You are currently viewing BASOEKI ABDULLAH: MITOS VERSUS NILAI KEBANGSAAN
Lukisan Ibu dan Anak karya Basoeki Abdullah.

BASOEKI ABDULLAH: MITOS VERSUS NILAI KEBANGSAAN

Oleh : Yusuf Susilo Hartono

Semasa hidupnya, maestro seni lukis Basoeki Abdullah (1915-1995),  memilih menjadi manusia (seniman) istimewa. Ia tidak memilih menjadi  seniman biasa. Oleh karena istimewa, maka pelukis darah biru asal Solo ini dalam memilih pergaulan (sebagai investasi, strategi, dan pasar bagi olah kreatifnya) juga istimewa.  Misalnya ia lebih suka bergaul dengan para presiden dan keluarga, para perdana menteri dan keluarga, para raja dan keluarga, para pengusaha top, sampai kalangan bintang film Eropa.

Barbeda jika dibandingkan dengan kawan-kawan maupun lawannya, seperti misalnya, S.Sudjojono, Affandi, Hendra Gunawan, dan  pelukis-pelukis Indonesia lainnya. Baik pada jamannya, maupun sesudahnya.

Hal itu terkait dengan kesadaran dan upayanya “mem-branding” diri, sebagai pelukis istimewa, di/dari Indonesia, dengan reputasi internasional. Seniman istimewa ini  selalu berpenampilan rapi jali dan wangi, memakai stelan jas atau safari dilengkapi baret, kacamata, jam rolex dan sepatu mengkilat. Kontras dengan seniman-seniman lain pada umumnya : cukup pakai kaos oblong, sarung, atau jins. Paling mewah pakai batik, dengan minyak “keringat”.

Setelah wafat pun, ia tetap istimewa. Bagaimana tidak, almarhum sebagai  seniman pribumi Indonesia, yang dibuatkan museum khusus oleh Pemerintah RI. Museum Basoeki Abdullah tersebut,  dipelihara dengan uang rakyat Indonesia.  Sementara Raden Saleh, S.Sudjojono, Affandi, yang juga istimewa, misalnya, tidak dibuatkan museum oleh pemerintah.  Sudjojono dan Affandi, berusaha membuat sendiri, dan hanya sedikit mendapat bantuan pemerintah. Padahal mutu karya, pemikiran, dan pengaruh Raden Saleh, Sudjoyono dan Affandi, tidak kalah dibanding Basoeki Abdullah.

Sebagai “penyambung hidup” Basoeki Abdullah lengkap dengan brandednya, maka sudah seharusnya Museum Basoeki Abdullah “istimewa” juga. Laras dengan branded Basoeki Abdullah. Dalam arti, istimewa dalam pilihan program, istimewa dalam penyajian, istimewa dalam mengkomunikasikan kepada publik yang istimewa. Bukan publik yang biasa.

Mitos

Pertanyaannya : apakah dalam situasi tahun politik saat ini, Museum Basoeki Abdullah mengangkat tema “Mitos” merupakan tindakan istimewa? Jawabnya bisa “ya” dan bisa “tidak.” Tergantung  dari mana sudut pandangnya.

Bisa kita jawab “ya”, karena faktanya Basoeki Abdullah semasa hidupnya banyak mengangkat tema mitos. Di samping tema-tema “trade mark” lainnya, seperti pejuang pahlawan, perempuan-perempuan molek, pemandangan alam yang molek, tokoh-tokoh dunia yang molek (presiden, perdana menteri, raja dan ratu, artis film), binatang molek, hingga rakyat jelata.

Karya-karya mitosnya itu tidak lepas dari lingkungan kraton Jawa dimana ia tumbuh dan berkembang. Dunia pewayangan, cerita-cerita rakyat, mistik Jawa, dan lain-lain, telah menjadi sumber-sumber yang membentuk Basoeki Abdullah, yang mempengaruhi kreativitas selanjutnya. Ditopang dengan pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh dari bangku kuliahnya di Belanda dengan sistem Barat, maka semakin menjadi.

Karya mitos Basoeki Abdullah yang paling terkenal antara lain seri “Nyi Roro Kidul”, dan seri “Joko Tarub”. Lukisan-lukisan itu salinannya tersebar ke masyarakat, dalam berbagai platform. Sehingga meneguhkan mitos itu dalam memory kolektif masyarakat (terutama Jawa). Kita tahu antara Basoeki Abdullah dengan Nyi Roro Kidul, konon memiliki hubungan   khusus. Tapi apakah paras Nyi Roro Kidul aslinya, seperti yang ada dalam lukisan-lukisan Basoeki Abdullah itu, kita tidak tahu. Namun masyarakat telanjur percaya, bahwa  seperti itulah paras Nyi Roro Kidul. Hal serupa terjadi pada lukisan Basoeki Abdullah seri pejuang/pahlawan, yang pada akhirnya visual Basoeki Abdullah itulah yang terpatri pada benak dan kepala masyarakat Indonesia.

Maka dengan  mengangkat tema mitos ini, kita bisa membaca dua hal: 1) Museum Basoeki Abdullah dewasa ini sedang berupaya “menebalkan” branded Basoeki Abdullah sebagai pelukis tema mitos. 2) Mengirim pesan pada masyarakat Indonesia agar nguri-nguri mitos “Nyi Roro Kidul”, di tengah realitas sosial budaya bangsa  yang karut marut .

Kebangsaan

Dalam komunikasi, pameran sebagai teks, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari konteks.  Kita tahu  pada saat ini bangsa Indonesia  sedang “sakit” , yang membutuhkan pencerahan, termasuk melalui seni (lukis). Diperlukan keberpihakan pada wong cilik , dan pada nilai-nilai kemanusiaan, pada nilai keadilan.

Maka, pada tahun politik inilah sesungguhnya merupakan momentum yang pas untuk membranding  Basoeki Abdullah, bahwa ia sesungguhnya juga pelukis yang punya perhatian besar pada wong cilik, kemanusiaan, kebangsaan dengan cara indah. Sisi inilah ibarat mutiara  belum banyak digali. Padahal karya-karya Basoeki Abdullah yang berbicara tema itu ada. Misalnya saja tentang wong cilik: kuli-kuli kapal, kuli angkut, penggembala kerbau, menggendong adik, dll.

Walhasil, Basoeki Abdullah memiliki merek pribadi istimewa yang banyak sisi. Untuk mengenalkan merek pribadinya yang belum banyak dikenal masyarakat perlu keberanian dan kejelian pengelola Museum Basoeki Abdullah. David McNally dan Karl D.Speak dalam bukunya “Be Your Own Brand” ( 2004) menegaskan, bahwa merek pribadi erat kaitannya dengan persepsi publik. ***