WAYANG INDONESIA

Wayang adalah salah satu seni pertunjukan rakyat yang masih banyak penggemarnya hingga saat ini. Pertunjukan wayang dimainkan oleh seorang dalang dengan menggerakkan tokoh-tokoh pewayangan yang dipilih sesuai dengan cerita yang dibawakan. Cerita-cerita yang dipilih bersumber pada kitab Mahabarata dan Ramayana yang bernafaskan kebudayaan dan filsafat Hindu, India, namun telah diserap ke dalam kebudayaan Indonesia. Dalam setiap pegelaran, sang dalang dibantu para swarawati atau sindhen dan para penabuh gamelan atau niyaga, sehingga pertunjukan wayang melibatkan banyak orang. Di Indonesia, Wayang telah menyebar hampir keseluruh bagian wilayah Indonesia. Jenis-jenisnya pun beragam yang diantaranya adalah : Wayang kulit Purwa, Wayang Golek Sunda, Wayang Orang, Wayang Betawi, Wayang Bali, Wayang Banjar, Wayang Suluh, Wayang Palembang, Wayang Krucil, Wayang Thengul, Wayang Timplong, Wayang Kancil, Wayang Rumput, Wayang Cepak, Wayang Jemblung, Wayang Sasak (Lombok), dan Wayang Beber.
Berdasarkan sebuah Naskah Jawa Kuno – yang kemudian diterbitkan Pradnya Paramita pada tahun 1981 – mengatakan bahwa wayang bermula dari khayalan ataupun gagasan tentang bayangan manusia yang dapat ditonton. Wayang sendiri berasal dari kata wayangan yang artinya adalah bayangan yang memiliki maksud mempertontonkan sebuah lakon lewat bayangan. Pada mulanya, wayang hanya merupakan hasil khayalan ataupun gagasan yang dilukiskan dalam sebuah daun Tal (ron Tal) yang kemudian mempertontonkan hasil lukisan tersebut lewat bayangan. Mempertontonkan lewat bayangan dilakukan dengan memantulkan lukisan tersebut di atas kain putih dan hanya diterangi lampu. Hal ini membuat orang lain dapat melihat lukisan tersebut dalam bentuk bayangan. Lukisan yang dibuat dalam daun Tal memang kecil, karena menyesuaikan bentuk daun Tal yang hanya berukuran 2,5 cm. Hal inilah yang membuat lukisan ini hanya dapat dipertontonkan oleh keluarga.
Bertambahnya kreativitas manusia kala itu ternyata mampu membuat lukisan yang kecil menjadi lukisan dengan skala ukuran yang lebih besar. Mereka tidak lagi menggunakan daun Tal, namun menggunakan kulit sapi yang dibentuk sedemikian rupa dan kini disebut dengan lakon-lakon. Dalam membuat lakon, kulit sapi pertama-tama dibersihkan dari bulunya kemudian dijemur dan dikeringkan untuk menghilangkan baunya. Setelah kering dan hilang baunya, kulit tersebut dipotong-potong berukuran 40×30 cm. Saat itu, bentuk-bentuk lakon tidak begitu jelas karena hanya berupa khayalan manusia. Lima atau enam lukisan itu kemudian diberi nama satu lakon. Semakin bertambahnya pengetahuan, lakon-lakon yang mulanya tidak memiliki bentuk kini dibentuk menyerupai manusia ataupun hewan. Lakon-lakon kini terdiri dari lakon hewan, lakon laki-laki maupun perempuan.
Lakon-lakon tersebut disoroti sinar lampu, meninggalkan bayangan hitam pada sehelai kain putih yang dibentangkan dan dipertontonkan ketika malam hari. Wayang tersebut ditancapkan pada potongan pohon pisang dengan berjajar-jajar. Wayang tersebut kemudian digerakkan oleh dalang dengan suara yang mungkin saja berbeda diantara satu lakon dan lakon lainnya. Dalang menggerakan lakon dalam sebuah cerita Mahabarata atau Ramayana yang tentu saja dapat menghibur orang lain yang menontonnya. Bagus tidaknya cerita wayang bergantung pada dalang yang membawakannya.
Dahulu wayang ini dipertontonkan kepada sang Raja hyang Taja, yang turun dari langit. Selain itu, pertunjukan ini juga untuk memperingati nenek moyang, serta syukuran desa (bersih desa). Permulaan munculnya wayang yang seperti ini kira-kira dilakukan pada 799 Masehi dengan menggunakan bahasa Jawa sederhana dan belum dipengaruhi bahasa Sansekerta. Dari sekian banyak wayang yang ada di Indonesia, ada salah satu wayang yang tertua dan diberi nama wayang Purwa.
Wayang Purwa
Diceritakan bahwa wayang purwa di ciptakan oleh Prabu Jayabaya dengan gelar Arum Gandaning Brahmana. Sang prabu mempunyai hasrat membuat wayang purwa karena sang Prabu mempunyai minat dan senang pada cerita dan riwayat para nenek moyangnya, tercantum dalam serat Pustakaraja Purwa. Sang Prabu kemudian melihat Candi Penataran di Blitar. Sang Prabu melihat arca para dewa dan gambar yang diukir sepanjang tembok batu sekeliling candi. Ukiran-ukiran tersebut menceritakan Rama. Ukiran candi inilah yang memberi inspirasi Parbu untuk membuat Wayang Purwa. Mula-mula sang Prabu membuat coretan gambar meniru arca para dewa di atas daun Tal. Awalnya yang digambar adalah arca Batara guru, kemudian prabu juga menggambar dewa-dewa. Dalam menggambar, sang prabu dibantu oleh sanak saudara dan hamba-hambanya yang memiliki bakat menggambar sehingga gambar menyerupai arca yang ditiru, berbentuk manusia. Setelah selesai di gambar, gambar-gambar tersebut direntangkan dengan menggunakan tali, menurut urutan sejarahnya dan kemudian dimasukkan kedalam peti ukiran kayu kecil.
Pada hari ulang tahun sang Prabu, wayang diatas daun Tal tersebut dilihat kembali dan sang Prabu berfikir bahwa wayang tersebut terlalu kecil untuk dipertunjukkan didepan keluarga dan para abdi yang menghadap. Kemudian sang Prabu memerintahkan untuk memindahkan gambar wayang diatas kulit lembu yang sudah dioleh dan dikeringkan. Gambar ditatah di atas kulit, sesudah itu diberi pegangan dari bambu. Wayang tersbeut dibuat sebanyak 50 buah dan diberi nama Wayang Purwa dengan Sengkalan : Candraning Wayang Wolu, tahun Surya 861.
Gambar 1. Wayang Purwa

Cerita-cerita wayang Purwa bersumber dari Pustaka Rajapurwa dan dahulu hanya diiringi lagu-lagu sekar Ageng tembang Kidung. Wayang yang sedang diceritakan dipegang dan ditempelkan di kelir dan tampak bayangannya. Bayangan itulah yang dilihat oleh sanak keluarga Raja dan para abdi dalem. Wayang pada zaman dahulu belum dapat disabetkan, sebab tangannya menjadi satu dengan badan. Jadi, pementasan Wayang hanya menancapkan lakon-lakon secara berhadapan. Jika dalang tidak memiliki kemampuan yang baik dalam membawaan cerita, maka pementasan akan terlihat sangat membosankan. Untuk itu, peran dalang dalam wayang itu sangat penting.
Gambar 2. Wayang Golek

Wayang Golek
Selain wayang yang dibuat dengan media kulit, terdapat pula wayang yang menggunakan media kayu atau berbentuk tiga dimensi. Wayang tersebut disebut dengan wayang golek yang banyak tersebar di pulau Jawa bagian Barat. Berbagai sejarah tentang keberadaan wayang golek bermunculan dari beragam versi. C.M Pleyte mengatakan bahwa masyarakat di Jawa Barat mulai mengenal wayang pada tahun 1455 Saka atau 1533 Masehi dalam Prasasti Batutulis. Selain itu, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa penyebaran Wayang Golek di Pulau Jawa Barat terjadi pada masa pemerintahan Raden Patah dari Kerajaan Demak yang kemudian disebarluaskan oleh Wali Sanga. Sunan Gunung Jati juga memiliki peran andil dalam penyebaran Wayang di Jawa Barat yang digunakan untuk media dakwah Agam Islam di Jawa Barat. Pendapat lain yang berkenaan dengan penyebaran wayang di Jawa Barat adalah pada masa pemerintahan Raden Patah dari Kerajaan Demak. Penyebaran itupun dilakukan oleh para Wali Sanga – termasuk Sunan Gunung Jati yang pada tahun 1568 memegang kendali pemerintahan di Kasultanan Cirebon. Beliau memanfaatkan pergelaran wayang kulit sebagai media dakwah untuk penyebaran agama Islam. Sekitar tahun 1584 Masehi salah satu Sunan dari Dewan Wali Sanga, Sunan Kudus menciptakan sebuah kesenian yang dinamakan wayang golek.
Pada waktu kabupaten-kabupaten di Jawa Barat ada di bawah pemerintahan Mataram, ketika zaman pemerintahan Sultan Agung (1601-1635), mereka yang menggemari seni pewayangan lebih meningkat lagi dalam penyebarannya, ditambah lagi banyaknya kaum bangsawan Sunda yang datang ke Mataram untuk mempelajari bahasa Jawa dalam konteks kepentingan pemerintahan, dalam penyebarannya wayang golek dengan adanya kebebasan pemakaian bahasa masing-masing, seni pewayangan lebih berkembang, dan menjangkau hampir seluruh Jawa Barat. Menurut penjelasan Dr.Th. Pigeaud, bahwa salah seorang bupati Sumedang mendapat gagasan untuk membuat wayang golek yang bentuknya meniru wayang kulit seperti dalam cerita Ramayana dan Mahabharata. Perubahan bentuk wayang kulit menjadi golek secara berangsur-angsur, hal itu terjadi pada sekitar abad ke 18-19. Penemuan ini diperkuat dengan adanya berita, bahwa pada abad ke-18 tahun 1794-1829 Dalem Bupati Bandung (Karanganyar), menugaskan Ki Darman, seorang juru wayang kulit asal Tegal Jawa Tengah, yang bertempat tinggal di Cibiru, Jawa Barat, untuk membuat bentuk golek purwa. Pada abad ke-20 mengalami perubahan-perubahan bentuk wayang golek, semakin menjadi baik dan sempurna, seperti wayang golek yang kita ketemukan sekarang ini.
Sebagaimana alur cerita pewayangan umumnya, dalam pertunjukan wayang golek juga biasanya memiliki lakon-lakon baik itu galur maupun carangan. Alur cerita diambil dari cerita rakyat seperti cerita penyebaran agama Islam oleh Walangsungsang dan Rara Santang maupun cerita yang bersumber dari cerita Ramayana dan Mahabarata dengan menggunakan bahasa Sunda. Dalam pementasan, wayang golek iringi oleh gamelan Sunda (salendro), yang terdiri atas dua buah saron, sebuah peking, sebuah selentem, satu perangkat boning, satu perangkat boning rincik, satu perangkat kenong, sepasang gong (kempul dan goong), ditambah dengan seperangkat kendang (sebuah kendang Indung dan tiga buah kulanter), gambang dan rebab.
Dalam pertunjukan wayang golek, lakon yang biasa dipertunjukan adalah lakon carangan. Hanya kadang-kadang saja dipertunjukan lakon galur. Hal ini seakan menjadi ukuran kepandaian para dalang menciptakan lakon carangan yang bagus dan menarik. Beberapa dalang wayang golek yang terkenal diantaranya Tarkim, R.U. Partasuanda, Abeng Sunarya, Entah Tirayana, Apek, Asep Sunandar Sunarya, Cecep Supriadi, ki dalang IIN wahyu iskandar dan lain sebagainya.
Wayang yang merupakan kebudayaan peninggalan yang masih tetap lestari hingga saat ini tidak terbatas hanya wayang purwa maupun wayang golek saja. Ada berbagai mecam jenis wayang lainnya yang juga tersebar dibeberapa wilayah di Indonesia. Kini, kesenian wayang sudah ditetapkan oleh UNESCO menjadi Warisan Budaya Indonesia yang terlah diakui secara internasional.

Scroll to Top