Jika hidup ibarat matahari, maka Syofyani Yusaf—maestro tari Minangkabau—telah berada di ujung senja. Tapi justru di situlah hebatnya. Pada usia 81 tahun, di mana 75 tahun terakhir ia baktikan hidupnya untuk seni tari, khususnya tari Minangkabau—Syofyani menerima Satyalancana Kebudayaan dari Presiden Republik Indonesia. Gelar dan tanda kehormatan ini selain melengkapi sejumlah penghargaan yang diraih sebelumnya, juga bentuk apresisasi atas dedikasi dan pencapaiannya sebagai seorang penari, pencipta tari (koreografer), guru dan pelatih tari dalam rentang waktu lebih dari tujuh dasa warsa: tanpa putus!
Ani, panggilan akrabnya, belajar menari sejak rusia enam tahun pada kakek dan ayahnya yang memiliki grup randai dan juga seorang guru pencak silat di kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia dilatih gerakan-gerakan tari piring yang juga mengandung gerakan silat, dua kali dalam seminggu. Pada usia 12 tahun, Sofyani mulai diajari kakeknya menari piring di atas pecahan kaca.
Tahun 1953, bersama Yusaf Rahman yang juga adalah suaminya, ia mendirikan Sofyani Dance and Music Ensemble Group. Grup ini kemudian melakukan pertunjukan di dalam dan luar negeri, seperti di Pakistan, Yunani, Italia, Spanyol, Australia, Swiss, Belanda, Korea, Jepang, Brasil, Amerika Serikat. Seluruh negara anggota ASEAN sudah mereka jelajahi. Pada tahun 2012, Sofyani Dance and Music Ensemble Group diundang ke Perancis untuk ikut berpartisipasi dalam Festival De Montoire.
Kini namanya menjulang di antara dua maestro tari Minangkabau yang telah mendahuluinya, yakni Huriah Adam dan Gusmiati Suid. Berbeda dengan kedua perempuan koreografer Minangkabau itu yang hijrah ke Jakarta, dan membesarkan diri di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Sofyani memilih ‘hanya’ hijrah dari Bukittinggi ke Padang. Di Padang ia kemudian membuka sanggar, lalu berkeliling dunia memperkenalkan tari-musik Minangkabau, terutama hasil ciptaan dirinya bersama suami, ataupun ciptaan suaminya sendiri, Yusaf Rahman (alm).
“Karya Huriah, Gusmiati Suid, dan saya sebetulnya dasarnya sama, yakni silat. Namun karya saya berada di tengah, agak lembut. Mungkin karena saya mengambil silat dari sisi bunga-bunganya saja,” ujar Syofyani saat ditemui di sanggarnya, Agustus 2017.
Boleh jadi nada tari agak lembut ciptaan Syofyani sedikit banyak dipengaruhi oleh musik ciptaan Yusaf Rahman yang mengiringi karya-karya ciptaannya. Sudah menjadi rahasia umum, Yusaf dikenal luas sebagai maestro musik Minang, yang telah berjasa menjadikan instrumen tradisional Minang, talempong, yang semula bernada pentatonik bisa dikembangkan dalam tangga nada diatonik. Setelah menjadi alat musik diatonik, talempong pun dapat digabungkan bersama alat-alat musik modern lainnya dalam satu komposisi orkestra.Sang suami juga dikenal sebagai pencipta lagu-lagu Minang yang dinyanyikan Elly Kasim dan Tiar Ramon.
Lalu apa jasa-jasa Syofyani pada Minangkabau khususnya, Indonesia dan dunia pada umumnya? Pertama-tama tentu saja adalah karya-karya tarinya yang ia sebut sebagai semi tradisional Minangkabau. Dalam arti, tradisi yang sudah ia harap dengan pendekatan modern, akan tetapi roh tradisinya tetap terasa, Di antara puluhan karyanya, yang boleh dianggap masterpiece di antaranya “Tari Pasambahan”, “Tari Manggaro”, “Tari Payung (Berbendi-bendi)”, dan “Tari Piring di Atas Pecahan Kaca”.
Kini “Tari Pasambahan” yang menggambarkan tradisi Minang dalam memulai sebuah acara dengan menyuguhkan sirih dalam carano itu telah dipentaskan di mana-mana, bahkan sudah mendunia, tanpa diketahui bahwa Syofyani penciptanya. Bahkan pelaku tari dari negara tetangga pun pernah mendakunya, bahwa karya itu ciptaan mereka. Setelah diklarifikasi, mereka pun urung. Diduga ini terjadi karena Syofyani pernah mengajar di Malaysia, termasuk mengajarkan tarian itu di sana, yang akhirnya meluas.
“Tari Manggaro” yang menggambarkan keunikan masyarakat Miangkabau mengusir burung dengan bunyi-bunyian dari alat bambu (dakak-dakak), pernah ikut festival di Jepang. Bahkan, belum lama ini, digunakan sebagai materi ajar program “Beasiswa Seni Budaya Indonesia (BSBI)” Kementerian Luar Negeri selama tiga bulan, melibatkan 11 pemuda dari Bulgaria, Kamboja, Republik Ceko, Kazakstan, Fiji, Perancis, Jepang, Kyrgistan, Myanmar, Polandia, Kazakstan, dan Indonesia.
“Tari Piring di Atas Pecahan Kaca” merupakan andalan yang selalu ia tarikan sendiri semasa masih muda. Tarian yang menggambarkan kehidupan masyarakat Minangkabau dalam bercocok tanam ini, gerakannya banyak meniru gerakan mencangkul, membajak, menanam, dan lain sebagainya. Tidak sembarang orang bisa menarikannya karena harus memakai doa agar selamat saat menginjak-injak beling.
Sumbangan lain Syofyani, ia telah menciptakan metode latihan tari berdasar huruf , ibarat notasi Silaban dalam musik. Huruf-huruf itu menyerupai gerak dasar bunga silat bagi karya-karyanya. “Metode Syofyani” ini, menggunakan 13 huruf yang sebagian besar mati, yaitu E,F,G,K,N,P,Q,R,S,T,W,Y,Z. Ia bercerita bahwa para pengajar tari di ISI Padang Panjang—juga para murid-murid di sanggarnya—telah mengetahui metodenya ini dan mempraktikannya. Dan, mengingat usia, maka sudah saatnya Syofyani—tentu dengan bantuan keluarga atau kalau perlu pemerintah—mematenkan metode tarinya ini. Sebab, metodenya ini tidak hanya mahkota, akan tetapi juga jalan bagi penyebaran tarian Minangkabau, terutama karya-karya ciptaannya.