Sejak tahun 1934, ketika Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald menggegerkan dunia dengan penemuan fosil dan artefak manusia purba di Sangiran, Kawasan Cagar Budaya Nasional Sangiran menjadi salah satu pusat penelitian kehidupan manusia purba di Indonesia. Tidak hanya manusia, namun juga lingkungan hidup di sekitarnya seperti flora dan fauna yang hidup berdampingan di masa itu. Manusia pada saat itu telah memanfaatkan kekayaan alam untuk bertahan hidup. Hal ini dibuktikan dengan adanya alat-alat batu yang tersebar di Situs Sangiran.

Kawasan Cagar Budaya Nasional Sangiran diketahui memiliki empat formasi yang menjadi representasi kehidupan manusia purba. Berdasarkan yang tertua, formasi tersebut diurutkan menjadi: Formasi Kalibeng, Formasi Pucangan, Formasi Kabuh, dan Formasi Notopuro. Formasi Kalibeng dibuktikan dengan lapisan batu gamping dan lempung. Formasi ini diduga merupakan endapan laut sebelum manusia dapat menempati wilayah tersebut. Sehingga, di formasi ini masih steril dari sisa-sisa kehidupan manusia.

Selanjutnya, litologi lempung hitam Formasi Pucangan yang sudah mulai dihuni oleh manusia. Formasi ini diperkirakan berusia 1,7 juta tahun yang lalu sampai 900 ribu tahun yang lalu. Pada lapisan ini ditemukan fosil manusia Homo erectus, fosil fauna berupa Bovidae dan Cervidae, serta berbagai mikro biota yang hidup di kehidupan rawa.

Lalu, ada Formasi Kabuh yang terletak di atas Formasi Pucangan. Litologi formasi ini berupa pasir, kerikil, dan batu tuff yang tersusun secara silang siur, menandakan adanya indikasi kehidupan sungai di formasi ini. Formasi ini juga merupakan hasil erupsi gunung api sekitar 700 ribu sampai 250 ribu tahun yang lalu. Formasi ini memiliki kekayaan temuan dibandingkan formasi-formasi lainnya.  Homo erectus tibilik diduga sudah mendiami formasi ini beserta fauna-fauna di sekitarnya dan telah mengalami perkembangan budaya yang lebih pesat dibanding formasi sebelumnya.

Formasi termuda, yaitu Formasi Notopuro merupakan pengendapan material vulkanik. Jika di Formasi Kabuh terjadi indikasi adanya sungai, maka di formasi ini diperkirakan sungai tersebut sudah tertutupi oleh material piroklastik seperti kerikil dan abu dari letusan Gunung Lawu. Di formasi ini terjadi perubahan lingkungan hidup yang tadinya sungai menjadi lahan terbuka berupa stepa. Tidak ditemukan fosil manusia di formasi ini, karena diduga manusia sudah berpindah ke aliran Sungai Bengawan Solo di sebelah timur. Namun, masih ditemukan fosil fauna yang artinya fauna masih mendiami formasi ini.

kekayaan bukti kehidupan manusia di masa lalu ini lah, diperlukan upaya untuk melindungi kandungan yang ada di dalamnya. Salah satu upaya untuk melindungi situs ini yang dilakukan oleh Direktorat Pelindungan Kebudayaan adalah penyusunan kajian sistem zonasi. Zonasi dibuat untuk melindungi dan mengatur penggunaan kawasan cagar budaya agar senantiasa lestari serta memberikan manfaat bagi masyarakat yang hidup di sekitarnya. Tak terkecuali untuk Kawasan Cagar Budaya Nasional Sangiran di Jawa Tengah.

Direktorat Pelindungan Kebudayaan mulai tanggal 30 Agustus s.d. 3 September 2022 melakukan kajian lapangan zonasi Kawasan Cagar Budaya Sangiran. Kajian zonasi merupakan tindaklanjut dari penetapan Satuan Geografis Sangiran sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 019/M/2015. Kajian lapangan ini melibatkan tim dari BPSMP (Balai Pelestarian Situs Manusia Purba) Sangiran serta narasumber di bidang arkeologi, planologi, dan antropologi, yaitu: Prof. Harry Widianto (palaeontologi), Yunus Arbi (arkeologi), Firman (planologi), dan Masdar Farid (antropologi). Kemudian membentuk beberapa tim dalam kajian lapangan ini, antara lain: tim arkeologi menyusuri batas delineasi kawasan cagar budaya, tim antropologi melakukan wawancara dengan masyarakat setempat dan planologi melakukan koordinasi dengan beberapa pemerintah daerah setempat terkait tata ruang dan tata guna lahan.

Kajian lapangan ini menghasilkan penyepakatan pembagian Sistem Zonasi Kawasan Cagar Budaya Nasional Sangiran menjadi tiga zona, yaitu: Zona Inti, Zona Penyangga, dan Zona Pengembangan dengan luas mencapai 59,21 km2. Setelah tahap kajian lapangan dilakukan, selanjutnya merupakan tahap penyusunan draft kajian oleh masing-masing narasumber sesuai dengan data dan informasi yang diperoleh ketika di lapangan.