi khusus dalam cara pemakaian warna. Gerakan ini dianggap sebagai manifetasi ‘kelahiran kembali’ semangat seni di zaman pertengahan yang berorintasi pada nilai-nilai ideal, bersifat emosional serta juga mistis —bedanya Romantisisme tak lagi membicarakan Tuhan sebagaimana terjadi di abad pertengahan tetapi tentang keutamaan manusia.

Perkembangan Romantisisme di Eropa berlangsung dalam suasana perubahan sosial budaya yang kini membentuk apa yang kita sebut sebagai negara-bangsa modern. Lahirnya gagasan politik Nasionalisme, kebangkitan era industri, serta kebangkitan ekonomi kapitalisme menjadi aganda perubahan utama yang terjadi di abad ke-19. Terdapat ciri-ciri penting dalam gerakan Romantisisme, berkaitan dengan subject matter dan tema karya lukisan yang dihasilkannya, yaitu: tema tentang nasionalisme (khususnya di Perancis bersamaan dengan peristiwa Revolusi Perancis), tema ‘kembali ke alam’ (khuususnya di Inggris bersamaan dengan peristiwa Revolusi Industri) serta tema ‘eksotisme’ (khususnya di Perancis berkaitan dengan perkenalan imperialisme Perancis pada budaya-budaya asing (Islam) di Afrika Utara).

Kita bisa mencermati hadirnya dengan jelas ketiga tema tersebut —’nasionalisme’, ‘kembali ke alam’, serta ‘eksotisme’— pada lukisan-lukisan Basoeki Abdulah. Tentang karya-karya yang mengisahkan pertemuan Gatotkaca dan Antasena, kita bisa bandingkan dengan karya yang dikerjakan pelukis Romantik Perancis Theodore Gericault (lihat gbr III) dan pelukis Romantik Inggris J.M.W Turner (lihat gambar IV). Sosok wanita yang jadi poros penting dalam prose penciptaan lukisan-lukisan Basuki Abdullah memang lebih dekat dengan kegemaran para seniman Romantik khususnya di Perancis yang sering menggambarkan para wanita eksotik di Afrika —bedanya, para seniman Perancis melukis wajah kebudayaan Islam yang bercampur dengan kebudayaan lokal di Afrika; sedangkan Basoeki Abdulah mengangkat tema-tema dari kisah pewayangan.

Namun menggambarkan sosok wanita memang bukan hanya milik gerakan Romantisisme namun telah terjadi sejak masa sebelumnya bahkan menjadi kecenderungan umum perkembangan seni lukis Barat sejak masa Renesans. Tema tentang wanita ini secara khusus dipraktekkan secara meluas di era seni Barok dan Rococco (abad ke-17 dan ke-18) yang akrab dengan tema penggambaran tentang kegemilangan kaum aristokat dan masyarakat kaya.