Tjitro Sastrodiprodjo (almarhum), Mengembangkan Gudeg menjadi Komoditi Manca Negara

0
2632

Penerima Anugerah Kebudayaan Kategori Pelestari 2016. Ibu Tjitro Sastrodiprodjo membuka usaha Gudeg Bu Tjitro sejak tahun 1925. Pelestarian masakan tradisional Yogyakarta ini ia wariskan kepada keturunannnya. Saat ini Gudeg Bu Tjitro telah dilestraikan dan dikembangkan oleh generasi keempat. Gudeg yang dimasa Ibu Tjitro hanya dapat dinikmati 6 jam dari proses pembuatan, kini dengan inovasi pengalengan dapat dinikmati konsumen hingga mancanegara. Semakin luas Gudeg Bu Tjitro menjangkau konsumen, semakin luas juga misinya memperkenalkan kuliner tradisi sebagai budaya bangsa Indonesia.

Gudeg adalah salah satu budaya kuliner Yogyakarta yang dikenal di masyarakat.Makanan tradisi  yang terbuat dari buah  nangka muda ini menjadi salah satu tujuan wisata kuliner yang populer. Salah satu yang melestarikan dan mengembangkan gudeg ala Yogyakarta ini adalah keluarga Ibu Tjitro Sastrodiprojo (alm) yang produknya dikenal  sebagai Gudeg Bu Tjitro.

Ibu Tjitro memelopori penjualan makanan gudeg ini pada tahun 1925. Ia berjualan di emperan toko di depan Pasar Ngasem, Yogyakarta. Dalam menyajikan gudegnya, Ibu Tjitro mempertahankan resep tradisional, yan—antara lain—menggunakan gula  aren. Resep tersebut diwariskan kepada keturunannya. Tahun 1970, salah satu putranya, Sumadi Suprodiprojo, mendirikan  rumah makan  gudeg di Jakarta. Usaha kuliner tradisi ini kemudian dilanjutkan oleh  cucunya, Retno Widiastuti. Pada 28 Agustus 1990, Retno mendirikan Rumah Makan Gudeg Bu Tjitro  di Jalan Adisucipto KM 6. Yogyakarta. Karena di Adisucipto  bangunannya masih mengontrak, setelah usahanya berkembang, Retno pindah dan membangun rumah makan di Jalan Janati 330, Yogyakarta,sampai sekarang. Saat ini  Rumah Makan Gudeg Tjitro telah dikelola oleh generasi keempat: Rika Kumala Dewi sebagai pemilik perusahaan, dan suaminya, Burhanul Akbar Pasa, sebagai direktur perusahaan.

new-picture-1Perjalanan panjang hingga empat generasi ini tak lepas dari kecintaan keluarga Ibu Tjitro untuk merawat dan mengembangkan kuliner tradisional. Sebagaimana disampaikan Rika, ia bersedia mewarisi tradisi  gudeg  karena menurutnya gudeg karya budaya yang ingin ia lestarikan. Bahkan, di eranya, ia dan suaminya juga memikirkan untuk terus berinovasi untuk mengembangkan  gudeg agar dapat dinikmati konsumen tidak hanya di seluruh Indonesia tapi juga hingga mancanegara.

Dalam hal pewarisan resep gudegnya, Ibu Tjitro (alm) memberikan keleluasaan kepada keturunannya untuk mengembangkan rumah makan gudeg sesuai dengan kemampuan dan inovasinya  masing-masing. Pada generasi keempat,  Rika dan suaminya mulai berinovasi agar gudeg dapat dikemas secara tahan lama, sehingga memperluas pasar tanpa mengurangi kenikmatan gudeg fresh yang dapat dinikmati di rumah makan mereka. Pada masa Ibu Tjitro  memang baru menyajikan gudeg fresh  atau yang dikemas dalam besek dengan daya tahan enam jam. Lalu, di masa generasi kedua dan ketiga mulai mengembangkan pengemasan gudeg menggunakan kendil yang bisa tahan sampai dua hari. Pada generasi keempat, teknologi pangan juga semakin berkembang, mereka mulai memikirkan untuk dapat mengemas gudeg dalam kaleng.

Menurut Burhanul, wacana pengembangan gudeg  dalam kaleng muncul sekitar tahun 2007 dan mulai memproduksinya pada tahun 2009. Hal itu dapat diwujudkan karena di saat Gudeg Ibu Tjitro membutuhkan teknologi pengalengan gudeg, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sedang membutuhkan produk untuk dikalengkan. Keduanya kemudian melakukan kerja sama melalui berbagai percobaan. Saat pertama pengalengan, gudeg tidak seenak gudeg fresh, gudegnya menjadi lembek. Tempe yang mereka gunakan sebagai bahan campuran juga tidak tahan  lama karena mengandung ragi. Mereka kemudian mengganti tempe dengan kacang tolo dan perbaikan lainnya. Kini Gudeg Tjitro dalam kemasan kaleng dapat dinikmati selezat gudeg fresh. Tanggapan konsumen pun positif  karena rasa gudeg tetap lezat dan  dapat dinikmati kapan dan dimana saja.

Dengan kemasan kaleng, Gudeg Bu Tjitro dapat diperkenalkan ke seluas-luasnya ke konsumen. Saat ini, usaha keluarga tersebut setiap bulan telah memproduksi 15.000 kaleng. Gudeg dalam kaleng ini mereka jual melalui pasar besar Carrefour untuk seluruh Indonesia dan toko oleh-oleh, baik di dalam maupun di luar Yogyakarta. Selain itu, mereka juga memasarkannya secara daring (online), sehingga jangkauannya bisa ke seluruh Indonesi,a bahkan mancanegara. Gudeg Bu Tjitro juga banyak melayani orang-orang Indonesia yang akan berpergian atau tinggal di luar negeri. Konsumen seperti ini biasanya membeli dalam jumlah besar untuk keperluan oleh-oleh dan kebutuhan mereka. Saat ini Gudeg Bi Tjitro juga sedang mempersiapkan diri untuk dapat mengekspor produknya.

new-picturePerusahaan keluarga ini juga terus mengembangkan produknya dengan berguru pada konsumen. “Karena lidah orang berbeda-beda, kami juga mengembangkan rasa gudeg yang manis, asin, pedas, selain rasa original.Juga inovasi lain, seperti gudeg rasa rendang,” tutur Burhanul. Selain itu, Gudeg Bu Tjitro akan  menambah produk lain, yaitu khusus  menjual krecek (sambal goreng pelengkap gudeg yang terbuat dari kulit sapi). Dalam hal pengemasan, perusahaan ini juga sedang mengembangkan inovasi menggunakan kemasan alumunium foil yang ketahanan produk dapat sama lamanya dengan kemasan kaleng, tapi harga akan lebih terjangkau.

Atas penghargaan kebudayaan untuk kategori pelestari dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mereka terima, Burhanul menyampaikan apresiasi. Ia tidak menyangka produk mereka mendapatkan penilaian dari tingkat kementerian.

Ia juga berpesan agar bangsa Indonesia menjaga tradisi dan budaya, termasuk  makanan tradisional. “Budaya identitas dari suatu bangsa. Jangan sampai identitas ini hilang, sehingga kita tidak mempunyai karakteristik bangsa. Karena suatu bangsa dikenal melalui kebudayaannya. Menjadi tanggung jawab generasi muda untuk melestarikan budaya melalaui berbagai cara kebudayaan, termasuk makanan tradisional” tutur direktur Gudeg Bu Tjitro ini.

Biodata

Pediri perusahaan gudeg: IbuTjitro Sastrodiprodjo (1925)

Pewaris generasi keempat: Rika Kumala Dewi

Tempat tanggal lahir:  Sragen, 10 Januari 1982

Suami dan direktur perusahaan: Burhanul Akbar Pasa

Alamat: Rest G B T, Jl Janti 330 – depan JEC, Plumbon, Banguntapan Bantul, Yogyakarta

Penghargaan

Penghargaan Kebudayaan Kategori Pelestari dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2016)

Kartini Award (2012)