Pameran Seni Rupa dan Sastra serta Peluncuran Buku “Retrospeksi Nasjah Djamin”

0
1314
Poster Nasjah Djamin

24 September 1924—Perbaungan, Sumatera Utara­­, kabar bahagia datang dari pasangan Haji Djami’in (asal Padang) dan Siti Sini (asal Painan). Hari itu adalah hari kelahiran putra mereka, Noeralamsjah.

Masa kecil Noeralamsjah dihabiskan di area perkebunan tembakau yang jauh dari kota. Meski begitu, ia bersekolah di HIS Partikelir yang terletak di jantung kota Medan. Noeralamsjah rela setiap hari harus berjalan berkilo-kilo meter tanpa alas kaki untuk bersekolah. Sayangnya, anak-anak kota menyambutnya dengan ejekan. Mereka menganggap Noeralamsjah sebagai ‘anak kebun’ (anak udik) sehingga ia pun minder dan enggan berkawan. ‘Si pendiam’, ‘si bisu’, itulah julukannya. Salah satu hal yang bisa menghiburnya adalah menggambar.

Arang, kapur, dan kayu menjadi alat Noeralamsjah menampakkan goresan-goresan jemarinya. Sedangkan dinding dan tanah harus mau jadi sasaran goresannya. Kecintaannya menggambar nyatanya membuat Noeralamsjah meraih nilai 10 dalam pelajaran menggambar. Hasil gambarannya pun digantung di dinding kelas, berjejer dengan karya reproduksi pelukis Belanda yang tidak terkenal. Muncullah impian Noeralamsjah untuk menjadi seorang pelukis.

Beranjak remaja, Noeralamsjah memiliki satu lagi ‘teman sepi’ selain melukis. Ia menggemari membaca berbagai jenis bacaan dari buku-buku berat seperti karangan Jules Verne dan Emile Zola, aneka majalah, hingga roman picisan karya penulis Medan. Kini impiannya bertambah, menjadi pengarang.

Jalan Noeralamsjah untuk menjadi pelukis dan pengarang dilaluinya dengan tidak mudah. Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, Noeralamsjah remaja sempat bekerja menjual telur, menimbun lapangan udara Polonia, menjadi pegawai kebudayaan di zaman Jepang, terjun di dunia revolusi, hingga bekerja di Bunka Ka (kantor propaganda Jepang) sebagai tukang gambar, pelukis poster, dan pembuat “Kami-sibai” (gambar bercerita) atau komik setelah memenangkan lomba poster yang diselenggarakan oleh pemerintah Jepang. Di sinilah Noeralamsjah mengakrabi seni lukis dan bertemu dengan para pelukis Medan, mengenal pelukis-pelukis dunia dengan berbagai alirannya. Timbullah keinginannya merantau belajar melukis di Jawa, karena banyak pelukis Jawa yang namanya membanggakan Indonesia seperti Basoeki Abdullah, Affandi, S. Sudjojono, Kartono Yudhokusumo dan lain-lain.

Dan benar, di Jawa mulai awal tahun 1946, Noeralamsjah bertemu dengan S. Soedjojono yang memiliki andil besar dalam perjalanan Noeralamsjah menjadi pelukis. Ia juga bertemu Affandi, Soedarso, Hendra Gunawan, Trubus, dan para sastrawan salah satunya Chairil Anwar. Di Jawa inilah Noeralamsjah kemudian mempopulerkan dirinya dengan nama Nasjah Djamin. Kemungkinan besar, ‘Nasjah’ merupakan kependekan dari Noeralamsjah, sedangkan Djamin diambil dari nama sang ayah.

Saat Agresi Militer Belanda II, Nasjah Djamin hijrah ke Jakarta dan bergabung dalam Gabungan Pelukis Indonesia (GPI) yang kemudian bermarkas di garasi Taman Siswa. Di tempat inilah para pelukis dan penyair di Jakarta berkumpul. Di kota ini, Nasjah Djamin sempat bekerja di Balai Pustaka sebagai illustrator dan bergaul dengan para sastrawan Balai Pustaka. Di sini pula ia berjumpa kembali dengan Chairil Anwar yang memberikan pengaruh besar pada karir Nasjah Djamin sebagai sastrawan. Sejak saat itu, seni lukis dan sastra bebarengan menjadi nafas dalam kehidupannya.

Nasjah Djamin kemudian dikenal sebagai pelukis sekaligus sastrawan yang produktif menulis cerita pendek, puisi, naskah drama dan film, serta novel. Ia juga sempat menjadi dekorator dan sutradara dalam panggung drama. Sebagai pelukis, Nasjah tercatat pernah berpameran tunggal dan bersama, baik di dalam maupun di luar negeri (Brazil, Singapura, Jepang, India). Sebagai sastrawan, ia menelurkan banyak karya, beberapa diantaranya cergam buku anak-anak Hang Tuah (1951), buku anak-anak Si Pai Bengal (1952), naskah drama Titik-titik Hitam (1956), Gairah Untuk Hidup dan Untuk Mati (1968), biografi Chairil Anwar Hari-hari Akhir Si Penyair (1982), biografi Affandi berjudul Affandi Pelukis (1988), sajak “Pengungsi” yang diterbitkan di Majalah Seniman Th. II No. 2–3 (Mei-Juli 1948), dan banyak lagi karya sastra lainnya.

Tak hanya produktif berkarya, Nasjah juga seorang pengarsip yang rajin. Ia mengumpulkan dan menyimpan dengan sangat rapi artikel yang membahas lukisan dan tulisannya, juga semua dokumentasi dirinya. Uniknya, ia juga mengkritik karyanya sendiri. Nasjah kerap membubuhkan catatan-catatan koreksi dan komentar pendek yang kadang berupa uraian berlembar-lembar di samping artikel yang disimpannya. Ia juga membuat catatan-catatan autokritik terhadap lukisan-lukisannya.

Kisah panjang seorang Nasjah Djamin tersebut, kini akan ditelusuri kembali melalui Pameran Seni Rupa dan Sastra serta Peluncuran Buku “Retrospeksi Nasjah Djamin”. Perhelatan ini menjadi penting karena merepresentasikan babakan-babakan sejarah yang secara kronologis merekonstruksi sosok Nasjah Djamin sebagai seorang maestro, juga menyoal karya-karyanya yang layak untuk diapresiasi publik. Karena itulah Galeri Nasional Indonesia memberikan dukungan dan menjadikan event ini sebagai pameran kerjasama dengan Studio Nasjah.

“Retrospeksi Nasjah Djamin” akan digelar pada 24 Oktober hingga 3 November 2017 di Gedung B Galeri Nasional Indonesia. Sebagai pendukung pameran, kiprah kesenimanan Nasjah Djamin juga akan dikupas dalam sebuah acara DISKUSI bertema “KARYA NASJAH DJAMIN”, pada 25 Oktober 2017 di Ruang Seminar Galeri Nasional Indonesia.

Dikuratori Suwarno Wisetrotomo, pameran ini akan menampilkan karya-karya lukisan Nasjah Djamin dari koleksi pribadi keluarganya dan juga beberapa dokumentasi, arsip, juga artefak yang mengupas perjalanan kesenian Nasjah Djamin. Diungkap Suwarno, secara sederhana, lukisan-lukisan Nasjah dapat dikelompokkan dalam dua tema utama. Pertama, tema potret, termasuk di dalamnya potret diri, potret sahabatnya, dan orang-orang yang dikenal dengan baik. Lukisan potret itu sebagian besar merekam sosok tunggal, laki-laki maupun perempuan, dan sebagian lainnya potret kerumunan.

Kedua, adalah tema  panorama (landscape), dengan berbagai wujud, antara lain lanskap pantai lepas, hamparan padang pasir dan perbukitan, serta bentangan sawah dan gunung-gunung. Lanskap dalam gubahan Nasjah adalah lanskap yang sudah berada dalam resapan jiwanya, atau paduan antara realitas, imajinasi, situasi jiwa yang diungkapkan melalui sepotong panorama. Lukisan-lukisan itu seperti mengabarkan tentang realitas kehidupan, utamanya kehidupan para perempuan lapis bawah, para perempuan pekerja kasar, demi ketahanan hidup (survivality). Pada bentangan panorama – perbukitan, pantai, sungai, sawah, jalan setapak – hampir selalu dihadirkan sosok-sosok perempuan dalam citra gerak dalam suasana bekerja. Mereka, para perempuan itu, adalah sosok-sosok pekerja;  memanen padi, menambang pasir atau batu, petani garam, berarakan ke pasar. Di punggung para perempuan itu selalu bertumpuk gendongan, yang mengukuhkan bahwa mereka adalah pilar penyangga kehidupan keluarga, para pekerja keras dan mandiri.

Sosok-sosok itu selalu tampak kecil, terlihat dari kejauhan. Cara ungkap semacam itu dapat dilihat sebagai sebuah isyarat spiritualitas, bahwa manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi, sesungguhnya hanya makhluk kecil di tengah semesta raya. Sosok-sosok itu tidak sedang ‘menguasai’ alam dengan rakus dan destruktif, tetapi sekadar memanfaatkan dan mengolah alam untuk kehidupan secukupnya.  “Gejala visual semacam itulah yang saya maksud sebagai ‘resapan jiwa’ Nasjah terhadap panorama. Karena lebih dari sekadar ‘pemandangan alam’ yang indah permai, tetapi lukisan Nasjah merupakan ‘pemandangan manusia’ khususnya ‘pemandangan ketangguhan para perempuan’,” ungkap Suwarno.


PAMERAN

25 Oktober – 3 November 2017

10:00 – 18:00 WIB

Gedung B Galeri Nasional Indonesia

 

DISKUSI “KARYA NASJAH DJAMIN”

25 Oktober 2017

13.00 WIB

Ruang Seminar Galeri Nasional Indonesia

Pembicara:

Abdul Hadi (Sastrawan & Budayawan) dan Suwarno Wisetrotomo (Kurator)

Moderator:

Maman S. Mahayana (Dosen Sastra UI)