Menemukan Identitas Jawa

0
787
Suasana Press Conference dan Art Tour di Galeri Nasional Indonesia
Suasana Press Conference dan Art Tour di Galeri Nasional Indonesia

Soft Opening Pameran Tunggal Eddy Susanto “JavaScript” ditandai dengan digelarnya Press Conference pada Jum’at siang, 4 September 2015, di Ruang Seminar Galeri Nasional Indonesia. Hadir sebagai narasumber, Zamrud Setya Negara (Kepala Seksi Pameran dan Kemitraan Galeri Nasional Indonesia), Andonowati (Direktur ArtSociates–induk dari Lawangwangi Creative Space), Asmudjo J. Irianto dan Soewarno Wisetrotomo (Kurator), serta Eddy Susanto sebagai satu-satunya perupa pameran ini.

Zamrud mewakili Kepala Galeri Nasional Indonesia—Tubagus ‘Andre’ Sukmana—, menyambut baik kesempatan kerjasama antara Galeri Nasional Indonesia dengan Lawangwangi Creative Space dalam menggelar pameran JavaScript. Ini adalah momen penting bagi Galeri Nasional Indonesia dalam memberikan ruang apresiasi bagi perupa yang karya seninya layak diperhitungkan. Terlebih, karya-karya Eddy kental dengan unsur historis terutama budaya Jawa, yang dibumbui unsur kekinian dan pencampuran teknologi, yang secara keseluruhan mengandung unsur edukasi dan pelestarian budaya.

Ditambahkan Andonowati, kelebihan lain dari karya Eddy adalah disajikannya berbagai korelasi budaya seni. “Karya Eddy punya korelasi budaya seni yang tidak hanya mengorelasikan tempat yang berbeda, tapi juga waktu,” ujar perempuan yang akrab disapa Aan itu.

Tak hanya itu, Eddy juga mampu mengorelasikan seni dan ilmu pengetahuan dalam karya-karyanya. Buktinya, diungkap Suwarno, ada lima hal. Pertama, karya-karya Eddy Susanto bertumpu pada riset yang terpola dan terstruktur dalam proses kreatifnya. Kedua, kanvas, cat minyak, dan cat akrilik sebagai material konvensional dihidupkan kembali melalui tangan Eddy sehingga material konvensional tersebut menemukan konteks nafasnya yang baru. Ketiga, Eddy intim dengan tipografi yang sangat lampau dan mampu mengubah atau mengelolanya menjadi konteks yang baru. Keempat, proses kreatif Eddy berlangsung di lorong sunyi—ruang pikiran dimana seseorang memahami teks atau peristiwa hingga mampu memahami substansi—, dan jalan estetik—jalan untuk mendera diri sendiri, olah jiwa—. Yang terakhir, pameran ini berada dalam momentum yang tepat, yang menunjukkan sejarah panjang dan cerita cemerlang bangsa dan negara Indonesia melalui manuskrip sebagai titik pertemuan. “Saya mengambil istilah kiblat papat limo pancer, yang diterjemahkan dari seluruh penjuru mata angin, Jawa sebagai pusat pertemuan,” papar pria yang khas dengan topi fedoranya itu.

Keunikan lain dari karya Eddy, diututurkan Asmujo, ada semangat untuk mendorong apresian agar menyadari jati dirinya. “Saya orang Jawa, tapi nggak ngerti tentang itu. Jadi seperti seorang Jawa yang kehilangan identitas,” tegas Asmudjo saat melihat karya-karya Eddy. Menurutnya, karya-karya Eddy sangat menarik secara visual, tapi cukup sulit. Namun pokok yang ingin disampaikan, bahwa di dalam budaya Jawa ada sofistifikasi dengan aksara, kebudayaan, dan sivilisasi yang kemudian hilang. Kini Eddy berusaha mengungkap dan membangkitkan kembali melalui riset yang kemudian divisualkan dalam karya-karyanya.

Eddy sendiri mengaku karya-karyanya dari Javascript memang mengambil dari riset dengan dasar sejarah. “Saya melakukan riset teks Ibrani, Jawa, Sunda, dan teks-teks lainnya,” ujar pria yang saat ini tinggal di Yogyakarta itu. Namun, riset tersebut bukannya disengaja untuk membuat pameran JavaScript. Justru hasil riset itulah yang dimetamorfosis oleh Eddy menjadi pameran apik ini.

JavaScript menampilan sekitar 50 karya berupa lukisan dan instalasi patung. Pameran ini masih akan berlangsung hingga Minggu, 13 September 2015, di Gedung A Galeri Nasional Indonesia.

*dsy/GNI