Oleh: Ida Fitriani

(Museolog Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal)

Sejarah Museum

Jeffrey Abt (2006) menjelaskan bahwa sebagian besar catatan tentang sejarah museum dimulai dengan asal-usul etimologis “museum”. Museum dalam kata Yunani kuno merujuk pada situs pemujaan yang dikhususkan untuk kontemplasi (Mouseion), atau Museum Alexandria legendaris yang didirikan pada 280 SM. Dalam publikasi online Encyclopædia Britannica berjudul History of Museums, Geoffrey D. Lewis (n.d.) menyatakan bahwa penggunaan kata museum selama abad ke-19 dan sebagian besar abad ke-20 dilambangkan sebagai bangunan budaya yang menyimpan benda budaya yang dapat diakses oleh masyarakat.

Seiring berlanjutnya respon museum terhadap masyarakat yang menciptakannya, penekanan pada bangunan budaya menjadi kurang dominan. Museum ruang terbuka (open air museum), yang terdiri atas serangkaian bangunan yang diawetkan sebagai objek, dan ecomuseum, melibatkan penafsiran semua aspek lingkungan luar. Selain itu, ada yang disebut museum virtual yang ada dalam bentuk elektronik di Internet. Meskipun museum virtual memberikan kesempatan menarik dan membawa manfaat tertentu bagi museum yang ada, mereka tetap bergantung pada pengumpulan, pelestarian, dan interpretasi benda material oleh museum nyata.

Peran Sosial Museum

Konsep tentang museum mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, demikian pula yang terjadi pada peran sosialnya. Berdasarkan perlakuan terhadap koleksi dan pandangan terhadap museum sebagai institusi, secara sederhana pembabakan sejarah museum di dunia dapat dibagi menjadi tiga fase. Pembabakan berdasarkan perkembangan kajian museologi ini menyebut museum pada ketiga fase tersebut sebagai museum tradisional, museum modern atau eco museum, dan museum postmodern (Magetsari, 2011). Menurut Magetsari, perbedaan mendasar antara museum tradisional dan modern terletak pada fungsi dan orientasinya.

Pada museum tradisional tujuan pendiriannya adalah ‘sekadar’ untuk melestarikan koleksi sekaligus menyenangkan pemiliknya melalui eksibisi untuk publik. Sedangkan pada museum modern, terjadi pergeseran orientasi dari koleksi ke pengunjung. Museum telah beralih fungsi menjadi ikon budaya dengan misi khusus membekali masyarakat dengan identitas dan menyejahterakan mereka melalui stabilitas budaya. Sementara itu, museum di era pascamodern merupakan wujud penyempurnaan dari museum modern. Dengan lebih memacu keikutsertaan pengunjung dalam menginterpretasi apa yang dilihat. Museum pascamodern dikelola dengan orientasi bisnis yang pada praktiknya lebih menitikberatkan manajemen dan marketing dalam menghadapi tantangan sosio-kultural yang semakin kompleks.

Transformasi dari museum sebagai ‘kuil kebudayaan’ menjadi ‘istana hiburan’ yang modern

Pendapat terakhir tentang museum pascamodern di atas diperkuat oleh Yunci Cai (2008), yang menggambarkan perubahan tersebut sebagai transformasi dari museum sebagai ‘kuil kebudayaan’ menjadi ‘istana hiburan’ yang modern. Menurutnya, museum di seluruh dunia telah mengubah diri menjadi pusat hiburan modern, mengganti aula tua berdebu mereka dengan ruang pameran yang lebih besar dan memesona, restoran dan toko-toko berkelas, serta ruang publik yang menarik. Untuk membuat museum lebih menarik dan mudah diakses, museum juga mengadopsi teknologi interaktif dan mengorganisasi program yang sangat sukses (blockbuster).

Terlihat bahwa fungsi pendidikan dan sosial museum menjadi lebih rumit saling terkait dengan perdagangan dan hiburan. Lembaga ilmiah tradisional yang sibuk dengan koleksi, display dan penelitian sudah tidak terlihat pada peran baru museum saat ini. Selain itu, Yunci juga berpendapat bahwa sikap baru dari museum di milenium baru tersebut adalah refleksi dari adaptasi konstan mereka terhadap tuntutan baru dari masyarakat. Hal positif dalam pandangannya ini adalah bahwa dalam mengadopsi edutainment, dan mengorganisasi program menarik yang relevan dengan sejarah dan budaya, museum melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan sejarah, yang pada gilirannya dapat meningkatkan relevansi museum dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Museum sebagai Ruang Publik

Museum tidak lagi bertindak sebagai lembaga edukasi informal semata. Namun sebagai ruang publik tempat budaya dan kelompok masyarakat yang berbeda saling bertemu dan berhubungan. Untuk menjelaskan hal ini, Clifford meminjam istilah contact zone dari Mary Louise Pratt untuk menekankan interaktifitas alamiah dari hubungan antara berbagai kelompok masyarakat, pemangku kepentingan, dan museum. Sebagai “zona hubungan” (contact zone), fungsi-fungsi museum lebih sebagai ruang permeabel pertemuan transkultural daripada sebagai institusi yang secara ketat dibatasi oleh tugas menyebarkan pengetahuan kepada pengunjungnya. Clifford menuangkan kembali konsep museum sebagai sebuah ruang di mana kebudayaan dan kelompok masyarakat yang berbeda saling bersinggungan, berinteraksi, dan saling dipengaruhi oleh pertemuan itu (Mason, 2006).

Agen perubahan

Dengan adanya pergeseran orientasi, dari yang semula hanya berfokus pada koleksi hingga berusaha memenuhi tuntutan baru untuk menjadi relevan dengan masyarakat, museum juga mengalami perubahan peran edukasi dan sosial. Bahkan, dalam tingkatan tertentu museum dianggap sebagai institusi yang mengampu peran perubahan sosial. Biasa disebut agen perubahan (agent of change). Dalam menjalani peran sosial ini, museum kini dituntut untuk semakin terbuka terhadap bebagai kelompok dalam masyarakat. Keadaan inilah yang akhirnya memunculkan istilah ‘museum inklusif’, yang menurut R. Sandell dalam Mensch (2003) hampir sama dengan konsep museum komunitas.

The goal of the inclusive museum is to achieve cultural inclusion by representation of, and participation and access for those individuals or communities that are often excluded…...In general, a museum should play a role in generating social change by engaging with and empowering people to determine their place in the world, educate themselves to achieve their potential, play a full part in society and contribute to reforming it in the future.” (Mensch, 2003: 8)

Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa tujuan dari museum inklusif adalah untuk mencapai inklusi budaya. Melalui representasi tentang individu, atau komunitas yang sering diabaikan, serta partisipasi dan akses bagi mereka. Secara umum, museum harus berperan dalam menghasilkan perubahan sosial. Melalui keterlibatannya dengan masyarakat, dan memberdayakan masyarakat untuk menentukan posisi mereka di dunia. Mendidik diri mereka untuk mencapai potensi mereka. Berperan penuh dalam masyarakat, serta memberikan kontribusi untuk perbaikan masyarakat pada masa depan. Dalam hal ini, penyandang disabilitas termasuk ke dalam individu dan komunitas yang sering diabaikan keberadaannya dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.

Baca juga: Memahami Kebutuhan Pengunjung

 

Daftar Pustaka

Abt, Jeffrey. (2006). The origins of the public museum in A companion to museum studies. Oxford, UK: Blackwell Publishing.

Magetsari, Noerhadi. (2011). Museum Era Pascamodern. Makalah disampaikan dalam  Seminar Towards Indonesian Postmodern Museums, Depok 3 Maret 2011, Departemen Arkeologi Universitas Indonesia.

Mason, Rhiannon. (2006). Cultural theory and museum studies. In A Companion to museum studies. Oxford: Blackwell Publishing.

Mensch, Peter Van. (2003). Museology and Management: enemies or friends?Current tendencies in theoretical museology and museum management in Europe, makalah dalam Konferensi Museum Management Academy, Tokyo.

Yunci Cai. (2008). Museums as temples of cultures or palaces of entertainment?: A study of new museums in Singapore. The International Journal of the Inclusive Museum Vol. 1 No. 4.