Bangunan sumur tanpa air berbahan batu bata menghiasi pelataran depan Gedung A Galeri Nasional Indonesia layaknya bagian belakang rumah-rumah di Jawa. Sumur tersebut memang bagian belakang dari ‘rumah imajinasi’ Hanafi yang disajikan dalam pameran bertajuk “Pintu Belakang | Derau Jawa”.
Pintu belakang bagi Hanafi merupakan gerbang yang hanya dilewati oleh ‘orang dalam’ atau ‘orang dekat’. Namun dipandang lain oleh Goenawan Mohamad (Budayawan) yang meresmikan pameran tersebut pada Selasa malam, 1 Maret 2016, orang yang lewat pintu belakang mungkin juga pencuri. “Kita masuk melalui pintu belakang, jadi mungkin kita ini pencuri yang mungkin bisa kaget dengan apa yang disediakan Hanafi. Namun kesenian yang baik adalah yang menyajikan yang tidak disangka-sangka,” ucap Goenawan.
Yang tak disangka-sangka seperti yang dikatakan Goenawan itu, dibuktikan oleh reaksi pengunjung yang melontarkan decak kagumnya saat menyaksikan karya-karya Hanafi berupa sembilan instalasi, sebelas lukisan, dan dua video. Kepala Galeri Nasional Indonesia, Tubagus ‘Andre’ Sukmana menyebut karya-karya Hanafi tersebut gigantic. Selain itu, Tubagus juga menanggapi karya Hanafi dari segi konten. “Hanafi telah tiga kali berpameran tunggal di Galeri Nasional Indonesia, yaitu pada 2006, 2010, dan sekarang 2016. Pada pameran kali ini banyak mengetengahkan tradisi, keagamaan, imajinasi, refleksi kembali budaya Jawa, bagaimana merepresentasikan di era modern,” ujarnya.
Refleksi budaya Jawa memang menjadi perhatian Hanafi dalam beberapa pameran terakhirnya, seperti pada pameran ini dan pameran sebelumnya berjudul Oksigen Jawa. Kurator pameran ini, Agung Hujatnikajennong memaparkan perbedaan pameran kali ini dengan Oksigen Jawa. “Oksigen Jawa mengetengahkan tentang diri Hanafi, tentang masa kecilnya, perjalanannya merantau ke Jakarta, ke galeri-galeri, dan kisah-kisah dalam hidup Hanafi. Di Derau Jawa, Hanafi khusus meluangkan waktu dan tenaga untuk research ke beberapa tempat yang sudah tidak berhubungan dengan dirinya,” ungkap Agung.
Bersama Afrizal Malna, Hanafi melakukan perjalanan ke situs-situs Jawa. “Perjalanan kami mempertebal bahwa Jawa itu keyakinan, sesuatu yang tumbuh di dalamnya. Bukan kepercayaan, karena itu ada di sisi luar,” kata Afrizal. Dari perjalanan itu, di pameran ini Hanafi lebih banyak menampilkan cerita-cerita tentang Parangtritis, Tamansari, dan Tengger, yang semuanya itu menjadi bahan untuk mengumpulkan ide tentang noise.
Dilanjutkan Agung, Jawa pada Oksigen Jawa dimetaforkan sebagai udara, namun pada Derau Jawa ini, Jawa bermetafora menjadi bunyi. “Menghirup udara kadang tidak sadar, namun untuk menangkap bunyi terlebih mencari noise, tentu butuh kesadaran. Pada Oksigen Jawa, basisnya ingatan, tapi Derau Jawa ini diamati, dilihat, dicatat seperti proses mendengar, ada intensi yang lebih serius untuk memahami apa itu Jawa” jabarnya. “Yang ingin dihadirkan Hanafi kali ini yaitu stereotipe yang mengganggu, sesuatu yang remeh,” sambungnya. Itulah yang diistilahkan sebagai noise, yang salah satunya diterjemahkan pada karya berjudul Wedhus Gembel dan Tubuh Jawa.
Dalam karya Wedhus Gembel dan Tubuh Jawa, Merapi–Kraton–Laut Selatan dijabarkan sebagai pusat tubuh mistis Jawa. Merapi direpresentasi sebagai Kraton untuk makhluk-makhluk tak kasat mata. Keluarnya wedhus gembel (awan panas dari letusan Merapi) dianggap sebagai makhluk Banaspati yang memperingatkan tentang kemerosotan Jawa. Makhluk tersebut hanya bisa lenyap ketika manusia kembali menyerap sifat-sifat bumi (tanah, air, dan api). “Yang disampaikan alam dari peristiwa wedhus gembel itu adalah penyuburan kembali. Mineral dan nutrisi yang di bawah dikeluarkan ke atas. Tapi manusia menganggap letusan gunung ini sebagai musibah, Tuhan marah. Inilah noise,” jelas Hanafi.
Noise–noise yang disajikan Hanafi tersebut dapat dinikmati melalui karya-karya apiknya dalam Pameran Tunggalnya yang masih akan berlangsung hingga 15 Maret 2016, di Gedung A Galeri Nasional Indonesia. Pameran ini merupakan pameran tunggal ke–39 Hanafi, setelah sebelumnya dalam rentang 1990–2015, Hanafi telah menggelar 38 pameran tunggal dan 80 pameran bersama.
Hanafi merupakan seniman yang tidak hanya menggeluti seni instalasi, patung, namun juga artistik panggung dalam kolaborasi dengan seniman tari, teater, dan sastra. Ia telah menerima penghargaan seni berupa 10 terbaik Philip Morris Art Award, Anugerah Kebudayaan Universitas Indonesia, dan Indofood Art Award. Satu lukisannya berjudul Pukul 12 Siang Hari, berbahan akrilik dan enamel pada kanvas, berukuran 230 x 250 cm, dibuat pada tahun 2006, juga telah menjadi koleksi Galeri Nasional Indonesia / Koleksi Negara.
*dsy/GNI