Abas Alibasjah Tutup Usia

0
937
Abas Alibasjah Tutup Usia
Abas Alibasjah Tutup Usia

Seni rupa Indonesia berduka lantaran kehilangan tokoh lukis senior, Abas Alibasjah. Ia wafat pada Rabu sore, 11 Mei 2016, dalam usia 88 tahun.

Abas Alibasjah, lahir di Purwakarta pada 1928, merupakan seorang pelukis, pejuang, pemikir, dan organisatoris handal. Sebagai pelukis, ia memiliki pengaruh penting pada perkembangan seni rupa Indonesia karena mengangkat khasanah asli Indonesia dalam seni lukis modern. Perjalanan keseniannya dimulai dari belajar melukis di Keimin Bunka Shidoso di bawah asuhan Barli dan Hendra Gunawan pada masa pendudukan Jepang. Setelah lulus dari Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) pada tahun 1955, ia mengajar di almamaternya.

Mulanya, Abas mengusung gaya impresionisme untuk mengungkapkan alam dan sosiokutural. Kemudian pada 1960-an bersama Fadjar Sidik, G. Sidharta, dan Handrio, Abas melakukan pembaruan dengan mengembangkan bentuk-bentuk seni abstrak di Yogyakarta. Pada periode ini, benda-benda etnis dan purbakala menjadi sumber kreatif untuk deformasi bentuk-bentuk geometriknya. Seperti yang tampak pada lukisan Garuda, cat minyak pada kanvas, 100 x 66 sentimeter, 1969.

Pada karya Garuda, penerapan pola dasar geometrik untuk mengabstraksikan bentuk burung sangat dominan. Menjadi unik karena deformasi bentuk garuda telah sedemikian jauh, sehingga yang lebih penting adalah ekspresi berbagai unsur visual yang ada. Warna merah dengan gradasi ke arah violet dan oranye memberi kekuatan sebagai latar belakang yang ekspresif. Bentuk burung muncul lewat konstruksi serpihan bidang dengan warna kuning dan hijau, diikat dengan tekstur dan goresan kasar yang mencitrakan nafas primitif. Lukisan ini juga seperti karya-karya Abas pada periode itu dipengaruhi oleh sumber-sumber visual dari berbagai patung etnis Nusantara. Sikap estetis Abas tersebut, merupakan perwujudan yang kongkrit dalam proses pergulatan mempertahankan nilai-nilai indegeneous dalam terpaan gelombang budaya Barat yang terbungkus dalam euforia modernisme masa itu.

Tak puas dengan abstrak, Abas juga mengeksplor media batik dalam seni lukis modern Indonesia. Karena itulah ia dikenal sebagai pelukis yang banyak bereksperimen.

Bukan hanya sebagai pelukis, Abas juga diakui sebagai pengajar seni lukis senior­­­ yang berhasil mendorong seniman lulus menjadi sarjana, sehingga muncullah istilah ‘seniman sarjana’ yang cukup mewacana saat itu. Hal tersebut menjadi tonggak sejarah pengembangan pendidikan tinggi seni yang kini telah sampai pada Magister (S2) dan Doktor (S3).

Abas juga merupakan birokrat yang berhasil menduduki sederet jabatan penting. Diantaranya Direktur ASRI Yogyakarta (1965–1975), Ketua Dewan Kesenian Yogyakarta, Anggota Badan Sensor Film dan Dewan Film, Anggota Konsorsium Seni Ditjen Dikti, Kepala Musikologi, Sekretaris Ditjen Kebudayaan, dan Inspektur Kebudayaan. Ia juga merupakan pelopor pendirian Galeri Nasional Indonesia sebagai museum dan pusat kegiatan seni rupa yang eksis hingga saat ini dan terus berkembang.

Atas dedikasi dan pencapaian estetiknya tersebut, Abas meraih Penghargaan Lukisan Terbaik pada Biennale Lukisan Indonesia, Dewan Kesenian Jakarta (1974), Anugerah Seni dari pemerintah (1984), dan dianugerahi gelar Empu Ageng Seni dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta (2012). 21 lukisan kanvas dan 12 karya batiknya juga menjadi koleksi Galeri Nasional Indonesia sekaligus koleksi negara. Dua diantaranya adalah lukisan berjudul Garuda (1969) dan Perang (1972).

Selamat jalan Abas Alibasjah. Jejakmu akan selalu dikenang dalam sejarah seni rupa Indonesia.

*dsy/GNI/bbs