Oleh: Dian Trihayati

Negara Bahari dan Negara Kepulauan

Indonesia dikenal sebagai ‘negara bahari’, juga dikenal sebagai ‘negara kepulauan’ atau dalam bahasa asing disebut archipelagic state. Kata ‘kepulauan’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti suatu gugusan beberapa pulau atau kumpulan pulau. Sehingga pengertian negara kepulauan sering diartikan sebagai negara yang terdiri atas pulau-pulau yang dikelilingi oleh laut.

Menurut A.B. Lapian pengertian negara kepulauan tidaklah sama dengan pengertian negara bahari. Berdasarkan kamus Oxford dan Webster kata archipelagic yang berasal dari kata ‘archipelago’ berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata arc (besar, utama) dan pelagos (laut) berarti ‘laut utama’. Dengan demikian archipelagic state harus diartikan sebagai negara laut utama yang ditaburi pulau-pulau. bukan negara pulau-pulau yang dikelilingi laut (Lapian 2009:2).

Pada Kongres Sejarah Nasional 1996, A.B. Lapian dalam makalahnya yang berjudul “Laut, Pasar dan Komunikasi Antar-Budaya” menyatakan bahwa konsep archipelagic state yang mengacu pada ‘negara kepulauan’ harus diganti dengan konsep ‘negara bahari’. Konsep negara bahari yang dimaksud A.B. Lapian adalah laut utama yang memiliki banyak pulau (Lapian 1996). Dengan demikian, berdasarkan fakta geografis dan konsep yang dikemukakan oleh A.B. Lapian, negara Indonesia dapat dikatakan Negara Bahari.

Jejak Kemaritiman

Melalui kajian arkeologi maritim[1], diketahui bahwa hubungan antar pulau serta aktivitas kemaritiman bangsa Indonesia telah ada sejak zaman prasejarah. Lukisan-lukisan berbentuk perahu yang ditemukan pada dinding gua di daerah Sulawesi Selatan merupakan bukti arkeologi tertua mengenai adanya sarana transportasi air dari masa epipaleolitik-masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut. Perahu pada masa prasejarah tidak hanya berfungsi sebagai sarana tranportasi, namun juga sebagai sarana mencari kebutuhan bahan makanan, berdagang hingga keperluan keagamaan (Sukendar 1998:22).

Bukti arkeologi lain disebutkan bahwa temuan nekara perunggu berukuran besar yang disebut dengan Nekara Dong Son di beberapa wilayah di Indonesia diduga diimpor setelah 200 SM dari pusat-pusat kebudayaan Dong Son di Vietnam Utara. Temuan tersebut menunjukkan bahwa telah adanya hubungan manusia antar daerah baik di dalam maupun di luar wilayah Nusantara yang terjadi melalui aktivitas laut (Miksic 2002).

Masa Kerajaan

Pada masa sejarah, khususnya pada masa mulai terbentuknya kerajaan-kerajaan di Nusantara, kehidupan maritim yang diketahui dari data arkeologi antara lain berupa prasasti-prasasti berbahasa melayu kuno serta relief pada stupa Borobudur (Utomo 2011:2). Data-data arkeologi tersebut menunjukkan adanya berbagai bentuk alat transportasi yang digunakan sebagai sarana perdagangan, seperti berbagai bentuk pedati dan perahu. Adanya jenis alat transportasi ini menunjukkan bahwa kegiatan perdagangan pada masa itu terjadi di daratan dan di daerah yang hanya dapat dilalui dengan menggunakan perahu.

Menurut Van Erp, yang dikutip oleh A. B. Lapian, pada candi Borobudur terdapat 11 panil relief yang menggambarkan perahu/kapal. Gambar kapal-kapal besar pada panil relief tersebut menunjukkan bahwa pada waktu itu perkembangan teknik perkapalan telah maju (Lapian 1978:99–101). Selain itu, Supangat (2006) menambahkan bahwa relief-relief di candi Borobudur tersebut menunjukkan bahwa perahu yang digunakan untuk berdagang bukan semata-mata perahu kecil, akan tetapi merupakan perahu layar yang mampu mengarungi samudera yang luas serta tahan terhadap gelombang besar (Supangat, dkk, ed., 2006).

Pada masa Kerajaan Sriwijaya yaitu sekitar abad ke-8–9 M berdasarkan sumber-sumber sejarah, dikatakan bahwa kerajaan ini telah menguasai lalu lintas perdagangan dan pelayaran di Selat Malaka. Bukti arkeologi yang mengindikasikan bahwa Sriwijaya mempunyai kekuatan laut yang besar yaitu prasasti Kedudukan Bukit yang bertanggal 16 Juni 682 Masehi. Kerajaan lain yang juga dikatakan mempunyai kekuatan laut setelah Sriwijaya adalah kerajaan Singhasari (1254–1292 M) dan Majapahit. Dalam Negarakertagama, dikatakan bahwa Majapahit dibawah pimpinan Raja Hayam Wuruk dan Patihnya Gajah Mada menjalin hubungan dengan tempat-tempat lain di Nusantara dan Asia Tenggara (Utomo 2012:22–24). Sayangnya, setelah masa keemasan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit berakhir, kejayaan bahari Nusantara terus mengalami kemerosotan.

Masa Kolonial

Ketika bangsa Eropa pada abad ke-15–16 M tiba di wilayah Nusantara untuk berdagang, pada saat itu di dunia sedang tumbuh semangat pelayaran yang dipicu oleh perdagangan rempah-rempah. Nusantara yang telah dikenal sebagai wilayah penghasil rempah-rempah terutama dikawasan timur (Maluku, Ternate, Tidore dan Banda) menjadi tujuan utama para penjelajah dunia. Kedatangan bangsa Eropa terutama Spanyol dan Portugis pada awalnya hanya untuk berdagang dan melakukan penyebaran agama, sedangkan bangsa Belanda dan Inggris lebih bersifat komersil (Burger 1962:44). Belanda di bawah Perserikatan Dagang Belanda atau yang dikenal dengan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC)[2] selain memiliki kepentingan ekonomi khususnya monopoli perdagangan juga memiliki tujuan politis, yakni penguasaan wilayah Nusantara (Djajadiningrat 1983:131–135).

Menurut Djoko Pramono dalam bukunya Budaya Bahari, masuknya VOC ke wilayah Nusantara (1602–1798) adalah masa surutnya semangat kebaharian di Nusantara hingga mencapai titik terendah. Ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada 1755 oleh pihak Belanda dengan Raja Surakarta dan Yogyakarta menandai hilangnya kekuatan bahari (sea power) di Nusantara. Salah satu inti perjanjian Giyanti tersebut adalah diktum bahwa kedua raja keturunan Mataram tersebut menyerahkan perdagangan laut, hasil bumi dan rempah-rempah dari wilayahnya kepada Belanda. Perjanjian Giyanti telah memasung perkembangan kebaharian Nusantara serta berakibat fatal terhadap penurunan semangat dan jiwa bahari bangsa serta pergeseran nilai-nilai sosial budaya dalam masyarakatnya yang semula bercirikan budaya bahari (laut) menjadi bergeser kepada budaya terestrial atau daratan (Pramono 2005:7).

Wawasan Nusantara

Menurut Hasjim Djalal, selama masa penjajahan oleh VOC, laut di Nusantara lebih berfungsi sebagai alat pemisah dan pemecah belah kesatuan dan persatuan bangsa. Baru setelah masa kemerdekaan, muncul pemikiran utama bangsa Indonesia pada waktu itu adalah bagaimana mencari konsepsi baru di bidang hukum laut dan kelautan yang menjamin dan mengembangkan kesatuan bangsa Indonesia. Berdasarkan pemikiran tersebut, pada 13 Desember 1957 lahirlah Deklarasi Djuanda yang mengusung konsep Wawasan Nusantara. Dengan konsep ini laut di antara dan disekeliling pulau Indonesia tidak boleh lagi dianggap sebagai alat pemisah dan pemecah bangsa seperti pada zaman kolonial Belanda tetapi harus dipergunakan sebagai alat pemersatu bangsa (Djalal 2007:4).

Usaha memperjuangkan konsep Wawasan Nusantara yang ditempuh melalui forum regional serta internasional akhirnya membuahkan hasil. Dengan diterimanya konsep tersebut secara konsensus oleh seluruh bangsa di dunia yang diwakili oleh United Nation atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Konsep Wawasan Nusantara kemudian dipakai sebagai prinsip hukum internasional baru yang dicantumkan dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, yang disebut dengan Archipelagic State Principle dan berlaku efektif sebagai hukum internasional positif sejak 16 November 1984 (Wahyono 2009:4–5).

Kajian mengenai kebaharian Indonesia, secara akademis dikaji dalam bidang ilmu Sejarah Maritim[3]. Sebagaimana yang dapat ditilik dari kajian-kajian yang telah dilakukan oleh peneliti dan penulis di bidang ini, di antaranya A.B. Lapian, ia membagi lingkup studi kemaritiman atau kebaharian meliputi perdagangan, pelayaran, perkapalan, pelabuhan, dan bajak laut (Hamid 2013:11).

Catatan kaki:

[1] Arkeologi maritim adalah bagian dari disiplin ilmu arkeologi yang mengkhususkan kajian pada persebaran okupasi dan kegiatan manusia, serta hubungannya di dalam satuan-satuan ruang yang berkaitan dengan lingkungan berperairan/laut terbuka, dengan tujuan memahami sistem teknologi, sistem sosial dan sistem permukiman dari masyarakat masa lalu (Mundardjito 1990:21).

[2] VOC merupakan kongsi dagang terbesar di Belanda, merupakan gabungan dari perserikatan dagang Belanda yang melakukan pelayaran ke wilayah Nusantara dalam rangka berdagang dan membeli serta mengangkut rempah-rempah ke negeri Belanda. VOC juga diberikan sejumlah hak istimewa (hak Oktroi) oleh pemerintah Belanda, sehingga VOC memiliki kekuasaan dan kewenangan yang sama seperti yang dimiliki negara. VOC juga bertindak sebagai penguasa yang melakukan penjajahan di Nusantara sejak 1602 hingga1799 (Zuhdi 2002:4).

[3] Sejarah Maritim yaitu kajian bidang sejarah yang khusus mengkaji segala sesuatu yang berhubungan dengan perkembangan aktivitas manusia di bidang kelautan (Sulistiyono, 2004: 2).

Baca juga:

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditpcbm/di-indonesia-ada-tiga-museum-bahari/

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditpcbm/pengembangan-model-edukasi-museum-bahari/

Daftar Pustaka

Burger, D.H. 1962. Sejarah Ekonomis Sosiologi Indonesia Jilid 1. Disadur dan disesuaikan oleh Prajudi Atmosudirdjo. Djakarta: Pradnyaparamita.

Djalal, Hasjim. 2007. “Deklarasi Djuanda dalam Perspektif Sejarah” dalam 50 Tahun Deklarasi Djuanda, Sejarah Kewilayahan Indonesia. Kumpulan Makalah Direktorat Geografi Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Djayadiningrat, Husein, 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten: Sumbangan Bagi Pengenalan Sifat-sifat Penulisan Sejarah Jawa, Jakarta: Djambatan.

Hamid, Abd. Rahman, 2013, Sejarah Maritim Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombakl.

Lapian, Adrian B.

—–      1978. “Pelayaran Pada Masa Sriwijaya”, Makalah pada Pra Seminar Penelitian Sriwijaya, yang diselenggarakan di Jakarta, 7 – 8 Desember 1978. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.

—–      1996. “Laut, Pasar, dan Komunikasi Antar-Budaya”, Makalah pada Kongres Sejarah Nasional. Jakarta.

—–      2009. Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Jakarta: Komunitas Bambu.

Miksic, John, ed. 2002. Indonesian Heritage 1: Sejarah Awal, Jakarta: Buku Antar Bangsa untuk Grolier International.

Mundardjito. 1990. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Puslit Arkenas.

Pramono, Djoko. 2005. Budaya Bahari. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sukendar, Haris, ed. 1998. Perahu Tradisional Nusantara (Tinjauan melalui bentuk dan fungsi). Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Supangat, Agus, ed. dkk. 2006. Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia Dalam Proses Integrasi Bangsa (Sejak Jaman Prasejarah hingga Abad XVII). Jakarta: Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan.

Utomo, Bambang Budi.

—–      2011. “Pelayaran Antar Pulau Sumatera dan Jawa”. Varuna: Jurnal Arkeologi Bawah Air Vol.5. Jakarta: Direktorat Cagar Budaya Bawah Air dan Masa Kolonial.

—–      2012. Bangkitlah Bangsa Bahari. Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman.

Wahyono, SK. 2009. Indonesia Negara Maritim. Jakarta: Penerbit Teraju.

Zuhdi, Susanto. 2002. “VOC: Awal Penjajahan (di Indonesia)” dalam VOC di Kepulauan Indonesia: berdagang dan menjajah. Bunga Rampai Sejarah Hubungan Indonesia-Belanda, Kedutaan Besar Republik Indonesia Den Haag. Jakarta: Balai Pustaka.