You are currently viewing BASOEKI ABDULLAH, PERKEMBANGAN SENI LUKIS POTRET DI INDONESIA, DAN PERUPA GENERASI MILENIAL
Lukisan "selfie" Basoeki Abduaal

BASOEKI ABDULLAH, PERKEMBANGAN SENI LUKIS POTRET DI INDONESIA, DAN PERUPA GENERASI MILENIAL

  • Post author:
  • Post category:Berita

“Suatu ketika saya membuat sketsa lukisan potret seorang tokoh politik muda yang sangat popular dan melek teknologi informasi. Tokoh ini sangat rajin pula memposting aktivitasnya berikut pendapat-pendapatnya atas suatu hal di Media Sosial Instagram (IG), saat ini dia punya 8,9 juta folowers. Saya pun memposting sketsa tersebut di wall IG saya, dan di-like oleh kurang lebih 500 orang. Lalu pada sketsa tersebut saya tag sang tokoh. Tanpa diduga dia senang sekali, dan me-repost-nya sambil diberi komentar, “ini lukisan saya karya kang Anu. Keren, ya?” tulisnya. Yang terjadi kemudian, lukisan saya yang di-repost tersebut di-like sebanyak kurang lebih 32 ribu orang. Tidak hanya berhenti sampai di situ, dari sejak saat itu sampai beberapa bulan sesudahnya, saya banyak sekali menerima pesanan sketsa lukisan potret wajah, jumlah rata-rata yang memesan hampir dua orang setiap hari”.

Tulisan di atas adalah cuplikan sebuah dialog dengan seorang seniman muda yang aktif di Media sosial. Sebuah generasi perupa muda yang cara kerjanya tidak pernah dibayangkan sebelumnya di tahun 90-an di akhir masa hidup maestro seni lukis potret Indonesia Basoeki Abdullah.

Sebuah cara kerja dan strategi yang sama sekali baru untuk membentuk jaringan agar eksis di dunia seni rupa, dan kemunculan internet beserta media sosial sebagai turunannya membuka berbagai medan kemunginan yang sangat luas dan tidak bertepi untuk selalu dieksplorasi. Di mana pada masa Basoeki Abdullah jaringan terhubung oleh aspek, bakat dan kemampuannya melukis, darah ningrat (bangsawan) yang mengalir dalam dirinya  (sebagai cucu Dr. Wahidin Sudirohusodo), pendidikannya di negeri Belanda (Koninklijke Van Beeldenden Kunsten) yang pada masa itu sangat sulit dijangkau oleh kaum Bumiputra, serta prestasinya menjadi juara lomba melukis potret Penobatan Ratu Juliana, memuluskannya untuk memudahkan bergaul dengan kalangan lingkungan “elit” penguasa saat itu, terutama hubungan kedekatannya dengan Soekarno yang memang setali tiga uang (di mana kita ketahui bagaimana selera seni dan kegilaan Persiden RI yang pertama tersebut terhadap seni lukis). Tidak hanya di dalam negeri, di luar negeri pun Basoeki Abdullah dikenal sebagai pelukis yang dikenal berpindah-pindah dari satu Istana ke Istana lainnya, sudah tidak terhitung banyaknya para tokoh baik nasional maupun dunia, serta para pemimpin Negara di dunia yang wajahnya diabadikannya di atas kanvasnya.

Atau dengan kata lain, selain bakat dan kemampuan, hanya orang-orang istimewa saja yang bisa mengakses pihak penguasa atau pihak yang punya hegemoni, itu pun harus kenal dan dekat “secara fisik” agar bisa eksis, karena sumber uang dan fasilitas ada di wilayah itu. Atau tidak bisa dihindari, bahwa di masa lalu feodalisme melekat erat di wilayah seni rupa. Karena memang dari awal dalam sejarahnya Seni lukis potret memang lahir dan tumbuh dari istana-istana di Eropa didukung oleh para penguasa, raja, atau para bangsawan sebagai patron utamanya yang ingin wajahnya diabadikan di atas kanvas.

Walaupun setelah ditemukannya teknologi fotografi yang membuat proses pengabadian wajah atau fenomena alam menjadi lebih mudah dan jauh lebih murah serta menjangkau masyarakat kebanyakan, namun seni lukis potret tetap menempati posisi yang istimewa di mata manusia. Bukannya mengambil peran seni lukis potret, tapi justru teknologi fotografi malah semakin memperteguh dan mensosialisasikan posisi lukisan (potret) itu sendiri di kalangan masyarakat kebanyakan, terutama setelah adanya kolaborasi antara fotografi dengan percetakan melalui pendokumentasian dan penyebaran informasi mengenai lukisan lukisan lewat buku-buku. Sehingga lukisan yang tadinya hanya milik para penguasa dan bangsawan, secara perlahan mulai masuk ke kalangan masyarakat bawah.

Di tanah air sendiri, hal ini seiring pula dengan kemunculan sanggar dan perguruan tinggi seni rupa pada masa revolusi dan pasca kemerdekaan, yang mana pada umumnya di kampus kampus seni rupa (terutama di jurusan seni lukis) ada mata kuliah Seni Lukis Potret wajah.

Karena Basoeki Abdullah sendiri lingkup pergaulannya hanya di kalangan elit saja, dan tidak bersentuhan langsung dengan masyarakat bawah, sehingga bisa dikatakan tidak menularkan ilmunya untuk mendidik masyarakat mengenai seni lukis. Walau pun konon dalam satu kesempatan pernah mengajar di ruang perkuliahan, itu pun tidak berlangsung lama. Para seniman pemujanya rata-rata belajar dari berbagai buku, poster, katalog pamerannya saja.

Dari kaum yang terdidik secara sanggar dan akademis ini pula banyak memunculkan seniman seniman yang mempunyai kemampuan mumpuni dalam seni lukis realis dan juga seni lukis potret wajah. Namun tetap tidak ada yang bisa menyamai jaringan dan kebesaran Basoeki Abdullah dalam hal seni lukis potret wajah, di sisi lain paradigma yang berkembang pada kaum akademisi ini terbentuk semacam kitik dan anggapan yang menyatakan bahwa seni lukis potret wajah merupakan seni pesanan yang tidak sesuai idealisme si senimannya, atau hanya berperan untuk memenuhi selera si pemesannya saja. Pendapat ini tentu sah-sah saja, tapi tidak dengan Basoeki Abdullah yang tetap bertahan dan kukuh dengan pendiriannya untuk menekuni hal tersebut.

Di wilayah lain muncul pula kaum otodidak yang tumbuh di jalanan di kota-kota besar di tanah air yang mewadahi kehausan masyarakat untuk bisa dilukis dengan harga yang terjangkau, dengan teknik yang dipelajari melalui buku-buku atau pun mereka raba dan pelajari sendiri melalui prektek langsung, atau saling menularkan ilmunya dari satu kepada yang lainnya. Para perupa ini rata-rata hidup mandiri dan tidak punya akses kepada kekuasaan. Bisa dikatakan bahwa para pelukis jalanan ini justru yang memiliki peran dan andil yang besar dalam memasyarakatkan seni lukis potret ini menjadi membumi.

Namun demikian, pada periode sebelum era digital muncul, pengaruh gaya melukis Basoeki Abdullah yang ekspresif, dramatis, dan bermandikan cahaya, serta warna menular pada banyak seniman dengan berbagai bidang profesi, produknya bisa dilihat dalam berbagai hal, mulai dari spanduk film, poster bioskop, cover buku, cover komik, hingga ilustrasi cerpen di majalah.

Basoeki Abdullah adalah pelukis yang sulit dicari tandingannya pada masanya, peran dan posisinya dalam Sejarah Seni Lukis Indonesia, terutama dalam seni lukis potret sampai saat ini sangat sulit ada yang menyamainya. Beberapa julukan melekat pada dirinya, sebagai seperti “Duta Seni Lukis Indonesia, Mr. twenty minutes, Pelukis Istana, sampai dijuluki sebagai pelukis naturalis yang kemampuan melukis objeknya lebih cantik dari aslinya”.

Seni lukis Potret pada hakekatnya tercipta untuk memenuhi hasrat narsis manusia yang mencintai keindahan tubuhnya untuk diabadikan, karena kesadaran bahwa tubuh itu bersifat fana, menua, akan lapuk,  atau tidak abadi, dan Basoeki Abdullah sangat memahami hal ini, dan dalam sebuah kesempatan pernah berujar, “manusia berkaca dan mengharapkan lebih dari yang ia lihat sendiri…,” lebih lanjut dikatakan pula bahwa “…manusia memang cenderung ingin lahir kedua kali dengan kualitas yang lebih tinggi” (Suratmin et al., 2012: 60). Maka bisa dimengerti alasannya, kenapa Basoeki Abullah selalu melukis objek-objeknya lebih cantik, lebih tampan, atau lebih gagah dari aslinya, dan menempatkannya pada posisi istimewa sebagai pelukis potret yang mumpuni di tanah air ini, dan memang karya seni lukis Basoeki Abdullah secara kasat mata begitu mudah menyihir atau memanjakan mata orang yang melihatnya.

Secara umum lukisan-lukisan Basoeki Abdullah bisa dicirikan sebagai berikut

  1. pengaturan komposisi yang dinamis namun tetap terjaga keseimbangannya, fokus dan mempunyai perhatian yang sangat serius terhadap tata cahaya atau bisa dikatakan hampir mayoritas lukisan-lukisan Basoeki Abdullah adalah menggunakan tata cahaya berupa efek kemunculan matahari di pagi hari, atau selalu menghindari tingkat kontras yang tinggi seperti cahaya pada siang hari
  2. goresannya spontan namun sangat terkendali, penguasaan atas pengaturan gelap dan terang yang terukur
  3. penggunaan warna yang berlimpah namun sangat menguasai komposisi dan harmonisasi, sudut pandang pengambilan gambar yang selalu ideal
  4. merupakan kombinasi antara pengamatan venomena visual yang ada di alam, pengaturan tata cahaya fotografi di dalam studio sehingga tercipta efek romantic, dramatisasi, dan idealisasi dari perupanya (Basoeki Abdullah)
  5. pada seni lukis potretnya terlihat bahwa Basoeki Abdullah juga mempunyai kemampuan untuk menangkap esensi atau karakter wajah dari orang-orang yang dilukisnya, sehingga walaupun diotak-atik (dibuat lebih cantik, lebih tampan, atau lebih gagah) tetap menunjukkan ciri khas dari objeknya tersebut
  6. selain mumpuni sebagai pelukis yang memindahkan wajah objek ke atas kanvas, Basoeki Abdullah juga merupakan seorang penata gaya yang handal, karena pada setiap lukisan potret yang dibuatnya, gesture objeknya selalu tampil dengan mempesona, atau dengan kata lain Basoeki Abdullah mampu mengambil sudut mana yang paling menarik dari seseorang untuk dilukis
  7. walau pun di satu sisi ada bagian-bagian lukisan yang diolah dengan prima, difokuskan, dibuat lebih cantik, lebih tampan atau lebih gagah, di sisi lain Basoeki Abdulah juga sering meninggalkan jejak bagian bagian tertentu dalam karyanya yang “sengaja” dibiarkan tidak selesai atau masih berupa goresan kasar (seperti yang terlihat pada gambar 2.) dan hal ini seringkali menimbulkan efek penasaraan secara estetis bagi orang yang melihat karyanya
  8. mempunyai karakter yang kuat, sehingga secara sekilas lalu orang akan langsung mengenali bahwa itu adalah lukisan Basoeki Abdullah
  9. secara umum mayoritas karyanya dikerjakan dengan menggunakan cat minyak di atas kanvas, atau jarang sekali melukis dengan cat air atau menggunakan pensil.

Saat ini di tanah air dan di belahan dunia lainnya, lahir dan tumbuh generasi perupa yang dibesarkan oleh internet serta media sosial, mereka merupakan produk Generasi 4.0 atau generasi milenial yang mempunyai ciri-ciri:

  1. sangat sadar internet atau media sosial; tidak terpusat hanya di kota-kota besar tapi tersebar tanpa sekat wilayah
  2. senioritas junioritas menjadi cair, bahkan bisa berhubungan langsung dengan para perupa dunia yang dulu sangat sulit di jangkau, bahkan hanya dalam angan saja
  3. siapa yang mempunyai karya yang super detail akan menjadi bintang di dunia maya (jangan persoalkan mengenai konsep di sini)
  4. mempunyai akses informasi dan jaringan tanpa batas baik ke sesama perupa maupun ke pihak pihak yang mempunyai kekuasaan dan modal
  5. kreatifitas dan strategi bermedsos adalah modal utama supaya bisa eksis
  6. mengidolakan seniman hyperrealis dunia
  7. dipermudah dengan sistim teknologi informasi dalam metode pembayaran perbankan
  8. pelakunya lebih beragam, mulai dari anak SMA sampai dengan seniman yang sudah sangat senior
  9. banyak yang dibesarkan melalui diskusi grup di dunia maya
  10. Sumber belajarnya adalah media Sosial, Grup di Media Sosial, Google, Youtube, dan kursus online
  11. Jaringan kerja terhubung antara satu media internet ke media internet lainnya, dari media sosial ke media sosial lainnya, mulai dari website, FB, IG, WA, dan seterusnya
  12. ruang pameran secara fisik tidak begitu menjadi perhatian utama, dan referensi utamanya dalam berkarya adalah internet sehingga jarang mengakses buku
  13. berada di luar arus besar seni rupa Indonesia maupun dunia.

Imbas dari kehadiran internet dan media sosial ini pun sangat besar pada wabah atau gelombang penyebaran seni lukis potret, atau dengan kata lain merupakan agen yang sangat berperan membumikannya. Pada media baru ini sifat narsis manusia lagi-lagi mendapatkan lahan yang subur. Kalau dulu lukisan potret merupakan satu satunya sarana yang bisa membekukan sifat narsis tersebut, maka di era ini  terjadi sinergi antara generasi milenial, media sosial, narsisisme, dan seni lukis potret. Setidaknya hal ini terekspresikan dalam tiga hal: pertama, media sosial merupakan sarana untuk mengekspresikan sifat narsis itu sendiri; kedua media sosial sebagai sarana untuk memasarkan seni lukis potret (yang juga mewadahi sifat narsis itu sendiri); ketiga, lukisan merupakan sarana pendukung sebagai background yang akan membuat foto menjadi “instagramable” untuk diposting di media sosial.

Secara teknis lukisan potret karya perupa generasi milenial ini mempunyai kecenderungan umum, yaitu:

  1. Sangat tergila-gila untuk menaklukan teknis terutama realisme fotografis
  2. seluruh detail objek digambar
  3. susah dibedakan antara karya satu seniman dengan seniman yang lainnya jika disandingkan (karakter tidak muncul secara kentara)
  4. hanya menguasai satu atau sebagian alat saja dan mayoritas menggunakan alat berupa pensil hitam putih atau pensil warna
  5. tarif terjangkau oleh masyarakat kebanyakan, mulai dari anak-anak SMA hingga kalangan atas
  6. secara mayoritas sangat tergantung kepada teknik skala
  7. sangat bergantung kepada foto referensi tidak ada upaya untuk melakukan idealisasi, dramatisasi, atau pengaturan ulang cahaya, dan sebagainya
  8. tidak ada hubungan emosional, pendalaman karakter, atau kontak langsung dengan objek yang dilukisnya, semua pertemuan berlangsung di dunia maya, mulai dari tawar menawar harga, mengirim foto, sampai transaksi.

Tentu pengamatan di atas tidak bisa lantas dengan gegabah dibuat kesimpulan yang sama antara kaum perupa otodidak yang dibentuk oleh dunia maya semata dengan Generasi Milenial yang terdidik secara Akademis di kampus-kampus seni rupa.

Namun dengan ciri ciri yang sudah disebutkan di atas, dan diperbandingkan dengan rekam jejak – ciri ciri karya – kehadiran atau ketokohan Basoeki Abdullah sebagai pelopor seni lukis potret wajah di Indonesia, maka sangat kurang gaungnya di kalangan generasi milenial ini. Dan satu hal lagi, apa pun itu, siapa pun pelakunya, saat ini dunia berubah, dan cara kerja atau strategi pun harus berubah, termasuk dalam dunia seni rupa.