Kuasa Bahasa Rupa Berbasis Teknologi Media, Mengendalikan atau Dikendalikan

0
925
Karya Gelar Agryano Soemantri dalam Pameran "Following" di Galeri Nasional Indonesia

Teknologi media digital telah menguasai kehidupan manusia saat ini. Ada kuasa dan kendali yang menyertai penggunaannya. Kali ini, penggunaan media digital ditransformasikan ke dalam bahasa rupa. Yang disoroti adalah seniman sebagai pemegang kuasa dan kendali. Seberapa liar kuasa dan kendali itu mengeskplorasi karya rupa seni media?

———————-

Teknologi media digital pada masa kini bagaikan sebuah makanan yang hampir wajib untuk disantap siapa saja, meskipun kerap menimbulkan kecanduan, sehingga penggunaannya tak pernah putus bahkan semakin meningkat intensitasnya. Setidaknya hal itu sangat terasa bagi masyarakat perkotaan seperti Jakarta. Alih-alih sebagai alat yang dapat dikendalikan penggunanya, media digital di lain sisi yang seringkali luput dari kesadaran justru mengendalikan penggunanya.

Mahardika Yudha, kurator Pameran “Following” yang berlangsung di Gedung A Galeri Nasional Indonesia pada 8 – 21 Februari 2017, mencontohkan fenomena ini dalam sebuah kurasi yang lebih realistis. Ia mengungkap, pasca perayaan yang fisik di masa analog, kuasa dan kendali teknologi media digital konon telah beralih ke tangan pengguna, yaitu konsumen atau warga. Istilah pun bergeser, dari konsumen [pasif] kemudian menjadi prosumer [aktif]. Namun keduanya ditempatkan pada posisi yang sama, konsumen. “Perbedaannya yang menonjol terdapat pada aksi mengonsumsi. Jika di masa analog lebih dominan pada tindakan pasif dalam menerima informasi, hari ini pola konsumsi cenderung pada tindakan aktif memproduksi informasi. Atau lebih dikenal sebagai konten, seperti gambar bergerak, foto, bunyi, teks, dan lain sebagainya,” papar pria yang akrab disapa Diki ini.

Keaktifan masyarakat dalam memproduksi informasi ini semakin menjadi pemandangan yang lumrah, karena setiap orang terutama di kota-kota besar melakukannya tanpa henti, tanpa menimbang lagi jeda jam, menit, bahkan detik. Ini juga akibat tersedianya peranti keras (hardware, dan media digital lainnya yang bersifat fisik) yang kemampuannya mumpuni. Peranti keras tanpa henti berinovasi, diulak-alik fungsi bagian-bagiannya sehingga dapat ditawarkan kemudahan penggunaannya. Belum lagi peranti keras ini ‘kawin’ dengan peranti lunak (software dan aplikasi) yang tersedia dalam beragam pilihan, gaya, jenis, bahkan menawarkan perbaruan (update) yang tak berbatas lagi.

Karya MG Pringgotono dalam Pameran “Following” di Galeri Nasional Indonesia

Pengguna teknologi media digital seakan punya kuasa besar untuk bebas bereksplorasi sesuai kecenderungan hasratnya. Namun Diki melihat fenomena ini secara berbeda. “Peranti keras dan peranti lunak dari teknologi media tidak terlepas dari batas-batas kemampuannya yang telah dikelola sedemikian rupa oleh korporasi produsen teknologi media dan tidak dapat dilampaui oleh pengguna,” katanya. Lantas ia memberikan contoh sederhana seperti ini: ketika kita menuliskan kata kunci pada mesin pencari google atau youtube, sejarah pencarian yang dilakukan oleh mesin di kanal tersebut terotomatisasi mengarahkan ‘masa depan’ kepada pengguna. “Dengan kata lain, pengguna diarahkan pada konstruksi visi yang dikalkulasi oleh mesin. Dari situlah sebenarnya para pengguna mulai dikendalikan,” tandasnya. “Batas antara kuasa dan kendali yang dimiliki oleh mesin itu sendiri dengan yang diberikan kepada pengguna sebenarnya sangatlah tipis dan cenderung ilusif. Pertarungan visi yang dimediasi oleh konten yang diproduksi oleh pengguna pada akhirnya tidak bisa menerabas garis haluan kuasa dan kendali yang dimiliki oleh mesin. Jika menerabas, maka dianggap malicious software,” lanjut Diki.

Berangkat dari fenomena perkawinan hardware dan software, ditambah keterlibatan kuasa dan kendali, tema Following menemukan arahnya. Dalam kurasi Diki, Following mencoba menelusuri bagaimana strategi para seniman dan juga karya seni medianya mencoba untuk bermain-main pada situasi yang melibatkan strategi moda produksi dan bahasa rupa. Bukan untuk melawan keterbatasan yang disediakan perangkat keras (hardware) dan lunak (software), tetapi bermain pada celah-celah yang ada di antara batas tipis yang tidak solid itu. Bukan juga untuk berfokus pada isu-isu sosial politik, melainkan lebih kepada bagaimana para seniman pameran ini memikirkan strategi dalam menggunakan kuasa dan kendali dalam teknologi media digital untuk diterjemahkan ke dalam ranah artistik berupa karya seni media.

Ada 13 seniman dalam Pameran “Following”: Adel Pasha, Adhari Donora, Adityo Pratomo, Andang Kelana, Ari Dina Krestiawan, Ari Satria Darma, Budi Prakosa, Gelar Agryano Soemantri, Gooodit, Mahesa Almeida, MG Pringgotono, oomleo, dan Ricky ‘Babay’ Janitra. Mereka merupakan para seniman muda Indonesia yang hobi mengoprek software dan perangkat keras digital. Berangkat dari tema yang sama, Following, mereka menciptakan karya-karya tanpa judul berbasis teknologi media dengan ragam bentuknya: video art, instalasi, atau gabungan keduanya. Masing-masing karya sengaja tidak diberi judul secara khusus, untuk memberikan perhatian pada Following sebagai tema besar pameran.

Menilik karya Ari Dina Krestiawan, ia mengeksplorasi teknologi media digital untuk memanfaatkan penggunaan rumahnya sebagai aktifitas keseharian. “Bagaimana caranya bekerja tanpa keluar rumah, karena bergerak sudah sangat menyebalkan. Karena itu saya memanfaatkan ruang-ruang di rumah saya sebagai tempat kerja. Ruang-ruang dalam rumah bisa jadi tempat menggambar, memproduksi stop motion,” paparnya. Penggunaan media digital membuat Ari berkuasa mengendalikan pemanfaatan kotak-kotak ruang dalam rumahnya, juga mengatur aktifitas kesehariannya.

Karya Budi Prakosa dalam Pameran “Following” di Galeri Nasional Indonesia

Lain halnya dengan Budi Prakosa yang fokus pada bebunyian. Buah yang layaknya dikonsumsi, di tangan Budi menjadi sumber bunyi. Ia menggunakan pisang, buah naga, kelapa, durian, nanas, pepaya, dan semangka, disambungkan dengan speaker melalui kabel-kabel. Saat disentuh, buah-buah itu mengeluarkan bunyi bervariasi, hampir seperti tuts piano. Budi mengendalikan penggunaan buah untuk hal bersifat fungsional yang tidak seperti pada umumnya.

Karya-karya dalam Pameran Following hanyalah contoh kecil dari pemanfaatan kuasa dan kendali dalam penggunaan teknologi media digital yang diterjemahkan ke dalam bahasa rupa. Di sisi lain, wajah dari teknologi media digital bisa dimanfaatkan dalam berbagai ranah atau bidang, aspek, kepentingan, yang dapat memberikan kuasa dan kendali yang besar bagi penggunanya. Bagi penerima informasi melalui teknologi media digital, ada pengaruh yang dapat menyasar kognitif, afektif, dan konatif, dengan derajat daya serap yang berbeda-beda. Karena itu yang dapat disoroti dari Pameran Following ini adalah bijak menggunakan kuasa dan kendali, serta cerdas menerima informasi dalam penggunaan teknologi media digital, karena pilihannya adalah mengendalikan atau dikendalikan!

*dsy/GNI