Wiyoso Yudoseputro, Pelopor Sejarah Seni Rupa Indonesia

0
6118

Mengkaji Seni Rupa Tradisi, Memetik Keragaman Budaya Bangsa

Penerima Anugerah Kebudayaan Kategori Pencipta, Pelopor, dan Pembaru 2016. Wiyoso Yudoseputro (1928-2008) adalah seorang perupa, sekaligus pengkaji, teoritisi, dan penulis sejarah seni rupa Indonesia. Kecintaannya pada tanaman membantu ayah satu anak ini mencerap keharmonian, keseimbangan dan vitalitas alam raya dalam setiap bidang yang ditekuninya. Ia sosok yang  menyeimbangkan antara berkesenian dan pengkajian, antara berkarya dan menulis. Bagi Wiyoso, pemahaman secara akademis harus dituntun pengetahuan seni rupa yang benar dan kontekstual. Pediri dan pengembang Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta (FSR-IKJ) ini juga menekuni sejarah seni rupa tradisi  yang menjadikannya sebagai pelopor teori sejarah seni rupa di Indonesia. Pemikiran-pemikirannya terekam dalam 36 buku yang ditulisnya. Karya seninya terhampar dari bentuk lukisan, relief,  furnitur, hingga patung. Apresiatif terhadap keragaman budaya sendiri, terbuka dan kritis dalam menerima  pandangan seni rupa dari luar adalah sikap kebudayaannya.

Wiyoso lahir di Salatiga, 28 Februari 1928. Anak ke-7 dari delapan bersaudara ini tumbuh dalam asuhan orangtua yang mencintai seni tradisi. Salah satu minat Wiyoso menarikan tokoh-tokoh wayang, seperti Tarian Anoman dan Tarian Cakiel. Sebagai generasi yang tumbuh di masa perang kemerdekaan, Wiyoso terlibat dalam dinamika pembentukan bangsa ini. Di masa pendudukan Jepang (1942 – 1945) ia menjalani kegiatan olah jasmani militeristik yang menumbuhkan percaya diri, disiplin dan keuletan. Selanjutnya, Wiyoso muda bergabung dengan Laskar Tentara Pelajar (1945 – 1949) untuk mempertahankan kemerdekaan dari Belanda. Pengalamannya disiksa sebagai tawanan perang, menempa Wiyoso menjadi pribadi pantang menyerah. Bersamaan dengan penyerahan kedaulatan RI (1951), Wiyoso muda melanjutkan pendidikan di SMA Boedi Oetomo, Jakarta.

Perjumpaan Wiyoso dengan seni rupa digelutinya sejak kuliah di Seksi Seni Rupa Bagian Arsitektur Fakultas Teknik ITB. Di masa itu, seni rupa belum mengalami spesifikasi, sehingga ia dapat mempelajari banyak keahlian terkait seni rupa; seni patung, seni relief, dan lainnya. Hal itu yang kemudian memengaruhi hamparan karyanya dari lukisan, relief, furnitur hingga patung. Namun demikian, Wiyoso tidak berhenti di bidang mencipta atau menghasilkan karya seni rupa.  Ia juga mendalami bidang kajian sejarah, khususnya sejarah seni rupa, yang di masanya merupakan ilmu baru di bidang seni rupa.

new-picture-1Di kampus ITB, Wiyoso juga memelajari prinsip-prinsip seni rupa yang kental dengan modernisme Barat yang diajarkan Ries Mulder, Bernet Kempers –keduanya berkebangsaan Belanda. Ia juga mendapatkan bimbingan Prof. Syafei Soemardja yang kemudian mewarnai karya-karyanya yang multi-matra.  Tahun 1956, Prof. Syafei merekomendasikan Wiyoso menjadi dosen sejarah, menggantikan dosen sejarah berkebangsaan Belanda yang akan kembali ke tanah airnya. Kecintaannya menjadi pendidik dan pelopor pendidikan seni rupa terus berlanjut. Tahun 1963, bersama rekannya, Popo Iskandar dan Radiosuto, ia merintis pendidikan seni rupa di IKIP (sekarang UPI) Bandung dan menjadi dosen tetap kampus tersebut hingga 1993. Tahun 1970, Popo yang sedang menjabat Ketua Akademi Jakarta sekaligus menjadi Dekan Seni Rupa Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, (LPKJ—kini  IKJ), meminta Wiyoso untuk mengajar teori seni rupa di kampus tersebut. Selanjutnya, Wiyoso terlibat dalam transisi sistem pendidikan di LPKJ dari sistem sanggar ke sistem pendidikan akademi. Bersama tim, ia membuat terobosan sistem pendidikan yang mengawinkan formalitas seni dan kebebasan berekspresi. Tahun 1975 ia mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kehidupan seni di kampus yang saat ini bernama IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Pengabdiannya di IKJ terus bertumbuh dari menjadi ketua Departemen Seni Rupa (1980 – 1983),  rektor (1983 – 1987), hingga dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Seni Rupa IKJ  pada tahun 2000.

Dalam menjalankan perannya sebagai akademisi, Wiyoso banyak menulis sejarah seni rupa Indonesia. Ia menyingkap pentingnya kearifan dan kejeniusan lokal yang terselubung dalam artefak seni rupa tradisional di beberapa daerah di Indonesia. Karya tulisnya, antara lain tersebar dalam 37 buku yang secara mandiri dan kolektif ia susun.

Bagi Wiyoso, olah rasa dan olah pikir  berjalan harmoni dan seimbang. Pemahaman secara  akademis harus dituntun oleh pengetahuan seni rupa yang benar dan kontekstual. Karena itu, selain tekun di bidang kajian, ia juga menghasilkan karya-karya seni rupa. Di rumah sekaligus studionya, Wiyoso bersama isterinya (Subiantari) dan putranya (Aghastya) menghasilkan lukisan, relief, furnitur, dan patung. Ia menjalankan waktu emas berkeluarga bersamaan dengan waktu emas berkarya. Karena, menurut Aghastya, ayahnya adalah figur yang mengembangakan totalitas seni rupa bagi kehidupan. Seni rupa adalah keseharian dan keseharian  adalah seni rupa.

new-picture-2Wiyoso yang mendalami seni rupa Timur—terutama  India dan Indonesia—dengan  latar belakang prasejarah, Hindu, Budha, dan Islam,  terekpresikan dalam karya-karyanya. Lukisan-lukisannya mengeksplorasi dunia wadag dan spiritual melalui sosok objek keseharian atau mitologi.  Tradisi kepercayaan Timur ia garap dengan  pendekatan modern Barat, antara lain dalam lukisan “Tari Kecak”  dan “Tari Magi”.  Karya lukis lainnya, “Mandala”  dan “Tiwikrama”, mencerminkan penghargaan sosok-sosok sakral dalam mitologi Hindu.

Untuk seni patung, Wiyoso memilih bentuk organik melalui media kayu. Sumber temanya hasil dari penghayatan esensi kehidupan, daya vitalitas, pertumbuhan, kesuburan, persenyawaan maskulin dan feminin. Hal itu dapat dilihat pada karyanya, antara lain, “Kesuburan”, “Irama Kehidupan”, “Dewi Sri”, dan “Pembenihan”. Karya reliefnya, “Komposisi”,  mencerminkan kecemerlangan dunia auratik yang tampil dalam gaya abstrak non-figuratif dengan kompisisi warna yang sangat kaya. Adapun untuk bidang seni furnitur, Wiyoso mencipta dari furnitur yang fungsional hingga yang sarat pengolahan—sarat kaidah modern maupun klasik dan etnik.

Menurut Aghastya, yang juga mendalami seni rupa, ayahnya banyak memetik energi dari alam. Dalam menghidupi bidang-bidang yang ditekuninya, Wiyoso mengambil prinsip keseimbangan alam. Suatu gerak alam yang mengalir dan memenuhi kebutuhannya masing-masing. Hal itu membawa ritme hidup Wiyoso yang giat tapi tidak terlalu melelahkan. Namun semua bisa ia penuhi. Efisien membagi waktu seperti alam bergerak, bersiklus, tidak ada yang terbuang. Suatu ketertiban dan ketaatan tanpa ngoyo, yang Wiyoso jalankan secara alamiah, penuh tanggung jawab, dan dinikmati. Penikmatan dengan media seni rupa menjadi hubungan khas yang dibangun Wiyoso.

Dalam berkarya, Wiyoso membuka setiap kemungkinan untuk berkreativitas tidak berfokus pada satu gaya dan media. Hal itu sudah menjadi semacam sikap Wiyoso dalam berkesenian, sebagaimana ia sampaikan pada pidato ilmiah pengukuhannya sebagai guru besar di IKJ. Bahwa, pengembangan  sikap berkesenian yang bebas dan kreatif dalam penentuan gaya ekspresi pribadi seniman adalah suatu hal yang penting. Sama pentingnya apresiatif terhadap keragaman budaya sendiri dan bersikap terbuka dan kritis dalam menerima  pandangan seni rupa dari luar.

Wiyoso juga mengembangkan pemikiran mengenai pentingnya pencapain seni rupa bersama antara Indonesia dan negara-negara Asia Pasifik, karena memiliki kedekatan geografis dan historis ketimbang dengan pertumbuhan seni rupa di Barat. Tokoh teori sejarah seni rupa ini  mewariskan pokok-pokok ajaran kepada putranya, anak didik dan koleganya untuk memperkokoh bidang keilmuan yang ditekuninya.

Menurut Aghastya, ayahnya adalah sosok yang penyantun, artinya ikhlas memberikan ilmu dan upaya lain bagi anak-anak didiknya. Pengkaji yang penyabar, artinya tampil dengan kekuatan dan konsistensi. Sebab, apa yang dicapai alamarhum tidak bisa dicapai tanpa kesabaran. Di balik ketenangan Wiyoso, tersimpan ide besar tentang kebudayaan Indonesia, khususnya seni rupa yang terkait dengan sejarah jati diri bangsa. Karena itu, ia senantiasa memberi motivasi kepada kolega dan bimbingannya untuk terus mengkaji seni rupa Indonesia. Dalam berkarya, Wiyoso bersikap totalitas dan tidak diskriminatif; semua karya ia jalani dengan kesadaran dan landasan kasih sayang.

Adapun tanggapan atas anugerah kebudayaan untuk kategori Pencipta, Pelopor, dan Pembaharu yang diberikan kepada ayahnya, Aghastya menerima anugerah dengan penuh kebersyukuran dan terima kasih kepada Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ia juga berharap anugerah ini dapat menjadi motivasi berbagai pihak untuk semakin memperhatikan seni rupa di Indonesia. Sebab, seni rupa sebagai jati diri bangsa memiliki peran penting terkait kiprah Indonesaia di era globalisasi dan ekonomi bebas.

Pendidik seni rupa ini juga berharap perhatian pemerintah terhadap insan-insan seni membawa pada startegi yang tepat bagi perkembangan kebudayaan di Indonesia. Sementara bagi masyarakat, khususnya kolega dan anak didik almarhum, penghargaan ini diharapkan dapat mendorong  mereka untuk aktif merawat pemikiran Wiyoso, dan bisa memberi suatu interprestasi pemikiran Wiyoso, sehingga gagasan-gagasannya dapat dikembangkan sesuai dengan jamannya.new-picture-3new-picture-4

 

 

 

 

Biodata

Tempat lahir: Salatiga, Jawa Tengah
Lahir : Salatiga, 28 Februari 1928 (meninggal:  19 Juni 2008)

Alamat: Jl Taman Cempaka No. 6 Bandung, Jawa Barat.

Pendidikan

Lulus Sarjana Seni Rupa, Fakultas Teknik Bandung (sekarang FSRD – ITB)

Jabatan

Ketua Riset dan Pengembangan (BPP) IKJ (sejak 2006)

Anggota forum pakar dan guru besar IKJ (sejak 2005)

Guru Besar tetap pada Fakultas Seni Rupa IKJ (sejak 2000)

Ketua Akademi Seni Rupa Lebaga Pendidikan Seni Rupa Jakarta (1987-1998)

Dosen Luar Biasa S-1 FSRD Universitas Trisakti (1977 – 2008)

Dosen Luar Biasa Pasca Sarjana FSRD ITB (1995 – 2008)

Anggota panitia Negara Persiapan Penelitian Musium Nasional, Wisma Seni Nasional, dan Perpustakaan Nasional (1964 – 1966)

Dosen Jurusan Pendidikan Senirupa dan Kerajinan FSBS IKIP Bandung (1963 – 1993)

Dosen Luar Biasa S-1 FSRD ITB (1959 – 2008)

Karya Buku

Seni Kerajinan Indonesia Tinjauan Sosial Budaya, FSR IKJ (2006)

“Espresi Estetika Islam di Indonesia”  dalam buku Islam dan Kebudayaan Indonesia, Yayasan Festival Istiqlal Jakarta (1993)

Seni Pahat  Irian Jaya, Proyek Media Budaya, Ditjen Kebudayaan Departemen P & K, Jakarta (1981)

Sejarah Kesenian Jilid I, Balai Pendidikan Guru Departemen P & K Bandung (1961)

Karya Patung

Mandala Gitalita (1975)

Pasangan (1974)

Pameran

Pameran bersama seni patung “The Peak”, Resort Dining Ciwaruga, Bandung (2006)

Pameran Tiga Pematung IKJ di Paulin Art Space bertajuk “Trans Generasi”, Jakarta (2005)

Pameran bersama seni rupa dalam rangka ulang tahun ke-478 DKI Jakarta di Galeri Nasional, Jakarta (2005)

Pameran bersama API “Patung Skala Kecil” Yogyakarta (2004)

Pameran bersama (API) Seni Patung Kontemporer Indonesia “In Search of Peace” , Jakarta (2003)