Gugatan Senyap “Perempuan (di) Borobudur”

0
804
dyan anggraini pembukaan
Suasana pembukaan Pameran "Perempuan (di) Borobudur" di Gedung A Galeri Nasional Indonesia, Selasa malam, 20/2/2018.

Dibuka Selasa malam, 20 Februari 2018 di Gedung A Galeri Nasional Indonesia, pameran karya Dyan Anggraini dan Landung Simatupang bertajuk “Perempuan (di) Borobudur” menuai pujian. Salah satunya dari tokoh perfilman Indonesia Nia Dinata yang meresmikan pembukaan pameran tersebut.

Nia memandang karya-karya dalam pameran ini menunjukkan kesetaraan peran antara dua seniman yang berbeda latar belakang. Dyan seorang perupa dan mantan birokrat di bidang kebudayaan, sedangkan Landung seorang penyair, penerjemah, aktor dan sutradara teater, serta pemain film. Perupa dan sastrawan itu mengambil peran masing-masing secara setara tanpa mendominasi atau mematikan yang lainnya sehingga bersama-sama mampu menciptakan karya rupa dengan visualisasi yang utuh dan kuat.

“Ketika saya merasakan jiwa dan konsep dari pameran ini, ternyata kolaborasi untuk setara itu bisa dilakukan di mana saja, dari mulai berkarya dalam berkesenian, berpuisi dicampur dengan karya seni rupa,” ucap Nia. Sumarmin, Kasie Pengumpulan dan Perawatan Galeri Nasional Indonesia mewakili Kepala Galeri Nasional Indonesia menambahkan, “Kolaborasi ini menarik, karena dua orang seniman yang berbeda disiplin kreatif bekerja sama, saling mengisi dan melengkapi.”

Tak hanya soal kesetaraan peran, Dyan dan Landung juga mendapat tanggapan positif karena mengangkat persoalan perempuan dari zaman ke zaman melalui gambar pahat perempuan-perempuan pada relief Candi Borobudur yang dikaitkan dengan kehidupan perempuan-perempuan zaman ini khususnya yang hidup di sekitar Borobudur. Kurator Suwarno Wisetrotomo menyebut, “Ada gugatan-gugatan senyap tentang dunia perempuan. Ikon Candi Borobudur sengaja digunakan dengan harapan dapat menjamah problem kompleksitas perempuan secara umum.”

Dyan dan Landung berangkat dari riset, mulai dengan membaca berbagai literatur mengenai Borobudur dan mencari fakta sejarah tertulis yang menceritakan kisah Borobudur termasuk gambar-gambar reliefnya. Mereka juga mengamati langsung relief tersebut, berbincang dengan masyarakat sekitar Borobudur untuk mendapatkan cerita-cerita tentang Borobudur, serta mengamati kehidupan sosial­–budaya masyarakat yang tinggal di sekitar Borobudur. Hingga akhirnya mereka mendapatkan informasi tentang keberadaan Desa Klipoh di sebelah barat Borobudur. Di situlah mereka menemukan fenomena yang ironis.

Berdasarkan cerita penduduk sekitar Borobudur, konon, Desa Klipoh sudah ada sejak dulu. Di sanalah bermukim para perempuan yang menyiapkan makanan untuk pekerja pembuat Borobudur berabad-abad yang lalu. Hingga saat ini, Desa Klipoh masih ada dan sebagian besar para perempuan yang tinggal merupakan perajin gerabah yang sederhana.

“Saat ini, sebagian besar para perempuan tersebut membuat gerabah secara tradisional. Pekerjanya para perempuan, para ibu yang sudah cukup sepuh. Karena kami baru datang dari Borobudur yang penuh dengan glamor wisata itu, lalu datang ke Desa itu, kami agak tercekat. Kontras sekali antara bisnisnya (Borobudur –red) begitu hidup yang menghasilkan banyak uang, dengan ibu-ibu di Desa Klipoh. Itu membuat kami berpikir dan menafsir Borobudur masa kini,” papar Landung.

Melalui Pameran “Perempuan (di) Borobudur” yang masih akan berlangsung hingga 5 Maret 2018 di Gedung A Galeri Nasional Indonesia itu, baik Dyan maupun Landung berharap para perempuan di zaman ini dapat tergugah untuk mengembangkan potensinya demi kemajuan bangsa. “Ada semacam harapan kami pada perempuan-perempuan Indonesia khususnya saat ini untuk lebih berani bersaksi lagi tentang dirinya, potensi-potensinya untuk kemaslahatan orang banyak. Saat ini pun kita sudah melihat beberapa menteri perempuan begitu mencuat begitu bersinar. Ini saat yang tepat bagi para perempuan semuanya untuk bergerak lagi,” ungkap pria paruh baya lulusan Fakultas Sastra UGM itu.

“Pesan untuk laki-laki jangan meremehkan perempuan karena perempuan bisa berperan banyak sekali. Kelenturannya, kelembutannya, itu biasanya tidak dimiliki pria. Padahal dalam mengatasi persoalan-persoalan di tingkat individu maupun di tingkat sosial, kelenturan, kelembutan hati, sifat keibuan, itu terkadang bisa memecahkan persoalan, menunjukkan jalan keluar,” pungkasnya.

*dsy/GNI

 

Lihat juga: