oleh: Punto A. Sidarto dan Andre Donas

Indonesia. Satu-satunya bangsa yang menyebut wilayah mereka dengan istilah Tanah-Air.

Kesatuan TANAH dan AIR.

Secara kultural, bangsa Indonesia adalah bangsa Tanah dan juga bangsa Air. Secara natural, tentu saja manusia adalah makhluk daratan. Namun kedekatan bangsa Indonesia dengan Budaya Air dapat dirunut dari ungkapan Tanah-Air itu.

Secara politis wilayah Tanah-Air Indonesia disebut sebagai Negara Kelautan (archipelagic state), sebentang laut yang di dalamnya terdapat rangkaian pulau. Namun secara geografis-kultural wilayah ini tetap merupakan sebuah Negara Kepulauan, serangkaian pulau yang dihubungkan oleh selat dan laut sebagai pengikat dan pemersatunya. Sebagian suku-bangsa Indonesia memang ada yang hidup di wilayah perairan, namun sebagian besar tetap adalah makhluk daratan, bangsa kepulauan.

Jadi, perlukah ditanya-ulang, sebenarnya kita bangsa Tanah atau bangsa Air, atau kesatuan dari keduanya? Suatu karakter yang melekat, atau bentukan dari slogan politis yang dikumandangkan saat Kongres Pemuda II tahun 1928, kemudian dikenal sebagai deklarasi Sumpah Pemuda. Bahwa kita tinggal bersama di suatu wilayah yang disebut Tanah-Air Indonesia.

Memahami dan menyelesaikan permasalahan sosio-kultural tentu tak bisa hanya dengan meracik dan memopulerkan slogan atau semboyan. Menggubah lagu atau menyebar-luaskan semboyan bahwa kita Bangsa Bahari, atau negara kita adalah Negara Kelautan, tidak dengan sendirinya dapat melepaskan kita dari karakter natural sebagai makhluk daratan.

Budaya Maritim (Kuno) Nusantara

Dalam konteks historis, Nusantara mengandung pengertian keterpisahan antara Pulau Jawa dengan pulau-pulau lain di Indonesia. Namun, istilah Nusantara sekarang bermakna berbeda. Setelah Koes Plus memopulerkan serangkaian lagu berjudul Nusantara, RRI pun menyebut studio-studionya di berbagai daerah dengan istilah Nusantara, serta pernah pula digunakan sebagai nama kapal ekspedisi samudera, Phinisi Nusantara. Maka sekarang, istilah Nusantara dikenal masyarakat sebagai ungkapan yang mewakili makna tentang sebuah wilayah yang terdiri atas pulau (nusa) dan laut di antaranya. Itulah Tanah-Air Indonesia.

Istilah Tanah-Air terkesan lebih kontemporer, sementara dalam istilah Nusantara terkandung konotasi keagungan, yang berasal dari kekunoan. Seperti juga istilah bahari: selain berarti laut, juga berarti kuno. Zaman bahari berarti zaman kuno.

Maka, terekam dalam benak publik: kebaharian, kelautan, ataupun kemaritiman, adalah bagian dari masa lalu, representasi kekunoan.

Tradisi kemaritiman Nusantara memang berakar cukup dalam

Sejatinya, tradisi kemaritiman Nusantara memang berakar cukup dalam. Penutur bahasa Austronesia (ras Mongoloid), yang merupakan salah satu cikal-bakal bangsa-bangsa di Nusantara, diperkirakan adalah pengguna salah satu tradisi pelayaran tertua di dunia, yang semakin berkembang sekitar 4.000 SM. Pelayaran pantai dan pelayaran antar-pulau yang menjadi ciri khas Nusantara tentu berakar pada tradisi Austronesia itu.

Ketika bangsa-bangsa Eropa mulai mengembangkan pelayaran lintas samudera, teknologi pelayaran mereka pun berkembang semakin unggul. Membawa kolonialisme ke berbagai penjuru dunia, sampai pertengahan abad ke-20, menyurut sejalan berakhirnya Perang Dunia II.

Pada satu sisi, tradisi pelayaran Eropa turut memengaruhi perkembangan kemaritiman Nusantara, antaranya muncul pada perahu Phinisi. Di sisi lain, kolonialisasi Eropa pula yang berperan menyurutkan tradisi kemaritiman Nusantara.

Nenek moyangku orang pelaut

gemar mengarung luas samudera

Selain mengandung ajakan untuk menjadi pelaut, lagu anak-anak ini juga menyiratkan pemahaman, bahwa pelaut adalah karakteristik atau profesi nenek-moyang, bukan karakter kita saat ini. Budaya maritim, ternyata memang bagian dari masa lalu.

Maka, pengembangan Budaya Maritim Indonesia saat ini, perlu ditempatkan dalam kerangka Revitalisasi Budaya Maritim. Menghidupkan kembali nilai-nilai lama yang relevan.

Revitalisasi Peran Museum: Lebay versus Alay

Dalam konteks permuseuman, Revitalisasi Budaya Maritim dapat disejajarkan dan ditempatkan dalam kerangka program Revitalisasi Museum, yang di Indonesia telah berjalan selama beberapa tahun terakhir. Masalahnya, revitalisasi ini umumnya dilakukan untuk fisik museum, sehingga lebih tepat disebut renovasi museum. Sementara, tuntutan untuk perubahan museum secara lebih substansial terus mengemuka. Bahkan sampai ke tataran peran museum. Tak lagi berfungsi sebagai lembaga pelestari dan penyaji kekayaan alam dan budaya semata, belakangan museum juga dituntut untuk berperan sebagai agen perubahan sosial.

Pada 2013 lalu, International Council of Museums (ICOM) menggulirkan tema universal tahunan: Museum (memory + creativity) = Social Change. Museum diminta terlibat di dalam persoalan masyarakat, dan sekaligus terlibat dalam mengarahkan perubahan masyarakat. Terlalu berlebihankah tuntutan ini?

Peran sosial museum sebagai agen perubahan

Sesungguhnya perdebatan soal peran sosial museum sebagai agen perubahan bukan hal baru. Richard Sandell dalam Museum, Society, Inequality menyatakan, perkubuan antara yang pro dan kontra terhadap gagasan ini muncul sejalan dengan posisi masing-masing pihak. Umumnya yang kontra terhadap gagasan ini adalah orang-orang yang bergerak dan bekerja di lingkungan museum dan pekerja budaya secara umum, yang merasa kurang nyaman dengan ekspektasi dan tuntutan yang dianggap Lebay (berlebihan). Menjaga dan memelihara koleksi, mendatangkan pengunjung ke museum, serta membuat pengunjung mengerti dan memahami kisah di balik obyek museum, bukan tugas sederhana. Apalagi harus ditambah dengan tanggung-jawab baru yang bisa dikatakan berasal dari luar bidang kompetensi mereka.

Sementara kelompok pro terhadap perubahan peran museum ini, kita sebut si Lebay, memang kebanyakan berasal dari pekerja dan aktivis sosial, yang beranggapan bahwa peran lama museum membuat museum menjadi dangkal (Alay) dan kurang berguna. Begitu banyak potensi yang mampu dilakukan museum, selain sekadar untuk kebutuhan pendidikan dan rekreasi semata. Terlalu banyak dana yang terhamburkan jika cuma digunakan sebatas edukasi dan rekreasi. Demikian pandangan para Lebay terhadap pandangan kelompok Alay, yang di lain pihak beranggapan, peran baru itu terlalu dipaksakan, aneh, dan tidak perlu.

Terlepas pro kontra antara si Alay dan si Lebay, kita dapat bersepakat bahwa museum memang, mau tak mau, harus melakukan definisi ulang atas semua misi, tujuan, fungsi, dan strategi mereka, agar dapat lebih merefleksikan tuntutan dan harapan masyarakat. Jika tidak, museum akan tergilas oleh perubahan yang maha cepat. Dunia berubah, tuntutan berubah, museum juga harus berubah!

Harus memaksimalkan semua keunikan

Untuk bisa bertahan, museum memang harus memaksimalkan semua keunikan sumber daya dan potensi yang mereka miliki, agar mampu merespon dinamika masyarakat modern. Dalam kuliah publiknya (1999) Emmanuel E. Arinze, saat itu sebagai Presiden Commonwealth Association of Museums mengatakan: Hari ini museum harus menjadi agen perubahan dan pembangunan. Aktivitas museum harus mencerminkan berbagai peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat, sekaligus menjadi instrumen kemajuan. Museum harus menjadi lembaga yang terlibat dalam mempromosikan perdamaian, demokrasi, transparansi, dan kehidupan yang lebih baik buat masyarakat tempat museum itu berada.

Harapan besar dilekatkan pada museum. Karena museum dianggap sebagai lembaga sosial yang masih tersisa saat ini. Ketika rumah sakit dan sekolah berkembang semakin komersial, media-massa sejak lama berbasis bisnis, tinggallah museum yang masih bertahan di ranah sosial. Belakangan, bertumbuhan komunitas sosial, sejalan dengan merebaknya media sosial.

Tuntutan peran baru bagi museum tentu saja bukan tugas sederhana. Pertama, secara praktis tidak mudah mengubah mindset para praktisi museum yang bertahun-tahun bekerja dengan cara, metode, dan paradigma yang sama. Ada resistensi yang pasti muncul karena perasaan betah di comfort zone. Belum lagi proses belajar yang membutuhkan waktu tidak sedikit.

Kesulitan kedua, tidak mudah bagi museum untuk mengambil posisi dan penilaian ketika berhadapan dengan permasalahan masyarakat, apalagi ketika harus berhadapan dengan pilihan-pilihan ideologis. Sebagai contoh, problem sosial seperti ketimpangan ekonomi masyarakat, mampukah museum memilih sikap pro ekonomi kapitalistik atau sosialistik, misalnya. Tidak mudah mengambil sikap terhadap persoalan-persoalan seperti kemiskinan, buruknya pelayanan kesehatan publik, atau masalah pengangguran, yang bisa bersinggungan dengan kebijakan pemerintah yang berkuasa.

Lantas, seperti apa peran museum dalam Revitalisasi Budaya Maritim?

Gotong-Royong Membangun Museum

Kerja permuseuman adalah kerja multi-disiplin. Dalam terminologi sosial Indonesia, bisa disejajarkan dengan pengertian gotong-royong.

Coba kita urai kerja multi-disiplin itu. Penanganan koleksi budaya misalnya, akan mencakup antara lain: arkeologi, antropologi, ilmu sejarah, filologi, sejarah seni, dan lain-lain, berikut berbagai cabang keilmuannya, misal: epigrafi, ikonografi, prasejarah, sejarah maritim, sastra (Jawa, Melayu, Batak, Bugis, Sunda, dll.), numismatik, dan sebainya; sementara untuk museum sejarah alam atau science centre: zoologi, botani, geologi, oceanologi, oceanografi, vulkanologi, dan lain-lain. Aspek pelestarian (konservasi dan preparasi) ditangani antaranya oleh bidang-bidang: teknik kimia, teknik konservasi, serta kerja kriya sesuai jenis koleksinya.

Selain koleksi, ada pula muatan informasi serta pesan yang akan disajikan kepada pengunjung, yang berbasis ilmu komunikasi. Pada tataran implementasi, muatan pameran perlu ditangani pada dua aspek sekaligus: materi dan teknis. Materi koleksi ditangani oleh bidang keilmuan sesuai; sedangkan materi informasi (tekstual, visual, audio, audio-visual, dsb.) lazimnya akan lebih lancar jika dibantu tenaga arsiparis atau ilmu perpustakaan.

Aspek teknis terbagi pula menjadi dua aspek utama: visual dan tekstual. Pada aspek visual, peran utama dilakukan desain komunikasi visual (DKV), produk utamanya karya rancang grafis; serta sinematografi, jika produk akhirnya berupa film (audio-visual); seni kriya atau seni patung, jika produk akhir berupa diorama (Sajian Evokatif dalam terminologi permuseuman); juga teknik informatika dan manajemen informatika (terkait kelola data), jika produk akhir berupa media elektronik interaktif. Pada Sajian Interaktif, teknis penyajian bisa secara elektronik, bisa manual, misalnya dalam bentuk permainan interaktif, atau penyajian di Arena Anak (kid’s corner).

Peran teknis utama adalah keterampilan penulisan

Pada olahan tekstual, peran teknis utama adalah keterampilan penulisan, yang bisa berbasis pada ilmu komunikasi massa atau ilmu sastra/bahasa, serta teknik penyuntingan. Lazimnya diperlukan dua bidang penyuntingan, satu: editor muatan sesuai jenis museum (ahli olahraga untuk Museum Olahraga, ahli maritim untuk Museum Maritim, dll.); kedua, editor komunikasi atau bahasa. Penerjemahan dilakukan sesuai bahasanya (Sastra Inggris, Jepang, Belanda, dll.). Lazimnya dibutuhkan kemampuan yang berbeda sesuai arah penerjemahan, misal terjemahan dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris, belum tentu bisa dilakukan oleh penerjemah bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Optimalisasi kualitas teks bahasa asing memerlukan penyuntingan atau pembacaan akhir oleh ahli bahasa penutur asli (native speaker).

Untuk keperluan komunikasi spesifik, misalnya teks khusus untuk anak-anak, akan diperlukan ahli psikologi anak, ahli psikologi remaja untuk sajian khusus kepada remaja, pakar braille untuk sajian bagi kaum tunanetra, tenaga teknik informatika untuk sajian kontemporer yang tertuju pada gadget, dsb. Kebutuhan ini sejalan dengan perkembangan permuseuman yang belakangan mulai lebih memerhatikan kepentingan publik. Dengan sendirinya diperlukan pula berbagai keahlian terkait kebutuhan publik. Yang akan terlibat antaranya: ilmu sosial, ilmu pendidikan, serta psikologi. Secara minor kadang diperlukan juga ahli pariwisata.

Untuk wadah fisik dan sarananya, perlu keahlian rancangan interior, desain produk, teknik fisika (pencahayaan), juga seni kriya, serta berbagai keterampilan spesifik, misal untuk pengamanan koleksi. Untuk bangunannya, perlu teknik arsitektur, sipil, elektro, lansekap (pertamanan), dan kadang kala juga teknik lingkungan. Berkenaan dengan program publik serta program penunjang (basis data, publikasi, dll.), masing-masing akan memerlukan keahlian spesifik pula.

Pengelolaan kerja berbagai bidang keilmuan serta beraneka tenaga ahli dan tenaga terampil itu, tentu perlu suatu kemampuan tersendiri pula, bisa dari landasan ilmu administrasi (berbasis ilmu sosial-politik) atau manajemen (berbasis ilmu ekonomi). Namun secara substansial, pengelola utama lazimnya berbasis pada ilmu permuseuman, bisa: museologi, museografi, museum studies, atau museum management, dll. Kenyataannya (atau celakanya), ilmu permuseuman memang masih dalam proses pembentukan dan pengembangan.

Pada tataran implementasi, teknik dan praktik manajerial saja kadangkala tak mencukupi untuk kerja dan tugas permuseuman. Berbagai bidang dan latar keilmuan itu, seringkali membawa juga berbagai kepentingan berbeda. Ego keilmuan kadang muncul cukup kuat.

Maka, kerja permuseuman memang membutuhkan semangat Gotong-Royong.

Tanpa semangat gotong-royong, keruwetan jaringan kerja multi-disiplin permuseuman itu mungkin tidak dapat mengemban tugas besar revitalisasi budaya maritim. Atau justru menambah keruwetan masalah.

Tema kemaritiman adalah sebuah tema besar. Apalagi kemaritiman Indonesia.

Dalam tradisi Nusantara, pelayaran laut selalu terhubung dengan pelayaran sungai. Maka budaya maritim Indonesia tidak hanya berkenaan dengan laut dan pesisir, tetapi juga berkenaan dengan kebudayaan sungai. Banyak kebudayaan lokal di Indonesia, utamanya di Sumatera, yang karakteristik kulturalnya dibentuk oleh sungai, bahkan juga sebutannya. Ada Sungai Siak, suku-bangsa Siak, Kota Siak, dan bahasa Siak; Sungai Komering, suku-bangsa Komering, dan bahasa Komering; demikian seterusnya, dalam jumlah belasan atau bahkan puluhan di Sumatera. Di Jawa tinggal tersisa Bengawan Solo, orang Solo, bahasa jawa dialek Solo, dan Kota Solo. Pentingnya Kebudayaan Sungai di Indonesia (juga di Asia Tenggara, dan dahulu di seluruh pelosok dunia), menjadikannya perlu ditempatkan pula pada kerangka Kebudayaan Maritim.

Mengisahkan kemaritiman Indonesia, bisa berarti mengisahkan dua pertiga dari Indonesia. Mungkin tak cukup satu museum untuk melestarikan dan mengisahkannya.

Maka diperlukan suatu jejaring kerjasama antar-museum, untuk menggarap bersama tema besar kemaritiman Indonesia. Tidak berarti harus menyatukan semuanya dalam suatu tatanan kendali, namun lebih pada kemauan untuk bersama-sama membangun Jejaring Alur Kisah, sehingga penceritaan kemaritiman Indonesia bisa terangkai dari rajutan berbagai museum itu.

Misalnya, 20 museum di berbagai provinsi bersepakat untuk mengangkat tema kemaritiman. Masing-masing menyediakan 10% dari ruang pamernya untuk penceritaan budaya maritim, yang akan diisi koleksi berbagai museum, sesuai pilihan sub-tema atau topik yang disepakati, berbeda-beda untuk masing-masing museum. Setelah 3–6 bulan, pameran dipindahkan ke museum lain, sehingga publik dapat memeroleh sajian koleksi yang berbeda, serta informasi lebih luas. Dari Aceh beralih ke Kalimantan Selatan; yang dari Kalimantan Selatan ke Sulawesi Utara; yang juga pindah ke Maluku; yang Maluku ke Nusa Tenggara Barat; yang juga beralih ke Jawa Timur; koleksi Jawa Timur beralih ke Riau, demikian seterusnya, setiap 3–6 bulan. Namun tentu perlu dibangun landasan bersama, yaitu suatu jejaring alur kisah yang menyatukan seluruh cerita.

Kerjasama antarmuseum

Kerjasama antarmuseum ini akan lebih menguat, jika setiap museum juga memosisikan diri sebagai simpul pengembangan budaya maritim di masing-masing wilayahnya. Artinya, museum tidak pasif sekadar menjaga ruang pamer menunggu pengunjung, tetapi merancang dan menjalankan berbagai program pendukung pengembangan budaya maritim.

Bukan hanya kerjasama pameran, tetapi misalnya juga kerjasama kajian. Selain menjalankan suatu kajian bersama, penting juga untuk melakukan tukar-menukar data dan informasi, misal data koleksi. Dengan demikian dapat diperoleh informasi, misalnya tentang persebaran suatu jenis koleksi, aneka bentuk dan variannya di berbagai daerah, perbedaan maupun persamaan suatu jenis koleksi di berbagai daerah, perbandingan pola dan motif ragam hias, bahkan mungkin proses perubahan dan proses penyebarannya bisa diketahui.

Berikutnya, hasil kajian maupun muatan pameran dapat diterbitkan dalam publikasi bersama. Dengan jangka waktu yang panjang, dapat dijalankan penerbitan berkala, sebagai media penyampaian perkembangan penelitian; maupun penerbitan untuk topik-topik khusus, misalnya: jenis-jenis perahu tradisional di berbagai daerah; tradisi navigasi, dan sebagainya. Publikasi dapat dilakukan dengan media cetak maupun media elektronik, misalnya berupa serial film dokumenter; atau berupa pengembangan situs internet terpadu.

Program publik pun dapat dikembangkan bersama. Cerdas-cermat bertema kemaritiman, atau lomba puisi kemaritiman diselenggarakan di tiap museum, diakhiri dengan kompetisi antar para juara, dengan salah satu museum sebagai tuan rumah. Pada tahap lanjut, dapat pula dijalankan pertukaran pelajar antar daerah, bekerja-sama dengan Dinas Pendidikan di tiap daerah.

Merajut jejaring alur kisah, jejaring program, menyatukan museum

Kelautan dan kemaritiman sedang dikembangkan sebagai suatu program strategis nasional. Selayaknya kalangan permuseuman pun menanggapinya dengan suatu program berskala nasional. Bukan sekadar memerbaiki teknis penataan (label, pencahayaan, dsb.), tetapi lebih pada pengembangan landasan (platform) program yang strategis.

Dalam pengembangan program strategis, pertanyaan yang muncul antaranya: seberapa besar perhatian masyarakat terhadap permasalahan itu. Apakah pengembangan budaya maritim juga sudah mejadi kebutuhan masyarakat? Ataukah masyarakat kita sebenarnya kurang peduli dengan kebudayaan maritim Indonesia. Kutipan hasil survei berikut mungkin bisa memberi gambaran.

Untuk Pernyataan tentang Dasar dan Karakteristik Kebudayaan Indonesia,

NO PERNYATAAN NILAI KATEGORI CATATAN
1 Kebudayaan kepulauan 322 Setuju 1% STS, 6% TS
2 Kebudayaan sekitar hutan-hujan-tropis 315 Setuju 0% STS, 6% TS
3 Kebudayaan pesisir-pantai 313 Setuju 0% STS, 6% TS
4 Kebudayaan pedesaan 311 Setuju 0% STS, 7% TS
5 Kebudayaan pegunungan 311 Setuju 0% STS, 8% TS
6 Kebudayaan agraris (pertanian) 304 Setuju 0% STS, 15% TS
7 Kebudayaan bahari/maritim 302 Setuju 0% STS, 17% TS
8 Kebudayaan sungai 300 Setuju 0% STS, 20% TS
9 Kebudayaan perkotaan 285 Setuju 3% STS, 25% TS

CATATAN: 19% responden Sangat Setuju (SS) dengan Pernyataan bahwa Kebudayaan Bahari/Maritim adalah inti dari Kebudayaan Indonesia.

STS = Sangat Tidak Setuju                             TS = Tidak Setuju

Survei dilakukan di Museum Nasional Indonesia, Desember 2016, saat pelaksanaan Pameran Alur Kisah MNI.

Dari sembilan pilihan tentang Dasar dan Karaketeristik Kebudayaan Indonesia, masyarakat menempatkan Budaya Bahari/Maritim pada urutan ketujuh. Artinya, Budaya Maritim belum menjadi bagian dari kehidupan sebagian besar masyarakat, walaupun ada 19% responden yang menyatakan Sangat Setuju (sementara 17% menyatakan Tidak Setuju). Perlu diperhatikan, pada urutan ketiga terdapat Kebudayaan Pesisir-Pantai, di sini yang dimaksud spesifik adalah budaya nelayan, yang bersifat lokal; dibandingkan Kebudayaan Maritim yang lebih regional.

Sebagai catatan, dua urutan teratas ditempati oleh Kebudayaan Kepulauan (nilai 322) dan Kebudayaan sekitar Hutan Hujan Tropis (315). Hasil ini sesuai dengan masukan dari narasumber kualitatif latar geografi-budaya, bahwa dasar dan karakteristik kebudayaan Indonesia adalah Kebudayaan Kepulauan dan Kebudayaan sekitar Hutan Hujan Tropis. Responden kajian publik kuantitatif ini terdiri atas 40% Guru Sekolah, 40% Pelajar Sekolah Menengah, dan 20% sisanya masyarakat umum (ibu rumah-tangga, karyawan, mahasiswa, dosen, dll.). Survei ini utamanya memang diarahkan kepada kalangan pendidikan, terkait tema Pendidikan Kebudayaan.

Persoalan yang langsung muncul, kerja agaknya memang akan lebih berat. Wawasan Budaya Maritim sebagian besar masih terbenam di kedalaman laut, masih jauh dari benak publik. Apakah serangkaian pameran di museum mampu mengangkat wawasan budaya maritim itu ke permukaan? Ataukah ini tugas yang terlalu berat untuk museum? Sekali lagi, semangat gotong-royong diperlukan. Bukan sekadar mengukur beratnya beban kerja, tetapi menumbuhkan semangat untuk mulai bekerja.

Jadi, saatnya kita segera memulai jejaring pameran kemaritiman di berbagai museum. Namun sejatinya, apa pesan yang ingin disampaikan?

Merujuk pada perubahan peran museum—yang diharapkan dapat menjadi agen perubahan sosial—pertanyaan yang mengemuka: apa perubahan sosial yang diharapkan dapat dikembangkan oleh museum, berkenaan dengan tema kemaritiman dan kelautan?

Kutipan lanjutan lagu anak-anak tadi,

Nenek moyangku orang pelaut

gemar mengarung luas samudera

menerjang ombak tiada takut

menempuh badai sudah biasa

Anak dan remaja yang tinggal di pesisir, tentu sudah terbiasa dengan suasana laut. Namun banyak anak yang tinggal di pegunungan, atau di perkotaan, akan merasa asing dengan suasana laut. Bahkan mungkin takut terhadap laut. Jangankan menerjang ombak, bermain di tepian pun mungkin takut. Rendahnya kemampuan berenang anak dan remaja dari negara kelautan ini, menunjukkan minimnya hubungan mereka dengan laut.

Salah satu persoalan dalam melemahnya budaya maritim Indonesia, adalah berkembangnya rasa takut terhadap laut. Dibumbui pula dengan berbagai tradisi dan cerita yang menggambarkan laut sebagai suatu wilayah yang berbahaya.

Pada tahap awal ini, agaknya pesan yang perlu disampaikan adalah: Jangan Takut Laut.

Makalah untuk Pertemuan Ilmiah Arkeologi XIV, Bogor, 24-27 Juli 2017

 

DAFTAR PUSTAKA

Andre Donas, 2013, Perjuangan Melawan Lupa – Museum dan Perubahan Sosial, Bangkit dan Berubah: dari Museum untuk Indonesia (katalog pameran 38 tahun TMII). KPB CakraDaya dan TMII.

Arinze, Emmanuel Nnakenyi, 1999, opening address from President of Nigeria, The Role of the Museum in Society. Commonwealth Association of Museums.

KPB CakraDaya, 2016, Finalisasi Alur Kisah MNI (laporan untuk kalangan terbatas). Jakarta.

KPB CakraDaya dan Direktorat Sejarah, 2015, Tanah Rumahku Air Halamanku (katalog pameran Sejarah-Budaya Maritim Nusantara). Semarang.

KPB CakraDaya dan Museum Nasional Indonesia, 2016, Jadilah Indonesia (katalog pameran Alur Kisah MNI). Jakarta.

KPB CakraDaya dan TMII, 2013, Bangkit dan Berubah: dari Museum untuk Indonesia (katalog pameran 38 tahun TMII). Jakarta.

Punto A. Sidarto, 2016, Penghitungan Tata Pamer Museum, makalah untuk kalangan terbatas, Bengkel Museum, KPB CakraDaya.

Sandell, Richard, 2002, Museums, Society, Inequality. Routledge, London & New York.