Tarian dari Negeri Awan

0
1366

doc: budayaindonesia.net
doc: budayaindonesia.net

Woliampelahu, berhari-hari, menghabiskan waktunya dengan bertapa di Gunung Sangia Wita. Dalam tepekurnya, pria asal Tangkerno, Kabaena, Sulawesi Tenggara ini, samar-samar melihat bayangan sekelompok penari. Mengikuti suara gendang yang ditabuh beberapa pemuda, para penari itu lalu menggerak-gerakkan kaki dan tangannya hingga membentuk formasi tertentu. Pertunjukan itu berakhir ketika mereka menebas-nebas batang pisang di sekitarnya.

Sayup-sayup, Woliampehalu juga mendengar bisikan yang menjelaskan ihwal manfaat gerakan tari tersebut, khususnya bagi masyarakat Tangkeno yang digadang-gadangkan laksana Negeri di Awan. Selain itu, Woliampehalu juga dimaklumkan bahwa para penari dan penabuh gendang itu bukanlah manusia biasa. Mereka adalah para utusan yang pembawa pesan dari kayangan atau dalam bahasa lokal disebut wawo sangia.

Sepulang dari semedi, Woliampehalu kemudian mempraktikkan apa yang dilihat dan didengarnya itu di sebuah bukit yang dijuluki Tangkeno Mpeolia. Kebetulan ketika itu memang sedang terjadi banyak musibah, dan ia tergerak untuk membantu warganya mengakhiri beragam malapetaka tersebut. Itulah cikal-bakal tarian lumense yang diperkirakan sudah berusia sekitar 700 tahun.

Perihal asal-usul namanya, secara etimologis lumense berasal dari kata lumee yang berarti mengeringkan atau membuang genangan air, serta eense yang maknanya berjingkrak-jingkrak. Mengutip Abdul Madjid Ege, sejak dulu hingga kini, masyarakat Kabaena memang punya kebiasaan selalu membersihan sumur dengan cara lumee agar sumber air itu terhindar dari pencemaran kotoran dan penyakit.

“Jadi pengertian lumense adalah suatu gerakan ritual tertentu yang bertujuan untuk membersihkan diri dari bencana,” kata Ketua Lembaga Adat Kabaena ini. Maka, lumense bukan sekedar tarian. Tapi juga media untuk memutus rantai bencana, bisa berupa banjir, tanah longsor, wabah penyakit, kerusuhan sosial dan lainnya. Dalam konteks tarian, bencana tersebut dipersonifikasikan dengan batang-batanag pisang itu.

Membabat pohon pisang, semakna dengan menyudahi bencana itu. Tentu saja ritual ini sekedar simbol, sebab restu atas berakhir-tidaknya sebuah malapetaka tetap saja milik Yang Maha Kuasa yang bersemayam di kayangan. Oleh karena itulah, sesuai dengan kepercayaan masyarakat Kabaena jaman dulu, tarian lumense selalu diawali dengan prosesi sesembahan berupa sesaji beraneka jenis.

Dahulu lumense juga tidak diajarkan secara khusus seperti saat ini. Begitu gendang ditabuh, beberapa orang yang mendengarnya akan kesurupan. Dengan spontan para penari dadakan yang disebut wolia ini akan bangkit dan berjingkrak-jingkrak mengikuti hentakan irama tetabuhan. Tapi itu dulu, sekarang lumense yang dimainkan 12 penari ini sudah dikemas begitu rupa sesuai tuntutan jaman, baik gerak maupun fungsinya.

Salah satunya adalah untuk penyambutan tamu-tamu terhormat. Meski demikian, esensinya setali tiga uang. Tarian Dari Negeri Awas ini sesungguhnya menyelipkan doa: semoga para tamu yang berkunjung ke Kabaena bisa selamat sampai tempat tujuannya masing-masing. (Yayan Ahdiat)