“Sumbangan Arsitektur Nusantara Bagi Dunia”, Josef Prijotomo

0
6329

DSC_9326
Prof.Dr.Ir.Josef Prijotomo, M.Arch. adalah guru besar yang membangun pengetahuan budaya Nusantara menjadi referensi para arsitek dalam mendesain rumah. Ia melakukan kajian lapangan arsitektur Nusantara di berbagai provinsi. Kecintaanya pada arsitektur Nusantara ia tuangkan ke dalam 9 buku. Menurutnya arsitektur Nusantara harus duduk setara dengan arsitektur Barat yang selama ini menjadi kiblat; era globalisasi adalah peluang mengolah arsitektur Nusantara kekinian untuk disumbangkan pada dunia.

Profesor Josef Prijotomo lahir di Malang pada tahun 1948. Ia menyelesaikan studi arsitektur untuk Program S1 dan S2 di Institut Teknologi Surabaya (ITS) dan meraih gelar Master untuk bidang arsitektur di Iowa State University (ISU), Amerika Serikat. Sebagaimana cita-cita ayahnya yang juga pengajar, Josef mengabdikan hidupnya menjadi dosen di ITS dan sejak 2008 diangkat menjadi Guru Besar dalam Arsitektur. Bidang yang menjadi minat dan perhatiannya adalah sejarah dan teori arsitektur, arsitektur Nusantara, arsitektur Kolonial di Indonesia, dan semiotik.

Berkiprah dalam bidang pengajaran baginya bukan sekadar profesi tetapi merupakan sebuah pengabdian yang dilandasi oleh kecintaan.Profesor Josef telah menulis 9 buku tentang arsitektur Nusantara. Buku kesepuluhnya berjudul Pengantar Arsitektur Nusantara akan terbit bulan September 2015. Pengabdian pada masyarakat yang ia lakukan adalah melaksanakan pendampingan arsitektur terhadap Kampung Kemasan, Gresik yang dijadikan daerah Wisata Arsitektur pada tahun 2013–2014. Tidak kurang dari 13 penelitian telah dikerjakannya, antara lain Design Guidelines on Jawanese Architecture: Case Study of Primbon (1985), Identification of Architectural Structural System of East Nusa Tenggara Architecture (1990), dan ObservasidanDokumentasiPembangunanKembali Lobo di Ngata Toro (2013). Josef juga melakukan kajian lapangan di berbagai wilayah di Indonesia yaitu di Toba-Karo (Sumatera Utara), Sumpur-Padang (Sumatera Barat), Boyolali-Grobogan (Jawa Tengah), Kotagede, Yogyakarta, Klungkung, Karang Asem, dan Badung (Bali), Bima, Dompu, dan Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), Toraja (Sulawesi Selatan), Mamasa-Ngatatoro (Ternate), Halmahera (Maluku Utara), Moni-Flores dan Timor (Nusa Tenggara Timur).

Kecintaan Josef pada arsitektur Nusantara bermula saat tahun 1982 ketika ia menemukan buku primbon yang isinya mengenai arsitektur Jawa. Ia menyusun temuannya menjadi makalah seminar yang mendapat sambutan hangat dari para peserta. Sejak itu ia bertekad untuk menjadikan arsitektur Nusantara menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Mengapa arsitektur Nusantara ini penting digali kembali? Menurutnya, sedikitnya ada dua arsitektur yang tidak bisa disatukan, yaitu arsitektur empat musim seperti di Eropa dan arsitektur dua musim di wilayah tropis. Arsitektur empat musim harus memisahkan diri dari alam, sebab kalau tidak manusia bisa mati karena ada musim dingin yang mengancam hidup. Sedangkan arsitektur dua musim cukup perlindungan atau berteduh dari panas kemarau atau hujan. Arsitektur telanjang di negara-negara tropis tidak akan mengancam keselamatan penghuninya. Oleh karena itu, fungsi bangunannya adalah untuk bernaung.

“Bernaung itu menempatkan sesuatu di atas kepala kita agar tidak lagi terguyur hujan/terik matahari, itu saja jadi nggak perlu dinding,” kata Josef. Khusus untuk Indonesia yang secara alam akrab dengan gempa, nenek moyang kita juga telah mendesain arsitektur sedemikian rupa sehingga tahan gempa. Kiblat arsitektur yang telanjur ke Barat itu yang kemudian banyak rumah mudah roboh ketika terjadi gempa.

Sayangnya pemikiran seperti itu belum dipahami dalam sistem pendidikan dan media arsitektur. Berbagai tantangan dihadapi Josef, karena pendidikan dan publikasi yang tersedia di Indonesia malah tidak berbicara arsitektur Nusantara dan lebih berkiblat pada arsitektur Barat.

“Saya harus berjuang mengubah mind set bahwa Indonesia punya arsitektur tersendiri, yang beda dengan Barat. Karena beda,maka tidak boleh diletakkan di bawah Barat. Arsitektur Nusantara harus sejajar dengan arsitektur Barat,” kata Josef. Lebih lanjut, menurut Josef, universitas harus memiliki keberanian memunculkan arsitektur Nusantara. Itulah obsesi lima tahun terakhirnya yang baru mendapat dukungan dari sejumlah kecil arsitek.

Arsitektur Nusantara juga dapat diolah menjadi arsitektur kekinian dan sejak lama sudah ada yang melakukannya, antara lain J.B. Mangunwijaya dengan Sendang Songo-nya. Bahkan pada tahun 2014 terbit buku bagaimana arsitektur Nusantara dimodernkan berjudul Eksplorasi Desain Arsitektur Nusantara (Propan& Kompas Gramedia). Buku ituberisi kumpulan karya peserta sayembara arsitektur Nusantara yang diselenggarakan sebuah perusahaan cat.

“Jadi sudah ada ini mode blat-nya dengan segala kekurangannya. Tidak ada lagi alasan untuk mengatakan yang mana arsitektur Nusantara dan apa bisa? Semua terjawab karena ada publikasinya,” tutur Josef. Pendukung lain datang dari perusahaan cat, PT Propan Raya Jakarta, yang memfasilitasi Josef melakukan kajian lapangan arsitektur Nusantara di berbagai provinsi dan melaksanakan sayembara yang salah satu produknya adalah buku tersebut.

Pengalaman dan pemikiran Josef menjadikannya sebagai kontributor untuk dua ensklopedia, yaitu Editor for the ChapterIndonesia’s Classical Heritage’ of Encyclopaedia of Indonesian Heritage, vol 6. Architecture (Archipelago Press) dan Contributor on Java, ‘Baduy’, ‘Madura’ in Encyclopaedia of the Vernacular Architecture of the World(Oxford).

Guru besar yang banyak menulis di jurnal internasional ini juga berharap para arsitek di Indonesia mau mengenali arsitektur Nusantara. Mau dan mampu menyejajarkan secara setara antara arsitektur Nusantara dengan arsitektur di Jepang, Eropa, dan negara lain.

“Jadi globalisasi bukan membawa arsitektur Eropa yang disesuaikan dengan Indonesia. Globalisasi mengolah yang Nusantara untuk disumbangkan pada dunia,” tutur Josef.

Josef juga masih ingin melanjutkan pengabdiannya untuk mengawal gagasannya tentang arsitektur Nusantara, sedikitnya melalui penulisan buku ke-11 hingga ke-13. Ia ingin pada purnatugasnya di usia 70 tahun sudah mewarisi 13 buku teori arsitektur Nusantara yang memadai. Ia juga masih ingin melakukan kajian lapangan di wilayah lain Nusantara.

Josef mengaku penghargaan yang diterimanya mulanya menjadi beban karena hal itu merupakan pengakuan bangsa dan negara kepadanya. “Saya belum berbuat banyak. Karena itu, izinkan saya menggunakan penghargaan ini sebagai titik berangkat, supaya saya berbuat banyak. Terima kasih bangsaku, negeriku, semoga ini menjadi pemicu lebih banyak, lebih baik, dan lebih sempurna” katanya dengan bersemangat.