Pameran Tunggal Bunawijaya

0
834

Bunawijaya, anggota masyarakat yang masuk dunia seni rupa sekitar 20 tahun lalu dengan maksud menjadi pelukis. Bunawijaya tidak pernah menjalani pendidikan formal di bidang seni rupa. Ia tidak bergaul dengan para seniman sebelumnya, dan, ia bukan kolektor yang biasanya dekat dengan para seniman. Karena itu seperti anggota masyarakat lain, Bunawijaya tidak mengenal berbagai wacana seni rupa yang memang tidak pernah meluas ke masyarakat (menunjukkan kesenjangan dunia seni rupa dengan masyarakat).

Begitulah tulisan Jim Supangkat dalam kuratorialnya. Sebagai kurator, Jim mengungkap bahwa biasanya “para pendatang” seperti Bunawijaya tidak bertahan lama di dunia seni rupa, terpaksa menyingkir. Namun Bunawijaya bisa bertahan dan termasuk di antara sangat sedikit “pendatang” yang tidak terpental. Bunawijaya bahkan bisa mempertahankan pandangan-pandangannya dan tidak terpengaruh wacana-wacana dominan di dunia seni rupa, termasuk stigma Mooi Indië. Lukisan pemandangan alam seperti karya Bunawijaya, dicemooh sejak zaman kolonial sebagai lukisan mooi Indië (Hindia molek) yang dibuat sekadar untuk memenuhi kebutuhan orang-orang Belanda membawa pulang kenangan tentang keindahan Hindia Belanda. Pada zaman kemerdekaan, lukisan-lukisan pemandangan alam ini malah disebut-sebut “lukisan pinggir jalan” karena dijajakan di taman-taman kota dan emperan toko-toko.

Dalam menghadapi stigma Mooi Indië, Bunawijaya tak gentar. Ia tidak ikut-ikutan membuat lukisan abstrak, atau karya instalasi. Ia tetap melukis pemandangan alam karena ia pencinta alam. Dengan keyakinan yang tidak terdominasi ini, Bunawijaya ternyata bisa menampilkan karya-karya bermakna seperti terlihat pada pameran ini, Pameran Tunggal Bunawijaya “Menghadapi Stigma Mooi Indië”.

Dalam pameran ini, ditunjukkan lukisan-lukisan representasi perkembangan kekaryaan Bunawijaya, juga kiprahnya di dunia seni rupa yang mampu bertahan hingga saat ini. Mulai dari lukisan pemandangan alam atau landscape–idiom yang lazim digunakan untuk menyajikan keindahan yang membangkitkan rasa nyaman– karena ia seorang pemburu dan pencinta alam yang sering keluar-masuk hutan. Kemudian merambah ke seascape, idiom yang sering digunakan untuk menampilkan misteri alam. Di sini, Bunawijaya mulai melukis langit, awan dan horizon. Ia tidak lagi harus menjelajahi alam untuk mencari obyek lukisan, Bunawijaya kini juga menggunakan literatur dan hasil fotografi di jaringan internet. Kecenderungan baru itu membuat lukisan-lukisan Bunawijaya sesudah 2015 tidak lagi menyalin realitas alam. Lukisan-lukisannya menampilkan rekaan realitas alam yang tidak ada dalam kenyataan. Untuk menegaskan perkembangan tersebut, pameran tunggal Bunawijaya pada 2017 ini dilengkapi interaksi dengan Eldwin Pradipta yang dikenal sebagai seniman video.

Karya Bunawijaya dan interaksi dengan Eldwin Pradipta dalam Pameran Tunggal Bunawijaya “Menghadapi Stigma Mooi Indië” merupakan pameran keliling, karena sebelumnya sebagian karya-karya tersebut telah dipamerkan di Selasar Sunaryo Art Space Bandung, pada 10 November – 10 Desember 2017. Kala itu, pameran sekaligus dibarengi peluncuran buku “Buna, Suka Duka Sang Kelana” terbitan KPG yang ditulis oleh Jean Couteau.

Dengan dukungan dari Galeri Nasional Indonesia, pameran keliling berlanjut digelar di Gedung A Galeri Nasional Indonesia, Jalan Medan Merdeka Timur No. 14 Jakarta Pusat. Kali ini pameran akan dibuka pada 19 Desember 2017, dan berlangsung hingga 5 Januari 2018. Pameran ini menghadirkan 47 lukisan karya Bunawijaya, juga interaksi dengan Eldwin Pradipta dalam video projection berjudul “New Seascape”.