You are currently viewing BAYANG-BAYANG BASOEKI ABDULLAH

BAYANG-BAYANG BASOEKI ABDULLAH

PENGANTAR KURATORIAL

OLEH YUSUF SUSILO HARTONO

           

Basoeki Abdullah memang sudah lama meninggal, tapi karya dan citranya sampai sekarang masih hidup. Bahkan oleh Museum Basoeki Abdullah akan terus dihidup-hidupkan seiring generasi terus berganti. Maka karya-karyanya itu benda dan citranya adalah cahaya, sedangkan bayang-bayangnya  antara lain adalah ratusan perupa Indonesia alumni  peserta kompetisi dan pameran “Basoeki Abdullah Art Award (BAAA)”  hingga mereka yang simpati. seperti kata Leo Tolstoy, “Semua keindahan hidup terdiri dari cahaya dan bayangan.”

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pelukis Basoeki Abdullah (Solo 1915-Jakarta 1993) semasa hidupnya paling perlente dibanding para pelukis sezaman. Silih berganti mengenakan setelan safari (putih, merah, dll), dengan baret hitam, sepatu mengkilap, jam tangan rolex, dengan minyak wangi berkelas. Lebih banyak bergaul dengan para raja/ratu, presiden, diplomat, artis, penguasaha, dll., dari berbagai negara di dunia.

Malang tak bisa dihindari, cucu pahlawan nasional Dr. Wahidin Sudirohusodo ini terbunuh secara tragis di kamar tidurnya, 5 November 1993 oleh perampok  yang bekerjasama dengan dua tukang kebunnya.  Seandainya jejak-jejak kaki perampok yang merayap di dinding rumah di Jl. Raya Keuangan -Jakarta Selatan, itu tidak dihapus, maka pengunjung Museum Basoeki Abdullah hari ini bisa mendapatkan drama “imajinatif” di TKP. Selain tempat tidur yang sampai saat ini “dilestarikan”. Pengalaman saya meliput peristiwa tragis itu, baik di TKP maupun di RS Cipto Mangunkusumo, membayang sampai sekarang. Maklum kami saling mengenal dengan baik.

Sepertinya Pak Bas sudah mempunyai firasat sebelumnya. Dari semua karya lukisan (termasuk sketsa) dan koleksi benda seninya, 1/3 diantaranya beserta rumah, sudah dihibahkan kepada pemerintah Republik Indonesia. Melalui sepucuk surat wasiat yang ditulis sebelum menghadap Tuhan. Presiden Soeharto (sabahat almarhum) bersama menteri-menteri  terkait pada waktu itu merespon dengan seksama. Tak pernah dibayangkan sebelumnya Presiden Soeharto bersama Orde Baru jatuh di tangan reformasi tahun 1998. Namun demikian wasiat Pak Bas terus dilanjutkan oleh pemerintahan berikutnya, dengan berbagai dinamikanya.

Walhasil Museum Basoeki Abdullah,  berdiri 25 September 2001.  Sampai sekarang berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sehingga karya-karya almarhum  bersama kegiatan penunjangnya bisa diapresiasi dan dijadikan objek penelitian bagi para pelajar, mahasiswa, guru, dosen, wartawan, peneliti, kolektor, galeri, hingga pecinta seni (turis) dari dalam hingga manca negara.

Upaya Pak Bas menghibahkan karya-karya dan rumahnya sebagai museum, merupakan tindakan futuristik, bagi eksistensinya pasca-“salin sandangan” (baca meninggal dunia). Dibanding dua “karibnya” Affandi dan S Sudjojono, yang dikelola keluarga sendiri, brand Basoeki Abdullah, relatif lebih terpelihara secara terprogram dan berkelanjutan.  

Inspirasi dan Program

Karya-karya warisannya itulah, bersama pemikiran, semangat dan sejarah hidupnya, secara berkesinambungan telah digali dan  dijadikan inspirasi maupun program kegiatan bagi Museum Basoeki Abdullah selama 20 tahun . Di bawah kepemimpinan Joko Madsono, yang dilanjutkan Maeva Salmah sekarang. Meski keduanya  tak sempat mengenal langsung Pak Bas, apalagi para staf yang lebih muda, karena beda generasi, kecintaan dan rasa memiliki mereka pada Pak Bas sangat tinggi.

Dari sekian banyak kegiatan Museum Basoeki Abdullah, salah satunya yang akrab dengan memori kolektif masyarakat, terutama kaum muda, adalah Kompetisi dan Pameran “Basoeki Abdullah Art Award (BAAA)”. Kompetisi berkala tiga tahunan tersebut bersifat edukatif dan apresiatif. Rasanya, sebagai wahana (re)branding Pak Bas bersama Museum Basoeki Abdullah secara berkesinambungan, sejak 2013, sangat efektif. Sampai sekarang kegitan tersebut telah berlangsung tiga kali. Pesertanya kalau di total  hampir seribu orang perupa muda dari berbagai pelosok tanah air. Baik perupa akademis maupun otodidak, lelaki maupun perempuan, beragam latar agama dan suku.

BAAA I/2013 mengambil tema “Semangat Indonesiaku tetap Molek”. BAAA II/2016 bertema “Ekologi Maya ke Ruang Alam”, dan BAAA III/2019 bertema “Re-Mitologi”: Kebangsaan, Ketubuhan dan Lingkungan. Tema-tema tersebut bersumber pada sisi-sisi tematik karya Basoeki Abdullah yang kesohor dengan pelukis realisme romantik, ada pula yang menyebut pelukis realis naturalis. Terlepas dari perbedaan itu, bahwa kemolekan (terutama perempuan), alam / pemandangan, dan mitologi (Jawa dan pewayangan) adalah sisi-sisi penting dari “keberlianan” sang maestro, yang “cahayanya” menimbulkan bayangan panjang baik dari jangkauan waktu, lintasan wilayah hingga generasi.

Sepanjang yang saya tahu, sejak awal pihak museum dan tim juri, tidak menggiring para peserta kompetisi menjadi epigon Basoeki Abdullah.  Lalu? Masyarakat (peserta) hanya diajak,  memasuki citra dan bayangan Basoeki Abdullah ( karya-karya yang terkait pilihan tema, dan narasi di baliknya, baik secara intrinsik dan ekstrisik)  kemudian dibebebaskan keluar untuk menciptakan karya baru, baik secara ide, teknik, pilihan medium, dan lain-lain dalam konteks sekarang.

Walhasil, BAAA I/2013, kemolekan baru tampil beragam, meski masih terikat lukisan  dimensional. Mulai dari kemolehan tubuh, kemolekan tradisi, hingga kemolekan destinasi wisata Indonesia. Dengan ungkapan visualnya, jauh dari “mooi indie” Pak Bas.

BAAA II/2016, meski masih di dominasi lukisan dua dimensional, tapi dari 10 karya pemenang menunjukkan mindset yang berbeda. Jika Pak Bas memandang alam sebagai objek yang natural, bahkan diperelok lebih indah dari warna aslinya, maka generasi sekarang, menggambarkan alam yang   sedang menghadapi perubahan, ancaman, termasuk bencana.

BAAA III/2019, tak lagi terbatas lukisan dua dimensional, melainkan mediumnya bervariasi dua hingga tiga dimensional, mulai dari lukisan, fotografi, patung, patung hingga instalasi (kontemporer). Mitologi tradisional (Jawa) yang ditekuni Pak Bas seperti dalam lukisan yang penjaga  Laut Selatan Nyai Roro Kidul yang kemudian menjadi ikon kemaestroannya, oleh generasi sekarang “dikoprek” .  Menjadi mitologi kontemporer, setelah melakukan re-mitologi kebangsaan, ketubuhan dan lingkungan, seiring dengan perkembangan sain, teknologi dan globalisasi.

Cahaya dan Bayang-bayang

Karya-karya pemenang kompetisi I-III, untuk pertama kalinya bisa dilihat secara serentak oleh publik baik secara luring maupun daring di era pandemi korona, dalam pameran di Museum Basoeki Abdullah kali ini, yang bertajuk “Bayang-bayang Basoeki Abdullah.”  Jika lazimnya sebuah bayangan selalu hitam, dan tunduk pada sumber cahaya yang menyinari benda-benda (baca Basoeki Abdullah), maka bayangan (baca generasi perupa muda dan karyanya  dalam kompetisi ini) di sini justru tampil dengan jatidirinya masing-masing.

Di sanalah menariknya hubungan   antara Basoeki Abdullah dan perupa peserta pameran ini dan pada umumnya peserta BAAA; antara ” sumber cahaya sekaligus benda” dengan “bayangan atau bayang-bayangnya”. Dari bayangan dan bayang-bayang tersebut kita melihat banyak potensi yang bakal mencaji cahaya kelak. Soal lebih besar atau lebih kecil mana daripada Basoeki Abdullah, waktu yang akan membuktikan.

Jika sastrawan Rusia Leo Tolstoy berpandangan bahwa semua keindahan hidup terdiri dari cahaya dan bayangan, bagi penyair sufi Persia Jalaludin Rumi, cahaya dan bayangan adalah tarian cinta. Sedangkan secara transendental bagi  Michaelangelo,  pelukis, pemahat, arsitek dan pujangga zaman Renaissance , karya seni yang sebenarnya hanyalah bayangan dari kesempurnaan Illahi. Bagaimana menurut Anda?                                                                                                      Ramadhan – Pandemi, 2021

Kujungi secara daring di : www.museumbasoekiabdullah.id